7. Kesepakatan

Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar saat bertanya, "Apa kesepakatan itu?"

Dalam detik-detik yang terasa berabad-abad, perasaan Diva berkecamuk. Hatinya berdesir akan harapan, tapi juga terjepit oleh kekhawatiran. Dia mengikuti setiap langkah Arka yang mendekat, tanpa sadar tubuhnya terus mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang keras di belakangnya. Matanya yang terang bertemu dengan iris Arka yang gelap. Diva bisa merasakan intensitas ketegasan dan misteri dari setiap jengkal jarak di antara mereka. Langkah Arka baru berhenti ketika ujung sepatu mereka hanya terpisah oleh sehelai benang saja.

Kedua tangan Arka berada dalam saku celana, dan ketika suaranya terucap, itu terdengar amat dingin. "Aku akan memberikan segala yang kau inginkan, dengan harga yang harus kau bayar menggunakan jiwa dan ragamu."

Dengan rasa kaget, Diva menyadari bahwa harga itu tak ubahnya seperti memberikan seluruh eksistensinya pada Arka. Dia pun tak kuasa menyembunyikan rasa jijik pada kejam dan liciknya tawaran tersebut. Pandangannya memburam, tercengang oleh keberanian Arka menyebutkan kesepakatan seperti itu. Suara protes dan kecaman akhirnya keluar dari bibirnya. "Ini tidak manusiawi!" pekiknya, menahan emosi yang merayap di dalam dadanya. "Aku tidak percaya kau orang yang sangat arogan dan serakah!"

Sebelum Diva sempat melanjutkan mengeluarkan sumpah serapah, Arka berkata lagi suara rendah, "Segalanya. Apapun itu kecuali satu: kebebasanmu."

Diva merasakan beban berat merayap ke hatinya. Ragu dan kebingungan bercampur menjadi satu dalam pikirannya. Dia takut, takut terperangkap dalam genggaman Arka selamanya, tapi ada keraguan yang masih menghantuinya.

"Kau sangat arogan, Arka!" kecamnya pada akhirnya. Tak tahan dengan niat Arka yang tak terkendali. "Apakah kau berniat ingin membalaskan dendam atas apa yang telah aku perbuat bertahun-tahun lalu?"

Arka hanya tertawa pelan. Tawa yang begitu lembut dan halus, tapi mengandung kedalaman yang sulit dipahami. Seolah-olah dia mengendalikan seluruh arena permainan.

Diva merasa ada sesuatu yang tidak beres, ada lapisan di balik semua ini yang belum dia mengerti.

Pikiran Diva berputar, mengingat kata-kata Arka tentang bagaimana dia merasa senang melihat seorang Sinclair seperti hewan peliharaan yang memohon. Sesuatu dalam kata-kata itu membuat Diva merasa takut dan khawatir sekaligus. Tiba-tiba, tanpa sadar, kata-kata itu membuka satu kemungkinan dalam pikiran Diva.

Diva yang penuh pertanyaan akhirnya bertanya lebih jauh, dengan suara yang ragu, "Apa yang kau maksud dengan 'seorang Sinclair'? Maksudmu, bukan hanya diriku, kan?"

Arka memandangnya dengan tatapan yang merahasiakan banyak hal. Matanya yang obsidian menerobos ke dalam mata Diva, seolah berbicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti. "Sinclair tidak lagi setara dengan Sasrabahu."

Diva membulatkan matanya, penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?

Arka hanya tersenyum tajam, merajut teka-teki yang semakin membingungkannya. "Kau akan tahu jika bertanya pada ayahmu," jawabnya dengan nada menggoda, meninggalkan Diva dengan pertanyaan yang tak terjawab.

Diva ingin mencecarnya dengan pertanyaan lebih lanjut, tapi sebuah suara mendekati dari arah yang tak terduga. "Waktu 10 menit telah habis, Nona."

Diva terkejut. Di samping Arka, Yasa telah muncul dengan senyum tipis di wajahnya, sebagai saksi bisu atas interaksi ini. Diva merasa seperti terjebak dalam labirin misteri, dan saat ini hanya setengah langkah dari titik klarifikasi. Sebelum Diva bisa membuka mulut lagi, Yasa memotongnya, "Tuan Arka memiliki hal lain yang harus segera ditangani."

Arka berbalik dan meraih jas hitam yang tersampir di kursi kebesarannya, kemudian memasangnya dalam satu kali gerakan yang elegan. Dia berjalan melintasi ruangan seraya memanggil nama asistennya dengan nada datar, "Yasa."

Diva bisa melihat Yasa membungkukkan kepala sedikit seolah sedang menerima perintah. Kemudian dia berkata pada Diva dengan suara dan tatapan yang jelas, "Silakan kembali ke sini besok lusa untuk menandatangani dokumen perjanjian, Nona. Semua yang dikatakan Tuan Arka akan dijelaskan lebih detail dalam dokumen itu. Saya permisi."

Yasa mengangguk sopan pada Diva sebelum mengejar langkah Arka yang telah sampai di pintu ruangan. Sebelum benar-benar pergi, Yasa menoleh lagi untuk berkata sopan, "Silakan keluar dari ruangan ini sebelum security datang, Nona. "

Meski Diva terheran-heran oleh interaksi aneh yang baru saja dilihatnya itu, dia akhirnya melangkah keuar dari ruangan Arka. Setelah pintu tertutup, ia berdiri sejenak di tempat, terbungkam oleh kebingungannya, sembari melihat wujud dua pria aneh itu memudar hingga akhirnya menghilang di balik belokan. Merasa dirinya dibiarkan tanpa penjelasan apa pun, Diva akhirnya memutuskan untuk pulang, mencoba menahan emosinya yang kian memuncak.

Sesampainya di rumah, suasana rumah nampak tegang. Ayahnya, Jeffrey, dan ibunya, Diana, sudah menantinya dengan pandangan penuh harap. "Bagaimana, Diva? Apa kamu berhasil?" tanya Diana dengan cemas.

Diva membalikkan pertanyaan itu, "Sebelum semua itu, aku ingin Papi menjawabku. Apa yang telah Papi lakukan sebelumnya di hadapan Arka? Kenapa aku tidak diberitahu?"

Jeffrey menggeleng, wajahnya mengandung ketidakpastian. "Aku akan menjelaskannya nanti," jawabnya menghindari tatapan penasaran putrinya.

Namun, Diva tidak berniat mundur begitu saja. Ia mendesak, "Tidak bisa nanti, aku ingin tahu sekarang juga!"

Tiba-tiba Jeffrey meledak dalam kemarahan. "Apakah kamu memang benar-benar tidak berguna? Membujuk satu orang laki-laki saja tidak becus! Misi ini pasti gagal total karena kebodohanmu!"

Dengan rasa marah dan frustrasi, Jeffrey meninggalkan Diva tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Diva mengalihkan pandangannya pada ibunya yang masih berdiri di sana dengan ekspresi gelisah. Setelah beberapa saat merenung, Diva akhirnya bertanya dengan nada yang tegas, "Mami, tolong beritahu Diva apa yang sebenarnya terjadi."

Diana menghela napas panjang, seolah siap untuk mengungkapkan rahasia yang telah lama tersembunyi. "Diva, karena pernikahanmu dengan Arka dibatalkan lima tahun lalu, keluarga Sasrabahu sangat marah. Hubungan antara Sinclair Group dan Bahureksa pun akhirnya memburuk. Kita mengalami boikot dan kerugian besar selama bertahun-tahun. Baru-baru ini, Papi kamu telah berlutut di hadapan Arka untuk memohon pertolongan karena keadaan sudah benar-benar buntu."

Diva terdiam mendengar pengakuan itu. Semua itu seperti petir yang menyambar hatinya. Lalu Diana melanjutkan, "Arka setuju membantu, tapi dia mengajukan syarat. Dia meminta 'bayaran' untuk membantu kita keluar dari situasi ini. Dan semua orang yang mengenalnya tahu bahwa bayaran itu tidak akan sesederhana uang." Diana menatap putrinya dalam-dalam. "Dan secara kebetulan kamu pulang."

Dalam keheningan yang mencekam, Diva menyadari keterlibatannya seiring dengan penjelasan ibunya. Air mata hampir jatuh dari matanya. "Mami, apa Mami ingin mengatakan bahwa kalian mengirimkan aku sebagai 'bayaran' kepada Arka?"

Diana mengangguk perlahan, air mata pun turut memenuhi pelupuk matanya. "Kami pikir ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sinclair Group. Kamu adalah satu-satunya yang bisa melakukannya, Diva."

"B-Bagaimana dengan Wirasasongko? Apakah mereka tidak bisa membantu?"

Diana menggeleng lemah, "Mami melarangnya berurusan dengan keluarga Sasrabahu. Jika tidak, mereka juga akan bernasib sama seperti kita."

Dalam kebingungan dan keputusasaan, Diva merasa seperti hancur menjadi potongan-potongan kecil. Segala kebebasan yang baru saja ia capai setelah mengakhiri hubungan dengan Daniel, seolah-olah telah direnggut kembali. Ia merasa seperti ditelikung oleh keluarganya sendiri, terjebak dalam permainan yang lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan. Diva tidak henti-hentinya mempertanyakan arah takdir yang telah mengantarnya pada situasi penuh penderitaan ini.

Suaranya bergetar, sarat akan perasaan yang berkecamuk. "Mengapa? Mengapa kalian tega sekali?"