Bab 51 : Suprise“Gak perlu, Mas. Aku sudah sembuh kok,” ucapku sambil memamerkan senyum lebar. Aku langsung menyibak selimut dan bangkit dari tidur dan berdiri di depan Opa Jhon. Aku sengaja segera bangun ketika Opa Jhon mengajak ke rumah sakit. Itu karena aku takut dengan rumah sakit dan jarum suntik. Opa Jhon hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingkah anehku ini. Malamnya, aku masih tidur di atas kasur milik Opa Jhon dan dia sudah tertidur lebih dulu sejak tadi. Karena tubuh yang masih kurang fit dan belum sembuh total, aku jadi mudah terbangun. Mungkin hitungan per dua jam sekali. Mataku pun memandang langit-langit kamar Opa Jhon. Tiba-tiba bunyi suara pintu diketuk dari luar. Hal itu menyebabkan aku tersentak kaget. Aku pun membangun kan Opa Jhon dengan nada lirih. Ketukan di pintu terdengar lagi. Kedengarannya mereka sangat ingin sekali dibukakan pintu oleh kami. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. “Lihat itu. Ada orang yang ketuk pintu k
Bab 52 : TernyataBeberapa bulan telah berlalu. Jadwal kuliah hari ini hanya satu mata kuliah saja. Jadi aku bisa pulang ke rumah lebih awal dan aku bisa beristirahat di rumah dengan tenang dari hiruk pikuknya materi di kelas. Mobil terpacu meninggalkan area kampus ternama ini. Tanpa sadar bibirku ikut bersenandung mengikuti lirik lagu yang terputar dari radio mobil. Setengah jam lebih di perjalanan akhirnya mobil memasuki gapura perumahan elit milik orang-orang kaya. Mobil pun masuk ke halaman rumah milik Opa Jhon. Mark dan El turun dari mobil. Lalu seperti biasa, El membuka kan pintu untukku. Aku keluar dan melangkah gontai memasuki rumah besar dan megah ini. Suasana rumah tampak sepi, seperti tak ada manusia di rumah ini. Aku terus berjalan melewati ruang tamu dan ruang tengah. Hingga sampai lah aku di depan kamar Oma Jenny. Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam. Ternyata pintu kamarnya Oma Jenny tidak ditutup rapat dan terbuka sedikit. Kulihat ada Opa Jhon dan Oma
Bab 53 : Serangan JantungOpa Jhon dan Oma Jenny tengah berdiri di depan Xeon. “Pantas saja selama ini Opa lebih menyayangi Lolyta dari pada aku. Ternyata ini lah sebabnya kan?” bentak Xeon dengan emosi yang meledak-ledak. “Bukan begitu, Xeon. Opa itu sangat menyayangi kamu. Opa juga sudah menganggap kamu sebagai cucu sendiri. Jadi tuduhan kamu tentang Opa lebih menyayangi Lolyta itu tidak benar. Saya menyayangi kalian berdua dengan takaran yang adil.” Opa Jhon menjelaskan panjang lebar agar Xeon tak salah paham. Xeon berdecak kesal lalu berbalik badan dan meninggalkan Oma Jenny juga Opa Jhon. Laki-laki itu pergi dengan wajah yang ditekuk. “Xeon! Xeon!” panggil Opa Jhon dengan berteriak. Xeon tak memedulikan panggilan Opa Jhon dan tetap berjalan dengan cepat. Pasti dia sedang merajuk. “Kakak lihat ini akibat dari kecerobohan yang Kakak buat? Kakak mengajak saya bicara di sini, tapi bisa sampai lupa menutup pintu. Hingga akhirnya Xeon mendengar semuanya dan kini ... Kakak tahu ka
Bab 54 : Takut KehilanganBegitu sampai di rumah sakit, Opa Jhon langsung dilarikan ke IGD. Aku, Oma Jenny dan Xeon menunggu di luar ruangan. Kami bertiga duduk di kursi tunggu rumah sakit. Oma Jenny terus menangis sedangkan Xeon terlihat menyesal dan menundukkan kepalanya. Baru kali ini aku melihat lelaki berhidung mancung itu tertunduk lesu karena biasanya sehari-hari dia hanya menunjukkan sifat arogannya saja. “Aku tidak mau sampai adikku meninggal ... aku tidak mau, aku belum siap untuk kehilangannya ....” rengek Oma Jenny sambil menyeka air mata yang terus membasahi pipi tuanya itu. Bedak dan riasan wajah Oma Jenny luntur karena terkena air mata. Suara rintihan tangisan Oma Jenny membuat dirinya menjadi pusat perhatian oleh beberapa pengunjung yang sedang berlalu lalang. Setiap orang yang melintas, pasti melihat ke arah kami. Aku merengkuh tubuhnya dan mengusap pelan pundaknya untuk menyalurkan semangat padanya. Wanita tua ini hanya diam saja. Jika situasinya tidak sedang sepe
Bab 55 : Mendoakan SuamiAku tidak tahan lagi di sini. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam sini. Bayangan Opa Jhon sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat hatiku pilu. Aku harus melakukan sesuatu. Suara azan magrib sudah berkumandang dari arah Musala terdekat sini. "Oma, saya izin ke Musala dulu ya mau salat magrib," ucapku lirih di dekat telinga Oma Jenny yang sedang menangis. Dia memandangku dan mengangguk seraya menyeka air matanya dengan ujung jarinya. Aku pun menepuk pelan pundaknya dan beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit menuju Musala yang ada di lingkungan sekitar rumah sakit ini. Sesampainya di Musala, aku langsung menuju ke belakang untuk mengambil air wudu. Usai mengambil wudu, aku masuk ke dalam dan mencari tempat mukena, ternyata ada. Aku mengucapkan syukur dalam hati. Sebab tak jarang di musala-musala itu tak memiliki persediaan mukena. Musala ini tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Mung
Bab 56 : KesambetAku memutuskan untuk izin kuliah selama seminggu. Aku sudah menelepon Pak Juan dan mengatakan sedang menjaga keluarga yang sedang sakit, dan meminta tolong dia menguruskan izinku kepada ketua jurusan. Alhamdulillah, Pak Juan menyanggupi dan semoga saja pertolongannya ini tulus dan tak mengharapkan imbalan. Aku tidak ingin meninggalkan Opa Jhon dan aku menjaganya dengan baik selama 3 hari dirawat di rumah sakit ini. Oma Jenny dan Xeon juga melakukan hal yang sama. Mereka juga menjaga dan merawat Opa Jhon dengan baik. Kami bertiga bekerja sama dalam menunggui Opa Jhon. Dalam beberapa hari ini aku melihat ada perubahan dalam diri Xeon. Lelaki berambut hitam pekat itu berubah menjadi sosok yang peduli. Sangat berbeda dengan Xeon yang biasa aku lihat sehari-hari. Selama 3 hari ini tidak ada Xeon yang arogant, yang ada hanyalah Xeon baik hati dan perhatian. Dia juga terlihat sedikit ramah padaku. Akan tetapi, meski Xeon sudah bersikap baik dan peduli, aku tetap waspada
Bab 57 : Ancaman OmaAku menunjukkan sikap memancing kepada Opa Jhon, tapi pria tua ini sepertinya tidak tertarik denganku. Dia hanya berdecak pelan saja lalu beralih pada tabletnya. Dia benar-benar hanya cuek saja dan tidak menggubris sama sekali. “Dasar kakek-kakek jutek. Sok jual mahal banget sih,” gerutuku dalam hati. Meski dia terlihat jual mahal, tapi aku akan tetap memintanya menyentuhku hingga aku benar-benar hamil. *** Beberapa bulan telah berlalu, aku duduk di dalam kamar berdua di atas ranjang bersama Opa Jhon. Aku tidak bisa lagi menahannya. Perhatian dan pancinganku selama ini sepertinya tidak berhasil untuk menggoda Opa Jhon. Jadi sebaiknya kuutarakan saja niat aku ini. “Mas, aku mau ngomong sesuatu.” “Ngomong soal apa?” tanyanya. “Aku ingin punya anak dari kamu, Mas, dan mengabulkan keinginan Oma Jenny,” jawabku sambil menatap wajah keriput di depanku ini dengan serius. “Apa kamu serius dengan keinginanmu itu?” Aku mengangguk. “Iya serius, Mas.” “Apa alasannya
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan