Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang mengajak mereka jalan-jalan ke mal. Awalnya, Arya ragu. Tapi Kayla bersikeras, "Ayolah Pa, Tante Lintang kan udah janji mau beliin aku buku!" Di toko buku, Lintang dengan sabar menemani Kayla memilih buku. Saat Kayla kebingungan antara dua buku, Lintang berlutut di sampingnya. "Kenapa nggak dua-duanya aja? Tante yang bayar." "Tapi kan mahal," Kayla ragu. "Nggak apa-apa," Lintang mengusap rambut Kayla lembut. "Kamu putri kecilnya Tante. Putri harus punya banyak buku, biar pintar." Arya yang melihat dari kejauhan, merasakan sesuatu bergetar dalam dadanya. Lintang, dengan gaun musim panasnya yang cerah dan senyum yang lebih cerah lagi, tampak begitu serasi berdampingan dengan Kayla. Seolah mereka memang ditakdirkan bersama. "Papa?" Kayla menarik ujung kemeja Arya, mengembalikannya ke masa kini. "Kok melamun?" "Ah, maaf sayang," Arya berdehem. "Ayo, kita baca." Mereka mulai membaca. Ceritanya tentang seorang putri yang tidak seperti putri-putri lainnya. Ia suka berpetualang dan ingin berteman dengan naga yang ditakuti semua orang. Dengan keberanian dan kebaikan hatinya, sang putri akhirnya berhasil menjinakkan naga itu. "Wah, putrinya hebat ya," Arya menutup buku. "Berani dan baik hati, seperti kamu." "Seperti Tante Lintang juga!" Kayla berseru. "Tante kan berani. Masa ada manajer secantik dan sepintar Tante." Arya tertawa kecil, tapi hatinya menghangat. Ia teringat bagaimana Lintang dengan berani memimpin rapat strategi tadi siang. Bagaimana matanya berbinar saat menjelaskan ide-ide revitalisasi brand. Bagaimana ia, meski gugup, tetap tampil percaya diri. "Papa," Kayla berkata lagi, kali ini dengan nada serius yang tak biasa untuk anak seusianya. "Aku suka Tante Lintang. Dia baik. Nggak kayak Tante Dian." Arya menegang. Dian, mantan istrinya. Wanita yang meninggalkan mereka dua tahun lalu demi seorang pengusaha kaya. Yang jarang menengok Kayla, dan saat menengok pun lebih sibuk dengan ponselnya. "Kayla," Arya memulai hati-hati. "Tante Dian itu--" "Aku tau," potong Kayla. "Tante Dian ibuku. Tapi dia nggak pernah ada. Nggak kayak Tante Lintang. Tante Lintang selalu ada. Buat PR, baca buku, main..." Air mata menggenang di pelupuk mata Kayla. Arya memeluknya erat, hatinya seperti diremas. Ia selalu berusaha menutupi luka perceraiannya dari Kayla. Tapi ternyata, putri kecilnya ini merasakan semuanya. Kepergian ibunya, kesepian, dan kemudian... kehadiran Lintang. "Kayla dengar ya," Arya berbisik, mengusap air mata Kayla. "Papa janji, kita akan selalu bersama. Dan Tante Lintang... dia orang baik. Kalau dia mau, dia bisa jadi bagian dari keluarga kita." "Sungguh?" Kayla mendongak, matanya berbinar penuh harap. "Sungguh," Arya mengangguk. "Tapi itu nanti. Sekarang, kita harus siap-siap. Tante Lintang mau datang kan? Buat nasi goreng." "Oh iya!" Kayla melompat turun. "Aku mau ganti baju! Pake dress pink yang Tante beliin!" Saat Kayla berlari keluar, Arya bersandar di kursi, memejamkan mata. Ia teringat malam-malam sepi setelah Dian pergi. Malam-malam yang ia habiskan memeluk Kayla yang menangis dalam tidurnya, bertanya-tanya kapan luka ini akan sembuh. Dan kini, Lintang hadir. Bukan hanya sebagai wanita cantik dan cerdas yang menarik hatinya, tapi juga sebagai seseorang yang membawa kembali senyum di wajah Kayla. Yang membuat putri kecilnya merasa berharga, merasa seperti putri sungguhan. Arya membuka mata, menatap buku "Putri dan Naga" di meja. Mungkin ini saatnya ia, seperti sang putri dalam cerita, memberanikan diri. Menjinakkan naga ketakutannya sendiri. Ketakutan akan cinta, akan komitmen, akan kemungkinan terluka lagi. Karena untuk Kayla, untuk senyumnya yang berharga, Arya rela mengambil risiko itu. Dan siapa tahu, dengan Lintang di sisinya, mungkin kali ini, mereka bisa menemukan akhir bahagia yang selama ini hanya ada dalam buku cerita. Ponselnya berdering. Pesan dari Lintang: "Rapat sukses! 😊 Siap-siap ya, nasi goreng dan telur mata sapi segera tiba! ❤️" Arya tersenyum. Ya, mungkin inilah saatnya untuk memberanikan diri. Untuk putri kecilnya, untuk dirinya sendiri, dan untuk wanita luar biasa yang kini membawa aroma nasi goreng ke dalam hidup mereka. (◕‿◕) Arya tersenyum membaca pesan Lintang. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard ponsel: "Selamat! Sudah kubilang kan, kau pasti bisa. Kami menunggu dengan perut keroncongan. 😉" Baru saja ia menekan 'kirim', terdengar suara gaduh dari arah kamar Kayla. Arya bergegas keluar, khawatir putrinya terjatuh. Namun yang ia temukan bukanlah Kayla yang menangis, melainkan kamarnya yang tampak seperti kapal pecah. "Kayla?" Arya melongok masuk. "Ada apa ini?" Kayla muncul dari balik lemari, wajahnya cemberut. Baju-baju berserakan di sekitarnya. "Papa, aku nggak bisa nemuin dress pinknya!" Arya menghela napas, setengah geli setengah cemas. Ia melangkahi tumpukan buku dan mainan, lalu berlutut di samping Kayla. "Coba Papa bantu cari. Dress yang mana? Yang ada polka dotnya?" Kayla mengangguk. "Yang Tante Lintang beliin waktu kita ke mal. Aku mau pake itu pas Tante dateng." "Oke, kita cari sama-sama ya." Mereka mulai menyisir kamar. Arya merapikan buku-buku ke rak, sementara Kayla mengumpulkan mainannya ke dalam kotak. Di tengah kegiatan itu, Arya tak bisa menahan senyum. Betapa Kayla ingin tampil istimewa untuk Lintang. Ia teringat dulu, saat Dian masih bersama mereka, Kayla jarang sekali bersikap seperti ini. "Ketemu!" seru Kayla tiba-tiba. Ia menarik dress pink berpolka dot dari tumpukan baju di sudut lemari. "Aku ganti baju dulu ya, Pa!" "Sini, Papa bantu," Arya meraih dress itu. Saat ia membantu Kayla berganti pakaian, matanya tertuju pada label harga yang masih menempel di bagian dalam dress. Harganya cukup mahal untuk ukuran baju anak-anak. "Kayla," Arya berkata pelan, "lain kali Tante Lintang mau beliin kamu sesuatu yang mahal, bilang aja nggak usah ya. Papa nggak enak." Kayla mendongak, matanya bingung. "Kenapa, Pa? Tante Lintang kan seneng beliin aku barang." "Iya, tapi..." Arya ragu. Bagaimana menjelaskan tentang gengsi dan harga diri pada anak berusia tujuh tahun? "Papa juga bisa kok beliin kamu baju bagus." "Papa udah beliin aku banyak," Kayla menjawab polos. "Tapi Tante Lintang bilang, dia juga mau. Katanya biar aku punya dua orang yang sayang sama aku. Itu bagus kan, Pa?" Arya tertegun. Ucapan polos Kayla menghantamnya dengan kekuatan yang tak terduga. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan Dian. Tapi mungkin, ada hal-hal yang tak bisa ia berikan sendiri. Kehangatan seorang ibu, misalnya. Atau kegembiraan berbelanja baju bersama. Dan Lintang, tanpa diminta, telah memberi Kayla hal-hal itu. "Iya, sayang," Arya akhirnya berkata, mengecup dahi Kayla. "Itu bagus sekali." Bel pintu berbunyi. Kayla melompat girang. "Tante Lintang dateng!" Mereka bergegas ke pintu depan. Arya membukanya, dan di sanalah Lintang berdiri. Rambutnya sedikit berantakan, blazer tersampir di lengan, dan di tangannya kantong belanjaan berisi bahan-bahan untuk nasi goreng. Namun yang paling menarik perhatian Arya adalah senyumnya. Senyum lelah tapi puas, senyum kemenangan. "Tante!" Kayla melesat ke pelukan Lintang. "Hai, Putri," Lintang tertawa, meletakkan belanjaannya untuk membalas pelukan Kayla. Lalu matanya tertuju pada dress pink yang dikenakan Kayla. "Wah, cantik sekali! Buat Tante ya?" Kayla mengangguk malu-malu. Arya, yang menyaksikan interaksi ini, merasakan sesuatu bergetar dalam dadanya. Sebuah keinginan kuat untuk melindungi momen ini, untuk memastikan senyum di wajah dua perempuan yang paling berharga dalam hidupnya ini tidak pernah pudar. "Ayo masuk," Arya mengambil alih belanjaan Lintang. "Kau pasti lelah setelah rapat tadi." Di dapur, Lintang langsung beraksi. Ia mengeluarkan bawang, cabai, nasi, dan berbagai bumbu. "Nah, Kayla mau bantu Tante?" "Mau!" Kayla berseru. Lintang memberinya tugas memotong daun bawang dengan gunting anak-anak. Sementara itu, Arya mulai mempersiapkan wajan untuk telur mata sapi. Mereka bekerja dalam harmoni yang mengejutkan. Lintang menggoreng nasi dengan cekatan, sesekali memberi instruksi pada Kayla. Arya fokus pada telurnya, berusaha membuat pinggiran kuningnya sedikit garing seperti yang Kayla suka. Di tengah kegiatan itu, Arya mencuri pandang ke arah Lintang. Wanita itu tampak berbeda di sini. Bukan lagi manajer yang tegas atau wanita karir yang ambisius. Di sini, mengenakan apron bermotif bunga milik mendiang istrinya, Lintang tampak... pulang. Seperti ia memang seharusnya berada di sini, di dapur kecil ini, bersama mereka. "Papa, telurnya gosong!" seru Kayla tiba-tiba. "Ah, sial!" Arya buru-buru mengangkat telur dari wajan. Telurnya memang sedikit hitam di pinggir. Lintang tertawa. "Nggak apa-apa, Arya. Kayla suka pinggirannya garing kan? Ini malah tambah garing." Mereka tertawa bersama. Kayla, dengan mulut penuh nasi goreng, berseru, "Enak banget! Tante Lintang jago masak!" "Tante belajar dari Nenek," Lintang menjelaskan, matanya menerawang. "Dulu setiap libur, Tante selalu ke rumah Nenek di Yogya. Di sana, Nenek ngajarin Tante masak." "Neneknya Tante masih ada?" tanya Kayla. Lintang menggeleng pelan. "Sudah nggak ada, sayang. Tapi setiap Tante masak, rasanya Nenek masih di sini. Mengawasi, memberi saran." Arya meraih tangan Lintang di bawah meja, menggenggamnya erat. Ia paham betul perasaan itu. Setiap ia menidurkan Kayla dengan dongeng, ia merasa ibunya yang dulu sering mendongeng untuknya, juga hadir. Mendengarkan, tersenyum. "Tante," Kayla berkata lagi, "kalau besok-besok Tante kangen Nenek, Tante bisa masak di sini lagi. Biar Tante nggak kesepian." Lintang tercekat. Matanya berkaca-kaca. "Makasih, Kayla. Tante... Tante akan suka sekali." Malam itu, setelah Kayla tertidur dengan perut kenyang dan mimpi indah, Arya dan Lintang duduk di teras belakang. Bintang bertaburan di atas mereka, seolah ikut merayakan kemenangan kecil mereka hari ini. "Terima kasih," Arya berkata tiba-tiba. "Untuk apa?" Lintang menoleh. "Untuk semuanya. Buku untuk Kayla, dress pink itu, nasi goreng..." Arya menarik napas dalam. "Untuk membuat Kayla tersenyum lagi." Lintang menggenggam tangan Arya. "Aku yang harus berterima kasih, Arya. Kalian... kalian memberi hidupku arti baru. Sesuatu yang lebih dari sekedar rapat dan promosi." Arya menatap Lintang. Di bawah cahaya bulan, ia tampak rapuh sekaligus kuat. Seorang wanita yang telah berjuang keras untuk sukses, tapi masih merindukan kehangatan keluarga. Dan kini, mungkin, ia telah menemukannya. Di sini, bersama seorang duda dan putri kecilnya yang istimewa. "Lintang," Arya berbisik, mendekatkan wajahnya. "Aku... bolehkah aku..." Lintang mengangguk pelan. Dan di bawah langit malam itu, di teras rumah yang dulu pernah terasa kosong, bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut. Ciuman yang terasa seperti nasi goreng, seperti tawa Kayla, seperti janji akan hari-hari cerah di depan. Karena kadang, keluarga datang dalam bentuk yang tak terduga. Dalam bentuk seorang wanita karir yang ternyata jago masak, yang membeli dress pink untuk seorang putri kecil, dan yang kini, perlahan tapi pasti, mengisi hati seorang ayah yang dulu patah. (◕‿◕)Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandang
Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car
Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m
Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, aku—""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi aku—""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lintang mengecek penampilannya sekali lagi di cermin. Dress biru tua sederhana, anting mutiara hadiah dari Arya, dan rambut yang diikat rapi. Ia ingin tampil sempurna, bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk menunjukkan keseriusannya.Arya masuk kamar, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Ia membawa Kayla yang cantik dalam balutan gaun merah muda. "Kita siap," Arya tersenyum, tapi Lintang bisa melihat kegelisahan di matanya."Kalian sempurna," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Ingat ya, Kayla. Apapun yang terjadi nanti, Papa dan Tante sayang sekali sama Kayla."Perjalanan ke restoran Italia pilihan Mama terasa panjang. Kayla sibuk bernyanyi, tidak menyadari ketegangan di kursi depan. Lintang menggenggam tangan Arya, merasakan keringatnya."Kita pasti bisa," bisiknya.Sesampainya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang mengantar ke meja reservasi. Mama, Papa, dan Kak Dimas sudah menunggu. Lintang menarik napas dalam-dalam sebel
Seminggu setelah makan malam keluarga yang mencekam, hidup berjalan seperti biasa bagi Lintang, Arya, dan Kayla. Namun, Lintang tahu ayahnya belum sepenuhnya menerima hubungan mereka. Maka dari itu, ia tidak terkejut ketika suatu sore, ayahnya mengundang mereka untuk makan malam... tanpa ibu atau kakaknya."Aku tak yakin ini ide bagus," gumam Arya di mobil, matanya awas memandang jalanan.Lintang menepuk paha Arya menenangkan. "Akan baik-baik saja. Papa hanya ingin bicara empat mata. Mungkin dia masih punya beberapa pertanyaan untukmu.""Atau lebih tepatnya, diinterogasi," Arya meringis.Di restoran, Lintang dan keluarga kecilnya disambut oleh ayahnya yang sudah menunggu dengan tampang tenang. Senyumnya sedikit dipaksakan, tapi dia menyambut mereka dengan sopan."Arya, Lintang, Kayla. Silakan duduk," ayahnya mempersilakan.Seperti minggu lalu, mereka duduk berdampingan. Kayla dengan riang menceritakan hari di sekolahnya pada sang kakek, tidak menyadari atmosfer tegang.Setelah memesan
Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge
Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka
"Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti
Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K
Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak
Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s
Kayla Masuk SMAPagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi aroma roti panggang dan kopi. Kayla, kini berusia 14 tahun, duduk di meja makan dengan seragam SMA barunya. Jemarinya tak berhenti memainkan ujung dasi, menandakan kegugupan yang ia rasakan."Kamu sudah siap, sayang?" tanya Lintang, sambil meletakkan sepiring roti isi di hadapan Kayla.Kayla mengangguk pelan, "Iya, Ma. Tapi... aku sedikit nervous."Arya, yang baru bergabung di meja makan, tersenyum menenangkan. "Wajar kok, Nak. Papa dulu juga gugup di hari pertama SMA.""Benarkah, Pa?" tanya Kayla, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Arya mengangguk, "Tentu. Tapi ingat, kamu anak yang pintar dan mudah bergaul. Pasti akan baik-baik saja."Lintang menambahkan, "Betul. Dan jangan lupa, kamu punya Bibi Sarah di sekolah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menemuinya."Kayla tersenyum. Bibi Sarah, adik Lintang, adalah guru Bahasa Inggris di SMA barunya.Selesai sarapan, mereka bersiap berangkat. Di mobil, Kayla memeluk tas barunya
Setahun berlalu sejak Arya memutuskan untuk pensiun dini dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Kini, giliran Lintang yang menghadapi babak baru dalam karirnya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras dan menunjukkan dedikasi yang luar biasa, Lintang ditawari posisi CEO di perusahaan tempatnya bekerja.Awalnya, Lintang merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut. Ia khawatir tanggung jawab sebagai CEO akan menyita waktunya bersama keluarga. Namun, Arya mendukungnya sepenuhnya, meyakinkan Lintang bahwa ia dan anak-anak akan selalu ada untuk mendukungnya."Lintang, ini adalah kesempatan yang luar biasa untukmu. Kau telah bekerja keras selama ini, dan kau pantas mendapatkan posisi ini. Kami semua mendukungmu," ucap Arya dengan penuh pengertian.Kayla, Ananda, dan Aisha juga memberikan dukungan mereka. Mereka tahu betapa berbakat dan luar biasanya ibu mereka dalam pekerjaannya.Dengan dukungan penuh dari keluarga, Lintang akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia bertekad untuk m
Keluarga kecil Arya dan Lintang semakin dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Kayla yang kini menjadi dokter muda yang berbakat, Ananda yang sedang berjuang menyelesaikan studinya di fakultas teknik, dan Aisha yang baru saja lulus SMA dengan nilai gemilang.Namun di balik semua kebahagiaan itu, Arya menyimpan sebuah keinginan yang sudah lama ia pendam. Sebuah keinginan untuk bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya.Suatu malam, setelah makan malam bersama, Arya mengumpulkan istri dan anak-anaknya di ruang keluarga. Dengan senyum penuh arti, ia pun memulai pembicaraan."Lintang, Kayla, Ananda, Aisha... Ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan pada kalian," ucap Arya dengan nada serius namun lembut.Lintang menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya, sementara anak-anak mereka saling berpandangan dengan penasaran."Ada apa, Pa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Kayla, sedikit khawatir.Arya tersenyum menenangkan, menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu d