Bab 45 : Oma JennySaat pagi hari aku bangun seperti biasa. Namun, aku merasakan aneh. Badanku terasa sakit dan pegal-pegal. Kepala juga terasa berdenyut dan hidungku terasa sangat gatal. Haa-ha-hatcim.... Pagi-pagi aku sudah bersin saja. Apa kah ini pertanda akan pilek? Aku mencoba berdeham, ternyata suaraku pun mulai berbeda dan agak serak sedikit. Tapi serak ini mungkin efek baru bangun tidur saja. Aku pun bangkit dari tempat tidur dan berusaha berjalan ke kamar mandi dengan sangat hati-hati. Karena kepala terasa sangat berat dan pusing. Aku segera membersihkan diri karena air kamar mandi terasa lebih dingin dari biasanya. Selesai mandi aku bergegas berganti baju di dalam kamar mandi, sebab ada Opa Jhon di dalam kamar. Usai berganti pakaian, aku duduk di dekat tempat tidur sambil memijit kepala. “Ayo kita sarapan,” ajak Opa Jhon. Aku menggeleng pelan. “Aku lagi gak enak badan. Nanti saja sarapannya. Kepalaku lagi sakit banget soalnya.” “Kamu harus tetap ikut sarapan. Sebab
Bab 46 : Terkurung“Mas, aku masuk duluan ke dalam, ya. Karena takut terlambat,” ucapku lalu segera berbalik badan dan berjalan cepat. “Beri tahu saya jika sudah pulang,” katanya dengan setengah berteriak. Aku hanya mengiakan saja tanpa menoleh ke belakang. Kemudian aku berjalan memasuki pintu gerbang dengan terburu-buru karena takut ada yang melihat. Sesampainya di koridor kampus, aku mulai menormalkan kembali napas dan detak jantung yang tak beraturan. Sesampainya di kelas aku duduk dan tak lama dosen pun masuk. Materi pun dimulai. Aku mendengarkan dan mencoba untuk memahami meski otak masih terasa lemot. “Ayo Lolyta, kamu pasti bisa bangkit dari kebodohan yang dulu. Ayo lah mulai konsentrasi dan fokus dengan mata kuliah yang sedang diterangkan oleh dosen,” ucapku dalam hati untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak akan tenggelam dalam kebodohan semasa sekolah dulu. Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Dosen pembimbing itu keluar dari ruangan. Dan beberapa teman-teman yang
Bab 47 : PahlawankuSudah lelah rasanya berteriak dan menggedor pintu tapi tak kunjung ada yang mendengar dan membukanya. Apa jangan-jangan ada orang yang dengan sengaja ingin mengerjai ku? Jika memang ada, pasti pelakunya adalah Xeon. Ya! Siapa lagi coba orang yang iseng dan tak suka denganku? Sudah pasti ini ulah Xeon. Aku membuka tas dan mengeluarkan ponsel dari dalam. Kucari nama kontak Intan dan langsung menghubunginya. Semoga saja dia belum pulang. Sampai beberapa detik aku menunggu nada tersambung itu bunyi, tapi tak terdengar juga. Setelah ku-cek, ternyata jaringan di ponselku tiba-tiba hilang. Aku mencoba menghubungi Bagas, siapa tahu kali ini sinyalnya tiba-tiba muncul kembali. Kuletakkan ponsel di samping telinga. Namun, tak kedengaran juga nada sambungnya. “Sial! Kenapa jaringannya tidak muncul-muncul sih? Ke mana perginya? Mendadak sekali hilangnya.” Aku mengomel sendiri. Di saat aku benar-benar membutuhkan, sinyal pun lenyap entah ke mana. Sekarang, apa yang harus ak
Malam Pertama dengan Kakek Tua Bab 48 : Akhirnya Opa Jhon terus menarik tanganku dan mengajakku berjalan keluar dari kampus. Sesampainya di depan mobil, El membukakan pintu untuk kami. Opa Jhon lebih dulu masuk baru setelah itu disusul olehku dan Xeon. Opa Jhon duduk di tengah-tengah. Sedangkan Xeon duduk di sebelah kanannya. Mobil yang dikemudi oleh Mark pun meluncur meninggalkan kampus. Sepertinya Opa Jhon sengaja duduk di tengah-tengah antara aku dan Xeon. Karena dia tahu bahwa kami tak pernah akur. Diam-diam aku melirik Xeon, ternyata dia sedang tersenyum miring kepadaku. Dasar kurang ajar! *** Setibanya kami di kediaman Opa Jhon, Oma Jenny---kakaknya Opa Jhon---sudah menanti kami di ruang tamu. “Dari mana saja kamu? Mengapa jam segini kamu baru pulang dari kampus? Kamu tahu ini sudah jam berapa? Ini sudah jam sembilan malam. Ke mana saja kamu ha? Hebat sekali kamu, ya!” cerocos wanita tua di hadapanku ini. Baru saja tiba, aku sudah disambut omelan yang merdu dari n
Bab 49 : Apa Hamil?“Udah sana-sana turun. Ngapain kamu di sini?! Tidur di bawah saja kamu!” usirnya sambil mendorong tubuhku turun dari ranjang dan dia tidur di tengah-tengah tempat tidur. Dia menguasai semua kasurnya. “Asem! Dasar kakek tua! Dia pikir aku semesum itu apa? Aku juga gak mau lah diapa-apain sama dia. Geli. Jadi laki-laki kok kepedean banget! Siapa juga yang mau nyentuh-nyentuh dia!” umpatku dalam hati. Aku hanya berani mengumpatnya dalam hati saja karena aku tidak ingin masalah jadi panjang lebar. Mau tidak mau aku terpaksa harus tidur di atas lantai meski pun badan sedang terasa tidak enak. Aku pun membentangkan selimut sebagai alas lalu menaruh bantal dan berbaring di lantai yang beralaskan selimut saja. Aku pun kemudian menyelimuti seluruh tubuh karena hawanya terasa dingin sekali. Aku berusaha memejamkan mata dan melupakan semua khayalan gila tadi. Itu semua tidak akan pernah terjadi, jadi anggap saja aku tidak pernah mengkhayalkan kejadian itu sekali pun. **
Bab 50 : DemamUsai memeriksaku, pria berjas putih itu pun memasukkan kembali stetoskopnya ke dalam tas hitam miliknya. “Bagaimana, Dok? Apa kah adik ipar saya ini positif hamil?” tanya Oma Jenny dengan menggebu-gebu. Pria yang berprofesi dokter itu pun berbalik badan menatap ke arah Opa Jhon dan Oma Jenny. “Dari hasil pemeriksaan saya, adik ipar Anda hanya demam biasa,” jawab pak dokter. Oma Jenny mengembuskan napas berat. Dari raut wajah, sepertinya dia kecewa karena ekspektasinya tentang kehamilanku ini ternyata tidak benar terjadi sesuai keinginannya. Aneh-aneh saja wanita tua ini. Lagi pula aku tidak akan bisa hamil tanpa dibuahi terlebih dahulu. Sedangkan aku dan Opa Jhon memang sering tidur satu ranjang, tapi ada pembatas di antara kami yang tidak boleh dilewati oleh kedua belah pihak. Intinya kami memang satu kamar dan telah sah menjadi suami istri, tapi kami tidak saling sentuh layaknya suami istri di luar sana. Dokter itu pun menyerahkan secarik kertas yang berisi rese
Bab 51 : Suprise“Gak perlu, Mas. Aku sudah sembuh kok,” ucapku sambil memamerkan senyum lebar. Aku langsung menyibak selimut dan bangkit dari tidur dan berdiri di depan Opa Jhon. Aku sengaja segera bangun ketika Opa Jhon mengajak ke rumah sakit. Itu karena aku takut dengan rumah sakit dan jarum suntik. Opa Jhon hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingkah anehku ini. Malamnya, aku masih tidur di atas kasur milik Opa Jhon dan dia sudah tertidur lebih dulu sejak tadi. Karena tubuh yang masih kurang fit dan belum sembuh total, aku jadi mudah terbangun. Mungkin hitungan per dua jam sekali. Mataku pun memandang langit-langit kamar Opa Jhon. Tiba-tiba bunyi suara pintu diketuk dari luar. Hal itu menyebabkan aku tersentak kaget. Aku pun membangun kan Opa Jhon dengan nada lirih. Ketukan di pintu terdengar lagi. Kedengarannya mereka sangat ingin sekali dibukakan pintu oleh kami. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. “Lihat itu. Ada orang yang ketuk pintu k
Bab 52 : TernyataBeberapa bulan telah berlalu. Jadwal kuliah hari ini hanya satu mata kuliah saja. Jadi aku bisa pulang ke rumah lebih awal dan aku bisa beristirahat di rumah dengan tenang dari hiruk pikuknya materi di kelas. Mobil terpacu meninggalkan area kampus ternama ini. Tanpa sadar bibirku ikut bersenandung mengikuti lirik lagu yang terputar dari radio mobil. Setengah jam lebih di perjalanan akhirnya mobil memasuki gapura perumahan elit milik orang-orang kaya. Mobil pun masuk ke halaman rumah milik Opa Jhon. Mark dan El turun dari mobil. Lalu seperti biasa, El membuka kan pintu untukku. Aku keluar dan melangkah gontai memasuki rumah besar dan megah ini. Suasana rumah tampak sepi, seperti tak ada manusia di rumah ini. Aku terus berjalan melewati ruang tamu dan ruang tengah. Hingga sampai lah aku di depan kamar Oma Jenny. Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam. Ternyata pintu kamarnya Oma Jenny tidak ditutup rapat dan terbuka sedikit. Kulihat ada Opa Jhon dan Oma