Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?" Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya. "Iya, turun sekarang." Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut. "Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?" "Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta." Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya pada pasta saat mereka memasak di rumah Arya. Entah mengapa, fakta kecil ini membuat dadanya menghangat. Di restoran, setelah memesan (fettuccine carbonara untuk Lintang, lasagna untuk Arya), keheningan canggung menyelimuti mereka. Lintang memainkan gelas airnya, sementara Arya tampak asyik mengamati lukisan di dinding. "Jadi," Arya akhirnya memecah keheningan, "bagaimana proyekmu? Yang revitalisasi brand itu?" "Oh, lancar," Lintang menjawab, agak terlalu cepat. "Tim marketing sudah mulai implementasi. Respon awal positif." "Bagus," Arya mengangguk. Hening lagi. Lintang merujuk dalam hati. Mengapa semuanya jadi begini? Kemarin mereka masih bisa ngobrol santai, bercanda, bahkan hampir berciuman. Sekarang? Rasanya seperti dua orang asing yang dipaksa duduk semeja. Makanan datang, memberi mereka alasan untuk tidak bicara. Lintang memutar-mutar fettuccine di garpunya, pikirannya melayang ke malam di teras itu. Kehangatan tangan Arya di pinggangnya. Napas mereka yang beradu. Bibir mereka yang nyaris... "Lin?" suara Arya menyentaknya kembali ke realita. "Kau nggak suka pastanya?" "Eh? Oh, enak kok," Lintang buru-buru menyuap. "Cuma... lagi mikir sesuatu." Arya meletakkan garpunya. Matanya menatap Lintang lurus-lurus. "Tentang malam itu?" Lintang tersedak. Ia terbatuk-batuk, buru-buru minum air. Arya menunggu dengan sabar, tapi tatapannya intensif. Menuntut kejujuran. "Iya," akhirnya Lintang mengaku. "Aku... aku bingung, Arya." "Karena kita hampir berciuman?" Lintang mengangguk, wajahnya memanas. "Bukan cuma itu. Tapi... semuanya. Kau, aku, Kayla. Ini bukan sekedar hubungan biasa kan?" Arya menghela napas panjang. "Memang bukan. Lin, aku nggak mau bohong. Aku... aku suka padamu. Lebih dari teman." Jantung Lintang seolah berhenti. Ia tahu, tentu saja ia tahu. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Arya... "Tapi," Arya melanjutkan, "aku nggak mau memaksamu. Aku tahu ini rumit. Aku duda, punya anak. Kau masih muda, punya karir cemerlang. Aku nggak mau jadi beban." "Kau bukan beban," Lintang menyela cepat. "Arya, kau... kau orang baik. Dan Kayla, dia anak yang luar biasa. Aku sayang kalian berdua." "Tapi?" Arya menebak, matanya sendu. Lintang menelan ludah. "Tapi aku takut. Orang tuaku... perceraian mereka hancurkan aku, Arya. Dan aku nggak mau Kayla mengalami hal yang sama." Arya mengulurkan tangan, menggenggam jemari Lintang di atas meja. Hangat. Menenangkan. "Lin, aku nggak bisa janji kita nggak akan punya masalah. Tapi aku bisa janji satu hal: aku nggak akan pernah menyakiti Kayla. Atau kamu. Kita hadapi apapun bersama." Air mata menggenang di pelupuk mata Lintang. Ia teringat kata-kata ibunya. Tentang memilih untuk mencintai meski ada risiko terluka. Tentang keberanian. "Aku juga suka padamu, Arya," Lintang berbisik. "Tapi... bisa kita pelan-pelan? Aku nggak mau buru-buru. Demi Kayla." Arya mengangguk, senyumnya lembut. "Tentu. Kita ambil waktu. Yang penting kita jujur satu sama lain. Kalau ada yang mengganggu, langsung bilang ya." Lintang mengangguk, hatinya lebih ringan. Mungkin ini masih terasa canggung, mungkin masih ada ketakutan. Tapi setidaknya, mereka sudah bicara. Mereka jujur. Sisa makan siang itu berlalu dengan lebih santai. Arya bercerita tentang proyek arsitekturnya, tentang rumah hijau yang jadi impiannya sejak kuliah. Lintang mendengarkan dengan tertarik, sesekali memberi saran. Saat mereka berpisah di lobi, Arya menahan tangan Lintang sebentar. "Hei," katanya lembut, "terima kasih sudah berani bicara tadi." Lintang tersenyum. "Terima kasih juga sudah mengerti." "Nanti malam aku jemput ya. Kita makan nasi goreng di rumah. Kayla sudah nggak sabar." "Oke," Lintang mengangguk. "Sampai nanti." Di lift menuju kantornya, Lintang merenung. Makan siang tadi memang canggung. Tapi juga jujur. Dan kadang, kejujuran memang tidak nyaman. Tapi dari ketidaknyamanan itu, mereka menemukan pemahaman. Menemukan harapan. Lintang tersenyum. Mungkin ini memang bukan jalan yang mudah. Tapi kalau itu artinya ia bisa terus melihat senyum Kayla dan mendengar tawa Arya, maka ini adalah jalan yang ia pilih untuk ditempuh. Pelan-pelan, dengan hati yang semakin terbuka. (◕‿◕) Lift berdenting, pintu terbuka di lantai kantor Lintang. Ia melangkah keluar, pikirannya masih tertinggal di restoran Italia itu. Pada pengakuan Arya. Pada ketakutannya sendiri yang akhirnya terucap. "Lintang!" suara Rina, salah satu anggota tim marketingnya, menyentak Lintang kembali ke realita. "Gimana makan siangnya? Eh, kok muka kamu merah?" Lintang menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Cuma... kepanasan." Ia berjalan cepat ke ruangannya, mengabaikan tatapan penasaran Rina. Di dalam, Lintang menghempaskan diri ke kursi. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih belum normal. Matanya tertuju pada pigura di meja. Foto ibunya. Wanita itu tersenyum lembut, seolah mengerti pergolakan batin putrinya. "Ibu," Lintang berbisik, "aku sudah coba. Aku jujur sama Arya. Tapi... kok rasanya malah tambah takut ya?" Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Udah sampai kantor? Hati-hati ya. Dan Lin, makasih udah berani tadi. Aku tahu itu nggak mudah." Lintang tersentak. Bagaimana Arya bisa tahu? Bagaimana ia selalu tahu apa yang Lintang rasakan, bahkan saat Lintang sendiri bingung? "Udah. Makasih juga udah ngerti," Lintang membalas. Jarinya berhenti sejenak di atas keyboard. Lalu, dengan jantung berdebar, ia menambahkan, "Aku nggak nyesel. Jujur sama kamu. Meski takut." Balasan Arya datang cepat: "Aku juga. Kita sama-sama takut, Lin. Tapi kita hadapi bareng. Step by step. Oke?" Air mata Lintang nyaris jatuh. "Oke," balasnya singkat. Tapi di balik kata pendek itu, ada janji. Janji untuk mencoba. Untuk tetap jujur, meski takut. Ketukan di pintu. "Lintang?" Itu Dewi. "Rapat 5 menit lagi. Kamu udah siap?" Lintang menarik napas dalam. Rapat. Karirnya. Dulu, hanya ini yang ia punya. Hanya ini yang ia yakini tidak akan mengkhianatinya. Tapi sekarang... "Iya, aku siap," Lintang menjawab, bangkit dari kursi. Ia meraih tas laptopnya, tapi kemudian berhenti. Tangannya meraih pigura foto ibunya, mengusapnya lembut. "Doain aku ya, Bu," bisiknya. "Buat rapat ini, dan... buat yang lainnya juga." Di ruang rapat, Lintang berdiri di depan para eksekutif. Ia mulai presentasi tentang revitalisasi brand. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Biasanya, ia bicara dengan dingin dan fakultatif. Kali ini, ada semangat baru dalam suaranya. "Brand kita bukan cuma tentang produk," Lintang menjelaskan, matanya berbinar. "Tapi tentang cerita. Cerita tentang keluarga. Tentang momen-momen sederhana yang jadi berharga." Para eksekutif tampak tertarik. CEO bahkan mencondongkan badan, alisnya terangkat. "Bayangkan iklan kita," Lintang melanjutkan, "seorang ayah dan putri kecilnya, membuat kue bersama dengan produk kita. Atau mungkin, seorang ibu muda yang baru pulang kerja, disambut pelukan hangat keluarganya. Kita jual bukan hanya kualitas, tapi juga kehangatan." Hening sejenak. Lalu CEO bertepuk tangan. Yang lain mengikuti. "Brilian, Lintang," pujinya. "Pendekatan yang segar. Sangat... personal. Apa yang menginspirasi mu?" Lintang terdiam sejenak. Bayangan Arya dan Kayla di dapur, belepotan tepung saat membuat kue ulang tahun Kayla minggu lalu, melintas di benaknya. Atau malam-malam saat ia pulang kerja, disambut tawa riang Kayla dan senyum hangat Arya. "Pengalaman pribadi, Pak," Lintang akhirnya menjawab, senyum tulus di bibirnya. "Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal yang tidak kita duga." Rapat berakhir dengan sukses besar. Rekan-rekannya menghampiri, memberi selamat. Tapi Lintang sudah tidak sabar. Ia buru-buru kembali ke ruangannya, meraih ponsel. "Rapat sukses!" ia mengetik pesan untuk Arya. "Ide kita diterima. Nasi goreng malam ini jadi kan?" Balasan datang nyaris seketika: "Tentu! Kayla udah siap-siap dari tadi. Katanya mau pake dress pemberian Tante. 😊" Lintang tertegun. Dress itu, hadiah ulang tahun Kayla. Ia ingat bagaimana ia kebingungan memilih hadiah. Tapi saat melihat dress merah muda dengan pita putih itu, entah kenapa ia yakin Kayla akan menyukainya. "Bilang Kayla, Tante juga mau dandan. Kita princesses malam ini!" balas Lintang, tersenyum lebar. Sore itu, Lintang pulang dengan hati ringan. Rapat sukses, tapi bukan itu yang membuatnya bahagia. Melainkan janji makan malam dengan dua orang yang, tanpa ia sadari, telah mengisi ruang kosong dalam hatinya. Di apartemen, Lintang mandi cepat lalu membuka lemari. Tangannya menyusuri deretan baju, berhenti pada gaun musim panas berwarna hijau mint. Gaun yang ia beli tahun lalu tapi tak pernah ia pakai. Terlalu manis, pikirnya dulu, untuk seorang wanita karir. Tapi malam ini, Lintang memakainya. Ia bahkan menambahkan sedikit lip glossy dan eye shadow. Bukan untuk terlihat cantik di mata Arya, tapi karena malam ini, untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa cantik. Merasa seperti dirinya yang utuh. Perjalanan ke rumah Arya terasa berbeda. Bukan lagi perjalanan canggung seperti tadi siang. Kali ini, ada antisipasi. Ada harapan. Begitu sampai dan menekan bel, pintu terbuka dengan cepat. "Tante!" Kayla menyerbu Lintang, memeluknya erat. Ia mengenakan dress merah muda pemberian Lintang, rambutnya dihiasi pita putih. "Hai, Putri," Lintang tertawa, mengangkat Kayla. "Wah, cantik sekali malam ini!" "Tante juga cantik!" Kayla berseru. "Papa, liat deh! Tante Lintang cantik kan?" Arya muncul dari dapur, masih mengenakan apron. Matanya melebar melihat Lintang. "Iya, cantik sekali," bisiknya, tapi cukup keras untuk Lintang dengar. Lintang merasa wajahnya memanas. Tapi kali ini, ia tidak memalingkan muka. Ia balas menatap Arya, tersenyum malu. "Ayo masuk!" Kayla menarik tangan Lintang. "Papa udah siap-siap buat goreng telur. Aku bantuin Tante bikin nasi goreng ya?" Di dapur, Lintang menemukan bahan-bahan sudah siap. Arya bahkan sudah mengeluarkan buku resep ibunya dari rak atas. "Kamu... ingat ini?" "Tentu," Arya tersenyum lembut. "Kamu bilang ini resep spesial ibumu." Lintang tercekat. Ia ingat menceritakan tentang buku ini saat mereka makan siang berdua minggu lalu. Saat itu, ia tak menyangka Arya akan mendengarkan dengan begitu seksama. Mereka mulai memasak. Kayla membantu memotong daun bawang dengan gunting khusus anak, sementara Arya dan Lintang bergantian mengaduk nasi di wajan. Sesekali tangan mereka bersentuhan, dan bukannya menjauh canggung seperti dulu, kini mereka saling melempar senyum. "Nah," Arya mengangkat wajan, "saatnya telur mata sapi ala Chef Arya!" Lintang dan Kayla bertepuk tangan saat Arya dengan lihai memecahkan telur. Memang benar, pinggiran kuningnya sedikit garing, persis seperti yang Kayla suka. Makan malam itu berlangsung hangat. Mereka duduk di meja makan kecil, Kayla di antara Arya dan Lintang. Nasi goreng tersaji di piring-piring bermotif bunga, telur mata sapi di atasnya seperti matahari kecil. "Enak!" Kayla berseru setelah suapan pertama. "Tante, ini lebih enak dari restoran!" Lintang tertawa, tapi matanya berkaca-kaca. Ia teringat ibunya lagi. "Ini resep Nenek, sayang. Nenek bilang, rahasia nasi goreng enak itu bukan di bumbunya. Tapi di cintanya." Arya mengulurkan tangan di bawah meja, menggenggam tangan Lintang. Lintang balas menggenggam, erat. Malam semakin larut. Kayla sudah terlelap di sofa setelah Lintang membacakan "Putri dan Naga" untuknya. Arya menggendong Kayla ke kamarnya, sementara Lintang membereskan piring-piring kotor. Ketika Arya kembali, ia menemukan Lintang berdiri di depan jendela dapur, memandang keluar. Bulan purnama menggantung di langit, menyinari halaman belakang yang kecil namun terawat. "Lin," Arya mendekat, berdiri di samping Lintang. "Terima kasih. Untuk semuanya." Lintang menoleh. "Aku yang harusnya berterima kasih. Kalian... kalian memberiku sesuatu yang sudah lama hilang." "Apa?" tanya Arya lembut. "Rumah," Lintang berbisik. "Bukan rumah dalam arti bangunan. Tapi... perasaan di rumah. Aman. Diterima." Arya menggenggam tangan Lintang, membawanya ke dadanya. "Kau akan selalu punya rumah di sini, Lin. Kau dan segala keraguanmu, ketakutanmu. Kita hadapi bersama." Lintang menatap Arya, melihat kejujuran di matanya. Ia teringat makan siang canggung tadi. Betapa takutnya ia saat itu. Tapi sekarang, dengan aroma nasi goreng masih mengambang di udara dan suara dengkuran halus Kayla dari kamar sebelah, rasa takut itu perlahan memudar. Digantikan oleh sesuatu yang lebih kuat. Sesuatu yang dimulai dengan pesanan kopi yang tertukar, berlanjut dengan makan siang yang canggung, dan kini berkembang menjadi malam yang penuh kehangatan. Cinta. Cinta yang datang perlahan, dalam bentuk yang tak terduga. Dalam bentuk seorang duda dan putri kecilnya yang istimewa. Malam itu, saat Lintang pamit pulang, Arya mencium keningnya lembut. Bukan di bibir, belum waktunya. Tapi ciuman itu membawa janji. Janji akan hari-hari cerah di depan. Hari-hari yang mungkin masih akan ada keraguan dan ketakutan, tapi juga akan ada tawa Kayla, aroma nasi goreng, dan kehangatan tangan yang saling menggenggam. Karena kadang, kisah cinta terbaik dimulai dari makan siang yang canggung. Dan berakhir dengan kepastian bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama. Selangkah demi selangkah. (◕‿◕)Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car
Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m
Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, aku—""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi aku—""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lintang mengecek penampilannya sekali lagi di cermin. Dress biru tua sederhana, anting mutiara hadiah dari Arya, dan rambut yang diikat rapi. Ia ingin tampil sempurna, bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk menunjukkan keseriusannya.Arya masuk kamar, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Ia membawa Kayla yang cantik dalam balutan gaun merah muda. "Kita siap," Arya tersenyum, tapi Lintang bisa melihat kegelisahan di matanya."Kalian sempurna," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Ingat ya, Kayla. Apapun yang terjadi nanti, Papa dan Tante sayang sekali sama Kayla."Perjalanan ke restoran Italia pilihan Mama terasa panjang. Kayla sibuk bernyanyi, tidak menyadari ketegangan di kursi depan. Lintang menggenggam tangan Arya, merasakan keringatnya."Kita pasti bisa," bisiknya.Sesampainya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang mengantar ke meja reservasi. Mama, Papa, dan Kak Dimas sudah menunggu. Lintang menarik napas dalam-dalam sebel
Seminggu setelah makan malam keluarga yang mencekam, hidup berjalan seperti biasa bagi Lintang, Arya, dan Kayla. Namun, Lintang tahu ayahnya belum sepenuhnya menerima hubungan mereka. Maka dari itu, ia tidak terkejut ketika suatu sore, ayahnya mengundang mereka untuk makan malam... tanpa ibu atau kakaknya."Aku tak yakin ini ide bagus," gumam Arya di mobil, matanya awas memandang jalanan.Lintang menepuk paha Arya menenangkan. "Akan baik-baik saja. Papa hanya ingin bicara empat mata. Mungkin dia masih punya beberapa pertanyaan untukmu.""Atau lebih tepatnya, diinterogasi," Arya meringis.Di restoran, Lintang dan keluarga kecilnya disambut oleh ayahnya yang sudah menunggu dengan tampang tenang. Senyumnya sedikit dipaksakan, tapi dia menyambut mereka dengan sopan."Arya, Lintang, Kayla. Silakan duduk," ayahnya mempersilakan.Seperti minggu lalu, mereka duduk berdampingan. Kayla dengan riang menceritakan hari di sekolahnya pada sang kakek, tidak menyadari atmosfer tegang.Setelah memesan
Setelah makan malam yang emosional di rumah orang tua Lintang, hubungan mereka dengan keluarga Lintang perlahan membaik. Khususnya sikap Papa yang semula keras dan sangat menentang, kini mulai melunak. Pria separuh baya itu melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa Arya layak menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab.Namun, cobaan masih terus datang dari sudut yang tak terduga. Suatu hari, saat mereka tengah bersantai di kafe langganan, Lintang dan Arya dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita cantik berpenampilan mewah yang tiba-tiba berdiri di hadapan meja mereka."Halo, Arya. Sudah lama tidak bertemu," wanita itu menyapa dengan senyum sinis.Arya membeku untuk sesaat, lalu bangkit dari kursinya dengan gerak protektif di depan Lintang dan Kayla. "Dian? Sedang apa kau di sini?"Dian, yang tak lain adalah mantan istri Arya, tertawa mengejek. "Tentu saja untuk melihat kekasih barumu ini. Dan Oh... apalagi ini? Kau membawa anak kita juga? Sungguh tidak tahu malu."Lintang meras
Hari Minggu pagi yang cerah, Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Aroma sedap masakan dari dapur membuat perutnya keroncongan. Rupanya Arya sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga.Lintang bangkit dari ranjang dan mengintip ke kamar Kayla. Gadis kecil itu masih terlelap, memeluk erat boneka panda pemberian Lintang. Senyum Lintang mengembang melihat pemandangan menggemaskan itu."Pagi, Sayang," sapa Arya dari dapur ketika Lintang melangkah ke ruang keluarga. "Sarapan akan siap sebentar lagi.""Pagi juga," Lintang menyambar secangkir kopi dan mencium aroma maskulin Arya yang selalu membuatnya tenang. "Biar aku bangunkan Kayla dulu."Lintang kembali ke kamar Kayla dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Dengan lembut ia membelai rambut Kayla yang terurai."Kayla...saatnya bangun, Sayang. Ayo kita sarapan dulu."Perlahan, Kayla menggeliat dan membuka matanya. Senyum lebarnya menghiasi wajah polos saat melihat Lintang."Tante Lin!" Kayla melonjak untuk memeluk Lintang erat.
Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge
Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka
"Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti
Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K
Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak
Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s
Kayla Masuk SMAPagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi aroma roti panggang dan kopi. Kayla, kini berusia 14 tahun, duduk di meja makan dengan seragam SMA barunya. Jemarinya tak berhenti memainkan ujung dasi, menandakan kegugupan yang ia rasakan."Kamu sudah siap, sayang?" tanya Lintang, sambil meletakkan sepiring roti isi di hadapan Kayla.Kayla mengangguk pelan, "Iya, Ma. Tapi... aku sedikit nervous."Arya, yang baru bergabung di meja makan, tersenyum menenangkan. "Wajar kok, Nak. Papa dulu juga gugup di hari pertama SMA.""Benarkah, Pa?" tanya Kayla, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Arya mengangguk, "Tentu. Tapi ingat, kamu anak yang pintar dan mudah bergaul. Pasti akan baik-baik saja."Lintang menambahkan, "Betul. Dan jangan lupa, kamu punya Bibi Sarah di sekolah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menemuinya."Kayla tersenyum. Bibi Sarah, adik Lintang, adalah guru Bahasa Inggris di SMA barunya.Selesai sarapan, mereka bersiap berangkat. Di mobil, Kayla memeluk tas barunya
Setahun berlalu sejak Arya memutuskan untuk pensiun dini dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Kini, giliran Lintang yang menghadapi babak baru dalam karirnya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras dan menunjukkan dedikasi yang luar biasa, Lintang ditawari posisi CEO di perusahaan tempatnya bekerja.Awalnya, Lintang merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut. Ia khawatir tanggung jawab sebagai CEO akan menyita waktunya bersama keluarga. Namun, Arya mendukungnya sepenuhnya, meyakinkan Lintang bahwa ia dan anak-anak akan selalu ada untuk mendukungnya."Lintang, ini adalah kesempatan yang luar biasa untukmu. Kau telah bekerja keras selama ini, dan kau pantas mendapatkan posisi ini. Kami semua mendukungmu," ucap Arya dengan penuh pengertian.Kayla, Ananda, dan Aisha juga memberikan dukungan mereka. Mereka tahu betapa berbakat dan luar biasanya ibu mereka dalam pekerjaannya.Dengan dukungan penuh dari keluarga, Lintang akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia bertekad untuk m
Keluarga kecil Arya dan Lintang semakin dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Kayla yang kini menjadi dokter muda yang berbakat, Ananda yang sedang berjuang menyelesaikan studinya di fakultas teknik, dan Aisha yang baru saja lulus SMA dengan nilai gemilang.Namun di balik semua kebahagiaan itu, Arya menyimpan sebuah keinginan yang sudah lama ia pendam. Sebuah keinginan untuk bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya.Suatu malam, setelah makan malam bersama, Arya mengumpulkan istri dan anak-anaknya di ruang keluarga. Dengan senyum penuh arti, ia pun memulai pembicaraan."Lintang, Kayla, Ananda, Aisha... Ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan pada kalian," ucap Arya dengan nada serius namun lembut.Lintang menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya, sementara anak-anak mereka saling berpandangan dengan penasaran."Ada apa, Pa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Kayla, sedikit khawatir.Arya tersenyum menenangkan, menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu d