"DANIEL! Bagaimana, sih, istri kamu? Kemarin kebakaran, sekarang mesin cuci rusak, besok apalagi hah?" Teriakan Radmila di telepon sangat nyaring hingga Daniel menjauhkan ponsel dari telinganya..
Daniel baru saja selesai berbenah di ruangan kerja yang baru. Seusai BenStory diakuisisi Escort Labels, kantornya pindah. BenStory menempati salah satu unit di gedung Escort yang baru saja direnovasi. Lelah beres-beres bukannya bersantai, ia malah harus menghadapi kemarahan ibunya."Dia begitu gara-gara kamu memanjakannya selama ini, Daniel! Tidak tahu diri sekali! Dipikir dia adalah anak konglomerat yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki saja? Baju arisan Mama juga berlubang gara-gara disetrika sama dia. Apa dia sudah gila? Kapan dia bisa bekerja dengan becus?"Daniel menghela napas panjang. Selama ini urusan rumah selalu dikerjakan ART yang direkrut sendiri oleh Diva. Daniel tidak tahu bahwa Diva menyewa ART karena istrinya itu payah dalam urusan rumah tangga. Tapi sejak BenStory mulai bangkrut, gaji Diva dialihkan untuk pesangon para karyawan yang terpaksa di-PHK. Daniel juga rugi besar, tabungannya sudah terkuras habis dan investasinya gagal. Ekonomi mereka memburuk sampai di titik mereka tidak bisa lagi membayar gaji ART. Mengakibatkan Diva harus mengerjakannya semuanya sendiri.Radmila mengomel sampai setengah jam berikutnya. Daniel terpaksa menutup telepon dengan alasan rapat. Namun, selang 30 menit berikutnya, Radmila menelpon lagi dengan gila."Kali ini kenapa lagi, Ma?" tanya Daniel dengan nada letih."ISTRI BISU KAMU MENGHILANGKAN CINCIN BERLIAN MAMA!""Hah? Sejak kapan Mama punya cincin berlian?" Daniel bertanya heran."I-itu, itu sebenarnya cincin milik Sania. Mama meminjamnya selama 3 hari untuk pamer di arisan. Tapi cincin itu sekarang hilang, Daniel! Mama harus bagaimana?" Suara Radmila di seberang sana menciut takut."Aduh, semakin rumit saja!""Harganya ratusan juta, Daniel! Hilang begitu saja gara-gara istri kamu tidak mengecek pakaian yang sedang dicucinya! Ini semua salah dia! Dia yang harus ganti rugi!""Mama, dengarkan Daniel dulu," kata Daniel pelan, "Lebih baik Mama dan Diva berusaha mencarinya lagi. Siapa tahu masih ada di sekitar rumah. Masalah Sania biar Daniel yang urus.""Sania jangan sampai tahu dulu, dong, Daniel! Kamu bagaimana, sih?""Sudah, tenang saja. Tidak usah pikirkan Sania. Kalian cari saja cincin itu sampai ketemu. Kalau memang benar-benar hilang, ya sudah mau bagaimana lagi? Daniel akan melobi Sania untuk masalah kerugiannya.""Baiklah kalau begitu. Mama tutup teleponnya."Daniel memijat pangkal hidungnya dengan berat. Kapan masalah ini akan selesai? Mengapa mereka seceroboh itu? Daniel rasanya ingin membanting ponselnya kalau saja ia tak ingat bahwa ini adalah ponsel satu-satunya yang dia miliki.Saat itulah pintu ruangan mendadak terbuka. Sesosok wanita melenggang masuk dengan tersenyum."Selamat siang, Daniel.""Sania?"***"Cepat sana cari di selokan!" Radmila membanting pintu rumah dengan marah, lalu menguncinya dari dalam. Kemudian dia berteriak lagi, "Jangan harap kamu bisa masuk rumah sebelum cincin itu ketemu!"Diva menggerutu dalam hati. Tak habis pikir dengan kelakuan mertuanya yang di luar nalar. Bukan salahnya mesin cuci mereka mati. Tetapi dia yang harus mencuci semua baju mereka secara manual dengan tangan. Mana dia tahu bahwa Radmila meletakkan cincin di saku bajunya? Dia yang disalahkan, dia juga yang harus mencarinya sambil menerima caci maki Radmila. Seakan belum cukup, Radmila masih menyuruh Diva mengais selokan, mengantisipasi cincin itu terbawa air hingga ke sana. Kini Diva harus rela menurunkan kaki dan tangannya di tempat yang menjijikan itu.Selokan itu cukup dalam. Genangan airnya berwarna cokelat keruh dengan arus yang lumayan deras. Diva bergidik jijik ketika kedua tangannya mengais-ngais tanah lembek di dasar selokan. Mencari barang yang entah ada di mana sembari menahan gejolak mual yang sejak pagi tadi dirasakannya.Guntur menggelegar di langit yang menggelap. Disusul rintik-rintik air yang jatuh mengenai punggung Diva. Dia sudah satu jam berdiri membungkuk di dalam selokan, tetapi barang yang dicari tidak ketemu juga.Gerimis semakin deras. Radmila sekarang berdiri di teras untuk mengawasi. Dia akan melotot dan berteriak ketika Diva hendak naik dari selokan.Jadi, mau tak mau Diva meneruskan pencariannya meski hujan telah turun dengan sangat deras. Meski tubuhnya telah basah kuyup, dengan baju melekat di badannya seperti menyatu.'Kenapa hidupku semenyedihkan ini?''Andai saja Diva tahu … bahwa ketika ia sedang kesulitan dan menderita secara fisik dan psikis, di tempat lain suaminya sedang memadu cinta dengan wanita lain.Beberapa jam kemudian, Diva hampir tidak mampu berdiri lagi. Tubuhnya terasa lelah dan gemetar, dan pada akhirnya, dia terjatuh ke tanah. Pandangannya memudar dan segalanya terasa kabur sebelum akhirnya matanya tertutup dalam kelelahan.Tiba-tiba, dia merasakan seseorang mengguncangkan lengannya dengan lembut dan suara cemas memanggil namanya, "Mbak Diva! Apa yang terjadi padamu?"Dengan susah payah, Diva membuka mata dan melihat sosok seorang wanita yang akrab di hadapannya. Tetangganya, Bu Samad, yang selalu ramah dan peduli. Diva mencoba untuk berbicara, tetapi bibirnya terasa kaku dan sulit untuk mengeluarkan kata-kata.Bu Samad berkata, "Mbak Diva harus segera ke rumah sakit! Ayo, Ibu akan membantumu."Dengan bantuan Bu Samad dan beberapa orang lainnya, Diva dibantu naik ke dalam mobil dan dibawa ke rumah sakit terdekat.Sesampainya di rumah sakit, Diva langsung mendapatkan perawatan medis. Namun, ketika dokter memberi tahu hasil pemeriksaan, Diva merasakan dunianya runtuh.Dia mengalami keguguran. Janin berusia satu bulan yang dia kandung telah pergi bahkan sebelum dia sempat menyadari.'Tidak! Janin kecilku ..."Air mata tak tertahankan lagi mengalir dari mata Diva. Rasa sakit dan kehilangan begitu mendalam, membuatnya merasa hancur.Saat dia terbaring di ranjang rumah sakit, Diva merasa begitu rapuh dan terpuruk. Namun, rasa sakit dan kehilangan bukanlah satu-satunya beban yang dia rasakan. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Daniel, ingin memberitahunya tentang apa yang terjadi. Namun, saat dia menekan nomor panggilan, apa yang dia dengar membuat hatinya hancur sekali lagi."Daniel ...,""Sania, kamu ..."Tidak mungkin! Diva membatin.Betapapun inginnya dia menyangkal, tetapi suara desahan dan kata-kata mesra Daniel, bersama dengan suara seorang wanita bernama Sania, mengisi telinganya.Diva terpaku, hampir tidak percaya pada apa yang dia dengar. Suaminya berselingkuh saat dia sedang berduka atas keguguran yang baru saja dia alami. Rasa sakit dan kemarahan bercampur aduk dalam hati Diva. Dia merasa dikhianati dan dihina.'Aku tidak bisa lagi menerima semua ini!'Di balik semua perasaan itu, ada percikan dendam yang mulai tumbuh. Keyakinannya semakin kuat untuk membalas semua perlakuan buruk yang dia terima.Ketika Diva masih merenungi perasaannya yang bercampur aduk, tiba-tiba sebuah bayangan muncul di pintu ruangan. Seorang pria berdiri di sana, sosoknya tinggi menjulang dengan bahu lebar yang nyaris menutupi pintu. Irisnya segelap obsidian, memancarkan kekuatan yang menarik pandangan siapapun yang melihatnya. Darinya, terpancar aura seperti mampu menggenggam dunia ini dalam telapak tangannya. Sorot mata yang tajam dan penuh percaya diri itu, seolah mengatakan bahwa ia adalah penguasa segala yang ia sentuh.Arkais Dirgasena Sasrabahu.'Mengapa dia ada di sini?'Arka mematri Diva dalam pandangannya, tidak beranjak walau seinchi pun. Saat iris terang dan gelap mereka bertemu, mendadak lidah Diva kelu, tidak tahu harus mengatakan apa. Rasa sedih dan kecewa yang begitu mendalam membuatnya sulit untuk berbicara.Sebelum dia bisa mengeluarkan sepatah kata pun, Arka pergi dengan langkah tenang, meninggalkan Diva dalam keheningan.Melihat betapa bermartabatnya sosok Arka, Diva merasakan kekosongan yang semakin dalam di hatinya. Dia merasa begitu jijik pada dirinya sendiri karena telah menjalani lima tahun hidupnya dengan sia-sia.'Andaikan lima tahun yang lalu aku tidak kabur dari rumah, apakah nasibku akan berbeda?'Diva merasa dunia di sekitarnya hancur, seperti reruntuhan yang tak pernah bisa disatukan kembali. Dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, hatinya berat oleh rasa duka yang dalam, terus mengingat janin kecilnya yang telah tiada. Namun, suara dering telepon dari Daniel terus menggema, menciptakan kontras menyakitkan dengan perasaannya yang hancur."Halo! Diva, kamu di rumah, 'kan?" terdengar suara Daniel di ujung telepon, suara yang penuh dengan semangat dan tidak menyadari krisis yang tengah dialami oleh Diva. "Berkas pentingku ketinggalan di meja kamar, bisakah kamu mengantarkannya ke kantor baruku?"Diva ingin menangis, berteriak mengungkapkan betapa hancur hatinya kehilangan calon buah hati. Namun, bisu membuatnya tak bisa berbicara, tak bisa mengungkapkan perasaannya. Hanya bisikan dalam hati yang menyayat, mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa mengekspresikannya dengan kata-kata."Diva? Kenapa diam saja?" tanya Daniel, tanpa menyadari bahwa Diva meratap dalam keheni
Diva merentangkan pandangan ragu-ragu pada pintu besar rumah keluarga Sinclair. Hatinya berdegup kencang, mencampur aduk antara kerinduan dan kekhawatiran. Setelah lima tahun yang panjang, dia kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan dengan gegap gempita. Dia tahu, langkah ini adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan kehormatannya yang terluka.Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya, sosok pria setengah baya yang selalu ia segani berdiri dengan ekspresi tak tertebak. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan pahit kembali menghantam Diva. Dia melangkah maju dengan gemetar, menelan ludah."Kamu?" suara Jeffrey Sinclair keluar dari bibirnya dengan dingin. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih memiliki nyali untuk datang kesini?"Diva menahan air mata yang hampir tumpah. 'Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku sudah menanggung akibatnya. Aku bisu sekarang. Daniel mengkhianati aku, dan aku tidak punya apa-apa lagi.'"Dan apa yang kamu harapkan dari
Setelah melewati proses panjang, Diva akhirnya mendapatkan kembali suara indah yang pernah menjadi identitasnya. Transplantasi pita suara yang dilakukan di rumah sakit luar negeri berkat koneksi dan dukungan finansial ayahnya berhasil mengembalikan suara yang hilang. Bagi Diva, kembalinya suara itu adalah seperti mendapatkan hidupnya kembali. Setiap nada yang keluar dari suaranya terasa sebagai kemenangan atas masa-masa sulit yang telah ia lewati.Tapi suaranya yang telah pulih tidak lantas menjadi alasan untuk merayakannya. Suara itu seolah membawa beban baru, tugas besar yang harus diemban. Diva merencanakan sebuah pertemuan dengan Arka, orang yang harus ia menangkan. Suara yang kini sudah kembali, menjadi alat yang ia gunakan untuk menghadapinya.Diva berdiri di depan gedung megah Bahureksa dengan langkah ragu. Ketinggian bangunan itu seakan sebanding dengan perasaannya yang campur aduk. Dia mengatur napasnya, mencoba untuk mengatasi kecemasan yang membuncah.Berjalan menuju meja re
Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar saat bertanya, "Apa kesepakatan itu?"Dalam detik-detik yang terasa berabad-abad, perasaan Diva berkecamuk. Hatinya berdesir akan harapan, tapi juga terjepit oleh kekhawatiran. Dia mengikuti setiap langkah Arka yang mendekat, tanpa sadar tubuhnya terus mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang keras di belakangnya. Matanya yang terang bertemu dengan iris Arka yang gelap. Diva bisa merasakan intensitas ketegasan dan misteri dari setiap jengkal jarak di antara mereka. Langkah Arka baru berhenti ketika ujung sepatu mereka hanya terpisah oleh sehelai benang saja. Kedua tangan Arka berada dalam saku celana, dan ketika suaranya terucap, itu terdengar amat dingin. "Aku akan memberikan segala yang kau inginkan, dengan harga yang harus kau bayar menggunakan jiwa dan ragamu." Dengan rasa kaget, Diva menyadari bahwa harga itu tak ubahnya seperti memberikan seluruh eksistensinya pada Arka. Dia pun tak kuasa menyembunyikan rasa jijik pada k
"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Yasa mengoceh kesal seraya menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai paling tinggi di gedung Bahureksa.Arka setengah mendengus. "Kita masih punya waktu. Santai saja."Yasa memberi komentar dengan nada pedas, "Santai? Kita hampir terlambat untuk pertemuan yang Tuan sendiri anggap sangat penting."Arka bergumam pelan, "Benar juga." Kemudian dia menoleh pada Yasa. "Lalu katakan padaku siapa yang sudah mengacau di sini?""Yang pertama adalah Tuan Muda Kedua.""Oh? Apa yang dia lakukan?"Yasa menghela napas pendek. "Dia mencuri pesawat yang sudah saya siapkan untuk Anda, dan menerbangkannya ke Makau.""Gizariel?" ulang Arka seakan tak percaya dia melakukan hal seperti itu. Yasa mengangguk membenarkan. "Memang sepintas sulit dipercaya bagi Mas Giza untuk bertindak di luar batas, tapi memang seperti itu kenyataannya."Arka terlihat merenungkan sesuatu sebelum berucap, "Aku percaya pada penilaian adikku. Dia bukanlah seseorang yang bertin
Rumah Arka menjulang megah di tengah kemewahan dan keanggunan. Terik matahari pagi menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan kokoh pada bangunan itu. Seperti sebuah istana modern, rumah tersebut menjadikan setiap orang yang melihatnya terpana.Saat Diva memasuki gerbang utama, aroma harum bunga segar menyapanya dengan lembut. Kicauan burung-burung di taman depan seolah menciptakan senandung yang menyambut kedatangannya.Setapak pertama di dalam rumah menghantarnya ke ruang keluarga yang luas, lengkap dengan perabotan yang elegan dan nyaman. Sofa berwarna lembut ditempatkan di tengah ruangan, menghadap sebuah perapian marmer megah yang memberikan kehangatan visual.Rumah itu terasa begitu luas dan mewah, tetapi secara bersamaan juga kosong dan sepi. Diva merasakan seolah-olah dirinya terjebak dalam dunia yang asing baginya. Pelayan-pelayan yang berlalu lalang sepertinya lebih sibuk dengan tugas-tugas mereka masing-masing. Seakan-akan Diva adalah tamu yang tidak diharapkan.Sement
"Ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri. Menurutmu apa yang ingin aku lakukan, Aurora?" Arka bertanya dengan nada yang begitu tenang, tetapi di dalamnya terdapat isyarat yang tak terbantahkan.Diva merasa jantungnya berdegup semakin cepat. Keringat dingin mengalir di punggungnya, dan dirinya terjebak dalam situasi yang sangat canggung. Dia ingin memberikan jawaban yang tepat, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar dari bibirnya."Tuan Arka, saya …," Diva merasa kata-kata terjepit di kerongkongannya, dan ia merasa jantungnya berdebar semakin keras. Dia merasa tertekan oleh sosok Arka yang berdiri begitu dekat dengannya. Aroma jeruk dan kayu yang menguar dari tubuh pria itu membuatnya sulit bernapas.Arka tersenyum tipis, meskipun Diva tidak bisa melihat ekspresinya dari arah yang sekarang. "Kenapa begitu canggung, Aurora?""Saya hanya ... tidak tahu apa yang harus saya lakukan," kata Diva dengan jujur, mengakui kebingungannya.Arka menimpali lagi, embusan napasnya
Di pagi hari menjelang siang yang cerah, ketika sang surya menggantung dengan percaya diri di langit biru, Diva duduk di kursi meja makan dengan mata yang kosong. Sebuah pertanyaan sederhana dari Arka telah menggiringnya ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Hidupnya, yang semula hanya terasa seperti lagu-lagu yang dinyanyikannya di atas panggung, kini terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Diva mengingat betapa matanya dulu selalu bersinar di bawah sorot lampu panggung saat dia menyanyikan harmoni dan nada, saat suaranya terasa seperti sentuhan malaikat di telinga pendengarnya. Tapi kemudian, semuanya berubah.Diva tidak lagi menginginkan pekerjaan yang sejak dulu selalu menjadi mimpinya itu. Tidak sejak dia mengalami kegagalan total yang menyebabkan hilangnya nada-nada indah dari suaranya. Kegagalan yang membuat dia diminta turun dari atas panggung, disoraki dengan keras, dan ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Seperti bel
Saat Diva mendongakkan kepala, yang dia temukan adalah Daniel. Pria itu adalah pelaku yang mencengkeran tangannya dengan erat. "Apa yang Anda lakukan, Pak Daniel?" protes Diva menurunkan intonasi suaranya. Merasa khawatir jika suaranya akan menarik perhatian orang lain. Terlebih mereka masih berada di depan ruangan Giza.Tanpa menjawab pertanyaan Diva, Daniel menarik tangan Diva untuk menjauhi ruangan Giza. "Ikut aku."Tetapi sebelum dia sempat melangkah, Diva menahan tubuhnya sendiri hingga Daniel menoleh padanya. "Apa kau ingin kita menjadi tontonan para karyawan? Ayo bicara di tempat yang lebih nyaman."Diva melepaskan tangannya dari cengkeraman Daniel dengan sedikit paksaan. "Saya tidak punya waktu untuk berbicara dengan Anda." Ditatapnya mantan suaminya itu dengan penuh peringatan, "Saya juga bukan orang yang bisa Anda sentuh secara sembarang. Permisi."Diva melenggang dengan cepat. Meninggalkan Daniel yang masih terpaku di tempat, merasa kesal karena Diva menolak ajakannya. Ta
Diva melangkah dengan percaya diri ke dalam ruangan Giza. Saat kakinya baru menjejak selangkah, ia dikejutkan dengan interior ruangan yang sangat bergaya artistik. Seluruh dinding dicat putih, tetapi setengah permukaannya dilukis dengan pemandangan lembah yang indah. Membuat Diva seperti masuk ke dalam pameran seni lukis terkenal. Giza, yang tengah duduk di meja yang terletak di tengah ruangan, seolah menjadi maskot dari karya seni yang diciptakannya."Selamat datang, Diva," Sambutan itu terdengar ramah, ringan, dan santai. "Silakan duduk."Diva buru-buru merespons sambutan Giza dengan sopan. "Terima kasih, Pak Giza." Dia duduk di kursi tamu yang berseberangan dengan kursi Giza. Mereka berdua dipisahkan oleh meja besar yang berisi tumpukan dokumen, sebuah laptop yang tengah menyala, dan juga papan nama persegi panjang bertuliskan nama lelaki di depannya.Gizariel Anthasena S.CEO of Escort Labels.Sayangnya huruf setelah S tidak bisa Diva baca, karena tertutup oleh tumpukan dokumen la
Setelah makan siang, Sania dan Daniel kembali ke ruangan kerja Daniel di lantai bagian BenStory. Ruangan itu memiliki nuansa yang tenang dan terorganisir dengan baik. Sania tampak cemas, matanya mencari jawaban atas keraguan yang mengganggunya."Daniel, aku benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran Diva di perusahaan ini," ucap Sania dengan nada khawatir.Daniel mengerti perasaan Sania dan mencoba memberikan penjelasan. "Sania, kamu tahu 'kan bahwa pernikahanku dengan Diva selalu dirahasiakan dari publik? Itu adalah keputusan kami saat itu untuk melindungi karir Diva. Jadi tidak ada orang yang tahu bahwa kami pernah menikah dan sekarang sudah bercerai. Orang-orang hanya tahu bahwa hubungan kami sebatas mantan atasan dan artisnya. "Sania mengangguk, meskipun masih merasa tidak yakin. "Aku tahu dulu kamu mencintainya. Tapi apakah sekarang perasaan itu masih ada?"Daniel merasa perlu mengungkapkan perasaannya dengan jujur. "Sania, Diva adalah bagian dari masa laluku yang sudah berlalu.
Sebut saja Diva sebagai perempuan paling bodoh di bumi ini, karena di antara kecamuk dendam sengitnya, ternyata masih ada sekelumit perasaan cinta yang tersisa."Hai, semuanya. Boleh aku bergabung di sini?"Suara lembut itu datang dari seorang perempuan cantik yang tersenyum menyapa ketiga orang di meja makan tersebut."Sania?" Raut wajah Daniel berubah cerah dan senyumannya mekar ketika menarik kursi kosong di sebelahnya. "Ayo, duduklah di sini."Sania menatap dua orang lainnya, yaitu Diva dan Rani, meminta persetujuan.Diva dan Rani saling tatap sebelum Diva berdehem melonggarkan tenggorokannya. "Karena Pak Daniel sudah menarik kursi untuk Anda, tidak baik untuk membiarkannya tetap kosong."Diam-diam Rani menginjak ujung kaki Diva di bawah meja. Membuat Diva harus mengontrol ekspresi kesakitannya. Rani tersenyum sopan, "Silakan duduk, Miss Sania."Sania mengangguk kecil sebelum duduk di kursi sebelah Daniel. Dia berterima kasih pada Daniel, lalu mengarahkan perhatiannya ke Diva yang
"Aku seperti pernah melihatmu di suatu tempat, Diva. Tapi aku lupa di mana." Rani berkata sambil terus memandu Diva berjalan menuju ke kafetaria. Jam istirahat sudah tiba, jadi mereka memutuskan untuk makan siang bersama.Diva tersenyum simpul mendengar itu. "Sebenarnya sebelum aku bergabung di perusahaan ini, dulu aku pernah menjadi penyanyi selama beberapa tahun. Meski tidak terlalu terkenal, tapi aku pernah diundang di beberapa variety show televisi nasional. Mungkin kamu pernah melihatku saat itu.""Tunggu!" Rani memegang lengan Diva, menghentikan langkahnya. Ekspresinya terlihat cukup kaget. "Jadi Diva Aurora itu kamu?"Senyum Diva semakin terkembang diiringi anggukan."Omo! Aku tidak menyangka!" seru Rani seraya menutup mulutnya dramatis. "Maafkan aku! Sungguh, aku tidak menyadarinya sampai kamu mengatakannya.""Tidak apa-apa. Lagipula tidak semua orang mengenalku. Aku masih pemula dan biasa-biasa saja saat itu."Rani menggeleng, "Aku tidak setuju itu. Kamu itu luar biasa, Diva!
"Selamat, Diva. Kamu sudah diterima sebagai anggota tim Pengembangan dan Pemasaran Artis Escort yang baru. Sebagai ketua tim, saya dengan senang hati mengatakan bahwa prinsip tim kita adalah kerja sama dan kekeluargaan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik!" ujar seorang laki-laki usia tiga puluhan seraya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Diva.Diva membalas jabatan tangan itu dengan mantap seraya tersenyum tegas, "Terima kasih, Pak Wildan. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik saya agar tidak mengecewakan Anda dan seluruh tim."Wildan mengangguk puas. "Rani," panggilnya pada seorang wanita muda yang segera mendekat pada mereka. "Kamu temani Diva berkenalan dengan yang lain. Dan untuk Diva, karena ini hari pertama kamu, silakan beradaptasi pada lingkungan kerja di sini. Saya ada urusan, harus pergi dulu.""Baik, Pak." Diva dan Rani menjawab serentak.Rani mengulas senyum seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan singkat. "Halo, Mbak. Aku Rani. Boleh kutahu
Arka berjalan cepat ke depan Diva. Setiap langkahnya menyimpan kemarahan yang sanggup membuat lutut Diva lemas. Begitu jarak mereka tersisa satu langkah, Arka meraih pergelangan tangan Diva dengan erat lalu berbalik dan menariknya keluar. "Pulang!" Diva meringis tajam akan cengkeraman Arka yang terasa sakit di pergelangan tangannya. Tapi dia tidak berani memprotes ataupun mengeluarkan suara karena takut Arka akan semakin marah.Saat mereka keluar dari ruang kerja Arka, suara seorang sekretaris wanita memanggil, "Tuan, Anda hendak kemana? Setelah ini Anda harus menghadiri pertemuan terkait proyek EBT. Lalu ada jadwal lainnya yang—""Suruh Yasa mewakili semua urusanku hari ini!" potong Arka tanpa melambatkan langkahnya. Di belakangnya Diva terseok-seok mengikuti langkah panjangnya.Sementara sekretaris yang bernama Megan itu menggerutu kepada pria yang tengah bersembunyi di belakangnya. "Apa yang sudah kamu lakukan, sih, Yasa?! Lihat, semua jadwal yang kubuat susah payah jadi hancur ga
Perjalanan mereka menuju kantor Bahureksa terasa seperti dalam keadaan tegang. Diva mencoba mengendarai mobil dengan cepat, berusaha keras agar Arka tidak terlambat dalam rapatnya yang penting. Hanya beberapa menit lagi sebelum rapat dimulai, dan Diva merasa seolah-olah setiap detik sangat berharga.Arka duduk di samping Diva, tetapi ia hanya memperhatikan Diva tanpa berkata apa-apa. Tatapannya tajam dan penuh tekanan, memaksa Diva untuk berkendara dengan cepat. Diva merasa seperti sedang diuji, dan ketegangan semakin terasa saat jalanan mulai ramai.Dengan hati yang berdebar, Diva berusaha menjaga konsentrasi. Setiap lampu merah terasa seperti penghambat, dan Diva merasa takut ketika melihat Arka yang bersabar di sebelahnya. "Kami akan sampai tepat waktu," ucap Diva dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tiba-tiba, telepon genggam Arka berdering lagi. Arka menjawabnya dengan cepat sambil tetap memandangi Diva. "Ya, Yasa, aku hampir sampai. Tolong persiapkan segalanya."Deng
Di pagi hari menjelang siang yang cerah, ketika sang surya menggantung dengan percaya diri di langit biru, Diva duduk di kursi meja makan dengan mata yang kosong. Sebuah pertanyaan sederhana dari Arka telah menggiringnya ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Hidupnya, yang semula hanya terasa seperti lagu-lagu yang dinyanyikannya di atas panggung, kini terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Diva mengingat betapa matanya dulu selalu bersinar di bawah sorot lampu panggung saat dia menyanyikan harmoni dan nada, saat suaranya terasa seperti sentuhan malaikat di telinga pendengarnya. Tapi kemudian, semuanya berubah.Diva tidak lagi menginginkan pekerjaan yang sejak dulu selalu menjadi mimpinya itu. Tidak sejak dia mengalami kegagalan total yang menyebabkan hilangnya nada-nada indah dari suaranya. Kegagalan yang membuat dia diminta turun dari atas panggung, disoraki dengan keras, dan ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Seperti bel