Hari ini Danita tidak pergi ke kantor atau menyamar. Dia memilih untuk di rumah, mempersiapkan segalanya untuk menantu kesayangan. Setelah itu alat-alat masak, bahan-bahan makanan harus dipenuhi dan dia sendiri yang memilihnya. Sementara itu saat ini Aluna sedang mengerjakan semua berkas-berkas yang akan ditandatangani Darren. Sesekali pria itu melirik ke arah Aluna. Gadis itu sama sekali tidak terlihat kesakitan. Padahal hati pria itu sudah panas dan khawatir, jika Aluna mendapatkan luka yang serius. Di saat sedang serius seperti ini, tiba-tiba saja ponsel Aluna berdering. Gadis itu menautkan kedua alis. Ada nama Alika di sana. Padahal baru beberapa hari dia tidak bertemu dengan Alika, tetapi rasanya sangat lama. Tidak ada teman untuk curhat.Darren jadi penasaran saat Aluna menatap layar ponsel itu. Dia jadi curiga. Mungkinkah Aluna menerima telepon dari seorang laki-laki? Rasa penasaran benar-benar menyelusup, hingga sang pria pun berusaha untuk mendengarkan baik-baik apa yang
"Saya mau ngapain juga itu kan urusan saya, Pak. Lagian kalau istirahat itu kan bebas. Kita bisa istirahat sejenak dari aktivitas dan melakukan apa saja yang sekiranya bisa membuat mood saya naik," papar Aluna memberikan alasannya. Dia tidak mau menceritakan apa yang akan dilakukan istirahat nanti. "Ya, ya aku tahu. Itu memang benar, tapi kamu tidak menjawab pertanyaanku, Maura. Memang apa yang akan kamu lakukan istirahat nanti dan kamu mau bertemu siapa?" Aluna terkesiap mendengar pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Darren, yang mungkin tidak ingin tahu kalau dirinya akan bertemu dengan Alika. Jika benar, bisa-bisa curhatan dia dan Alika didengarkan oleh pria ini. "Saya tidak mau bertemu siapa-siapa, kok. Saya hanya istirahat saja dan saya juga ingin sendiri istirahatnya. Apa itu tidak boleh?""Boleh saja, tapi aku ingin makan siang dengan kamu, Aluna.""Saya tidak mau, Pak." Aluna langsung menolak, membuat Darren terkesiap dan kebingungan sendiri. Kenapa dia tidak mau? Pe
"Bagaimana kalau 500 juta?" ucap Darren dengan serius.Wajah tegas dengan rahang kokoh itu semakin memperjelas ekspresi yang tidak main-main. Walaupun saat ini usianya sudah 39 tahun, tapi Darren masih terlihat gagah dan tampan. Bahkan, banyak wanita yang mendambakan pria matang itu."Apa Bapak bilang? 500 juta? Bapak mau membeli saya, ya?" cetus Aluna, kesal.Bagaimana tidak? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, hampir semua karyawan sudah pulang. Tetapi, Aluna tertahan di sana karena ulah Darren--sang CEO--yang tidak lain bosnya sendiri.Darren terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu. Alis tebalnya saling bertautan. "Aku mau memberimu tawaran, bukan membeli kamu. Kalau kamu berpikiran begitu, silakan saja."Mata indah Aluna membulat sempurna. Bosnya itu dengan enteng melontarkan kalimat terakhir dengan mudah. Ekspresinya juga sangat meremehkan Aluna, dan sang gadis tidak suka."Saya anggap seperti itu. Bapak pikir saya wanita murahan? Lagian, apa Bapak gila menginginkan ha
"Loh, memang harus seperti itu. Kalau aku menikahi orang yang tergila-gila akan harta dan tergila-gila padaku, akan susah," terang Darren."Maksudnya bagaimana? Jangan membuat alasan, Pak." Pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya kalau Darren tidak langsung memberikan alasan jelas kepada Aluna."Kalau aku menikahi wanita yang gila harta, maka pasti dia akan mau melakukan berbagai cara untuk mengeruk hartaku."Aluna pun terdiam menyimak. Dia tidak berkomentar sama sekali. Kali ini, ia ingin mendengarkan semua alasan pria itu ingin menikahinya."Lalu, jika aku menikahi wanita yang menggilaiku, pasti sulit melepasnya.""Ck!" Aluna berdecak keras, melihat bosnya dengan tatapan datar. "Lalu, untuk apa menikah? Tidak usah menikah saja! Gitu aja kok, repot!" seru Aluna, gemas sendiri."Aku inginnya seperti itu, tapi sayangnya tidak dengan orang tuaku. Ibuku terus-terusan meminta menantu."Aluna terperangah. Wajahnya tampak terkejut. Melihat itu, Darren malah kesal."Benarkah? Lucu sekali.
"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya."Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada. "Bapak bercanda, kan?"Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya."Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak. "Terima kasih, Pak. Saya tidak mau." Erangan keluar dari mulut Darre
"Bagaimana makanannya, Bu?""Enak sekali. Ini kamu pesan dari mana?" tanya Danita di sela suapannya."Tentunya dari restoran ternama. Katanya Ibu mau makan makanan dari luar. Jadi, aku pesan dari restoran yang paling mewah dan paling mahal."Sekarang, Darren dan Danita sedang makan malam. Ya, makan malam di saat yang kurang tepat. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi, itu lebih baik daripada Darren membuat ibunya kelaparan.Walaupun sang Ibu berbohong, tapi Danita tidak akan menolak tawaran dari anaknya itu. "Kamu bisa saja bujuk Ibu, tetapi bukan berarti Ibu membatalkan tuntutan sama kamu, ya. Pokoknya kamu harus tetap mengenalkan gadis itu pada Ibu."Lama-lama Darren bosan mendengar permintaan ibunya. "Ya baiklah. Bisakah kita jangan membicarakan itu dulu? Kita kan baru selesai makan," ujar Darren, akhirnya bersuara. Padahal perutnya baru saja diisi. Bisa-bisa dia mual karena terlalu kenyang mendengar omelan ibunya."Loh, justru karena kita sudah selesai makan. I
"Ibu tidak akan tahu karena dia itu karyawan baru," jawab Darren.Sebenarnya Darren sudah bosan mendengar pertanyaan ibunya perihal Aluna. Karena, mau dijelaskan pun memang mereka belum pernah bertemu. Darren berharap, Danita segera mengakhiri pembicaraan ini. "Benarkah? Jadi, dia itu karyawan baru?" tanya Danita, memastikan lagi. "Iya, bukankah aku tadi sudah bilang, dia itu salah satu karyawanku.""Baguslah kalau begitu, tapi ngomong-ngomong siapa namanya?"Danita sampai lupa menanyakan nama calon menantunya. Semua itu karena dia terlalu senang mendapatkan kabar ini. "Namanya Aluna.""Aluna? Nama yang bagus. Tapi, kamu benar-benar yakin kalau Ibu belum mengenalnya?"Dalam hati Darren terus merutuk. Kalau berurusan dengan menantu dan pernikahan, ibunya itu terlalu bersemangat. Tetapi, itu malah membuat Darren pusing sendiri. Danita terlalu ingin tahu. "Iya, Bu. Ibu tidak mengenalnya. Dia baru 2 bulan bekerja di tempatku." "Oh ya, jadi jabatannya sebagai apa?" tanya Danita lagi.
"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. "Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?""Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia."Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Te