"Loh, kenapa harus saya? Kenapa tidak Bapak saja yang mengambil keputusan untuk menghukumi Siska?" tanya Aluna, tidak paham.Padahal di sini yang jadi bosnya itu Darren. Kenapa juga harus bertanya kepadanya?Darren mengelola napas panjang. Dia melipat tangan di depan dada sembari melihat kepada Aluna dengan ekspresi serius. "Kalau aku yang mengambil keputusan, tentu saja aku sudah melenyapkan nyawa Siska." Aluna tersentak mendengarnya. Pria ini benar-benar sudah gila. Padahal menurutnya kelapanya tidak sampai separah itu, mengingat Aluna juga tidak mendapati luka yang parah. Meskipun memang kepalanya terasa sakit. "Itu tidak berperikemanusiaan, Pak," ucap Aluna dengan wajah serius juga. "Maka dari itu, aku memintamu untuk mengambil keputusan. Hukuman apa kira-kira yang pantas untuk wanita seperti itu?" tanya Darren. Maura diam, menanggung saliva dengan susah payah. Kalau sudah begini bakalan susah, sebab Darren pasti akan mencecarnya dengan permintaan itu, kalau misalkan Aluna memb
"Itu benar-benar gila! Kamu seharusnya tidak membebaskan orang yang sudah membuatmu seperti ini." "Ya, itu kan Bapak. Kalau saya kan tidak seperti itu. Daripada memikirkan masalah Siska, sebaiknya biarkan saja dia keluar dari sini. Lagi pula Bapak sudah mem-blacklist di semua perusahaan, kan? Jadi, itu sudah cukup menurut saya," ungkap Aluna tidak mau membesarkan masalah, karena menurutnya masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dibandingkan mengurusi seseorang. Darren sejenak menatap gadis itu, lalu dia hanya menyuruh Aluna untuk kembali ke kursinya. Sementara dia memilih diam di sofa sembari memikirkan apa yang harus dia lakukan kepada Siska. Permasalahannya bukan cuma melukai Aluna. Tetapi, dia mendapat laporan dari Amarudin kalau wanita ini juga memang terus saja membuat masalah selama di sini. Jadi, sang pria akan mengusutnya sampai tuntas. Jangan sampai ada lagi korban atau malah merugikan perusahaan di kemudian hari. Sementara itu Amar tersenyum senang, karena Siska sud
Hari ini Danita tidak pergi ke kantor atau menyamar. Dia memilih untuk di rumah, mempersiapkan segalanya untuk menantu kesayangan. Setelah itu alat-alat masak, bahan-bahan makanan harus dipenuhi dan dia sendiri yang memilihnya. Sementara itu saat ini Aluna sedang mengerjakan semua berkas-berkas yang akan ditandatangani Darren. Sesekali pria itu melirik ke arah Aluna. Gadis itu sama sekali tidak terlihat kesakitan. Padahal hati pria itu sudah panas dan khawatir, jika Aluna mendapatkan luka yang serius. Di saat sedang serius seperti ini, tiba-tiba saja ponsel Aluna berdering. Gadis itu menautkan kedua alis. Ada nama Alika di sana. Padahal baru beberapa hari dia tidak bertemu dengan Alika, tetapi rasanya sangat lama. Tidak ada teman untuk curhat.Darren jadi penasaran saat Aluna menatap layar ponsel itu. Dia jadi curiga. Mungkinkah Aluna menerima telepon dari seorang laki-laki? Rasa penasaran benar-benar menyelusup, hingga sang pria pun berusaha untuk mendengarkan baik-baik apa yang
"Saya mau ngapain juga itu kan urusan saya, Pak. Lagian kalau istirahat itu kan bebas. Kita bisa istirahat sejenak dari aktivitas dan melakukan apa saja yang sekiranya bisa membuat mood saya naik," papar Aluna memberikan alasannya. Dia tidak mau menceritakan apa yang akan dilakukan istirahat nanti. "Ya, ya aku tahu. Itu memang benar, tapi kamu tidak menjawab pertanyaanku, Maura. Memang apa yang akan kamu lakukan istirahat nanti dan kamu mau bertemu siapa?" Aluna terkesiap mendengar pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Darren, yang mungkin tidak ingin tahu kalau dirinya akan bertemu dengan Alika. Jika benar, bisa-bisa curhatan dia dan Alika didengarkan oleh pria ini. "Saya tidak mau bertemu siapa-siapa, kok. Saya hanya istirahat saja dan saya juga ingin sendiri istirahatnya. Apa itu tidak boleh?""Boleh saja, tapi aku ingin makan siang dengan kamu, Aluna.""Saya tidak mau, Pak." Aluna langsung menolak, membuat Darren terkesiap dan kebingungan sendiri. Kenapa dia tidak mau? Pe
Darren mondar-mandir tak jelas di kantin, membuat karyawan yang ingin makan pun jadi kebingungan dan takut jika bosnya itu sedang marah. Atau ada kasus baru setelah tragedi Siska yang menyakiti Aluna. Dia menelepon Amarudin. Pria itu bahkan tidak peduli mendapat tatapan berbeda-beda dari karyawannya sendiri. Tak lama kemudian Amarudin pun menerima telepon dari bosnya. "Iya, Tuan. Ada apa?" "Cari Aluna!" "Maksudnya apa? Apakah Nyonya keluar kantor atau dia pergi tanpa izin?""Kamu tidak perlu tahu! Pokoknya cari Aluna di kafe atau di restoran, karena ini jam istirahat. Aku yakin dia ada di tempat seperti itu. Aku tidak mau lama! Kamu harus menemukannya sekarang!" seru Darren, langsung mematikan ponsel. Pria itu menghela napas kasar. Wajahnya memerah. Dia melihat ke sekeliling dan karyawannya sedang memandangi dirinya dengan tatapan berbeda-beda. "Kenapa kalian lihat-lihat?! Makan saja. Kalau tidak, uang makan akan saya cabut! Kalian tidak boleh makan lagi di kantin." Mendengar
"Seriusan lo nggak tahu Siska itu siapa?"Aluna dengan polos menggelengkan kepala. Jangankan untuk mengetahui perihal gosip-gosip yang ada di kantor, pekerjaan dari Darren saja membuatnya pusing tujuh keliling, sampai tidak ada waktu untuk menggosip perihal orang lain. Dengan semangat Alika pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai Siska itu terkenal dari mulai perselingkuhan dengan Andri dan juga beberapa kasus yang menyatakan kalau Siska itu adalah orang suruhan untuk menghancurkan perusahaan ini. Mendengar itu Aluna terkesiap. Dia sampai terperangah, itu artinya Darren dalam masalah. Tetapi untunglah Siska dengan cepat dipecat. Dengan begitu tidak ada kerugian yang lebih lagi jika wanita itu masih ada di sini. "Lo seriusan? Kok gue nggak tahu, sih, berita seheboh ini? Ya jangankan masalah berita Siska, lo tahu kan kerjaan gue tuh kayak gimana? Pak Darren itu bikin gue pusing tujuh keliling." Mendengar itu Alika terkekeh, seolah mengejek. Sementara Aluna terkesiap saat
Dengan perasaan campur aduk Aluna pun berjalan menghampiri ruangan Darren. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Sebelumnya dia dan Alika pun buru-buru pulang. Selama perjalanan, Alika terus berbicara agar Aluna tidak membantah apa pun yang dikatakan oleh Darren. Sebab itu akan berefek pada karirnya juga. Bahkan saat sampai kantor, Alika malah menyemangati Aluna untuk memberikan servis terbaik kepada Darren agar pria itu tidak ngambek lagi. Tentu saja Aluna berpikiran yang aneh-aneh. Tidak mungkin dia melakukan hal-hal seperti itu, apalagi keduanya hanya melakukan perjanjian pernikahan tanpa ada perasaan apa pun.Setelah sampai di pintu ruangan Darren, gadis itu menghela napas beberapa kali. Berusaha untuk menenangkan diri agar tidak canggung. Ini adalah sebuah tantangan dan juga hal yang harus dihadapi. Mau tidak mau gadis itu pasti akan bertemu dengan Darren. Setelahnya sang gadis pun mengetuk pintu.Walaupun mereka satu ruangan, tapi kali ini berbeda. Darren sedang marah da
Darren menghela napas kasar. Dia berdiri, lalu mendekat secara perlahan kepada Aluna. Gadis itu meneguk saliva dengan susah payah melihat pergerakan sang suami. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau hawanya itu tidak mengenakan. Dia takut kalau pria itu semakin marah kepadanya.Bisa seperti ini tampaknya Aluna baru sadar kalau dia sudah berbuat keliru dengan mengatakan hal yang tidak semestinya. "Jadi, menurutmu kalau aku adalah suami di atas kertas, aku tidak punya hak atas dirimu, begitu?"Aluna kembali meneguk saliva dengan susah payah. Tetapi dia harus mengatakan semua yang ada di pikirannya, tidak mau terus tertindas oleh Darren apalagi kontraknya 3 tahun ke depan. Bisa-bisa tubuh Aluna kurus kering karena harus terus-terusan mengikuti kemauan Darren. "Ya, sesuai dengan yang dikatakan Bapak. Selama di depan orang, kita terlihat romantis. Tetapi di belakang, aku adalah bawahan Bapak." Mendengar itu langkah Darren terhenti. Sepertinya dia mulai sadar kalau perjanjiannya dulu
"Baiklah, Bu. Aku tidak akan menginap Aku hanya ingin istirahat di sini aja, boleh?" tanya Aluna, akhirnya memilih untuk mengalah. Dia tidak mau membuat ibunya semakin kepikiran. Aluna yakin, ibunya pasti mengatakan hal itu untuk meminimalisir pertengkaran antara dirinya dan Darren. Bisa gawat juga kalau Danita bertengkar dengan Amalia karena mengizinkan seorang menantu kabur dari rumah mertua tanpa mengatakan apa-apa. "Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kamu duduk saja dulu. Istirahatlah sebisanya. Setelah itu kamu kembali kepada suamimu, ya?" ucap Amalia yang membuat Aluna hanya bisa terdiam. Tampaknya sekarang dia harus mencari tempat persembunyian yang sekiranya tidak akan diketahui oleh siapa pun, terutama Darren. Karena kalau dia pergi ke rumah ibunya ataupun bersama dengan Alika, itu pasti akan mudah sekali terbaca oleh Darren. Gadis itu menghela napas panjang dan memilih untuk menyandarkan punggung. Dia akan istirahat dan menenangkan pikiran dulu, sampai benar-benar tahu baga
Sudah 10 menit berlalu, tapi tidak ada kabar dari Aluna. Darren mulai uring-uringan. Dia sudah berusaha untuk meminta Alika mencari Aluna, sayangnya belum juga ketemu. Kalau sudah begini maka kejadiannya akan benar-benar membuat Darren bahaya. Bagaimana kalau Danita tahu kejadian tadi? Bisa-bisa dia akan dimarahi habis-habisan, lebih parahnya warisan yang seharusnya milik Darren akan dibekukan. Membayangkannya saja membuat Darren tak kuasa, apalagi kalau jadi kenyataan. Darren mengerang dan mengacak-ngacak rambut yang sudah disusun rapi. "Ah, sial! Kalau sudah begini, aku harus turun tangan sendiri," ucap pria itu. Dia pun tidak mau menunggu kabar dari Alika ataupun Amarudin, dia akan mencari Aluna bagaimanapun caranya Darren harus bertemu dengan Aluna dan membawa gadis itu pulang. Sementara itu, Aluna sama sekali tidak kembali ke kantor dan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. Dia akan berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan ibunya, berharap kalau di sana mendapat ketenang
"Lo tahu ngga? Tadi itu Bu Aluna keluar dari ruangan Pak Darren dengan wajah marah. Terus tak lama kemudian Pak Darren juga keluar, dia malah kebingungan." Tak sengaja Alika mendengar pembicaraan salah satu rekan kerjanya yang tempat duduknya bersebelahan dengan dia. Sontak Alika pun menoleh dengan alis saling bertautan. "Tunggu, tunggu, tunggu! Kalian berdua lagi ngomongin apa?" tanya Alika membuat kedua wanita itu langsung menoleh. "Ini temen lo tuh, Aluna. Katanya udah keluar dari kantor Pak Darren dengan wajah marah. Apa mereka bertengkar, ya?" tanya salah satu di antara mereka kepada Alika, membuat sang gadis kaget. "Salah lihat kali," ucap Alika, karena nggak mau sampai salah bicara atau diam saja. Takut jika rekan-rekan kerjanya berpikiran macam-macam terhadap dua orang itu. "Mana mungkin salah lihat! Orang gue lihat sendiri, kok," timpal salah satunya yang sedang berdiri. "Bu Aluna kan teman lo, apa nggak sebaiknya lo cari tahu? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar ata
Darren dan Aluna saling pandang. Pria itu tampaknya benar-benar baru sadar apa yang sudah dikatakannya barusan. Apalagi melihat Aluna yang marah dengan wajah memerah, dia itu juga melihat kalau sang gadis mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ini bahaya. Jika seorang Aluna bisa marah seperti ini, artinya dia sudah keterlaluan mengatakan hal tadi. "Aluna, dengarkan aku dulu. Tadi itu--" "Nggak, Pak. Cukup! Saya sudah mengerti. Bapak menilai saya serendah itu. Padahal Bapak sendiri yang membuat aturan, tapi Bapak yang melanggarnya. Harusnya Bapak sadar, kalau bukan karena saya mungkin saat ini Bapak masih dikejar-kejar untuk mencari jodoh." "Iya, aku tadi salah. Aku benar-benar minta maaf dan tidak sengaja mengatakan itu." "Tidak sengaja, Pak? Bapak spontan mengatakan itu sambil tertawa. Itu membuat harga diri saya diinjak-injak." "Loh, aku tidak menginjak harga dirimu. Aku benar-benar menghormatimu, bahkan aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu. Sampai mencari ke mana-mana."Al
Darren langsung memundurkan tubuhnya, tapi dia masih menatap gadis itu dengan tajam. Entah kenapa reaksi yang diberikan oleh Darren membuat Aluna ketakutan sendiri. Mungkinkah pria itu tahu kalau dirinya tidak ada di pantry saat itu. "Jangan bohong! Aku tadi ke pantry dan tidak ada siapa-siapa." Seketika Aluna hanya bisa terdiam, suaranya tidak keluar sama sekali menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terpojok. Gadis itu merutuki diri, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sebab dirinya malu jika berhadapan dengan Darren. Saat ini saja kalau Darren tidak memberikan ekspresi marah, mungkin kelebatan saat mereka melakukan adegan ciuman itu akan kembali terulang. "Katakan, Aluna. Kenapa kamu menghindariku? Apa gara-gara aku menciummu?"Tubuh Aluna menegang. Wajahnya saat ini benar-benar memerah. Haruskah Darren mengatakan hal seperti itu di depan gadis yang belum pernah tersentuh oleh pria manapun? Ini memalukan untuk Aluna. Gadis itu sampai menunduk karena malu. Melihat r
Aluna memejamkan mata. Benar kata Alika. Dia tidak mungkin menghindari Darren, sebab satu ruangan dan juga satu rumah. Akhirnya Aluna menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Berusaha untuk tenang. Ini menyangkut temannya, tidak mungkin kalau misalkan dia terus-terusan menghindar dari Darren, yang akan kena tetap saja Alika. "Oke, kalau gitu gue harus kembali ke tempat gue." "Nah, bagus seperti itu! Ya, sudahlah. Lagian kalau misalkan lo malu sama suami lo sendiri, diam saja. Lo tinggal berusaha untuk ngelupain kejadian itu.""Ya, nggak bisa kayak gitu dong, Alika.""Ya, terus gue harus gimana? Lo kan nggak bisa tiap hari menghindar. Sudah, pokoknya lo hadapin kenyataan itu. Lagian kan baru satu kali, mungkin ada yang kedua, yang ketiga." "Apa?!" Aluna melotot, kembali terperangah. Membuat Alika tertawa. Setelah itu sang gadis pun memilih untuk pergi dari hadapan temannya. Dia harus menyelesaikan tugas. Kalau misalkan tugasnya diselesaikan oleh orang lain, bisa-bisa akan me
Entah sudah berapa lama Darren mondar-mandir di depan Alika. Sebenarnya ingin mengajukan protes dan keluar dari ruangan ini, tentu saja karena pekerjaannya sudah banyak. Bahkan makan siangnya tadi tidak selesai sebab Darren tiba-tiba saja menyuruhnya ke kantor. Sekarang malah melihat bosnya mondar-mandir tak jelas dengan wajah bingung serta kusut.Darren mengusap kasar rambutnya dan mengerang keras. Alika sampai terduduk tega karena kaget mendengar itu. Sang pria menoleh kepada Alika, lalu berkacak pinggang. Membuat gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, karena takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Begini saja, kamu pastikan Aluna pergi ke mana." "Apa?! Jadi, maksudnya saya harus mencari Aluna?""Betul!" "Tapi, Pak. Bagaimana dengan kerjaan saya?" "Gampang, aku akan menyuruh orang untuk mengerjakan sisa kerjaanmu." "Tapi, Pak--" "Diam, Alika! Jangan protes apa-apa lagi. Kamu dengar kan perkataanku tempo hari? Kamu harus melakukan apa saja agar memberikan informa
Tak lama kemudian akhirnya Alika pun datang ke kantor Darren. Dia melihat ke sekitar, tak mendapati Aluna. Gadis itu langsung meneguk saliva dengan susah payah, ini pasti gara-gara Aluna yang tiba-tiba saja pergi saat dihampiri oleh bosnya. Dia benar-benar merutuki, kenapa harus dirinya yang terlibat dalam masalah ini? Namun, mau bagaimana lagi? Menolak pun rasanya tak mungkin. Bisa-bisa pria itu akan memecatnya dan mem-blacklist Alika dari semua perusahaan yang ada di kota ini. "Duduk!" seru Darren, membuat Alika dengan rasa takut. Wajahnya tampak ketakutan dengan tubuh yang bergetar."Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Alika pura-pura menggelengkan kepala. Walaupun dia tahu, Alika tidak mau sampai salah bicara atau temannya akan dalam masalah lagi. "Baiklah, langsung saja to the point. Ke mana Aluna pergi?" "Toilet," jawab Alika langsung, membuat Darren mengerjapkan mata berkali-kali. Tak percaya. "Toilet?" tanya Darren lagi, yang langsung diangguki oleh gadis itu."Tapi, a
Aluna tiba-tiba saja menegang, keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan juga sulit sekali untuk meneguk saliva. Langkah Darren semakin pasti mendekati Aluna. Dia jadi bingung harus melakukan apa, sampai tiba-tiba satu ide terlintas. "Gue mau ke toilet." Aluna tiba-tiba saja berdiri dan pergi dari hadapan Alika, membuat gadis itu syok. Begitu juga dengan Darren yang tiba-tiba saja melihat Aluna pergi dari sana. "Loh, lo mau ke mana?!" seru Alika melihat Aluna begitu cepat berjalan menjauh darinya. Sementara itu Darren juga dengan cepat berjalan mendekat kepada Alika. "Istriku mau ke mana?" tanya Darren yang tiba-tiba saja membuat Alika kaget sembari duduk dengan wajah ketakutan. "Dia mau ke mana?" tanya Darren lagi memastikan, membuat Alika tiba-tiba saja terserang syok. "Kamu kenapa diam saja?! Aku bertanya kepadamu!" seru Darren yang berhasil membuat Alika terkesiap. "Anu ... dia ke toilet," ucap Alika dengan cepat, membuat Darren mengalami syok, lalu tanpa mengataka