Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang mengajak mereka jalan-jalan ke mal. Awalnya, Arya ragu. Tapi Kayla bersikeras, "Ayolah Pa, Tante Lintang kan udah janji mau beliin aku buku!" Di toko buku, Lintang dengan sabar menemani Kayla memilih buku. Saat Kayla kebingungan antara dua buku, Lintang berlutut di sampingnya. "Kenapa nggak dua-duanya aja? Tante yang bayar." "Tapi kan mahal," Kayla ragu. "Nggak apa-apa," Lintang mengusap rambut Kayla lembut. "Kamu putri kecilnya Tante. Putri harus punya banyak buku, biar pintar." Arya yang melihat dari kejauhan, merasakan sesuatu bergetar dalam dadanya. Lintang, dengan gaun musim panasnya yang cerah dan senyum yang lebih cerah lagi, tampak begitu serasi berdampingan dengan Kayla. Seolah mereka memang ditakdirkan bersama. "Papa?" Kayla menarik ujung kemeja Arya, mengembalikannya ke masa kini. "Kok melamun?" "Ah, maaf sayang," Arya berdehem. "Ayo, kita baca." Mereka mulai membaca. Ceritanya tentang seorang putri yang tidak seperti putri-putri lainnya. Ia suka berpetualang dan ingin berteman dengan naga yang ditakuti semua orang. Dengan keberanian dan kebaikan hatinya, sang putri akhirnya berhasil menjinakkan naga itu. "Wah, putrinya hebat ya," Arya menutup buku. "Berani dan baik hati, seperti kamu." "Seperti Tante Lintang juga!" Kayla berseru. "Tante kan berani. Masa ada manajer secantik dan sepintar Tante." Arya tertawa kecil, tapi hatinya menghangat. Ia teringat bagaimana Lintang dengan berani memimpin rapat strategi tadi siang. Bagaimana matanya berbinar saat menjelaskan ide-ide revitalisasi brand. Bagaimana ia, meski gugup, tetap tampil percaya diri. "Papa," Kayla berkata lagi, kali ini dengan nada serius yang tak biasa untuk anak seusianya. "Aku suka Tante Lintang. Dia baik. Nggak kayak Tante Dian." Arya menegang. Dian, mantan istrinya. Wanita yang meninggalkan mereka dua tahun lalu demi seorang pengusaha kaya. Yang jarang menengok Kayla, dan saat menengok pun lebih sibuk dengan ponselnya. "Kayla," Arya memulai hati-hati. "Tante Dian itu--" "Aku tau," potong Kayla. "Tante Dian ibuku. Tapi dia nggak pernah ada. Nggak kayak Tante Lintang. Tante Lintang selalu ada. Buat PR, baca buku, main..." Air mata menggenang di pelupuk mata Kayla. Arya memeluknya erat, hatinya seperti diremas. Ia selalu berusaha menutupi luka perceraiannya dari Kayla. Tapi ternyata, putri kecilnya ini merasakan semuanya. Kepergian ibunya, kesepian, dan kemudian... kehadiran Lintang. "Kayla dengar ya," Arya berbisik, mengusap air mata Kayla. "Papa janji, kita akan selalu bersama. Dan Tante Lintang... dia orang baik. Kalau dia mau, dia bisa jadi bagian dari keluarga kita." "Sungguh?" Kayla mendongak, matanya berbinar penuh harap. "Sungguh," Arya mengangguk. "Tapi itu nanti. Sekarang, kita harus siap-siap. Tante Lintang mau datang kan? Buat nasi goreng." "Oh iya!" Kayla melompat turun. "Aku mau ganti baju! Pake dress pink yang Tante beliin!" Saat Kayla berlari keluar, Arya bersandar di kursi, memejamkan mata. Ia teringat malam-malam sepi setelah Dian pergi. Malam-malam yang ia habiskan memeluk Kayla yang menangis dalam tidurnya, bertanya-tanya kapan luka ini akan sembuh. Dan kini, Lintang hadir. Bukan hanya sebagai wanita cantik dan cerdas yang menarik hatinya, tapi juga sebagai seseorang yang membawa kembali senyum di wajah Kayla. Yang membuat putri kecilnya merasa berharga, merasa seperti putri sungguhan. Arya membuka mata, menatap buku "Putri dan Naga" di meja. Mungkin ini saatnya ia, seperti sang putri dalam cerita, memberanikan diri. Menjinakkan naga ketakutannya sendiri. Ketakutan akan cinta, akan komitmen, akan kemungkinan terluka lagi. Karena untuk Kayla, untuk senyumnya yang berharga, Arya rela mengambil risiko itu. Dan siapa tahu, dengan Lintang di sisinya, mungkin kali ini, mereka bisa menemukan akhir bahagia yang selama ini hanya ada dalam buku cerita. Ponselnya berdering. Pesan dari Lintang: "Rapat sukses! ๐ Siap-siap ya, nasi goreng dan telur mata sapi segera tiba! โค๏ธ" Arya tersenyum. Ya, mungkin inilah saatnya untuk memberanikan diri. Untuk putri kecilnya, untuk dirinya sendiri, dan untuk wanita luar biasa yang kini membawa aroma nasi goreng ke dalam hidup mereka. (โโฟโ) Arya tersenyum membaca pesan Lintang. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard ponsel: "Selamat! Sudah kubilang kan, kau pasti bisa. Kami menunggu dengan perut keroncongan. ๐" Baru saja ia menekan 'kirim', terdengar suara gaduh dari arah kamar Kayla. Arya bergegas keluar, khawatir putrinya terjatuh. Namun yang ia temukan bukanlah Kayla yang menangis, melainkan kamarnya yang tampak seperti kapal pecah. "Kayla?" Arya melongok masuk. "Ada apa ini?" Kayla muncul dari balik lemari, wajahnya cemberut. Baju-baju berserakan di sekitarnya. "Papa, aku nggak bisa nemuin dress pinknya!" Arya menghela napas, setengah geli setengah cemas. Ia melangkahi tumpukan buku dan mainan, lalu berlutut di samping Kayla. "Coba Papa bantu cari. Dress yang mana? Yang ada polka dotnya?" Kayla mengangguk. "Yang Tante Lintang beliin waktu kita ke mal. Aku mau pake itu pas Tante dateng." "Oke, kita cari sama-sama ya." Mereka mulai menyisir kamar. Arya merapikan buku-buku ke rak, sementara Kayla mengumpulkan mainannya ke dalam kotak. Di tengah kegiatan itu, Arya tak bisa menahan senyum. Betapa Kayla ingin tampil istimewa untuk Lintang. Ia teringat dulu, saat Dian masih bersama mereka, Kayla jarang sekali bersikap seperti ini. "Ketemu!" seru Kayla tiba-tiba. Ia menarik dress pink berpolka dot dari tumpukan baju di sudut lemari. "Aku ganti baju dulu ya, Pa!" "Sini, Papa bantu," Arya meraih dress itu. Saat ia membantu Kayla berganti pakaian, matanya tertuju pada label harga yang masih menempel di bagian dalam dress. Harganya cukup mahal untuk ukuran baju anak-anak. "Kayla," Arya berkata pelan, "lain kali Tante Lintang mau beliin kamu sesuatu yang mahal, bilang aja nggak usah ya. Papa nggak enak." Kayla mendongak, matanya bingung. "Kenapa, Pa? Tante Lintang kan seneng beliin aku barang." "Iya, tapi..." Arya ragu. Bagaimana menjelaskan tentang gengsi dan harga diri pada anak berusia tujuh tahun? "Papa juga bisa kok beliin kamu baju bagus." "Papa udah beliin aku banyak," Kayla menjawab polos. "Tapi Tante Lintang bilang, dia juga mau. Katanya biar aku punya dua orang yang sayang sama aku. Itu bagus kan, Pa?" Arya tertegun. Ucapan polos Kayla menghantamnya dengan kekuatan yang tak terduga. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan Dian. Tapi mungkin, ada hal-hal yang tak bisa ia berikan sendiri. Kehangatan seorang ibu, misalnya. Atau kegembiraan berbelanja baju bersama. Dan Lintang, tanpa diminta, telah memberi Kayla hal-hal itu. "Iya, sayang," Arya akhirnya berkata, mengecup dahi Kayla. "Itu bagus sekali." Bel pintu berbunyi. Kayla melompat girang. "Tante Lintang dateng!" Mereka bergegas ke pintu depan. Arya membukanya, dan di sanalah Lintang berdiri. Rambutnya sedikit berantakan, blazer tersampir di lengan, dan di tangannya kantong belanjaan berisi bahan-bahan untuk nasi goreng. Namun yang paling menarik perhatian Arya adalah senyumnya. Senyum lelah tapi puas, senyum kemenangan. "Tante!" Kayla melesat ke pelukan Lintang. "Hai, Putri," Lintang tertawa, meletakkan belanjaannya untuk membalas pelukan Kayla. Lalu matanya tertuju pada dress pink yang dikenakan Kayla. "Wah, cantik sekali! Buat Tante ya?" Kayla mengangguk malu-malu. Arya, yang menyaksikan interaksi ini, merasakan sesuatu bergetar dalam dadanya. Sebuah keinginan kuat untuk melindungi momen ini, untuk memastikan senyum di wajah dua perempuan yang paling berharga dalam hidupnya ini tidak pernah pudar. "Ayo masuk," Arya mengambil alih belanjaan Lintang. "Kau pasti lelah setelah rapat tadi." Di dapur, Lintang langsung beraksi. Ia mengeluarkan bawang, cabai, nasi, dan berbagai bumbu. "Nah, Kayla mau bantu Tante?" "Mau!" Kayla berseru. Lintang memberinya tugas memotong daun bawang dengan gunting anak-anak. Sementara itu, Arya mulai mempersiapkan wajan untuk telur mata sapi. Mereka bekerja dalam harmoni yang mengejutkan. Lintang menggoreng nasi dengan cekatan, sesekali memberi instruksi pada Kayla. Arya fokus pada telurnya, berusaha membuat pinggiran kuningnya sedikit garing seperti yang Kayla suka. Di tengah kegiatan itu, Arya mencuri pandang ke arah Lintang. Wanita itu tampak berbeda di sini. Bukan lagi manajer yang tegas atau wanita karir yang ambisius. Di sini, mengenakan apron bermotif bunga milik mendiang istrinya, Lintang tampak... pulang. Seperti ia memang seharusnya berada di sini, di dapur kecil ini, bersama mereka. "Papa, telurnya gosong!" seru Kayla tiba-tiba. "Ah, sial!" Arya buru-buru mengangkat telur dari wajan. Telurnya memang sedikit hitam di pinggir. Lintang tertawa. "Nggak apa-apa, Arya. Kayla suka pinggirannya garing kan? Ini malah tambah garing." Mereka tertawa bersama. Kayla, dengan mulut penuh nasi goreng, berseru, "Enak banget! Tante Lintang jago masak!" "Tante belajar dari Nenek," Lintang menjelaskan, matanya menerawang. "Dulu setiap libur, Tante selalu ke rumah Nenek di Yogya. Di sana, Nenek ngajarin Tante masak." "Neneknya Tante masih ada?" tanya Kayla. Lintang menggeleng pelan. "Sudah nggak ada, sayang. Tapi setiap Tante masak, rasanya Nenek masih di sini. Mengawasi, memberi saran." Arya meraih tangan Lintang di bawah meja, menggenggamnya erat. Ia paham betul perasaan itu. Setiap ia menidurkan Kayla dengan dongeng, ia merasa ibunya yang dulu sering mendongeng untuknya, juga hadir. Mendengarkan, tersenyum. "Tante," Kayla berkata lagi, "kalau besok-besok Tante kangen Nenek, Tante bisa masak di sini lagi. Biar Tante nggak kesepian." Lintang tercekat. Matanya berkaca-kaca. "Makasih, Kayla. Tante... Tante akan suka sekali." Malam itu, setelah Kayla tertidur dengan perut kenyang dan mimpi indah, Arya dan Lintang duduk di teras belakang. Bintang bertaburan di atas mereka, seolah ikut merayakan kemenangan kecil mereka hari ini. "Terima kasih," Arya berkata tiba-tiba. "Untuk apa?" Lintang menoleh. "Untuk semuanya. Buku untuk Kayla, dress pink itu, nasi goreng..." Arya menarik napas dalam. "Untuk membuat Kayla tersenyum lagi." Lintang menggenggam tangan Arya. "Aku yang harus berterima kasih, Arya. Kalian... kalian memberi hidupku arti baru. Sesuatu yang lebih dari sekedar rapat dan promosi." Arya menatap Lintang. Di bawah cahaya bulan, ia tampak rapuh sekaligus kuat. Seorang wanita yang telah berjuang keras untuk sukses, tapi masih merindukan kehangatan keluarga. Dan kini, mungkin, ia telah menemukannya. Di sini, bersama seorang duda dan putri kecilnya yang istimewa. "Lintang," Arya berbisik, mendekatkan wajahnya. "Aku... bolehkah aku..." Lintang mengangguk pelan. Dan di bawah langit malam itu, di teras rumah yang dulu pernah terasa kosong, bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut. Ciuman yang terasa seperti nasi goreng, seperti tawa Kayla, seperti janji akan hari-hari cerah di depan. Karena kadang, keluarga datang dalam bentuk yang tak terduga. Dalam bentuk seorang wanita karir yang ternyata jago masak, yang membeli dress pink untuk seorang putri kecil, dan yang kini, perlahan tapi pasti, mengisi hati seorang ayah yang dulu patah. (โโฟโ)Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? ๐" Lintang memandang
Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car
Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m
Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, akuโ""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi akuโ""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lintang mengecek penampilannya sekali lagi di cermin. Dress biru tua sederhana, anting mutiara hadiah dari Arya, dan rambut yang diikat rapi. Ia ingin tampil sempurna, bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk menunjukkan keseriusannya.Arya masuk kamar, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Ia membawa Kayla yang cantik dalam balutan gaun merah muda. "Kita siap," Arya tersenyum, tapi Lintang bisa melihat kegelisahan di matanya."Kalian sempurna," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Ingat ya, Kayla. Apapun yang terjadi nanti, Papa dan Tante sayang sekali sama Kayla."Perjalanan ke restoran Italia pilihan Mama terasa panjang. Kayla sibuk bernyanyi, tidak menyadari ketegangan di kursi depan. Lintang menggenggam tangan Arya, merasakan keringatnya."Kita pasti bisa," bisiknya.Sesampainya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang mengantar ke meja reservasi. Mama, Papa, dan Kak Dimas sudah menunggu. Lintang menarik napas dalam-dalam sebel
Seminggu setelah makan malam keluarga yang mencekam, hidup berjalan seperti biasa bagi Lintang, Arya, dan Kayla. Namun, Lintang tahu ayahnya belum sepenuhnya menerima hubungan mereka. Maka dari itu, ia tidak terkejut ketika suatu sore, ayahnya mengundang mereka untuk makan malam... tanpa ibu atau kakaknya."Aku tak yakin ini ide bagus," gumam Arya di mobil, matanya awas memandang jalanan.Lintang menepuk paha Arya menenangkan. "Akan baik-baik saja. Papa hanya ingin bicara empat mata. Mungkin dia masih punya beberapa pertanyaan untukmu.""Atau lebih tepatnya, diinterogasi," Arya meringis.Di restoran, Lintang dan keluarga kecilnya disambut oleh ayahnya yang sudah menunggu dengan tampang tenang. Senyumnya sedikit dipaksakan, tapi dia menyambut mereka dengan sopan."Arya, Lintang, Kayla. Silakan duduk," ayahnya mempersilakan.Seperti minggu lalu, mereka duduk berdampingan. Kayla dengan riang menceritakan hari di sekolahnya pada sang kakek, tidak menyadari atmosfer tegang.Setelah memesan