"Ada apa ini ribut-ribut? Kamu kenapa, Daniel?" tanya Henry yang baru saja pulang
Daniel mengacak-acak rambutnya sampai kusut seraya menjerit, "BenStory akan lenyap malam ini juga, Pa!"Henry menepuk bahu putranya menenangkan. "Masih ada satu solusi, Daniel. Kita harus ke kantor sekarang untuk memperjuangkannya!""Apa yang terjadi?" Radmila mengekori Henry dengan cemas."Kita akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan BenStory, Ma. Doakan saja ya!" jelas Henry, "Daniel, ayo cepat!"Setelah mengantar kepergian suami dan putranya, Radmila berencana hendak memarahi Diva lagi. Tetapi menantunya sudah menghilang dan mengunci diri di dalam kamar."Huh, awas kamu ya!"***Keesokan harinya, Diva pergi ke rumah sakit sendirian setelah berhasil menghindar dari amukan pagi Radmila. Dia pergi ke bagian spesialis THT dan menemui dokter yang pernah menanganinya."Begini, Nona. Kerusakan pada pita suara Anda sangat serius. Setelah saya berdiskusi dengan tim dokter saraf di rumah sakit ini, tidak ada cara untuk pulih selain transplantasi organ."'Apakah suara saya bisa terdengar sama seperti sebelumnya?' Diva menggerakkan kedua tangannya dengan gemetar.Dokter itu menggeleng, "Sayangnya tidak, Nona. Suara Anda akan terdengar sama seperti suara pendonor tersebut."Berpikir sebentar, Diva akhirnya berkata, 'Saya ingin transplantasi.'"Tapi maaf, Nona. Jumlah pendonor pita suara sangat langka di Indonesia, bahkan di Asia juga. Saat ini rumah sakit kami tidak bisa menjamin kapan Nona bisa mendapatkan donor yang cocok."Diva hanya bisa mengangguk lemah, sadar bahwa hal itu benar. Tidak mudah untuk menemukan pendonor pita suara, apalagi mencari yang cocok dengan tubuhnya. Dirundung sedih dan kecewa, Diva pun pamit pergi.Sebagai mantan penyanyi populer, Diva tidak bisa berkeliaran sembarangan. Media masih mengincar informasi tentangnya walaupun ia sudah mengumumkan hiatus. Jika ia tertangkap wartawan, pasti berita aneh-aneh akan muncul setelahnya. Jadi, ia tak punya pilihan lain selain pulang.Baru saja kaki Diva turun dari mobil, suara nyaring Radmila sudah menerobos rungunya. "Bagus! Bagus! Kelayapan tak ingat waktu sampai melalaikan kewajiban di rumah! Sangat bagus!"Rasanya Diva ingin mengabaikan Radmila dan segera masuk kamar, tapi sebuah sapu lidi sudah diletakkan di telapak tangannya. Kemudian kunci mobil di tangan kanannya disambar oleh Radmila."Sapu halaman depan dan belakang! Jangan sampai ada satupun daun kuning atau sampah yang tertinggal!"Ibu mertuanya itu mengenakan dress merah selutut dan sepatu hak tinggi. Tas branded bermerk GLAM tergantung di lengannya. Tak lupa wajahnya juga sudah dipoles make up yang akan membuat ibu-ibu kompleks bergunjing tujuh hari tujuh malam."Saya mau arisan, lalu malamnya mengajak keluarga saya dinner. Kamu, jagalah rumah dengan becus hari ini. Jangan merusak apapun lagi!" Radmila memasuki mobil, tapi ia berkata lagi lewat jendela yang terbuka. "Jangan lupa untuk mencuci dan menyetrika pakaian di keranjang!"Diva hanya menatap pasrah pada audi berwarna hitam itu. Mobil itu dibeli oleh sebagian dari hasil kerja kerasnya selama 5 tahun. Tapi, Radmila dengan mudahnya merebut mobil itu dengan alasan Diva tidak lagi membutuhkannya untuk pergi bekerja. Dia pergi bersenang-senang, sementara Diva ditinggal sendirian dengan segudang pekerjaan merepotkan. Sungguh sangat adil, bukan?***"Mama habis dari mana sih, dandan semenor itu?" tanya Daniel sesampainya Radmila di restoran.Radmila melambaikan tangannya, "Mama tuh habis arisan sama teman-teman Mama. Papa kamu mana?""Toilet.""Kamu kenapa kusut begini? Capek habis rapat?""Hm." Daniel hanya bergumam rendah."Bagaimana hasil keputusannya?"Daniel menghela napas panjang. "Belum ada. Negoisasi berjalan sangat alot. Escort Labels menginginkan 100% saham sebagai syarat, tapi Mama tahu sendiri aku tidak akan pernah sudi merelakan BenStory."Radmila menggeram, "Ini semua gara-gara Diva! Wanita itu memang pembawa sial!"Henry yang baru datang membalas, "Sebenarnya tanpa Diva hiatus pun, BenStory sudah di ujung tanduk. Kasusnya Diva hanya sebagai katalis saja.""Oh, jadi Papa lebih membela Diva?" Mata Radmila menyipit.Henry menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak! Papa hanya asal bicara saja.""Oh ya, Mama bilang Mama punya kejutan? Apa itu?" tanya Henry mengalihkan pembicaraan.Senyum Radmila mekar, tatapannya menuju ke arah seseorang yang sedang berjalan ke arah meja mereka. "Dia sudah datang. Daniel, dia salah satu orang penting Escort. Kamu bisa memanfaatkannya untuk keuntungan kita."Seorang perempuan bertubuh ramping mendekat. Langkah kakinya anggun tidak tergesa-gesa. Tingginya semampai, lekukan tubuhnya tercetak jelas di balik gaun satin ungu yang dikenakannya. Sekali pandang saja, orang akan setuju bahwa dia cantik dan seksi. Lebih dari itu semua, yang membuat Daniel terpaku lama adalah ketika suara sang puan terdengar di telinganya."Selamat malam, Tuan dan Nyonya Benjamin. Saya Sania Halim.""Suara kamu sangat indah!" Daniel berkomentar tanpa sadar. Sedetik kemudian dia berdehem, "Maaf, saya tidak sopan. Selamat malam, Sania. Selamat datang."Daniel mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Anda adalah …,""Daniel Benjamin," jawab Daniel tak melepaskan pandangannya.Sania balas menjabat tangannya. Dia juga membalas tatapannya diiringi senyum manis. "Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Daniel.""Cukup Daniel saja.""Oh, oke."Daniel nampak cukup lama memandangi senyum itu.Mereka makan malam dengan bahagia tanpa memikirkan perempuan yang mereka tinggal sendirian di rumah.***Diva mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Radmila dan Henry sudah pulang satu jam yang lalu, tetapi Daniel belum muncul juga. Saat Diva bertanya kemana suaminya, mertuanya menjawab tidak tahu. Bagaimana mereka tidak tahu jika mereka baru saja makan malam bersama?Diva menunggu Daniel karena dia ingin membicarakan sesuatu yang penting. Diva duduk di ruang tamu rumah mereka dengan rasa gelisah yang tak bisa dihilangkan.Kemana sebenarnya lelaki itu?Sepuluh menit berlalu, akhirnya deru mobil Daniel terdengar. Suara kunci pintu berputar terdengar dan pintu rumah terbuka. Daniel melangkah masuk dengan langkah lelah. Diva menatap suaminya dengan sorot mata penuh pertanyaan.'Kamu dari mana? Kenapa pulang begitu larut?'Daniel melangkahkan kaki ke kamar seraya melepaskan kancing kemejanya. Bergumam dengan nada tak pasti, "Ada urusan di kantor."Diva mengamati ekspresi dan gestur Daniel yang aneh, seakan-akan sedang gugup menutupi sesuatu. 'Kamu bohong.'Daniel menatapnya nyalang, "Apa maksudmu? Kamu menuduhku berbuat sesuatu yang buruk ketika aku pontang-panting kelelahan mengurus agensi yang dikacaukan olehmu? Di mana akal sehatmu hah?"Diva menghela napas berat. Memilih menghindari perdebatan lebih panjang. Dia segera mengalihkan topik pembicaraan, ''Aku mau bicara penting.'"Besok saja. Aku ngantuk sekali."Diva menggeleng. 'Ini penting!' tuturnya sambil menyodorkan judul berita online yang populer hari itu.'Escort Labels Resmi Akuisisi BenStory Entertainment.'Daniel hanya melihat sekilas lantas bertanya, "Ada masalah?"'Kenapa kamu tidak mendiskusikannya denganku lebih dulu? Bukannya 50% saham BenStory itu milikku?'Daniel berdecak, "Itu dulu, sebelum kamu kehilangan suaramu dan membuat BenStory nyaris bangkrut! Sekarang bahkan aku hanya punya 30% saham BenStory, selebihnya sudah kujual pada Escort. Jika tidak, BenStory akan benar-benar bangkrut."'Tapi tetap saja, seharusnya aku masih berhak atas setengahnya. Itu adalah janji kamu sebelum pernikahan!'"Berhak kamu bilang?" Suara Daniel naik satu oktaf. "Apa kamu merasa pantas mendapatkan saham itu dengan kondisimu yang bisu ini?"Ulu hati Diva seperti dihantam palu ketika mendengar kalimat merendahkan itu keluar dari mulut suaminya sendiri.'Tapi—'"Cukup!" Telunjuk Daniel teracung di depan wajah Diva. "Aku tidak mau membahas ini lagi. Tidak perlu mengungkit janjiku saat kamu sendiri gagal menepati janjimu untuk menjaga suaramu itu!"Hati Diva perih. Hatinya sakit ketika Daniel, orang yang dicintainya—satu-satunya orang yang diharapkan akan mendukungnya ketika seisi dunia memusuhinya—berubah menjadi kasar dan penuh kebencian seperti ini."Minggir, aku mau tidur!" Daniel melepas pakaiannya dan melemparnya ke sembarang arah sebelum masuk ke kamar mandi.Diva memungut kemeja itu, merasa tidak nyaman dengan apa yang dia temukan. Dia melihat bercak noda merah di perpotongan kerah kemeja tersebut dan mencium aroma parfum asing yang menguar darinya. Tatapan Diva mengejar noda dan aroma itu, memicu curiga yang tak terbendung.Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri sendiri sebelum berbicara dengan suaminya. Dengan hati yang tak pasti, Diva mendekati Daniel setelah pria itu selesai mandi dan sekarang tengah duduk di ranjang sambil memainkan ponsel.'Dari mana kamu mendapatkan noda ini?' Diva mencoba menetralkan detak jantungnya yang semakin cepat.Tanpa meliriknya, Daniel mematikan ponselnya lalu membaringkan tubuhnya. "Tidak tahu! Sudahlah, aku mau tidur!"Diva mengabaikan nada ketus itu, sambil mengangkat kemeja yang mencurigakan. 'Daniel, ini bercak merah. Dan baunya ... apa baru saja kamu beli parfum baru?'Daniel mendengus kesal, "Itu tidak penting. Aku capek, Diva."Namun, Diva tidak bisa begitu saja melepaskan perasaan curiganya. Dia mengendus kemeja itu sekali lagi, aroma parfum yang asing begitu mencolok di hidungnya. Dia mencoba untuk tetap tenang, tapi rasa curiga semakin menggelayut di dalam dirinya.'Aroma ini... seperti parfum wanita,' ucap Diva dengan nada ragu.Daniel menekuk wajahnya dengan kesal, merasa terganggu. "Apa masalahmu, Diva? Aku sudah bilang, aku capek!"'Aku tidak menuduhmu sembarangan, tetapi bukti yang kutemukan cukup mengganggu.'Daniel akhirnya duduk, wajahnya terlihat tertekan oleh keadaan. "Aku bilang, ini tidak ada hubungannya denganmu! Jangan membuat masalah di saat-saat seperti ini! Aku capek, tahu!"Melihat Diva yang masih berdiri meragu, Daniel akhirnya bangkit keluar dengan membawa selimut. "Aku tidur di ruang tengah! Jangan ganggu aku lagi!"Diva menatap lamat-lamat suaminya yang menjauh. Membatin pertanyaan, 'Daniel, apa yang kamu sembunyikan dariku?'"DANIEL! Bagaimana, sih, istri kamu? Kemarin kebakaran, sekarang mesin cuci rusak, besok apalagi hah?" Teriakan Radmila di telepon sangat nyaring hingga Daniel menjauhkan ponsel dari telinganya.. Daniel baru saja selesai berbenah di ruangan kerja yang baru. Seusai BenStory diakuisisi Escort Labels, kantornya pindah. BenStory menempati salah satu unit di gedung Escort yang baru saja direnovasi. Lelah beres-beres bukannya bersantai, ia malah harus menghadapi kemarahan ibunya."Dia begitu gara-gara kamu memanjakannya selama ini, Daniel! Tidak tahu diri sekali! Dipikir dia adalah anak konglomerat yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki saja? Baju arisan Mama juga berlubang gara-gara disetrika sama dia. Apa dia sudah gila? Kapan dia bisa bekerja dengan becus?"Daniel menghela napas panjang. Selama ini urusan rumah selalu dikerjakan ART yang direkrut sendiri oleh Diva. Daniel tidak tahu bahwa Diva menyewa ART karena istrinya itu payah dalam urusan rumah tangga. Tapi sejak BenStory mulai
Diva merasa dunia di sekitarnya hancur, seperti reruntuhan yang tak pernah bisa disatukan kembali. Dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, hatinya berat oleh rasa duka yang dalam, terus mengingat janin kecilnya yang telah tiada. Namun, suara dering telepon dari Daniel terus menggema, menciptakan kontras menyakitkan dengan perasaannya yang hancur."Halo! Diva, kamu di rumah, 'kan?" terdengar suara Daniel di ujung telepon, suara yang penuh dengan semangat dan tidak menyadari krisis yang tengah dialami oleh Diva. "Berkas pentingku ketinggalan di meja kamar, bisakah kamu mengantarkannya ke kantor baruku?"Diva ingin menangis, berteriak mengungkapkan betapa hancur hatinya kehilangan calon buah hati. Namun, bisu membuatnya tak bisa berbicara, tak bisa mengungkapkan perasaannya. Hanya bisikan dalam hati yang menyayat, mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa mengekspresikannya dengan kata-kata."Diva? Kenapa diam saja?" tanya Daniel, tanpa menyadari bahwa Diva meratap dalam keheni
Diva merentangkan pandangan ragu-ragu pada pintu besar rumah keluarga Sinclair. Hatinya berdegup kencang, mencampur aduk antara kerinduan dan kekhawatiran. Setelah lima tahun yang panjang, dia kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan dengan gegap gempita. Dia tahu, langkah ini adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan kehormatannya yang terluka.Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya, sosok pria setengah baya yang selalu ia segani berdiri dengan ekspresi tak tertebak. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan pahit kembali menghantam Diva. Dia melangkah maju dengan gemetar, menelan ludah."Kamu?" suara Jeffrey Sinclair keluar dari bibirnya dengan dingin. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih memiliki nyali untuk datang kesini?"Diva menahan air mata yang hampir tumpah. 'Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku sudah menanggung akibatnya. Aku bisu sekarang. Daniel mengkhianati aku, dan aku tidak punya apa-apa lagi.'"Dan apa yang kamu harapkan dari
Setelah melewati proses panjang, Diva akhirnya mendapatkan kembali suara indah yang pernah menjadi identitasnya. Transplantasi pita suara yang dilakukan di rumah sakit luar negeri berkat koneksi dan dukungan finansial ayahnya berhasil mengembalikan suara yang hilang. Bagi Diva, kembalinya suara itu adalah seperti mendapatkan hidupnya kembali. Setiap nada yang keluar dari suaranya terasa sebagai kemenangan atas masa-masa sulit yang telah ia lewati.Tapi suaranya yang telah pulih tidak lantas menjadi alasan untuk merayakannya. Suara itu seolah membawa beban baru, tugas besar yang harus diemban. Diva merencanakan sebuah pertemuan dengan Arka, orang yang harus ia menangkan. Suara yang kini sudah kembali, menjadi alat yang ia gunakan untuk menghadapinya.Diva berdiri di depan gedung megah Bahureksa dengan langkah ragu. Ketinggian bangunan itu seakan sebanding dengan perasaannya yang campur aduk. Dia mengatur napasnya, mencoba untuk mengatasi kecemasan yang membuncah.Berjalan menuju meja re
Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar saat bertanya, "Apa kesepakatan itu?"Dalam detik-detik yang terasa berabad-abad, perasaan Diva berkecamuk. Hatinya berdesir akan harapan, tapi juga terjepit oleh kekhawatiran. Dia mengikuti setiap langkah Arka yang mendekat, tanpa sadar tubuhnya terus mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang keras di belakangnya. Matanya yang terang bertemu dengan iris Arka yang gelap. Diva bisa merasakan intensitas ketegasan dan misteri dari setiap jengkal jarak di antara mereka. Langkah Arka baru berhenti ketika ujung sepatu mereka hanya terpisah oleh sehelai benang saja. Kedua tangan Arka berada dalam saku celana, dan ketika suaranya terucap, itu terdengar amat dingin. "Aku akan memberikan segala yang kau inginkan, dengan harga yang harus kau bayar menggunakan jiwa dan ragamu." Dengan rasa kaget, Diva menyadari bahwa harga itu tak ubahnya seperti memberikan seluruh eksistensinya pada Arka. Dia pun tak kuasa menyembunyikan rasa jijik pada k
"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Yasa mengoceh kesal seraya menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai paling tinggi di gedung Bahureksa.Arka setengah mendengus. "Kita masih punya waktu. Santai saja."Yasa memberi komentar dengan nada pedas, "Santai? Kita hampir terlambat untuk pertemuan yang Tuan sendiri anggap sangat penting."Arka bergumam pelan, "Benar juga." Kemudian dia menoleh pada Yasa. "Lalu katakan padaku siapa yang sudah mengacau di sini?""Yang pertama adalah Tuan Muda Kedua.""Oh? Apa yang dia lakukan?"Yasa menghela napas pendek. "Dia mencuri pesawat yang sudah saya siapkan untuk Anda, dan menerbangkannya ke Makau.""Gizariel?" ulang Arka seakan tak percaya dia melakukan hal seperti itu. Yasa mengangguk membenarkan. "Memang sepintas sulit dipercaya bagi Mas Giza untuk bertindak di luar batas, tapi memang seperti itu kenyataannya."Arka terlihat merenungkan sesuatu sebelum berucap, "Aku percaya pada penilaian adikku. Dia bukanlah seseorang yang bertin
Rumah Arka menjulang megah di tengah kemewahan dan keanggunan. Terik matahari pagi menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan kokoh pada bangunan itu. Seperti sebuah istana modern, rumah tersebut menjadikan setiap orang yang melihatnya terpana.Saat Diva memasuki gerbang utama, aroma harum bunga segar menyapanya dengan lembut. Kicauan burung-burung di taman depan seolah menciptakan senandung yang menyambut kedatangannya.Setapak pertama di dalam rumah menghantarnya ke ruang keluarga yang luas, lengkap dengan perabotan yang elegan dan nyaman. Sofa berwarna lembut ditempatkan di tengah ruangan, menghadap sebuah perapian marmer megah yang memberikan kehangatan visual.Rumah itu terasa begitu luas dan mewah, tetapi secara bersamaan juga kosong dan sepi. Diva merasakan seolah-olah dirinya terjebak dalam dunia yang asing baginya. Pelayan-pelayan yang berlalu lalang sepertinya lebih sibuk dengan tugas-tugas mereka masing-masing. Seakan-akan Diva adalah tamu yang tidak diharapkan.Sement
"Ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri. Menurutmu apa yang ingin aku lakukan, Aurora?" Arka bertanya dengan nada yang begitu tenang, tetapi di dalamnya terdapat isyarat yang tak terbantahkan.Diva merasa jantungnya berdegup semakin cepat. Keringat dingin mengalir di punggungnya, dan dirinya terjebak dalam situasi yang sangat canggung. Dia ingin memberikan jawaban yang tepat, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar dari bibirnya."Tuan Arka, saya …," Diva merasa kata-kata terjepit di kerongkongannya, dan ia merasa jantungnya berdebar semakin keras. Dia merasa tertekan oleh sosok Arka yang berdiri begitu dekat dengannya. Aroma jeruk dan kayu yang menguar dari tubuh pria itu membuatnya sulit bernapas.Arka tersenyum tipis, meskipun Diva tidak bisa melihat ekspresinya dari arah yang sekarang. "Kenapa begitu canggung, Aurora?""Saya hanya ... tidak tahu apa yang harus saya lakukan," kata Diva dengan jujur, mengakui kebingungannya.Arka menimpali lagi, embusan napasnya
Saat Diva mendongakkan kepala, yang dia temukan adalah Daniel. Pria itu adalah pelaku yang mencengkeran tangannya dengan erat. "Apa yang Anda lakukan, Pak Daniel?" protes Diva menurunkan intonasi suaranya. Merasa khawatir jika suaranya akan menarik perhatian orang lain. Terlebih mereka masih berada di depan ruangan Giza.Tanpa menjawab pertanyaan Diva, Daniel menarik tangan Diva untuk menjauhi ruangan Giza. "Ikut aku."Tetapi sebelum dia sempat melangkah, Diva menahan tubuhnya sendiri hingga Daniel menoleh padanya. "Apa kau ingin kita menjadi tontonan para karyawan? Ayo bicara di tempat yang lebih nyaman."Diva melepaskan tangannya dari cengkeraman Daniel dengan sedikit paksaan. "Saya tidak punya waktu untuk berbicara dengan Anda." Ditatapnya mantan suaminya itu dengan penuh peringatan, "Saya juga bukan orang yang bisa Anda sentuh secara sembarang. Permisi."Diva melenggang dengan cepat. Meninggalkan Daniel yang masih terpaku di tempat, merasa kesal karena Diva menolak ajakannya. Ta
Diva melangkah dengan percaya diri ke dalam ruangan Giza. Saat kakinya baru menjejak selangkah, ia dikejutkan dengan interior ruangan yang sangat bergaya artistik. Seluruh dinding dicat putih, tetapi setengah permukaannya dilukis dengan pemandangan lembah yang indah. Membuat Diva seperti masuk ke dalam pameran seni lukis terkenal. Giza, yang tengah duduk di meja yang terletak di tengah ruangan, seolah menjadi maskot dari karya seni yang diciptakannya."Selamat datang, Diva," Sambutan itu terdengar ramah, ringan, dan santai. "Silakan duduk."Diva buru-buru merespons sambutan Giza dengan sopan. "Terima kasih, Pak Giza." Dia duduk di kursi tamu yang berseberangan dengan kursi Giza. Mereka berdua dipisahkan oleh meja besar yang berisi tumpukan dokumen, sebuah laptop yang tengah menyala, dan juga papan nama persegi panjang bertuliskan nama lelaki di depannya.Gizariel Anthasena S.CEO of Escort Labels.Sayangnya huruf setelah S tidak bisa Diva baca, karena tertutup oleh tumpukan dokumen la
Setelah makan siang, Sania dan Daniel kembali ke ruangan kerja Daniel di lantai bagian BenStory. Ruangan itu memiliki nuansa yang tenang dan terorganisir dengan baik. Sania tampak cemas, matanya mencari jawaban atas keraguan yang mengganggunya."Daniel, aku benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran Diva di perusahaan ini," ucap Sania dengan nada khawatir.Daniel mengerti perasaan Sania dan mencoba memberikan penjelasan. "Sania, kamu tahu 'kan bahwa pernikahanku dengan Diva selalu dirahasiakan dari publik? Itu adalah keputusan kami saat itu untuk melindungi karir Diva. Jadi tidak ada orang yang tahu bahwa kami pernah menikah dan sekarang sudah bercerai. Orang-orang hanya tahu bahwa hubungan kami sebatas mantan atasan dan artisnya. "Sania mengangguk, meskipun masih merasa tidak yakin. "Aku tahu dulu kamu mencintainya. Tapi apakah sekarang perasaan itu masih ada?"Daniel merasa perlu mengungkapkan perasaannya dengan jujur. "Sania, Diva adalah bagian dari masa laluku yang sudah berlalu.
Sebut saja Diva sebagai perempuan paling bodoh di bumi ini, karena di antara kecamuk dendam sengitnya, ternyata masih ada sekelumit perasaan cinta yang tersisa."Hai, semuanya. Boleh aku bergabung di sini?"Suara lembut itu datang dari seorang perempuan cantik yang tersenyum menyapa ketiga orang di meja makan tersebut."Sania?" Raut wajah Daniel berubah cerah dan senyumannya mekar ketika menarik kursi kosong di sebelahnya. "Ayo, duduklah di sini."Sania menatap dua orang lainnya, yaitu Diva dan Rani, meminta persetujuan.Diva dan Rani saling tatap sebelum Diva berdehem melonggarkan tenggorokannya. "Karena Pak Daniel sudah menarik kursi untuk Anda, tidak baik untuk membiarkannya tetap kosong."Diam-diam Rani menginjak ujung kaki Diva di bawah meja. Membuat Diva harus mengontrol ekspresi kesakitannya. Rani tersenyum sopan, "Silakan duduk, Miss Sania."Sania mengangguk kecil sebelum duduk di kursi sebelah Daniel. Dia berterima kasih pada Daniel, lalu mengarahkan perhatiannya ke Diva yang
"Aku seperti pernah melihatmu di suatu tempat, Diva. Tapi aku lupa di mana." Rani berkata sambil terus memandu Diva berjalan menuju ke kafetaria. Jam istirahat sudah tiba, jadi mereka memutuskan untuk makan siang bersama.Diva tersenyum simpul mendengar itu. "Sebenarnya sebelum aku bergabung di perusahaan ini, dulu aku pernah menjadi penyanyi selama beberapa tahun. Meski tidak terlalu terkenal, tapi aku pernah diundang di beberapa variety show televisi nasional. Mungkin kamu pernah melihatku saat itu.""Tunggu!" Rani memegang lengan Diva, menghentikan langkahnya. Ekspresinya terlihat cukup kaget. "Jadi Diva Aurora itu kamu?"Senyum Diva semakin terkembang diiringi anggukan."Omo! Aku tidak menyangka!" seru Rani seraya menutup mulutnya dramatis. "Maafkan aku! Sungguh, aku tidak menyadarinya sampai kamu mengatakannya.""Tidak apa-apa. Lagipula tidak semua orang mengenalku. Aku masih pemula dan biasa-biasa saja saat itu."Rani menggeleng, "Aku tidak setuju itu. Kamu itu luar biasa, Diva!
"Selamat, Diva. Kamu sudah diterima sebagai anggota tim Pengembangan dan Pemasaran Artis Escort yang baru. Sebagai ketua tim, saya dengan senang hati mengatakan bahwa prinsip tim kita adalah kerja sama dan kekeluargaan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik!" ujar seorang laki-laki usia tiga puluhan seraya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Diva.Diva membalas jabatan tangan itu dengan mantap seraya tersenyum tegas, "Terima kasih, Pak Wildan. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik saya agar tidak mengecewakan Anda dan seluruh tim."Wildan mengangguk puas. "Rani," panggilnya pada seorang wanita muda yang segera mendekat pada mereka. "Kamu temani Diva berkenalan dengan yang lain. Dan untuk Diva, karena ini hari pertama kamu, silakan beradaptasi pada lingkungan kerja di sini. Saya ada urusan, harus pergi dulu.""Baik, Pak." Diva dan Rani menjawab serentak.Rani mengulas senyum seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan singkat. "Halo, Mbak. Aku Rani. Boleh kutahu
Arka berjalan cepat ke depan Diva. Setiap langkahnya menyimpan kemarahan yang sanggup membuat lutut Diva lemas. Begitu jarak mereka tersisa satu langkah, Arka meraih pergelangan tangan Diva dengan erat lalu berbalik dan menariknya keluar. "Pulang!" Diva meringis tajam akan cengkeraman Arka yang terasa sakit di pergelangan tangannya. Tapi dia tidak berani memprotes ataupun mengeluarkan suara karena takut Arka akan semakin marah.Saat mereka keluar dari ruang kerja Arka, suara seorang sekretaris wanita memanggil, "Tuan, Anda hendak kemana? Setelah ini Anda harus menghadiri pertemuan terkait proyek EBT. Lalu ada jadwal lainnya yang—""Suruh Yasa mewakili semua urusanku hari ini!" potong Arka tanpa melambatkan langkahnya. Di belakangnya Diva terseok-seok mengikuti langkah panjangnya.Sementara sekretaris yang bernama Megan itu menggerutu kepada pria yang tengah bersembunyi di belakangnya. "Apa yang sudah kamu lakukan, sih, Yasa?! Lihat, semua jadwal yang kubuat susah payah jadi hancur ga
Perjalanan mereka menuju kantor Bahureksa terasa seperti dalam keadaan tegang. Diva mencoba mengendarai mobil dengan cepat, berusaha keras agar Arka tidak terlambat dalam rapatnya yang penting. Hanya beberapa menit lagi sebelum rapat dimulai, dan Diva merasa seolah-olah setiap detik sangat berharga.Arka duduk di samping Diva, tetapi ia hanya memperhatikan Diva tanpa berkata apa-apa. Tatapannya tajam dan penuh tekanan, memaksa Diva untuk berkendara dengan cepat. Diva merasa seperti sedang diuji, dan ketegangan semakin terasa saat jalanan mulai ramai.Dengan hati yang berdebar, Diva berusaha menjaga konsentrasi. Setiap lampu merah terasa seperti penghambat, dan Diva merasa takut ketika melihat Arka yang bersabar di sebelahnya. "Kami akan sampai tepat waktu," ucap Diva dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tiba-tiba, telepon genggam Arka berdering lagi. Arka menjawabnya dengan cepat sambil tetap memandangi Diva. "Ya, Yasa, aku hampir sampai. Tolong persiapkan segalanya."Deng
Di pagi hari menjelang siang yang cerah, ketika sang surya menggantung dengan percaya diri di langit biru, Diva duduk di kursi meja makan dengan mata yang kosong. Sebuah pertanyaan sederhana dari Arka telah menggiringnya ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Hidupnya, yang semula hanya terasa seperti lagu-lagu yang dinyanyikannya di atas panggung, kini terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Diva mengingat betapa matanya dulu selalu bersinar di bawah sorot lampu panggung saat dia menyanyikan harmoni dan nada, saat suaranya terasa seperti sentuhan malaikat di telinga pendengarnya. Tapi kemudian, semuanya berubah.Diva tidak lagi menginginkan pekerjaan yang sejak dulu selalu menjadi mimpinya itu. Tidak sejak dia mengalami kegagalan total yang menyebabkan hilangnya nada-nada indah dari suaranya. Kegagalan yang membuat dia diminta turun dari atas panggung, disoraki dengan keras, dan ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Seperti bel