"Jangan sentuh aku, Diva. Aku tidak bisa." Daniel melepas tangan yang melingkari pinggangnya, kemudian mendorong bahu mungil itu menjauh.
'Kenapa?' Terpancar rasa bingung yang kuat dari bagaimana cara Diva menatap Daniel. Dia mencoba menyentuh Daniel lagi, tapi tangannya segera ditepis dengan dingin.Apa maksudnya ini? Diva bertanya dengan sorot mata terluka.Daniel adalah suami yang intim. Tapi apa yang terjadi sekarang? Gestur penolakan dan keengganan itu sangat jelas hingga membuat Diva tersinggung."Aku muak dengan bagaimana heningnya kamu, Diva. Bercinta denganmu tidak semenyenangkan dulu."Balasan itu membuat Diva tercengang. Gemetar jemarinya saat meraih selimut untuk membungkus bahunya yang polos. Sesuatu pecah di dalam dadanya kala melihat suaminya turun dari ranjang seraya mengancing piyama dengan marah. Diva merasa seperti dia baru saja dibuang seperti seonggok sampah.Tidak berharga.Tidak diinginkan.Seperti belum cukup, Daniel mengatakan hal lain yang sanggup menghancurkannya dalam sekejap."Apa kamu lupa bahwa hasratku hanya bisa terbangun jika mendengar suaramu?"Blar!Rasanya seperti disambar petir di siang bolong.Dulu, suara Diva lah yang memikat Daniel untuk mengajaknya bergabung ke BenStory. Pujian dan privilege dari Daniel selama tahun-tahun awal karirnya semakin menegaskan betapa berharganya suara itu baginya. Bahkan tawaran tak lazim yang dia berikan, menjanjikan separuh saham BenStory sebagai mahar perkawinan, adalah bukti nyata dari seberapa besar dia menyukai suara Diva. Setiap kata yang dia ucapkan penuh dengan kehangatan, mencerminkan rasa rindu dan keinginannya untuk selalu mendengar suara Diva.'Sulit dipercaya, hanya dengan mendengar suaramu saja, aku merasa seperti kehilangan kendali!'Diva sering mendengar kalimat seperti itu, tetapi tidak sepenuhnya mengerti makna di baliknya.Baru ia sadari sekarang, bahwa cara pemujaan Daniel pada suaranya selama ini bukanlah caranya mengekspresikan cinta.Daniel tampaknya telah terobsesi.Sangat terobsesi."Sekarang suaramu hilang, kamu telah mengecewakanku, Diva!"'Kamu bilang itu musibah, Daniel!' jawab Diva merasa tak adil.Wajah Daniel terlihat semakin serius. "Aku mengatakannya di depan pers untuk kepentingan reputasi. Tetapi kesalahan teknik saat menyanyi adalah kelalaianmu sendiri!"Kenyataan pahit melintas di benak Diva. Sebulan yang lalu, suaranya hilang. Ia divonis bisu setelah saraf pita suaranya terluka karena menyanyi dengan nada terlalu tinggi.Semua berubah seketika. Kemampuan bicaranya hilang, karirnya sebagai penyanyi hancur menjadi puing.Dan sekarang,"Aku tidak mau lagi berbagi selimut denganmu, Diva."Daniel mengusirnya dari ranjang mereka.Hancur adalah kata yang kurang adil. Diva lebur dan luluh lantak.***"Istri macam apa kamu, Diva? Kamu mau membakar rumah ini?!" teriak Radmila marah, suaranya terdengar seperti badai yang menghantam Diva.Dengan panik, Diva menggeleng sembari berusaha mengendalikan situasi di sekitarnya. Dia meraih ember air dengan gemetar, berusaha memadamkan nyala api yang menjalar di dapur mereka. Namun, seakan waktu berjalan begitu cepat, api semakin meluas dan dinding-dinding dapur semakin gosong."Bagaimana sih? Memasak saja tidak becus! Sial sekali anakku menikahi wanita yang sudah bisu, bodoh pula!" Radmila kembali melontarkan kata-kata menusuk ke hati Diva. Tangis hampir keluar dari matanya, tapi dia mengusahakan untuk tetap tegar.Daniel melangkah mendekati mereka, ekspresi wajahnya memperlihatkan ketidakpuasan yang mendalam. "Kamu ini bagaimana sih, Diva! Kamu kan tahu sendiri BenStory sedang defisit. Tapi kamu malah membakar rumah!" ujar Daniel dengan nada yang penuh kekecewaan.Tatapannya terpaku pada Diva, memperlihatkan betapa marahnya ia pada situasi ini. Diva bisa merasakan ketakutan di balik kemarahannya, dan hatinya semakin hancur. Dia ingin menjelaskan, berbicara, tapi bisunya membuatnya terdiam.Sekali lagi, Radmila berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dingin dan tajam. "Kamu harus ingat, ART di rumah ini dipecat karena kamu. Jadi, kamulah yang harus menggantikannya mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu malah mengacaukan semuanya dan hampir membakar rumah ini!"Kata-kata itu menusuk hati Diva. Dia ingin berbicara, memberi penjelasan, tapi bisu adalah kutukan yang merenggut kemampuannya untuk membela diri.BenStory, agensi tempat Diva bekerja, sekarang mengalami kesulitan finansial. Dia tahu betul betapa pentingnya kontribusinya bagi agensi itu. Namun, kejadian hari ini membuatnya merasa seperti beban yang lebih berat.Air mata mengalir dari matanya. Diva merasa hampir tenggelam dalam rasa takut, malu, dan putus asa. Diva ingin pergi dari situ, menghindar dari cemoohan ibu mertuanya.Namun, sebelum Diva bisa melangkah pergi, Daniel dengan cepat menangkap pergelangan tangannya. Pegangannya begitu kuat sehingga Diva merintih kesakitan. Matanya terbelalak saat melihat ekspresi Daniel yang penuh dengan amarah dan kekecewaan."Kamu benar-benar membuatku marah, kamu tahu?!" Daniel berteriak, amarahnya terasa seperti bara api yang membakar habis rasa sayang dan pengertian di antara mereka. Pandangannya menusuk tajam ke mata Diva, dan dalam tatapannya terlihat secercah kebencian yang tidak pernah Diva rasakan sebelumnya.Rasa sakit itu menusuk jauh ke dalam hati Diva. Dia bisa merasakan betapa besar kekecewaan Daniel terhadapnya. Semua perasaannya berkecamuk, teriris oleh perkataan ibu mertuanya dan ekspresi suaminya yang penuh dengan kebencian.Radmila menatap putranya, "Daniel, Mama sudah tidak tahan lagi. Kamu harus segera menceraikan wanita ini!""Dia itu sudah tidak berguna, Daniel! Gara-gara dia, BenStory terancam bangkrut! Dia sudah tidak bisa menghasilkan uang. Di rumah pun tidak becus mengerjakan pekerjaan istri! Selain itu, kalian sudah 1 tahun menikah tapi dia belum juga memberimu keturunan. Mama curiga dia itu mandul! Apa kamu tidak malu? Kalau Mama sih, sudah sangat malu punya menantu yang bisu, mandul, dan tidak becus mengurus rumah tangga seperti dia!"Sudah cukup!Diva ingin segera melarikan diri dari tempat itu.Diva mencoba melepaskan tangan Daniel dengan paksa, namun cengkeramannya semakin kuat.'Daniel, lepaskan aku, sakit!' Diva berusaha menyampaikan pesan itu, tetapi kebisuan menghalangi semuanya.Tatapan Daniel penuh amarah dan kekecewaan. Dia merasa seperti semua yang telah dia lakukan dan perjuangkan selama ini sia-sia karena Diva."Kamu selalu saja seperti ini, Diva! Selalu saja menyebabkan masalah dan merugikan aku! Aku capek, capek dengan semua ini!" Daniel berteriak histeris, seolah-olah seluruh dunia sedang runtuh di hadapannya.Diva merasa dadanya sesak. Rasa sakit dan keputusasaan melanda. Dia merasa hancur, merasa seperti tidak berarti lagi di mata Daniel, suaminya yang dulu pernah dia cintai begitu dalam.Air mata tak terbendung lagi mengalir deras dari mata Diva, membasahi pipinya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan, bagaimana dia bisa memperbaiki segala kesalahan yang terjadi.Daniel akhirnya melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Diva, membiarkan istrinya tergolek di lantai dengan tatapan hampa. Dia meninggalkan dapur dengan langkah berat, meninggalkan Diva yang hancur dan terluka di sana.Dalam keheningan yang menyakitkan, Diva meratapi semua yang telah terjadi. Dia merasa seperti segalanya sudah berakhir, seperti hubungan mereka telah hancur berkeping-keping. Dia merasa sendirian, terasing, dan sangat terluka oleh kata-kata dan tindakan Daniel.Dengan suasana rumah yang tegang dan canggung, malam itu seakan menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertengkaran. Diva bisa merasakan gelombang ketegangan yang semakin mendalam di udara, dan dia tahu bahwa ada sesuatu yang belum diungkapkan.Tiba-tiba, suara berderak pintu depan rumah terbuka, menghentikan segala kegiatan yang sedang berlangsung. Daniel masuk dengan langkah cepat, wajahnya memancarkan amarah yang menggelegak. Diva merasakan detakan jantungnya semakin cepat, karena dia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres."Diva!" Daniel meneriakkan namanya dengan suara yang menusuk, membuat Diva merasa seolah-olah seisi tubuhnya membeku."Diva, lihat apa yang telah kau lakukan?!" Daniel berteriak lagi, tatapannya tajam dan penuh amarah, seperti kilat yang menyambar di tengah malam gelap.Dengan tubuh yang bergetar, Diva mencoba menjelaskan, 'Aku tidak... aku tidak tahu apa yang terjadi …,'"Tidak tahu? Tidak tahu?! Kamu pikir aku bodoh, Diva?! BenStory... agensi yang telah aku besarkan dengan susah payah, yang membuatku siap melakukan apa pun... akhirnya bangkrut! Bangkrut, Diva!" Daniel meledak dalam amarah yang membara, tangannya mengepal kuat sampai buku jarinya memutih.Diva terdiam, terpaku oleh berita yang menghantamnya seperti palu raksasa. Dia bisa merasakan semuanya runtuh di sekitarnya, dan dia tahu bahwa suaminya akan melampiaskan semua kekecewaannya padanya."Kamu pikir kamu bisa menghancurkan segalanya dan tidak ada konsekuensinya?! Aku berusaha, Diva! Aku berusaha membangun masa depan kita, tapi kamu... kamu hanya merusak semuanya!" Daniel terus berteriak, kata-katanya memecah keheningan malam.Dengan mata berkaca-kaca, Diva mencoba membela diri, 'Daniel, aku tidak... aku tidak tahu kalau ini akan terjadi …,'"Tidak tahu?! Kamu menghancurkan segalanya, dan kamu berani bilang tidak tahu?! Kamu tidak bisa membela diri, Diva! Kamu... kamu wanita pembawa sial!""Ada apa ini ribut-ribut? Kamu kenapa, Daniel?" tanya Henry yang baru saja pulangDaniel mengacak-acak rambutnya sampai kusut seraya menjerit, "BenStory akan lenyap malam ini juga, Pa!"Henry menepuk bahu putranya menenangkan. "Masih ada satu solusi, Daniel. Kita harus ke kantor sekarang untuk memperjuangkannya!""Apa yang terjadi?" Radmila mengekori Henry dengan cemas."Kita akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan BenStory, Ma. Doakan saja ya!" jelas Henry, "Daniel, ayo cepat!"Setelah mengantar kepergian suami dan putranya, Radmila berencana hendak memarahi Diva lagi. Tetapi menantunya sudah menghilang dan mengunci diri di dalam kamar."Huh, awas kamu ya!"***Keesokan harinya, Diva pergi ke rumah sakit sendirian setelah berhasil menghindar dari amukan pagi Radmila. Dia pergi ke bagian spesialis THT dan menemui dokter yang pernah menanganinya."Begini, Nona. Kerusakan pada pita suara Anda sangat serius. Setelah saya berdiskusi dengan tim dokter saraf di rumah sakit ini, tidak ada
"DANIEL! Bagaimana, sih, istri kamu? Kemarin kebakaran, sekarang mesin cuci rusak, besok apalagi hah?" Teriakan Radmila di telepon sangat nyaring hingga Daniel menjauhkan ponsel dari telinganya.. Daniel baru saja selesai berbenah di ruangan kerja yang baru. Seusai BenStory diakuisisi Escort Labels, kantornya pindah. BenStory menempati salah satu unit di gedung Escort yang baru saja direnovasi. Lelah beres-beres bukannya bersantai, ia malah harus menghadapi kemarahan ibunya."Dia begitu gara-gara kamu memanjakannya selama ini, Daniel! Tidak tahu diri sekali! Dipikir dia adalah anak konglomerat yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki saja? Baju arisan Mama juga berlubang gara-gara disetrika sama dia. Apa dia sudah gila? Kapan dia bisa bekerja dengan becus?"Daniel menghela napas panjang. Selama ini urusan rumah selalu dikerjakan ART yang direkrut sendiri oleh Diva. Daniel tidak tahu bahwa Diva menyewa ART karena istrinya itu payah dalam urusan rumah tangga. Tapi sejak BenStory mulai
Diva merasa dunia di sekitarnya hancur, seperti reruntuhan yang tak pernah bisa disatukan kembali. Dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, hatinya berat oleh rasa duka yang dalam, terus mengingat janin kecilnya yang telah tiada. Namun, suara dering telepon dari Daniel terus menggema, menciptakan kontras menyakitkan dengan perasaannya yang hancur."Halo! Diva, kamu di rumah, 'kan?" terdengar suara Daniel di ujung telepon, suara yang penuh dengan semangat dan tidak menyadari krisis yang tengah dialami oleh Diva. "Berkas pentingku ketinggalan di meja kamar, bisakah kamu mengantarkannya ke kantor baruku?"Diva ingin menangis, berteriak mengungkapkan betapa hancur hatinya kehilangan calon buah hati. Namun, bisu membuatnya tak bisa berbicara, tak bisa mengungkapkan perasaannya. Hanya bisikan dalam hati yang menyayat, mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa mengekspresikannya dengan kata-kata."Diva? Kenapa diam saja?" tanya Daniel, tanpa menyadari bahwa Diva meratap dalam keheni
Diva merentangkan pandangan ragu-ragu pada pintu besar rumah keluarga Sinclair. Hatinya berdegup kencang, mencampur aduk antara kerinduan dan kekhawatiran. Setelah lima tahun yang panjang, dia kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan dengan gegap gempita. Dia tahu, langkah ini adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan kehormatannya yang terluka.Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya, sosok pria setengah baya yang selalu ia segani berdiri dengan ekspresi tak tertebak. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan pahit kembali menghantam Diva. Dia melangkah maju dengan gemetar, menelan ludah."Kamu?" suara Jeffrey Sinclair keluar dari bibirnya dengan dingin. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih memiliki nyali untuk datang kesini?"Diva menahan air mata yang hampir tumpah. 'Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku sudah menanggung akibatnya. Aku bisu sekarang. Daniel mengkhianati aku, dan aku tidak punya apa-apa lagi.'"Dan apa yang kamu harapkan dari
Setelah melewati proses panjang, Diva akhirnya mendapatkan kembali suara indah yang pernah menjadi identitasnya. Transplantasi pita suara yang dilakukan di rumah sakit luar negeri berkat koneksi dan dukungan finansial ayahnya berhasil mengembalikan suara yang hilang. Bagi Diva, kembalinya suara itu adalah seperti mendapatkan hidupnya kembali. Setiap nada yang keluar dari suaranya terasa sebagai kemenangan atas masa-masa sulit yang telah ia lewati.Tapi suaranya yang telah pulih tidak lantas menjadi alasan untuk merayakannya. Suara itu seolah membawa beban baru, tugas besar yang harus diemban. Diva merencanakan sebuah pertemuan dengan Arka, orang yang harus ia menangkan. Suara yang kini sudah kembali, menjadi alat yang ia gunakan untuk menghadapinya.Diva berdiri di depan gedung megah Bahureksa dengan langkah ragu. Ketinggian bangunan itu seakan sebanding dengan perasaannya yang campur aduk. Dia mengatur napasnya, mencoba untuk mengatasi kecemasan yang membuncah.Berjalan menuju meja re
Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar saat bertanya, "Apa kesepakatan itu?"Dalam detik-detik yang terasa berabad-abad, perasaan Diva berkecamuk. Hatinya berdesir akan harapan, tapi juga terjepit oleh kekhawatiran. Dia mengikuti setiap langkah Arka yang mendekat, tanpa sadar tubuhnya terus mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang keras di belakangnya. Matanya yang terang bertemu dengan iris Arka yang gelap. Diva bisa merasakan intensitas ketegasan dan misteri dari setiap jengkal jarak di antara mereka. Langkah Arka baru berhenti ketika ujung sepatu mereka hanya terpisah oleh sehelai benang saja. Kedua tangan Arka berada dalam saku celana, dan ketika suaranya terucap, itu terdengar amat dingin. "Aku akan memberikan segala yang kau inginkan, dengan harga yang harus kau bayar menggunakan jiwa dan ragamu." Dengan rasa kaget, Diva menyadari bahwa harga itu tak ubahnya seperti memberikan seluruh eksistensinya pada Arka. Dia pun tak kuasa menyembunyikan rasa jijik pada k
"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Yasa mengoceh kesal seraya menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai paling tinggi di gedung Bahureksa.Arka setengah mendengus. "Kita masih punya waktu. Santai saja."Yasa memberi komentar dengan nada pedas, "Santai? Kita hampir terlambat untuk pertemuan yang Tuan sendiri anggap sangat penting."Arka bergumam pelan, "Benar juga." Kemudian dia menoleh pada Yasa. "Lalu katakan padaku siapa yang sudah mengacau di sini?""Yang pertama adalah Tuan Muda Kedua.""Oh? Apa yang dia lakukan?"Yasa menghela napas pendek. "Dia mencuri pesawat yang sudah saya siapkan untuk Anda, dan menerbangkannya ke Makau.""Gizariel?" ulang Arka seakan tak percaya dia melakukan hal seperti itu. Yasa mengangguk membenarkan. "Memang sepintas sulit dipercaya bagi Mas Giza untuk bertindak di luar batas, tapi memang seperti itu kenyataannya."Arka terlihat merenungkan sesuatu sebelum berucap, "Aku percaya pada penilaian adikku. Dia bukanlah seseorang yang bertin
Rumah Arka menjulang megah di tengah kemewahan dan keanggunan. Terik matahari pagi menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan kokoh pada bangunan itu. Seperti sebuah istana modern, rumah tersebut menjadikan setiap orang yang melihatnya terpana.Saat Diva memasuki gerbang utama, aroma harum bunga segar menyapanya dengan lembut. Kicauan burung-burung di taman depan seolah menciptakan senandung yang menyambut kedatangannya.Setapak pertama di dalam rumah menghantarnya ke ruang keluarga yang luas, lengkap dengan perabotan yang elegan dan nyaman. Sofa berwarna lembut ditempatkan di tengah ruangan, menghadap sebuah perapian marmer megah yang memberikan kehangatan visual.Rumah itu terasa begitu luas dan mewah, tetapi secara bersamaan juga kosong dan sepi. Diva merasakan seolah-olah dirinya terjebak dalam dunia yang asing baginya. Pelayan-pelayan yang berlalu lalang sepertinya lebih sibuk dengan tugas-tugas mereka masing-masing. Seakan-akan Diva adalah tamu yang tidak diharapkan.Sement
Saat Diva mendongakkan kepala, yang dia temukan adalah Daniel. Pria itu adalah pelaku yang mencengkeran tangannya dengan erat. "Apa yang Anda lakukan, Pak Daniel?" protes Diva menurunkan intonasi suaranya. Merasa khawatir jika suaranya akan menarik perhatian orang lain. Terlebih mereka masih berada di depan ruangan Giza.Tanpa menjawab pertanyaan Diva, Daniel menarik tangan Diva untuk menjauhi ruangan Giza. "Ikut aku."Tetapi sebelum dia sempat melangkah, Diva menahan tubuhnya sendiri hingga Daniel menoleh padanya. "Apa kau ingin kita menjadi tontonan para karyawan? Ayo bicara di tempat yang lebih nyaman."Diva melepaskan tangannya dari cengkeraman Daniel dengan sedikit paksaan. "Saya tidak punya waktu untuk berbicara dengan Anda." Ditatapnya mantan suaminya itu dengan penuh peringatan, "Saya juga bukan orang yang bisa Anda sentuh secara sembarang. Permisi."Diva melenggang dengan cepat. Meninggalkan Daniel yang masih terpaku di tempat, merasa kesal karena Diva menolak ajakannya. Ta
Diva melangkah dengan percaya diri ke dalam ruangan Giza. Saat kakinya baru menjejak selangkah, ia dikejutkan dengan interior ruangan yang sangat bergaya artistik. Seluruh dinding dicat putih, tetapi setengah permukaannya dilukis dengan pemandangan lembah yang indah. Membuat Diva seperti masuk ke dalam pameran seni lukis terkenal. Giza, yang tengah duduk di meja yang terletak di tengah ruangan, seolah menjadi maskot dari karya seni yang diciptakannya."Selamat datang, Diva," Sambutan itu terdengar ramah, ringan, dan santai. "Silakan duduk."Diva buru-buru merespons sambutan Giza dengan sopan. "Terima kasih, Pak Giza." Dia duduk di kursi tamu yang berseberangan dengan kursi Giza. Mereka berdua dipisahkan oleh meja besar yang berisi tumpukan dokumen, sebuah laptop yang tengah menyala, dan juga papan nama persegi panjang bertuliskan nama lelaki di depannya.Gizariel Anthasena S.CEO of Escort Labels.Sayangnya huruf setelah S tidak bisa Diva baca, karena tertutup oleh tumpukan dokumen la
Setelah makan siang, Sania dan Daniel kembali ke ruangan kerja Daniel di lantai bagian BenStory. Ruangan itu memiliki nuansa yang tenang dan terorganisir dengan baik. Sania tampak cemas, matanya mencari jawaban atas keraguan yang mengganggunya."Daniel, aku benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran Diva di perusahaan ini," ucap Sania dengan nada khawatir.Daniel mengerti perasaan Sania dan mencoba memberikan penjelasan. "Sania, kamu tahu 'kan bahwa pernikahanku dengan Diva selalu dirahasiakan dari publik? Itu adalah keputusan kami saat itu untuk melindungi karir Diva. Jadi tidak ada orang yang tahu bahwa kami pernah menikah dan sekarang sudah bercerai. Orang-orang hanya tahu bahwa hubungan kami sebatas mantan atasan dan artisnya. "Sania mengangguk, meskipun masih merasa tidak yakin. "Aku tahu dulu kamu mencintainya. Tapi apakah sekarang perasaan itu masih ada?"Daniel merasa perlu mengungkapkan perasaannya dengan jujur. "Sania, Diva adalah bagian dari masa laluku yang sudah berlalu.
Sebut saja Diva sebagai perempuan paling bodoh di bumi ini, karena di antara kecamuk dendam sengitnya, ternyata masih ada sekelumit perasaan cinta yang tersisa."Hai, semuanya. Boleh aku bergabung di sini?"Suara lembut itu datang dari seorang perempuan cantik yang tersenyum menyapa ketiga orang di meja makan tersebut."Sania?" Raut wajah Daniel berubah cerah dan senyumannya mekar ketika menarik kursi kosong di sebelahnya. "Ayo, duduklah di sini."Sania menatap dua orang lainnya, yaitu Diva dan Rani, meminta persetujuan.Diva dan Rani saling tatap sebelum Diva berdehem melonggarkan tenggorokannya. "Karena Pak Daniel sudah menarik kursi untuk Anda, tidak baik untuk membiarkannya tetap kosong."Diam-diam Rani menginjak ujung kaki Diva di bawah meja. Membuat Diva harus mengontrol ekspresi kesakitannya. Rani tersenyum sopan, "Silakan duduk, Miss Sania."Sania mengangguk kecil sebelum duduk di kursi sebelah Daniel. Dia berterima kasih pada Daniel, lalu mengarahkan perhatiannya ke Diva yang
"Aku seperti pernah melihatmu di suatu tempat, Diva. Tapi aku lupa di mana." Rani berkata sambil terus memandu Diva berjalan menuju ke kafetaria. Jam istirahat sudah tiba, jadi mereka memutuskan untuk makan siang bersama.Diva tersenyum simpul mendengar itu. "Sebenarnya sebelum aku bergabung di perusahaan ini, dulu aku pernah menjadi penyanyi selama beberapa tahun. Meski tidak terlalu terkenal, tapi aku pernah diundang di beberapa variety show televisi nasional. Mungkin kamu pernah melihatku saat itu.""Tunggu!" Rani memegang lengan Diva, menghentikan langkahnya. Ekspresinya terlihat cukup kaget. "Jadi Diva Aurora itu kamu?"Senyum Diva semakin terkembang diiringi anggukan."Omo! Aku tidak menyangka!" seru Rani seraya menutup mulutnya dramatis. "Maafkan aku! Sungguh, aku tidak menyadarinya sampai kamu mengatakannya.""Tidak apa-apa. Lagipula tidak semua orang mengenalku. Aku masih pemula dan biasa-biasa saja saat itu."Rani menggeleng, "Aku tidak setuju itu. Kamu itu luar biasa, Diva!
"Selamat, Diva. Kamu sudah diterima sebagai anggota tim Pengembangan dan Pemasaran Artis Escort yang baru. Sebagai ketua tim, saya dengan senang hati mengatakan bahwa prinsip tim kita adalah kerja sama dan kekeluargaan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik!" ujar seorang laki-laki usia tiga puluhan seraya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Diva.Diva membalas jabatan tangan itu dengan mantap seraya tersenyum tegas, "Terima kasih, Pak Wildan. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik saya agar tidak mengecewakan Anda dan seluruh tim."Wildan mengangguk puas. "Rani," panggilnya pada seorang wanita muda yang segera mendekat pada mereka. "Kamu temani Diva berkenalan dengan yang lain. Dan untuk Diva, karena ini hari pertama kamu, silakan beradaptasi pada lingkungan kerja di sini. Saya ada urusan, harus pergi dulu.""Baik, Pak." Diva dan Rani menjawab serentak.Rani mengulas senyum seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan singkat. "Halo, Mbak. Aku Rani. Boleh kutahu
Arka berjalan cepat ke depan Diva. Setiap langkahnya menyimpan kemarahan yang sanggup membuat lutut Diva lemas. Begitu jarak mereka tersisa satu langkah, Arka meraih pergelangan tangan Diva dengan erat lalu berbalik dan menariknya keluar. "Pulang!" Diva meringis tajam akan cengkeraman Arka yang terasa sakit di pergelangan tangannya. Tapi dia tidak berani memprotes ataupun mengeluarkan suara karena takut Arka akan semakin marah.Saat mereka keluar dari ruang kerja Arka, suara seorang sekretaris wanita memanggil, "Tuan, Anda hendak kemana? Setelah ini Anda harus menghadiri pertemuan terkait proyek EBT. Lalu ada jadwal lainnya yang—""Suruh Yasa mewakili semua urusanku hari ini!" potong Arka tanpa melambatkan langkahnya. Di belakangnya Diva terseok-seok mengikuti langkah panjangnya.Sementara sekretaris yang bernama Megan itu menggerutu kepada pria yang tengah bersembunyi di belakangnya. "Apa yang sudah kamu lakukan, sih, Yasa?! Lihat, semua jadwal yang kubuat susah payah jadi hancur ga
Perjalanan mereka menuju kantor Bahureksa terasa seperti dalam keadaan tegang. Diva mencoba mengendarai mobil dengan cepat, berusaha keras agar Arka tidak terlambat dalam rapatnya yang penting. Hanya beberapa menit lagi sebelum rapat dimulai, dan Diva merasa seolah-olah setiap detik sangat berharga.Arka duduk di samping Diva, tetapi ia hanya memperhatikan Diva tanpa berkata apa-apa. Tatapannya tajam dan penuh tekanan, memaksa Diva untuk berkendara dengan cepat. Diva merasa seperti sedang diuji, dan ketegangan semakin terasa saat jalanan mulai ramai.Dengan hati yang berdebar, Diva berusaha menjaga konsentrasi. Setiap lampu merah terasa seperti penghambat, dan Diva merasa takut ketika melihat Arka yang bersabar di sebelahnya. "Kami akan sampai tepat waktu," ucap Diva dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tiba-tiba, telepon genggam Arka berdering lagi. Arka menjawabnya dengan cepat sambil tetap memandangi Diva. "Ya, Yasa, aku hampir sampai. Tolong persiapkan segalanya."Deng
Di pagi hari menjelang siang yang cerah, ketika sang surya menggantung dengan percaya diri di langit biru, Diva duduk di kursi meja makan dengan mata yang kosong. Sebuah pertanyaan sederhana dari Arka telah menggiringnya ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Hidupnya, yang semula hanya terasa seperti lagu-lagu yang dinyanyikannya di atas panggung, kini terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Diva mengingat betapa matanya dulu selalu bersinar di bawah sorot lampu panggung saat dia menyanyikan harmoni dan nada, saat suaranya terasa seperti sentuhan malaikat di telinga pendengarnya. Tapi kemudian, semuanya berubah.Diva tidak lagi menginginkan pekerjaan yang sejak dulu selalu menjadi mimpinya itu. Tidak sejak dia mengalami kegagalan total yang menyebabkan hilangnya nada-nada indah dari suaranya. Kegagalan yang membuat dia diminta turun dari atas panggung, disoraki dengan keras, dan ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Seperti bel