Bunga duduk di bangku taman dengan mata dipejam, di bawah langit malam yang cerah dipenuhi bintang-bintang berkelipan. Kafkha dalam setelan jaket tebal dan menggunakan syal duduk di atas kursi roda di hadapan Bunga sedang menunggu sesuatu dengan mata menoleh ke kanan, memperhatikan Raisa, Danar, dan Jelita yang berjalan menghampiri mereka bersama kue di tangan Risa. Kue itu dihadapkan Risa ke arah Bunga, sejajar dengan dada wanita itu. "Sekarang sudah boleh buka mata?" tanya Bunga, tidak sabar ingin melihat kejutan apa yang diberikan suaminya itu. "Boleh." Bunga langsung membuka mata dan menatap kaget kue di hadapannya, meskipun sudah bisa menebak hal itu akan terjadi. Kue yang ada di hadapannya saat ini adalah kue yang dibuat Jelita, sempat dilihatnya sekejap saat itu ketika berganti pakaian di rumah sebelum akhirnya kembali ke rumah sakit. "Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Kafkha. "Umm ... aku terharu," kata Bunga. "Tiup lilinnya," suruh Jelita. Bunga menganggukkan kepala
Bunga berhenti di tengah kamar Kafkha, ia berdiri di hadapan suaminya itu. Bunga menatap Kafkha yang masih memalingkan muka darinya sampai akhirnya pria itu meneteskan air mata saat menatapnya. Kafkha sejak tadi menahan air mata kesedihan dan kekecewaannya. Ingin sekali rasanya Kafkha memeluk Raisa tadi. Akan tetapi, setelah tahu, mengingat kebenaran kotor dari Marissa yang menghasilkan anak itu, Kafkha jadi ikut membenci Raisa. "Kenapa? Aku bisa melihat kamu masih sangat menyayangi anak itu. Lalu, mengapa kamu malah menghindarinya seolah kamu membencinya?" tanya Bunga, setelah membaca tingkah Kafkha sejak tadi. "Aku memang membencinya. Aku tidak suka wanita kotor, aku juga tidak suka anak dari hubungan kotor itu," balas Kafkha, mengagetkan Bunga dengan jawaban tersebut. Bunga memeluk lutut dan memegang kedua tangan Kafkha, menatap suaminya itu dengan wajah memelas. "Sayang ... Raisa itu tidak salah. Dia hanya korban dari hubungan orang tuanya. Contohnya, seperti kita. Jika kita m
Raisa mengintip, melihat Bunga baru menutup pintu, keluar dari kamar Kafkha. Gadis kecil dengan rambut dikepang satu itu berlari ke arah pintu itu, membukanya, dan masuk. Kafkha yang hendak membaringkan badan tak jadi melanjutkan aksi, malah kaget dengan kehadiran anak itu. Bergegas Kafkha mengalihkan pandangan, menoleh ke arah kiri, berpura-pura tidak melihatnya. “Papa …!” panggil Raisa, membuat Kafkha kaget sampai mengarahkan pandangan ke anak itu. “Aku bukan Papamu,” lontar Kafkha dengan tajam. “Ini. Papa dan Mama,” kata Raisa sambil memperlihatkan foto pernikahan Marissa dan Kafkha yang berukuran 5R, foto yang disimpan Stella di dompetnya. “Papa …!” panggil Raisa dengan wajah murung. Kafkha merasa tidak tega melihat wajah murung anak itu. “Pa. Kembali bersama Mama. Kita tinggal bersama,” kata Raisa. Perkataan Raisa membuat Kafkha bingung. Pria itu diam, berpikir keras dengan maksud perkataan anak itu. Bunga yang hendak masuk berhenti melangkah di depan pintu dengan kondisi
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se