Bunga melepaskan pelukan Haidan dan melanjutkan kaki melangkah memasuki mobil yang terparkir di tepi jalan. Haidan terus mengikutinya dan ikut masuk, duduk di samping Bunga, masih membujuk wanita itu untuk bersamanya dan meninggalkan Kafkha yang sakit-sakitan. “Untuk apa kamu masih ingin bersamanya? Tidakkah kamu kewalahan menjaga orang yang tidak tau sampai kapan umurnya itu?” tanya Haidan, menatap Bunga yang duduk dengan pandangan menahan amarah yang mengarah ke depan. Bunga mendelik ke arah Haidan. “Entah siapa yang duluan tidak berumur panjang. Jangan berkata begitu jika kamu bukan Tuhan. Ingat, sudah tanggung jawabku untuk menjaga suamiku. Sekarang, keluar!” titah Bunga. Haidan terdiam. Perlahan senyuman muncul di bibirnya dan beranjak keluar dari mobil itu. Sejenak Bunga dibuat sedikit bingung dengan tingkah Haidan yang mudah di usir dari sikap kerasa pria itu sebelumnya. Bunga mengabaikan sikap pria itu dan mengemudikan mobil meninggalkan keberadaan Haidan. Pria itu masih
Bunga meredam emosi, berusaha kembali untuk berpikiran positif. Ia mengikuti Risa dan Kafkha dari belakang, sampai akhirnya mengambil alih tugas yang diberikan suaminya itu kepada Risa sebelumnya untuk mendorongnya kembali ke kamarnya. Karena tidak ingin Bunga mengambil tugas Risa, Kafkha menepis kasar kedua tangan istrinya itu dari kursi rodanya. Ia menoleh ke belakang, mengangkat pandangan dengan mata sinis kepada sang istri. “Kamu kenapa tiba-tiba berubah begini? Salah aku, apa? Seharusnya aku yang marah kepadamu karena kamu dan ….” Bunga menggantungkan perkataannya setelah sadar emosi terselubung rasa marah yang terpendam itu hendak dikeluarkan seluruhnya. "Jika aku membuat kesalahan, kamu bisa bilang," kata Bunga, berbicara baik-baik. Kafkha mengeluarkan selembar kertas dari saku baju pasien yang masih terpasang di badannya, ia menaruh kertas berukuran kecil itu yang merupak foto, di atas telapak tangan kanan Bunga. Kemudian, Kafkha memutar sendiri ban kursi rodanya. "Ayo," a
Bunga menuruni tangga kamar bersama Raisa dalam gendongannya bersama perasaan bahagia karena ingin mengajak anaknya itu bertemu Kafkha. Setelah membuka pintu kamar tamu, Bunga melihat Risa sudah di sana, sedang berbicara bersama Kafkha dengan topik tampak menyenangkan sampai mereka tertawa ringan. Selain merasa kaget, Bunga merasa kedatangannya malah mengganggu karena mereka sontak diam menatapnya yang baru masuk. “Aku mengajak Raisa bertemu denganmu. Sepertinya dia merindukan mu,” kata Bunga dengan sedikit senyuman. Kafkha menatap Raisa dengan wajah datar. Pria itu menyodorkan tangan, meminta anak itu diberikan padanya. Bunga tersenyum ringan dan lanjut berjalan dari pintu menghampiri mereka, memberikan bocah itu pada Kafkha. “Hai, Sayang …!” Risa yang duduk di bangku di samping kasur, ikut menyapa bocah itu. “Iya, Tante ....” Kafkha bertingkah sok asik dan akrab bersama Risa. Mereka berdua terlihat dekat, memunculkan kecemburuan di hati Bunga yang ditahan wanita itu dengan gigi
Deringan telepon menghentikan tangis Bunga. Wanita itu berdiri, bangkit dari posisi duduknya di lantai sambil menyeka air mata dan berjalan menghampiri ponsel yang ada di atas meja, di samping kasur. Ia melihat nomor baru menghubungi nomornya dan menjawab sambungan telepon itu.“Bu Bunga? Proses pencetakan bukunya hampir selesai. Ceritanya bagus sekali, sampai saya sendiri terbawa perasaan saat membacanya,” kata seorang wanita dari seberang sana, berbicara seolah mereka akrab. Dahi Bunga mengerut bingung, tidak mengerti dengan perkataan wanita yang tidak diketahui siapa orang itu. “Ini siapa? Perasaan saya tidak menggunakan jasa cetak buku akhir-akhir ini karena saya sedang sibuk mengurus naskah film. Ini penerbit apa, ya?” tanya Bunga, penasaran. Tidak ada jawaban dari seberang sana, senyap, dan sambungan telepon berakhir begitu saja, tanpa ada jawaban. Bunga menurunkan ponsel yang sempat di tempelkan di telinga kanannya, ia memperhatikan nomor itu dengan perasaan bingung dan pena
Bunga ke rumah Willa, ia mencurahkan semua perasaan, rasa sedihnya kepada sahabatnya itu dengan air mata menetes tidak terhenti. Willa merasa miris dengan cerita Bunga, membuatnya ikut prihatin juga berpikir keras mengingat Kafkha rasanya bukan orang yang bisa mendua. Sejenak Willa diam, memikirkan cerita Bunga yang saat ini duduk di sampingnya, di teli kasur, di mana Bunga menepuk pelan punggung Raisa yang baru tidur. "Kalau salah paham mengira kamu selingkuh, mungkin saja. Tapi, coba pikir, dia menyendiri selama dua tahun lebih karena istri pertamanya. Kemudian, dia juga menyendiri karenamu. Jadi, rasanya tidak mungkin dia mendua dengan suster Risa. Bukankah karakter suster itu juga baik?" tanya Willa setelah mengeluarkan pendapatnya. "Awalnya aku juga merasa begitu. Aku berusaha berpikir positif sampai akhirnya rasa percaya ku goyah ketika dia memberikan cincin untuk suster Risa," jelas Bunga. "Kamu pernah bercerita sebelumnya mengenai dokter Kafkha pernah berbohong untuk mengh
Ponsel menempel di antara pundak dan telinga Bunga ketika wanita itu sedang memasak untuk sarapan pagi. Kafkha memperhatikan tingkah istrinya itu sejak tadi, menyadari Bunga berbicara bersama pria bernama Alex yang tidak diketahui Kafkha adalah Danar. Sebenarnya kondisi ponsel Bunga saat itu mati, ia hanya berpura-pura sedang tersambung dengan pria bernama Alex itu. "Terima kasih Bunganya. Bagus sekali," ucap Bunga dan menoleh ke belakang, menatap buket bunga mawar di atas meja makan, di mana Kafkha duduk di salah satu bangku, sedang menggendong Raisa. "Bukankah ini terlihat bodoh? Mengapa aku membiarkan istri berhubungan dengan pria lain di hadapanku?" tanya Kafkha, dalam hati, bersama perasaan kesal. "Baiklah. Dah ...." Bunga memutuskan sambungan telepon dan menaruh ponsel itu ke samping wastafel, lanjut memasak. "Kamu tidak merasa bersalah selingkuh di hadapanku? Aku masih hidup," kata Kafkha, cemburu. Bunga diam, mengabaikan perkataan Kafkha, menarik rasa kesal pria itu. Kaf
Bunga berdiri di depan jendela bagian dalam kamar tamu, kedua tangannya menyilang di dada, dan pandangannya mengarah ke luar dengan wajah terlihat kesal dalam diamnya. Di belakangnya, Kafkha duduk di tepi kasur dengan perasaan merasa bersalah. "Kamu tidak menganggapku ada. Itu sebabnya kamu selalu menjalankan diriku darimu seolah aku tidak bisa bertanggung jawab denganmu," kata Bunga."Maksudku bukan begitu.""Aku sudah tau segalanya. Malam itu aku sudah berbicara bersama Haidan, di sana juga ada dokter Danar dan Willa. Haidan menceritakannya, kalau kamu sengaja bersekongkol dengannya untuk membuatku menjauh darimu agar bisa bersama Haidan. Kamu pikir aku boneka?" Bunga memutar badan ke belakang, mengeluarkan sedikit emosi. "Jangan kekanak-kanakan. Kita sudah dewasa dan kita selesaikan semua masalah secara kedewasaan," kata Bunga sambil menghampiri Kafkha, berdiri di hadapan suaminya itu dengan wajah emosi. Kafkha hanya diam dengan kepala tertunduk bersama perasaan merasa bersalahn
Bunga berdiri di samping Danar, memperhatikan pria itu memeriksa kondisi Kafkha pagi ini yang belum sadarkan diri sejak semalam. Banyak alat-alat yang rumah sakit yang menempel di tubuh Kafkha, membuat Bunga khawatir, takut suaminya itu benar-benar tidak bisa bertahan. “Donor jantung itu masih belum didapatkan?” tanya Bunga kepada Danar. “Kami sedang mengusahakannya. Jangan cemas, kamu hanya perlu berdoa. Biar kami yang akan mencarinya,” kata Danar, prihatin melihat kondisi Bunga yang tidak bisa tidur sejak semalam dan kerjaan wanita itu hanya mencemaskan kondisi Kafkha.“Dokter!” panggil Risa dari pintu kamar dengan salah satu tangan Risa masih menggenggam handle pintu. Danar menoleh ke belakang, menatap Risa dengan interaksi kontak mata yang memiliki penafsiran. Danar menganggukkan kepala, lalu tangan kanannya menepis pelan bahu kiri Bunga sebagai interaksi pamit, dan keluar dari kamar itu mengikuti Risa. Bunga beranjak duduk di bangku besuk. Ia menggenggam tangan kanan Kafkha d