Dua hari berlalu sejak pertemuan di kafe, Presentasi Lintang berjalan luar biasa. Ia tidak hanya mendapat pujian dari jajaran direksi, tapi juga kepastian promosi yang akan diumumkan bulan depan. Seharusnya ia merasa di atas awan, tapi pikirannya terus melayang ke percakapan dengan pria bernama Arya itu.
Hari ini Kamis, dan Lintang mendapati dirinya berdiri di depan kafe yang sama, ragu-ragu. Ia bahkan tidak yakin kenapa ia di sini. Untuk merayakan kesuksesannya? Atau... untuk sesuatu yang lain? "Hanya kopi," gumamnya pada diri sendiri, mendorong pintu kafe. Aroma kopi dan pastry hangat menyambutnya. Kafe tidak terlalu ramai, mungkin karena ini masih pukul 10 pagi. Lintang melangkah ke konter, mengantre di belakang seorang wanita yang sedang memesan. "Satu latte dingin dan cheesecake blueberry," Lintang memberikan pesanannya pada barista yang berbeda dari kemarin. Seorang pemuda dengan rambut hijau cerah dan tindik di alis. "Oke, satu latte dingin dan cheesecake blueberry," ulang si barista. "Atas nama siapa?" "Lintang." Setelah membayar, Lintang memilih meja di dekat jendela. Ia mengeluarkan tablet dan mulai membaca beberapa email. Tidak ada yang penting, hanya ucapan selamat dari rekan-rekan atas presentasinya kemarin. "Pesanan untuk Arya!" panggil barista rambut hijau. Lintang mendongak begitu cepat hingga lehernya sakit. Arya? Tapi ia tidak melihat pria itu di manapun. Mungkin pesanannya diambil oleh-- "Maaf, tapi ini pesanan saya," Lintang berdiri di depan konter, menatap nampan yang berisi secangkir kopi hitam dan roti bakar salmon. Persis seperti dua hari lalu. Si barista mengernyit, memeriksa struk pesanan. "Oh, astaga! Lagi? Maaf, Nona. Sepertinya ada yang salah dengan sistem kami hari ini. Beberapa pesanan sudah tertukar." Lintang menghela nafas. "Tidak apa-apa. Bisa tolong ambilkan pesanan yang benar?" "Tentu, sebentar ya." Lintang kembali ke mejanya, sedikit kesal. Ia melirik jam di tabletnya. 10:15. Masih ada waktu sebelum ia harus kembali ke kantor untuk rapat siang. "Sepertinya kita bertemu lagi dalam situasi yang sama," suara yang sudah ia kenal membuatnya ter lonjak. Arya berdiri di sana, mengenakan setelan abu-abu gelap yang membuat matanya semakin menonjol. Rambutnya sedikit berantakan, seolah ia baru saja berlari. "Arya," Lintang mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ya, sepertinya takdir suka mempermainkan kita dengan pesanan kopi." Arya tertawa, suara yang dalam dan menenangkan. "Boleh saya duduk? Atau Anda sedang menunggu seseorang?" "Tidak, silakan," Lintang menggeser tabletnya. "Saya hanya... yah, sebenarnya saya tidak tahu kenapa saya di sini." Satu alis Arya terangkat. "Oh? Bukankah Anda bilang sering ke sini?" Lintang merasa wajahnya memanas. Kenapa ia mengatakan itu? "Ya, tapi biasanya saya ke sini siang atau sore. Jadwal pagi saya biasanya padat." "Hmm," Arya mengangguk, matanya menatap Lintang dengan cara yang membuatnya merasa... ditelanjangi? Tidak, bukan itu. Lebih seperti... dipahami. "Jadi, apa yang membuat jadwal pagi Anda longgar hari ini?" "Presentasi saya kemarin," Lintang tersenyum lebar, rasa bangga membuncah. "Berjalan sangat baik. Saya akan dipromosikan bulan depan." Wajah Arya berubah cerah. "Selamat! Itu berita luar biasa. Pantas Anda terlihat berbeda hari ini." "Berbeda?" "Ya, lebih... bersinar? Mungkin efek kesuksesan," Arya mengedipkan sebelah mata, membuat Lintang terkekeh. "Pesanan untuk Lintang!" panggil si barista. "Oh, itu pesanan saya yang benar," Lintang berdiri. "Biar saya yang ambil," Arya menawarkan, bangkit dengan gerakan luwes yang membuat Lintang iri. Di usianya, ia masih merasa canggung kadang-kadang. Arya kembali dengan nampan berisi latte dingin dan cheesecake blueberry. "Ini dia. Ngomong-ngomong, mereka memberi kita masing-masing satu croissant gratis sebagai permintaan maaf." "Wah, pelayanan yang baik," Lintang mengambil garpunya, memotong sedikit cheesecake. "Anda sendiri? Bagaimana pertemuan dengan klien kemarin?" "Lancar," Arya mengangguk, menyesap kopinya. "Mereka setuju dengan strategi yang saya ajukan. Kalau semua berjalan sesuai rencana, dalam sepuluh tahun mereka bisa pensiun dini dan membeli rumah di Bali." "Bali?" Lintang tertawa kecil. "Klien Anda pasti orang asing." "Pasangan dari Australia," Arya menjelaskan. "Tapi saya juga punya banyak klien lokal. Sebenarnya, saya sendiri punya rencana untuk membeli vila kecil di sana suatu hari nanti. Untuk Kayla." Mendengar nama putrinya, wajah Arya melembut. Lintang merasa ada yang bergerak di dalam dadanya. "Itu rencana yang indah. Kayla pasti akan senang." "Ya, dia suka pantai. Tiap kali kami ke sana, dia selalu merengek tidak mau pulang," Arya tertawa, tapi ada setitik kesedihan di matanya. "Sejak perceraian, saya berusaha memberinya kenangan indah sebanyak mungkin." Lintang mengulurkan tangan, nyaris menyentuh tangan Arya di atas meja sebelum ia sadar apa yang ia lakukan. Ia menarik tangannya kembali, pura-pura mengambil tissue. "Anda ayah yang baik, Arya. Kayla beruntung memiliki Anda." Arya menatapnya, sesuatu yang tak terbaca di matanya. "Terima kasih, Lintang. Itu... berarti banyak." Mereka terdiam sejenak, atmosfer berubah intim. Lintang bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Ia baru bertemu pria ini dua kali, tapi rasanya seperti mereka sudah saling kenal bertahun-tahun. Dering ponsel memecah keheningan. Lintang melihat layarnya. Alarm pengingat rapat siang. "Saya harus pergi," Lintang berdiri dengan enggan. "Rapat siang." Arya juga berdiri. "Tentu. Terima kasih sudah berbagi cerita kesuksesan Anda. Dan... selamat lagi." "Terima kasih," Lintang tersenyum. Ia ragu sejenak, lalu memberanikan diri. "Mungkin... kita bisa melakukan ini lagi? Maksud saya, bertemu sengaja, bukan karena pesanan tertukar." Mata Arya melebar sedikit, terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum, senyum yang mencapai matanya dan membuat jantung Lintang berdetak lebih cepat. "Saya akan sangat senang, Lintang. Mungkin... Selasa depan? Jam yang sama?" Lintang mengangguk, tersenyum lebar. "Sempurna. Sampai jumpa Selasa, Arya." Saat Lintang melangkah keluar kafe, ia merasa seperti melayang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, atau apakah ini ide yang baik. Yang ia tahu, ia ingin mengenal Arya lebih jauh. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lintang menantikan hari Selasa dengan semangat yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. (◕‿◕) Lintang melangkah keluar dari kafe, senyum masih mengembang di wajahnya. Ia baru saja melewati beberapa langkah ketika mendengar suara langkah cepat di belakangnya. "Lintang! Tunggu sebentar!" Ia berbalik dan melihat Arya berlari kecil ke arahnya, membawa sesuatu di tangannya. Lintang berhenti, sedikit terperangah melihat Arya yang biasanya tenang kini tampak sedikit tergesa. "Ada apa?" tanya Lintang saat Arya sudah di hadapannya, sedikit terengah. "Ini," Arya menyodorkan sebuah bungkusan kertas coklat. "Croissant gratis Anda. Anda meninggalkannya di meja." Lintang mengerjai, lalu tertawa kecil. "Oh, astaga. Saya lupa sama sekali. Terima kasih, Arya. Anda tidak perlu repot-repot mengejar saya seperti ini." "Tidak masalah," Arya tersenyum, tangannya menyentuh lengan Lintang sekilas saat memberikan bungkusan itu. Sentuhan ringan itu mengirimkan aliran listrik kecil ke seluruh tubuh Lintang. Mereka berdiri di sana sejenak, di trotoar yang mulai ramai dengan pejalan kaki. Lintang merasakan angin lembut memainkan rambutnya, dan ia bisa bersumpah Arya memperhatikan setiap gerakannya. "Jadi," Arya memulai, tangannya mengusap belakang lehernya, gestur yang Lintang perhatikan ia lakukan saat sedikit gugup, "karena kita sudah sepakat untuk bertemu Selasa depan, mungkin... mungkin kita bisa bertukar nomor? Untuk jaga-jaga kalau ada perubahan rencana." Lintang merasa wajahnya memanas. Ini konyol. Ia seorang profesional, bukan remaja SMA yang baru pertama kali diajak kencan. Tapi saat ini, di depan Arya yang menatapnya dengan mata cokelat yang teduh itu, ia merasa seperti gadis 16 tahun lagi. "Tentu," Lintang mengeluarkan ponselnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Itu ide bagus." Mereka bertukar ponsel, masing-masing mengetik nomor dan nama mereka. Saat Lintang mendapat ponselnya kembali, ia melihat 'Arya (Kafe)' tertulis di layar. Entah mengapa, tambahan '(Kafe)' itu membuatnya tersenyum. "Nah," Arya mengantongi ponselnya, "sekarang kita bisa memastikan tidak ada lagi pesanan yang tertukar." Lintang tertawa. "Ya, meskipun harus kuakui, kesalahan itu tidak terlalu buruk. Maksudku, kita dapat croissant gratis." "Dan," Arya menambahkan dengan senyum miring, "kita bertemu lagi. Aku rasa itu lebih berharga dari croissant manapun." Perkataan itu membuat Lintang terdiam. Ia menatap Arya, mencari tanda-tanda bahwa pria itu hanya menggodanya. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan dan... sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. "Ya," Lintang akhirnya menjawab pelan, "kurasa begitu." Mereka saling memandang, dan untuk sesaat, Lintang lupa bahwa mereka berada di tengah trotoar yang sibuk. Dunianya menyempit menjadi hanya mereka berdua: ia dan Arya, dengan angin sepoi dan aroma kopi yang tertinggal di pakaian mereka. Dering ponsel Lintang memecah momen itu. Ia melirik layarnya dan mengerang pelan. Asistennya, mengingatkan tentang rapat yang akan dimulai dalam 20 menit. "Saya benar-benar harus pergi sekarang," Lintang berkata dengan enggan. "Kalau tidak, saya bisa terlambat." "Tentu, tentu," Arya mengangguk paham. "Pergilah. Jangan biarkan aku menghambat karirmu yang cemerlang." Lintang tersenyum. "Sampai jumpa Selasa, Arya." "Sampai jumpa, Lintang," Arya membalas dengan senyum lembut. "Oh, dan jangan lupa makan croissant-mu. Sayang kalau terbuang." Dengan anggukan terakhir, Lintang berbalik dan bergegas ke arah kantornya. Sepanjang jalan, ia tidak bisa berhenti tersenyum. Ia bahkan tidak peduli saat beberapa orang menatapnya aneh karena ia tertawa sendiri sambil memeluk bungkusan croissant ke dadanya. Di meja kerjanya, Lintang membuka bungkusan itu. Di dalamnya, selain croissant yang masih hangat, ada secarik kertas. Dengan tulisan tangan rapi, tertulis: "Untuk merayakan kesuksesanmu. Semoga croissant ini semanis senyummu. - Arya" Lintang merasakan wajahnya memanas. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, jarinya menelusuri setiap huruf. Bagaimana mungkin seorang pria yang baru ia temui dua kali bisa membuatnya merasa seperti ini? Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor yang baru. "Arya (Kafe): Hanya memastikan kau sudah sampai kantor dengan selamat. Semoga rapatnya lancar." Lintang menggigit bibir, berusaha menahan senyum yang mengancam membelah wajahnya. Ia membalas: "Lintang: Sudah sampai. Terima kasih untuk croissant dan pesannya. Sangat manis. Seperti kopimu." Ia mengirim pesan itu sebelum keberaniannya hilang. Beberapa detik kemudian, balasan datang: "Arya (Kafe): Hati-hati, nanti aku bisa kecanduan." Lintang tertawa pelan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Arya seorang duda, lebih tua, dengan tanggung jawab seorang anak. Ia sendiri sedang berada di puncak karirnya. Situasi mereka rumit. Tapi saat ini, dengan rasa manis croissant di lidahnya dan kehangatan pesan Arya di hatinya, Lintang tidak bisa membawa dirinya untuk peduli. Ia hanya tahu bahwa ia menantikan hari Selasa, dan apa pun yang akan terjadi setelahnya. Dengan senyum terakhir pada ponselnya, Lintang menyimpan bungkusan dan pesan Arya di laci, lalu bersiap untuk rapatnya. Entah bagaimana, ia tahu bahwa hari ini, segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. (◕‿◕)Senin pagi, Lintang sudah berada di kantornya sejak pukul 7. Ia mematut diri di cermin kecil di mejanya, memastikan tidak ada noda kopi di blazer putihnya. Hari ini adalah hari penting: pengumuman resmi promosinya.Lintang menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia telah bekerja keras untuk mencapai titik ini. Sejak lulus dengan predikat cumlaude dari universitas top di Jakarta lima tahun lalu, Lintang tidak pernah membiarkan dirinya bersantai."Lintang?" suara lembut memanggilnya. Ia berbalik dan melihat Dian, salah satu rekan kerjanya, berdiri di pintu ruangannya dengan senyum lebar. "Sudah siap untuk hari besar mu?"Lintang tersenyum balik. "Siap tidak siap, hari ini tetap akan datang.""Kau pantas mendapatkannya," Dian mendekat, menyerahkan secangkir kopi. "Dari kafe favoritmu. Anggap saja hadiah awal.""Makasih, Dian," Lintang menyesap kopinya. Latte dingin, tapi bukan senikmat buatan kafe tempat ia bertemu Arya. Arya. Nama itu membuat jantungnya berdebar. Mereka terus
Sementara Lintang sibuk di kantornya di pusat Jakarta, Arya sedang berkutat dengan masalah yang jauh berbeda di rumahnya yang nyaman di pinggiran kota. Kayla, putrinya yang berusia 7 tahun, sedang menangis di kamarnya."Sayang, Papa di sini," Arya berlutut di samping tempat tidur Kayla, tangannya dengan lembut membelai rambut hitam putrinya yang tergerai di bantal. "Mau cerita kenapa menangis?"Kayla terisak, memeluk boneka beruang pemberian Arya saat ulang tahunnya yang kelima. "Tadi... tadi di sekolah, Lia bilang aku aneh karena tidak punya mama. Dia bilang... semua anak normal punya mama dan papa."Arya merasakan hatinya seperti diremas. Sudah dua tahun sejak perceraiannya dengan Dian, mantan istrinya. Dua tahun ia berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Tapi saat-saat seperti ini, ia merasa gagal."Dengar, sayang," Arya mengangkat dagu Kayla lembut, menatap mata cokelatnya yang basah, "kamu tidak aneh. Kamu istimewa. Dan kamu punya Papa yang sangat menyayangimu. Itu yang terpent
Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan."Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya."Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"Balasan datang hampir seketika."Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara
Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang m
Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandang
Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car