Bunga berdiri di samping Danar, memperhatikan pria itu memeriksa kondisi Kafkha pagi ini yang belum sadarkan diri sejak semalam. Banyak alat-alat yang rumah sakit yang menempel di tubuh Kafkha, membuat Bunga khawatir, takut suaminya itu benar-benar tidak bisa bertahan. “Donor jantung itu masih belum didapatkan?” tanya Bunga kepada Danar. “Kami sedang mengusahakannya. Jangan cemas, kamu hanya perlu berdoa. Biar kami yang akan mencarinya,” kata Danar, prihatin melihat kondisi Bunga yang tidak bisa tidur sejak semalam dan kerjaan wanita itu hanya mencemaskan kondisi Kafkha.“Dokter!” panggil Risa dari pintu kamar dengan salah satu tangan Risa masih menggenggam handle pintu. Danar menoleh ke belakang, menatap Risa dengan interaksi kontak mata yang memiliki penafsiran. Danar menganggukkan kepala, lalu tangan kanannya menepis pelan bahu kiri Bunga sebagai interaksi pamit, dan keluar dari kamar itu mengikuti Risa. Bunga beranjak duduk di bangku besuk. Ia menggenggam tangan kanan Kafkha d
Bunga membawa Raisa ke dapur, memperlihatkannya kepada gadis kecil itu, yang saat ini duduk di bangku meja makan, memperhatikan Jelita membuat kue. Melihat anak digendong Bunga, gadis itu tersenyum antusias, ia tampak suka pada bocah itu. Bunga duduk di samping Raisa dan memperlihatkan wajah anaknya itu ke arah gadis kecil itu. "Cantik sekali," puji Raisa. "Jadi, siapa yang menang?" tanya Bunga, bercanda. "Adik kecil ini. Dia cantik, putih, dan lihat! Dia tersenyum padaku," ucap Raisa, tersenyum senang.Jelita dan Bunga tersenyum melihat tingkah Raisa yang tampak bahagia. Meskipun tahu Raisa bukan anak kandung Kafkha, Bunga dan Jelita tidak berubah, mereka memperlakukan anak itu seperti Raisa sebelumnya. Di tengah mereka sedang menikmati waktu dalam candaan, Stella datang ke rumah itu bersama emosionalnya karena Bunga membawa Raisa tanpa izin padanya langsung. Stella menerobos masuk, menggelegarkan suara memanggil Raisa dari ruang tamu rumah itu bersama mata mencari-cari. Bunga k
Bunga duduk di bangku taman dengan mata dipejam, di bawah langit malam yang cerah dipenuhi bintang-bintang berkelipan. Kafkha dalam setelan jaket tebal dan menggunakan syal duduk di atas kursi roda di hadapan Bunga sedang menunggu sesuatu dengan mata menoleh ke kanan, memperhatikan Raisa, Danar, dan Jelita yang berjalan menghampiri mereka bersama kue di tangan Risa. Kue itu dihadapkan Risa ke arah Bunga, sejajar dengan dada wanita itu. "Sekarang sudah boleh buka mata?" tanya Bunga, tidak sabar ingin melihat kejutan apa yang diberikan suaminya itu. "Boleh." Bunga langsung membuka mata dan menatap kaget kue di hadapannya, meskipun sudah bisa menebak hal itu akan terjadi. Kue yang ada di hadapannya saat ini adalah kue yang dibuat Jelita, sempat dilihatnya sekejap saat itu ketika berganti pakaian di rumah sebelum akhirnya kembali ke rumah sakit. "Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Kafkha. "Umm ... aku terharu," kata Bunga. "Tiup lilinnya," suruh Jelita. Bunga menganggukkan kepala
Bunga berhenti di tengah kamar Kafkha, ia berdiri di hadapan suaminya itu. Bunga menatap Kafkha yang masih memalingkan muka darinya sampai akhirnya pria itu meneteskan air mata saat menatapnya. Kafkha sejak tadi menahan air mata kesedihan dan kekecewaannya. Ingin sekali rasanya Kafkha memeluk Raisa tadi. Akan tetapi, setelah tahu, mengingat kebenaran kotor dari Marissa yang menghasilkan anak itu, Kafkha jadi ikut membenci Raisa. "Kenapa? Aku bisa melihat kamu masih sangat menyayangi anak itu. Lalu, mengapa kamu malah menghindarinya seolah kamu membencinya?" tanya Bunga, setelah membaca tingkah Kafkha sejak tadi. "Aku memang membencinya. Aku tidak suka wanita kotor, aku juga tidak suka anak dari hubungan kotor itu," balas Kafkha, mengagetkan Bunga dengan jawaban tersebut. Bunga memeluk lutut dan memegang kedua tangan Kafkha, menatap suaminya itu dengan wajah memelas. "Sayang ... Raisa itu tidak salah. Dia hanya korban dari hubungan orang tuanya. Contohnya, seperti kita. Jika kita m
Raisa mengintip, melihat Bunga baru menutup pintu, keluar dari kamar Kafkha. Gadis kecil dengan rambut dikepang satu itu berlari ke arah pintu itu, membukanya, dan masuk. Kafkha yang hendak membaringkan badan tak jadi melanjutkan aksi, malah kaget dengan kehadiran anak itu. Bergegas Kafkha mengalihkan pandangan, menoleh ke arah kiri, berpura-pura tidak melihatnya. “Papa …!” panggil Raisa, membuat Kafkha kaget sampai mengarahkan pandangan ke anak itu. “Aku bukan Papamu,” lontar Kafkha dengan tajam. “Ini. Papa dan Mama,” kata Raisa sambil memperlihatkan foto pernikahan Marissa dan Kafkha yang berukuran 5R, foto yang disimpan Stella di dompetnya. “Papa …!” panggil Raisa dengan wajah murung. Kafkha merasa tidak tega melihat wajah murung anak itu. “Pa. Kembali bersama Mama. Kita tinggal bersama,” kata Raisa. Perkataan Raisa membuat Kafkha bingung. Pria itu diam, berpikir keras dengan maksud perkataan anak itu. Bunga yang hendak masuk berhenti melangkah di depan pintu dengan kondisi
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem