Bab 40 : KorbanAku masuk ke dalam kamar dan berpura-pura menangis. Aku melanjutkan akting seolah diri ini paling terluka seantero. Padahal sebenarnya aku sangat puas karena perkelahian tadi sama-sama saling pukul. Hanya saja, aku akan terus bersedih di depan Opa Jhon. Aku terus menangis dan mengaduh sambil mengelus wajah yang memang terasa sakit. Aku terus menangis sedih, walau pun tangisanku hanya modus belaka. Aku terus memeras air mata dan menguatkan suara. “Maria! Maria! Sini kamu?” Opa Jhon memanggil asisten pribadi khususku. Tak lama kemudian, Bibik Maria pun datang. Aku bisa tahu karena mendengar suaranya. Aku pun sengaja memelankan suara agar bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka. “Ada apa Tuan?” “Ke mana saja kamu? Mengapa tidak mendampingi Lolyta di saat Angel menghajarnya? Apa kamu lupa dengan tugasmu ha?” Kedengarannya Opa Jhon sedang memarahi Bibik Maria. Namun, setelah beberapa detik, masih belum kudengar jawaban yang keluar dari mulut wanita paruh baya it
Bab 41 : Babak Belur Pagi harinya aku dan Opa Jhon sarapan bersama. Tidak ada percakapan khusus di antara kami. Hanya dentingan sendok beradu pada piring yang terdengar. Usai sarapan, aku beranjak dari kursi dan menaiki anak tangga menuju kamar. Kuambil tas yang berada di atas meja rias. Kusempatkan diri sebentar untuk bercermin dan merapikan penampilan. “Sudah rapi, sudah wangi. Sekarang apa lagi yang masih kurang?” Aku bertanya pada diri sendiri. Aku melihat pergelangan tangan, ternyata jam tangan belum terpakai. Setelah memakai jam, aku kembali melihat cermin. Wajahku sangat menyedihkan. Ah, tapi aku harus tetap berangkat ke kampus meski dengan keadaan muka babak belur akibat berkelahi dengan Angel kemarin. Sesampainya di bawah, kutemui Opa Jhon di ruang tengah. “Mas, aku berangkat dulu, ya,” pamitku. “Kamu tetap berangkat ke kampus?” Aku mengangguk. Opa Jhon menghela napasnya. “Ya sudah, hati-hati Lolyta.” Aku pun bergegas keluar rumah. Di halaman, Mark dan El suda
Bab 42 : Ancaman ExelAduh mengapa pula dosen tampan ini tiba-tiba ngajak pergi makan keluar. Hatiku memang menginginkannya, tapi logika kembali sadar bahwa aku telah menikah dengan seseorang. Jadi aku harus tetap setia apa pun keadaannya dan bagaimana pun wujudnya. “Saya lagi sakit perut, Pak. Jadi mohon maaf banget tidak bisa untuk memenuhi makan di luar bersama Bapak.” Aku pun berpura-pura memegang perut agar alasanku tampak nyata. Raut Pak Juan pun berubah dan dia menatapku dengan tatapan yang ... entah. Aku sendiri tidak bisa mengartikan tatapannya. “Oh ya sudah kalau begitu,” katanya. “Maaf, ya, Pak. Kalau gitu saya pamit kembali ke kelas ya Pak.” Pak Juan mengangguk. Aku pun segera berdiri dan keluar dari ruangannya. Kututup kembali pintunya dan langsung berlari pergi dari situ. Aku terus berlari menyusuri koridor dengan mata sesekali melihat ke belakang dan tiba-tiba .... Bruk! Aku menabrak seseorang. Kami sama-sama terjatuh ke lantai. Aku meringis karena merasakan ada
Bab 43 : Ghibahin OpaAku mendesah pelan sebelum menjawab. “Baik lah, Mas Sayang jika memang begitu. Aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau lanjut jalan dulu nih. Assalamualaikum,” ucapku manja sambil mengecup ponsel sebelum memutuskan panggilan. Terdengar Opa Jhon sedang mencebik di ujung telepon lalu menjawab salam dan segera dimatikan sambungan telepon kami. Aku pun tertawa dalam hati. “Mark, El,” panggilku. El menoleh sedangkan Mark yang sedang mengemudi hanya melirik dari kaca spion saja. “Kita pergi makan di restoran, yuk,” ajakku dengan semringah. Mark dan El tidak langsung menjawab atau menunjukkan ketertarikan. Mereka malah pasang tampang tidak enak. “Kalian kenapa?” tegurku kemudian. “Kami tidak ikut, Nyonya.” “Ya benar, kami akan menunggu di mobil saja. Nyonya saja yang makan di restoran. Kami tidak ikut.” Mark dan El menolak ajakanku. “Loh kenapa kalian tidak mau? Saya ajak makan enak loh.” “Kami sudah kapok, Nyonya,” sahut El. “Kami tidak ingin kejadian tempo h
Bab 44 : Happy“Lalu ke mana orang tuanya Xeon? Apa kalian tahu tentang keluarganya Xeon?” tanyaku lagi sembari menyuapkan udang ke dalam mulut. Mark pun menjawab. “Dulu sewaktu pertama kami dipungut, Tuan Jhon memang sudah menduda. Saat kami datang ke rumah Tuan Jhon, beliau memang sudah tinggal bersama dengan cucunya yang bernama Xeon itu, Nyonya.” “Katanya orang tua Xeon meninggal karena kecelakaan. Begitu lah info yang kami tahu, Nyonya,” timpal El kemudian. Aku pun manggut-manggut tanda mengerti. Jadi itu lah sebabnya Opa Jhon sangat menyayangi dan memanjakan Xeon ya? Karena Opa Jhon sudah lama tinggal bersama Xeon, ditambah lagi Xeon adalah anak yatim piatu. Oke aku mulai mengerti sekarang. Tak terasa satu meja kerang viral pun sudah ludes. Aku segera meraih mangkuk cuci tangan lalu membersihkan tangan. Kemudian kuminum air jus jeruk dan menghabiskan sampai setengah gelas. Hari ini perutku terasa kenyang dan puas sekali. Selesai makan, wajah Mark dan El mendadak pucat tegan
Bab 45 : Oma JennySaat pagi hari aku bangun seperti biasa. Namun, aku merasakan aneh. Badanku terasa sakit dan pegal-pegal. Kepala juga terasa berdenyut dan hidungku terasa sangat gatal. Haa-ha-hatcim.... Pagi-pagi aku sudah bersin saja. Apa kah ini pertanda akan pilek? Aku mencoba berdeham, ternyata suaraku pun mulai berbeda dan agak serak sedikit. Tapi serak ini mungkin efek baru bangun tidur saja. Aku pun bangkit dari tempat tidur dan berusaha berjalan ke kamar mandi dengan sangat hati-hati. Karena kepala terasa sangat berat dan pusing. Aku segera membersihkan diri karena air kamar mandi terasa lebih dingin dari biasanya. Selesai mandi aku bergegas berganti baju di dalam kamar mandi, sebab ada Opa Jhon di dalam kamar. Usai berganti pakaian, aku duduk di dekat tempat tidur sambil memijit kepala. “Ayo kita sarapan,” ajak Opa Jhon. Aku menggeleng pelan. “Aku lagi gak enak badan. Nanti saja sarapannya. Kepalaku lagi sakit banget soalnya.” “Kamu harus tetap ikut sarapan. Sebab
Bab 46 : Terkurung“Mas, aku masuk duluan ke dalam, ya. Karena takut terlambat,” ucapku lalu segera berbalik badan dan berjalan cepat. “Beri tahu saya jika sudah pulang,” katanya dengan setengah berteriak. Aku hanya mengiakan saja tanpa menoleh ke belakang. Kemudian aku berjalan memasuki pintu gerbang dengan terburu-buru karena takut ada yang melihat. Sesampainya di koridor kampus, aku mulai menormalkan kembali napas dan detak jantung yang tak beraturan. Sesampainya di kelas aku duduk dan tak lama dosen pun masuk. Materi pun dimulai. Aku mendengarkan dan mencoba untuk memahami meski otak masih terasa lemot. “Ayo Lolyta, kamu pasti bisa bangkit dari kebodohan yang dulu. Ayo lah mulai konsentrasi dan fokus dengan mata kuliah yang sedang diterangkan oleh dosen,” ucapku dalam hati untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak akan tenggelam dalam kebodohan semasa sekolah dulu. Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Dosen pembimbing itu keluar dari ruangan. Dan beberapa teman-teman yang
Bab 47 : PahlawankuSudah lelah rasanya berteriak dan menggedor pintu tapi tak kunjung ada yang mendengar dan membukanya. Apa jangan-jangan ada orang yang dengan sengaja ingin mengerjai ku? Jika memang ada, pasti pelakunya adalah Xeon. Ya! Siapa lagi coba orang yang iseng dan tak suka denganku? Sudah pasti ini ulah Xeon. Aku membuka tas dan mengeluarkan ponsel dari dalam. Kucari nama kontak Intan dan langsung menghubunginya. Semoga saja dia belum pulang. Sampai beberapa detik aku menunggu nada tersambung itu bunyi, tapi tak terdengar juga. Setelah ku-cek, ternyata jaringan di ponselku tiba-tiba hilang. Aku mencoba menghubungi Bagas, siapa tahu kali ini sinyalnya tiba-tiba muncul kembali. Kuletakkan ponsel di samping telinga. Namun, tak kedengaran juga nada sambungnya. “Sial! Kenapa jaringannya tidak muncul-muncul sih? Ke mana perginya? Mendadak sekali hilangnya.” Aku mengomel sendiri. Di saat aku benar-benar membutuhkan, sinyal pun lenyap entah ke mana. Sekarang, apa yang harus ak
Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta
Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu
Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-
Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “
Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan
Bab 57 : Ancaman OmaAku menunjukkan sikap memancing kepada Opa Jhon, tapi pria tua ini sepertinya tidak tertarik denganku. Dia hanya berdecak pelan saja lalu beralih pada tabletnya. Dia benar-benar hanya cuek saja dan tidak menggubris sama sekali. “Dasar kakek-kakek jutek. Sok jual mahal banget sih,” gerutuku dalam hati. Meski dia terlihat jual mahal, tapi aku akan tetap memintanya menyentuhku hingga aku benar-benar hamil. *** Beberapa bulan telah berlalu, aku duduk di dalam kamar berdua di atas ranjang bersama Opa Jhon. Aku tidak bisa lagi menahannya. Perhatian dan pancinganku selama ini sepertinya tidak berhasil untuk menggoda Opa Jhon. Jadi sebaiknya kuutarakan saja niat aku ini. “Mas, aku mau ngomong sesuatu.” “Ngomong soal apa?” tanyanya. “Aku ingin punya anak dari kamu, Mas, dan mengabulkan keinginan Oma Jenny,” jawabku sambil menatap wajah keriput di depanku ini dengan serius. “Apa kamu serius dengan keinginanmu itu?” Aku mengangguk. “Iya serius, Mas.” “Apa alasannya
Bab 56 : KesambetAku memutuskan untuk izin kuliah selama seminggu. Aku sudah menelepon Pak Juan dan mengatakan sedang menjaga keluarga yang sedang sakit, dan meminta tolong dia menguruskan izinku kepada ketua jurusan. Alhamdulillah, Pak Juan menyanggupi dan semoga saja pertolongannya ini tulus dan tak mengharapkan imbalan. Aku tidak ingin meninggalkan Opa Jhon dan aku menjaganya dengan baik selama 3 hari dirawat di rumah sakit ini. Oma Jenny dan Xeon juga melakukan hal yang sama. Mereka juga menjaga dan merawat Opa Jhon dengan baik. Kami bertiga bekerja sama dalam menunggui Opa Jhon. Dalam beberapa hari ini aku melihat ada perubahan dalam diri Xeon. Lelaki berambut hitam pekat itu berubah menjadi sosok yang peduli. Sangat berbeda dengan Xeon yang biasa aku lihat sehari-hari. Selama 3 hari ini tidak ada Xeon yang arogant, yang ada hanyalah Xeon baik hati dan perhatian. Dia juga terlihat sedikit ramah padaku. Akan tetapi, meski Xeon sudah bersikap baik dan peduli, aku tetap waspada
Bab 55 : Mendoakan SuamiAku tidak tahan lagi di sini. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam sini. Bayangan Opa Jhon sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat hatiku pilu. Aku harus melakukan sesuatu. Suara azan magrib sudah berkumandang dari arah Musala terdekat sini. "Oma, saya izin ke Musala dulu ya mau salat magrib," ucapku lirih di dekat telinga Oma Jenny yang sedang menangis. Dia memandangku dan mengangguk seraya menyeka air matanya dengan ujung jarinya. Aku pun menepuk pelan pundaknya dan beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit menuju Musala yang ada di lingkungan sekitar rumah sakit ini. Sesampainya di Musala, aku langsung menuju ke belakang untuk mengambil air wudu. Usai mengambil wudu, aku masuk ke dalam dan mencari tempat mukena, ternyata ada. Aku mengucapkan syukur dalam hati. Sebab tak jarang di musala-musala itu tak memiliki persediaan mukena. Musala ini tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Mung