Kafkha bergegas meninggalkan rumah sakit. Danar yang berpapasan di lobi rumah sakit mengikutinya tanpa sepengetahuan pria itu. Setelah mendapatkan berita mengenai kepergian Bunga dari Jelita, Kafkha bergegas ke rumah itu. Rasa tidak rela yang disembunyikannya terkuak dari caranya merespons berita itu. Ia baru sadar tidak bisa kehilangan Bunga dalam hidupnya.Setelah mobil berhenti di tepi jalan, di depan rumah Bunga, Kafkha berlari masuk ke pekarangan rumah, menghampiri Jelita dan Willa yang sudah berada di teras rumah dalam kecemasan. “Di ke mana, Ma?” tanya Kafkha. “Setelah dia pergi, baru kamu bertanya di ke mana? Berapa kali Mama jelaskan kepada mu sebelumnya? Kamu masih ingin melepaskan kepergiannya? Kamu menyesal karena tidak melihat dia pergi?” Jelita melayangkan banyak pertanyaan kepada anaknya itu dengan sorot mata teramat marah. “Brengsek!”Hadian datang dan langsung memukuli Kafkha.“Apa yang kamu katakan padanya sampai dia pergi? Tidak cukup dia meninggalkan rumahmu?” “
Dua Tahun Kemudian ....Kafkha dalam kondisi lemah, wajah pucat dan batuk dan berkesudahan terdengar dari kamar yang gelap. Padahal, saat itu masih siang, cuaca cerah. Cahaya tidak terlalu terang karena gorden menutupi jendela kaca, menghadang cahaya matahari masuk di siang hari. Di atas pangkuannya ada laptop, ia mengetikkan jari jemari di atas keyboard laptop, melanjutkan tulisan Bunga yang terbengkalai setelah belajar kepenulisan satu bulan terakhir. 'Semua menghilang, ego yang tinggi dan ketidakpastian hati melepaskan segalanya. Benar, penyesalan itu berada diakhir, dan kehilangan itu terasa setelah dirinya pergi. Ketika dirinya masuk dalam hidup yang mati ini, ada senyuman dan rasa bahagia yang berbeda. Setelah dirinya pergi, semua kembali mati, bahkan lebih dari itu. Karakter utama pria ingin bertemu karakter utama wanitanya, ia menuliskan takdir di mana mereka bisa kembali lagi, memulai semuanya dari awal.'Semua itu ditulis Kafkha di akhir bab yang ditulisnya. Sebelumnya ia m
Bunga terdiam kaku di pintu dapur dengan badan membelakangi Kafkha, perlahan ia memutar badan ke belakag, tersenyum cengengesan. “Saya pernah ke sini dulu. Kebetulan Ibuk yang tinggal di sini pernah mempersilakan saya ke kamar mandi yang ada di dapur ini. Tapi, itu sudah lama, sekitar dua tahun lalu. Ibuk itu di mana? Kelihatannya rumah sunyi,” kata Bunga, menyebut Jelita. “Dia … dia sudah pindah. Kalau begitu kamu bisa lanjut ke kamar mandi,” kata Kafkha dan beralih duduk di sofa, menunggu Bunga yang disangka kurir itu keluar dari rumahnya. Selagi menunggu, Kafkha membuka kotak berukuran sedang yang dibawa oleh Bunga. Ia menemukan beberapa obat demam, seperti sakit kepala dan berhubungan dengan pencernaan dengan mereka biasa yang digunakan olehnya. Kafkha menggeledah isi kotak itu, merasa Bunga orang yang mengirim itu karena tahu dengan obat-obatnya. Kafkha berdiri, berjalan menuju dapur. Kakinya berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi, menunggu Bunga di sana. Badannya
“Bodoh. Mengapa aku tidak berpikir kalau dia seorang dokter. Keberadaannya di rumah sakit bukan hanya karena sakit, tapi karena profesinya,” celoteh Bunga sambil berjalan menuju ruangan dokter yang menangani Raisa tadi. Setelah mendapatkan ponselnya, Bunga menghubungi Haidan, menyuruh pria itu tidak menunggunya dengan alasan ingin menemui seseorang. “Kamu mau bertemu siapa?” tanya Haidan. “Teman.”“Teman mana lagi?”“Hmm … Willa. Sepertinya aku harus bertemu dengannya. Tidak enak tidak memberitahunya kalau aku ada di sini. Kalau begitu, udah dulu,” kata Bunga dan memutuskan sambungan telepon. “Aku pikir bertemu Kafkha. Baguslah,” kata Haidan dan menyalakan mobil, mengemudikan mobil meninggalkan rumah sakit itu. Mereka sama-sama lupa dengan tas yang ada di mobil itu. Haidan lupa kalau tas Bunga yang berisikan dompet dan uang cash ada di mobilnya, di sampingnya. Begitu juga dengan Bunga, ia lupa tasnya ada di mobil pria itu karena fokusnya pada Kafkha. Hampir satu jam Bunga menung
Bunga menoleh ke belakang, menatap Kafkha yang memasang wajah datar. Ia salah paham karena tas belanjaan di tangan wanita itu, membuatnya berpikir kalau Kafkha memiliki hubungan baik dengan wanita itu hingga dengan santainya wanita itu membawa belanjaan ke sana, terlihat seakan sudah sering. Bunga melanjutkan kaki berjalan keluar dari rumah itu, mengabaikan Risa. Kafkha mengejarnya.“Dokter,” panggil Risa.Kafkha mengabaikan keberadaan Risa, mengutamakan Bunga, menghadang wanita itu agar tidak pergi. Gerbang rumah ditutup Kafkha, dikunci dan memegang kedua bahu Bunga. “Jangan tinggalkan aku. Semua sudah pergi, Mama juga pergi. Aku mohon …,” ucap Kafkha dengan wajah memelas. “Apa perlu aku bersujud? Baik, akan aku lakukan,” kata Kafkha dan bertekuk lutut di hadapan Bunga. “Kamu apa-apaan? Jangan membuatku semakin kesal,” ucap Bunga sambil melangkah mundur. Tingkah Kafkha disaksikan Risa. “Aku bilang sekali lagi, kita tidak bisa bersama lagi. Terima kenyataannya.”“Kenapa?” tanya K
Kafkha membuka pintu kamar di mana Raisa berada, ia membiarkan Bunga membawa anak itu meninggalkan rumah meskipun hatinya terasa berat untuk melepaskan mereka pergi. Tahu Bunga mencintai orang lain dan terluka saat bersamanya, ia melepaskan wanita itu dengan rasa kecewa. “Meskipun kamu bersama pria lain, jangan halangi aku bertemu anakku,” kata Kafkha dengan wajah murung, membuat Bunga berhenti melangkah di tengah ruang tamu.“Kamu Ayahnya. Hakmu untuk bertemu dengannya karena dia adalah darah daging mu. Kamu bisa bertemu dengannya kapanpun,” balas Bunga. “Urus perceraian kita secepatnya,” kata Bunga dan melanjutkan kaki meninggalkan rumah itu. Kafkha hancur. Harapan yang sempat menggantung selama dua tahun ini akhirnya jatuh tanpa ada hasilnya. Tangisnya pecah setelah istri dan anaknya itu pergi, ia seperti sebatang pohon di tengah rumput Padang yang tidak memiliki siapapun.Bunga berjalan keluar dari gerbang rumah dalam tangisnya. Hatinya ikut terluka meninggalkan pria itu, tetapi
Bunga kembali ke kamar Kafkha setelah hari berganti malam, setelah matahari baru terbenam. Wujud Risa sedang menyuapi Kafkha tampak setelah pintu kamar inap pria itu dibuka. Rasa cemburu ngontak hingga ke ubun-ubun ibu satu anak itu, matanya menyipit kesal menonton mereka sampai akhirnya Kafkha memanggilnya.“Bunga.” Kafkha memanggil dengan senyuman lebar. Risa bangkit dari bangku besuk, ia berdiri, mempersilahkan Bunga duduk dengan wajah ramah interaksi. Namun, rasa cemburu membengkokkan perasaan Bunga untuk santai dengan senyuman, ekspresinya berubah dingin. “Terima kasih, Risa,” ucap Kafkha. “Risa? Jangan-jangan, dia dekat dengan wanita itu karena memiliki nama yang sama dengan mendiang istrinya. Toh, selama ini dia dikenal sebagai pria yang dingin dan tidak memiliki kenalan wanita yang cukup dekat dengannya,” kata Bunga, dalam hati. Bunga berjalan masuk, sedangkan Risa meninggalkan ruangan itu dalam balutan seragam perawat yang terpasang di tubuhnya.“Jika kamu sudah makan, ak
“Iya? Nanti malam saya bertemu dengan Bapak. Iya, siang ini masih banyak urusan,” jelas Bunga, berbicara melalui sambungan telepon di mana ponselnya itu terselip di telinga dan pundaknya dengan tangan melap meja yang ada di dapur setelah membersihkan semua ruang di rumah itu. Rumah yang telah ditinggal lama olehnya itu, yang tampak tidak terurus, dibersihkan dan dirapikan Bunga seperti semula. Tinggal dapur dan memasak yang belum dilakukan. “Baiklah. Ada pesta juga? Kapan? Baik. Besok saya akan ke sana bersama Haidan. Terima kasih, Pak,” ucap Bunga dan menaruh ponselnya ke atas meja. Baru ponsel itu ditaruh di sana, alat komunikasi jarak jauh itu malah berdering kembali. Bunga menghela napas sedikit kesal karena sejak tadi disibukkan benda itu selain pekerja rumah. Baju daster yang terpasang di tubuhnya sudah dipenuhi keringat dan bau apek karena debu. “Iya, Haidan …?”Orang yang menghubunginya adalah Haidan.“Kamu sudah mendapatkan undangannya? Besok kita harus menghadiri pernikah
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha