Bibir Rania terasa kering. Tangannya menggenggam erat kain gaun putih yang menjuntai di pangkuannya. Di ruangan itu, suara lantang penghulu menggema, diikuti dengan desiran pelan dari para tamu yang menahan napas.
Di sampingnya, Aidan duduk tegak, mengenakan jas hitam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Ijab qabul akan segera dilaksanakan," kata penghulu.
Rania menunduk. Ini benar-benar terjadi.
Ia mengeraskan hatinya. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada penyesalan.
"Aidan Ramadhani bin Fadhlurrahman," suara penghulu terdengar lagi, mantap dan jelas. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Rania Amara binti Firdaus dengan mahar seperangkat alat salat dan emas 500 gram, dibayar tunai."
Hening sejenak.
Lalu, suara berat itu terdengar.
"Saya terima nikahnya Rania Amara binti Firdaus dengan mahar tersebut, tunai."
Gema sah dari para saksi menggetarkan ruangan. Rania mengangkat wajah, mencoba menangkap perubahan sekecil apa pun di raut wajah Aidan. Namun, pria itu tetap dingin, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah sebuah transaksi biasa.
Sebagian tamu tersenyum haru. Beberapa sanak keluarga menyeka air mata. Akan tetapi, Aidan bahkan tidak menoleh ke arahnya. Pernikahan itu resmi, tetapi mengapa rasanya seperti ia baru saja kehilangan sesuatu?
Resepsi berlangsung meriah. Lampu kristal berkilauan, bunga-bunga putih menghiasi seluruh aula, dan hidangan mewah tersaji di meja panjang. Semua orang tampak bahagia. Kecuali kedua mempelai.
"Selamat, Aidan," suara lembut seorang wanita menyusup di antara keramaian.
Rania menoleh. Wanita cantik tersenyum manis pada Aidan dan senyum itu dibalas tidak kalah hangat, tetapi hanya sekejap.
Gaun merah yang dikenakannya begitu mencolok, seakan sengaja dipilih untuk menarik perhatian. Matanya berbinar, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang membuat perut Rania terasa tidak nyaman.
"Aku hampir tidak percaya ini benar-benar terjadi." Wanita itu tersenyum kecil. "Pernikahanmu."
Aidan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya mendengkus kesal.
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke Rania. "Kau sangat beruntung, Rania."
Rania hanya tersenyum tipis. Ia tidak bodoh. Kalimat itu bukanlah sebuah pujian.
Aidan menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, "Larissa, ini bukan tempat yang tepat. Aku akan menjelaskannya segera."
Larissa mengedikkan bahu sebelum melangkah pergi. Rania ingin bertanya. Tentang hubungan mereka. Tentang ia merasa seperti ada bayangan asing yang begitu kuat di antara dirinya dan Aidan. Namun, ia menahan diri. Mungkin ia tidak ingin tahu jawabannya.
***
Rania duduk di sisi tempat tidur, jemarinya menggenggam ujung selimut. Kamar ini terlalu luas, terlalu asing, terlalu sunyi.
Aidan masuk. Ia melepas dasinya, berjalan melewati Rania tanpa menatapnya.
"Aidanb…." Rania mencoba bicara, tetapi suara itu nyaris seperti bisikan.
Pria itu berhenti sejenak. "Tidurlah. Aku akan di luar."
Rania menoleh cepat. "Di luar?"
"Aku ada urusan," jawabnya singkat.
Tidak ada kehangatan di matanya. Tidak ada keraguan. Aidan tidak merasa perlu memberikan penjelasan lebih panjang. Ia mengambil kunci mobilnya dan keluar tanpa menoleh lagi. Pintu tertutup pelan.
Sepi.
Rania menghela napas dalam. Lalu ia tersadar. Ini bahkan belum benar-benar dimulai dan Aidan sudah memilih pergi. Ia semakin tahu gambaran pernikahan paksaannya. Ternyata bukan hanya dia yang terpaksa.
Rania tetap duduk di tempatnya, menatap pintu kamar yang tertutup. Kepergian Aidan menyisakan kehampaan yang aneh.
Dadanya terasa sesak, tetapi ia tidak tahu pasti karena apa. Mungkin karena fakta bahwa suaminya pergi begitu saja tanpa sedikit pun rasa bersalah. Atau mungkin karena sejak awal, ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia pikir Aidan bisa bersikap baik padanya meski mereka tidak saling mencintai.
Rania menunduk, jemarinya meremas gaun tidur yang baru sempat diganti. Rasa dingin merayap di kulitnya, tetapi bukan karena udara malam, melainkan kesadaran bahwa ia benar-benar sendirian dalam pernikahan ini.
Rania bangkit. Langkahnya pelan saat ia berjalan menuju cermin besar di sudut ruangan. Bayangannya terpantul di sana, seorang wanita dalam balutan pakaian tidur sutra putih, rambut panjangnya tergerai berantakan. Matanya sembab. Ia tertawa kecil, getir. Baru saja menikah, tetapi malam pertamanya sudah dihabiskan sendiri.
Di luar, rintik hujan mulai turun. Rania melangkah menuju jendela besar, menyingkap tirai tipis, dan menatap jalanan gelap di bawah sana. Lampu-lampu kota masih menyala, gemerlap seperti bintang yang jatuh ke bumi dan di antara mereka, ada Aidan. Entah di mana.
Apakah dia bersama wanita itu? Larissa?
Pikiran itu menyusup begitu saja ke benaknya, menusuk tanpa ampun.
Larissa.
Nama itu terasa seperti duri dalam daging. Ia tak tahu hubungan pasti apa yang terjalin di antara Aidan dan wanita itu, tapi ia bukan orang bodoh. Cara Larissa berbicara tadi, tatapan Aidan yang mendadak hidup, tetapi penuh sesuatu yang tak terkatakan, semua itu cukup untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu di sana. Rania hanyalah orang asing yang kebetulan terjebak di dalamnya.
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju di jalanan basah, Aidan mengeratkan jemarinya di kemudi. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Yang ia tahu hanyalah ia tidak bisa berada di rumah itu. Tidak malam ini.
Hujan semakin deras, menampar kaca mobil, menciptakan suara samar yang mengisi keheningan di dalam kabin.
Pernikahan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ide itu. Sejak berbulan-bulan lalu, keluarganya sudah membicarakan ini, menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain. Namun tetap saja, saat mendengar penghulu mengucapkan ijab, saat suaranya sendiri menyatakan penerimaan, semuanya terasa seperti mimpi buruk.
Aidan menekan pedal gas lebih dalam. Ia tahu Rania tidak pantas menerima ini. Ia tahu bahwa perempuan itu tidak bersalah. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa berpura-pura. Tidak bisa pura-pura mencintai. Tidak bisa pura-pura menerima.
Ia menghela napas berat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkecamuk. Akan tetapi bayangan mata Rania tadi, mata yang berusaha tetap tegar meskipun dipenuhi pertanyaan, terus menghantuinya. Ia memejamkan mata sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. Hanya satu yang ia yakini malam ini. Ia tidak bisa pulang. Tidak sekarang.
Hujan turun semakin deras. Wiper mobil Aidan bergerak cepat, berusaha menghalau butiran air yang jatuh tanpa ampun. Tangannya masih mencengkeram kemudi, tetapi pikirannya melayang jauh. Rania dan tatapan perempuan itu sebelum ia pergi sangan mengganggu.
Aidan meremas setir lebih erat. Tidak. Ia tidak boleh memikirkannya. Ini bukan kesalahannya. Ia sudah memberi tahu keluarganya bahwa ia tidak ingin pernikahan ini. Tapi mereka tetap memaksanya. Dan sekarang, Rania harus menanggung akibatnya.
Mobilnya terus melaju, meninggalkan gemerlap lampu kota, memasuki kawasan perumahan elit dengan deretan rumah mewah yang sunyi.
Lalu ia berhenti. Rumah megah di hadapannya berdiri kokoh di tengah kegelapan, diterangi hanya oleh lampu teras dan bias cahaya dari jendela lantai dua. Jemarinya mengepal di atas paha, seakan ragu.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil dan keluar. Hujan langsung menyambutnya, membasahi rambut dan bahunya, tetapi ia tidak peduli.
Dengan langkah panjang, ia berjalan menuju pintu besar yang telah begitu familiar. Ia mengangkat tangannya, memencet bel. Hening.
Lalu, suara kunci diputar dari dalam terdengar. Pintu terbuka sedikit, dan seseorang berdiri di sana, bayangannya samar tertelan cahaya dari dalam rumah.
“Wah, pengantin baru kabur?” Suara seseorang menyentaknya. Suara yang beberapa tahun ini berhasil menawan hatinya. Mata Aidan terangkat, menatap sosok itu dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Ia tersenyum menatap Aidan. Sosok itu tahu maksud dari pria yang sering menyambanginya setiap hari. Lalu pintu terbuka lebih lebar, memberi ruang Aidan untuk masuk. Tanpa ragu, Aidan melangkah ke dalam dan pintu tertutup kembali di belakangnya.
Pagi menjelang dengan cahaya matahari yang malu-malu menyusup melalui celah tirai di kamar mereka. Rania terbangun meski semalam tidurnya hanya sebatas memejamkan mata, tidak benar-benar bisa tidur. Bayang-bayang pernikahan yang tanpa cinta masih bergelayut di benaknya. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal baru bagi pasangan suami istri, justru diisi dengan kehampaan. Aidan pergi begitu saja, meninggalkannya sendirian dalam kamar yang terasa lebih dingin.Dengan langkah malas, Rania melangkah ke dapur. Kebiasaannya selama ini di rumah bibinya adalah menyiapkan sarapan, dan ia tetap melakukan meski tak yakin apakah Aidan akan menyentuh masakannya. Ia menata meja makan dengan rapi, menyajikan nasi goreng sederhana, telur dadar yang matang sempurna, serta dua cangkir kopi. Setidaknya, jika Aidan pulang, ada sesuatu yang bisa ia santap.Saat ia sibuk menata piring, suara pintu utama yang terbuka membuatnya menoleh. Aidan muncul di ambang pintu dengan wajah lesu. Rambutnya berantakan
Suara langkah Aidan terdengar beradu dengan lantai. Pintu kamar itu masih tertutup, tiba-tiba menyusup perasaan aneh ke dalam dirinya. Bukan kepedulian, bukan juga rasa khawatir, tetapi lebih kepada dorongan tak terjelaskan yang membuatnya ingin tahu apa yang terjadi dengan gadis yang kemarin ia nikahi.Saat tangannya menyentuh kenop pintu, Aidan sempat ragu. Namun, hanya sepersekian detik, ia pun mendorong pintu perlahan.Cahaya kamar temaram. Rania duduk di lantai, di dekat meja rias. Di sekelilingnya, beberapa benda berserakan. Aidan memperhatikan wajahnya yang pucat, matanya menatap lurus ke satu benda yang ada di tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Aidan yang penasaran dengan apa yang Rania lakukan.Gadis itu buru-buru menyembunyikan benda yang tadi dipegangnya, dan berdiri. Saat ia berdiri terdengar suara rintihan yang keluar dari mulut Rania. Ia memijat kakinya perlahan. “Ada apa?” tanya Aidan sekali lagi.“Ah, tidak apa-apa tadi aku mau menyimpan pakaianku di dalam lemari, tapi
Bab 4 Seseorang Dari Masa LaluSetelah insiden pagi itu, Rania baru keluar kamar menjelang sore. Itu pun terpaksa karena perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Rumah itu terasa sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aidan, apalagi Larissa. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara keduanya setelah ia berlari ke kamar karena mendengar ucapan Larissa yang sangat klise dan berhasil membuatnya cekikikan di kamar.Rania menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam. Ia berencana akan membuat steak ayam crispy kesukaannya. Makanan mudah dan simpel yang sering ia buat saat di rumah bibi. Saat membuka kulkas, ia mendesah kecewa. Tidak banyak bahan tersisa di kulkas itu. Hanya ada beberapa telur, seikat sayuran, dan kornet. Mau tak mau ia pun akhirnya memutuskan membuat nasi goreng lagi. “Besok harus belanja, biar aku ga mati kelaparan di rumah ini,” gumamnya dengan nada kesal.Saat hidangan sudah siap, terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah. Rania sudah bisa menebak, itu pasti Aidan.“Oh
Rania tersentak ketika merasakan sesuatu menimpanya. Belum sempat memahami situasi, ia mendapati dirinya terbaring di lantai dapur, dengan tubuh Aidan menindihnya. Dunia seperti melambat sejenak. Aroma khas parfum Woody oud yang digunakan Aidan tercium memenuhi indera penciumannya, napasnya masih sedikit terengah akibat jatuh mendadak. Wajah mereka begitu dekat hingga Rania bisa melihat dengan jelas bulu mata Aidan yang tebal, tatapan matanya yang membulat karena keterkejutan, serta garis rahangnya yang menegang. Lalu, ia mulai merasakan kehangatan di bibirnya.Rania membeku. Napasnya tertahan. Begitu juga Aidan. Detik itu juga, kesadaran menghantam mereka berdua. Mereka tidak sengaja berciuman.“Kalian?” teriak seseorang. “Oh my God! Aidaaaa!” Suara nyaring itu memecah keheningan. Kali ini baik Aidan maupun Rania bisa menebak siapa yang datang dan mengejutkan mereka.Rania dan Aidan spontan menoleh ke arah pintu dapur. Larissa berdiri di sana, matanya membelalak, ekspresinya campuran
Brukk!Suara keras dari kamar sebelah membuat Rania tersentak. Ia mengerutkan kening dan menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdebar tak menentu, antara kaget dan penasaran. Apa itu Aidan? Sedang apa dia? “Ada apa, Mas?” tanya Rania, masih memegang ponselnya.“Hm? Suara apa tadi?” Reza juga mendengar suara benturan itu dari telepon.Rania menggeleng pelan meski tahu Reza tidak bisa melihatnya. “Enggak tahu, Mas, mungkin dari kamar sebelah.”“Oh, sepupumu yang dulu sering kamu ceritakan?” tanya Reza.“Eh, iya, Mas, itu sepupuku.” Raina berusaha menyembunyikan kebenaran tentang pernikahannya.Reza tertawa kecil di seberang sana. “Jadi, kapan kita bisa bisa bahas proyek ini?”Rania melirik jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sebelas malam. Ia seharusnya menolak atau setidaknya meminta waktu lain, tetapi … pikirannya terasa buntu, ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Ia hanya ingin ditemani.“Besok mungkin pas jam kerja, kebetulan proyek yang kemarin sudah selesai,” jawabnya akhirnya.
Aidan membeku di tempatnya. Tatapannya terkunci pada sepasang suami istri paruh baya yang baru saja memasuki kafe. Wajah mereka begitu familier, ayah dan ibunya.Larissa, yang duduk di depannya, menyadari perubahan ekspresi Aidan. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat pasangan tersebut berjalan mendekat. Detik itu juga, Larissa merapikan rambutnya dan memasang senyum terbaiknya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan tajam dari Nyonya Ratna, ibu Aidan.“Aidan.” Suara berat ayahnya, Pak Surya, terdengar tegas, nyaris tanpa emosi.Aidan berdiri, menelan ludah dengan susah payah. “Papa … Mama … kok bisa ada di sini?”“Mana Rania?” Nyonya Ratna melirik Larissa, lalu menatap putranya dengan dingin. “Mama mau ngomong sama kamu.”Larissa yang menyadari situasinya, mencoba bersikap ramah. “Tante, Om … apa kabar?” Ia mengulurkan tangan, tetapi tidak mendapat tanggapan dari orang tua Aidan. “Larissa, kamu pulang dulu,” bisik Aidan berusaha menyelamatkan wajah Larissa. Ia tahu, ini bukan saatn
Beberapa bulan menikahi Rania, Aidan tidak pernah menganggap wanita itu sebagai seseorang yang patut diperhatikan. Pernikahan mereka hanya sekadar formalitas dan ia tidak pernah merasa perlu memperhatikan kebiasaan atau tindak-tanduk istrinya itu. Namun, setelah ia kepergok jalan dengan Larissa oleh orang tuanya, mau tidak mau ia mulai menjalankan peran. Semua terjadi agar ia tidak dicoret dari kartu keluarga dan warisan sang kakek tetap jatuh ke tangannya. Pagi itu, ketika Rania tengah sarapan, Aidan duduk di seberang dengan secangkir kopi. Matanya tanpa sadar mengikuti setiap gerakan wanita itu. Rania tampak sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir, kemudian meniup pelan sebelum menyesapnya. Ekspresi menikmati setiap tegukan. Rambutnya diikat asal, beberapa helai jatuh di sisi wajah, memberikan kesan santai, tetapi tetap anggun. Aidan mengerutkan kening. Mengapa baru sekarang ia menyadari detail itu? Kenyataan wanita di hadapannya lebih cantik dari Larissa. “Kenapa dari tadi ngeli
Sore itu, Rania tiba lebih dulu di restoran yang telah disepakati bersama Reza. Rencana makan siang mereka gagal karena Reza harus meeting kembali dengan salah satu stafnya. Namun, pria itu tidak pernah ingkar janji, ia akhirnya mengajak Rania untuk makan malam.Reza memesan meja di dekat jendela. Dari sana Rania bisa menikmati pemandangan lampu kota yang mulai menyala. Ia merasa tenang karena bisa melepas penat setelah seharian bekerja, sekaligus Rania gunakan harus menyiapkan amunisi untuk mengahadapi Aidan ketika pulang nanti.Beberapa menit kemudian, Reza datang dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku seperti tadi pagi. Tidak ada yang berubah bahkan setelah seharian disibukan dengan pekerjaan. Penampilan Reza selalu rapi dan menawan. Ia tersenyum ramah seperti biasa ketika melihat Rania."Udah lama nunggu?" tanyanya sambil menarik kursi di hadapan Rania.Rania menggeleng. "Enggak, baru sampai juga."Reza membuka menu dan menatap Rania dengan santai. "Hari ini aku y
Belum sempat Rania bertanya lebih lanjut, suara itu membuat rasa penasaran Rania pupus. Bahkan saat ia ingin tahu, pria itu sudah memutus panggilan tersebut.“Tamu spesial? Kok kamu jahat banget sama aku, Dan. Kan, aku bilang jangan bawa wanita itu ke rumah, sesulit itukah?” ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.Ia sama sekali tidak beranjak ke dapur untuk membuat makanan dan mengabaikan permintaan Aidan. Jika makanannya untuk wanita itu, sungguh ia tidak terima. Dengan perasaan jengkel Rania akhirnya tertidur. Di lain sisi, Aidan yang sedang bersama Larrisa tampak gelisah. Pria itu terus menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa kali ia menatap bilik tempat wanita yang sejak semalam merengkek minta dibelikan pakaian. “Gimana?” tanya wanita yang baru keluar dari fitting room dengan memakai dress merah potongan midi length dengan potongan leher berbentuk sweetheart dan belahan tinggi di bagian depan. Aidan terkesima, wanita di hadapannya tampak anggun berkali-k
Setiba di rumah, Rania memilih berdiam diri di kamar, sedangkan Aidan masih di ruang tengah, mondar-mandir tak jelas. Setelah percakapan mereka di mobil, suasana menjadi canggung. Mereka tak lagi saling bicara, padahal biasanya pun seperti itu. Namun, kali ini suasana itu membuat Aidan tidak nyaman. “Aidan rese, nyebelin!” umpat Rania dari balik selimut saat mengingat kejadian di mobil tadi. “Eh, tapi aku jadi ada ide buat ngerjain dia.” Ekspresi yang semua kesal berubah dengan ditariknya sudut sebelah bibirnya.Subuh-subuh buta saat Rania masih bergelung di dalam selimut, pintu kamarnya diketuk Aidan keras. Rania terbangun karena suara tersebut dan berjalan gontai menghampiri suaminya yang terus mengetuk tidak sabaran.“Apa?” tanya Rania dengan wajah mengantuk."Aku lapar, bikinin aku sarapan."“What?” Mata yang masih setengah terpejam tadi, melotot seketika."Aku mau sarapan. Buatin telur dadar sama roti bakar, ya. Pake keju. Sama kopi."Rania menghela napas. “Kamu gak lihat sekara
Sore itu, Rania tiba lebih dulu di restoran yang telah disepakati bersama Reza. Rencana makan siang mereka gagal karena Reza harus meeting kembali dengan salah satu stafnya. Namun, pria itu tidak pernah ingkar janji, ia akhirnya mengajak Rania untuk makan malam.Reza memesan meja di dekat jendela. Dari sana Rania bisa menikmati pemandangan lampu kota yang mulai menyala. Ia merasa tenang karena bisa melepas penat setelah seharian bekerja, sekaligus Rania gunakan harus menyiapkan amunisi untuk mengahadapi Aidan ketika pulang nanti.Beberapa menit kemudian, Reza datang dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku seperti tadi pagi. Tidak ada yang berubah bahkan setelah seharian disibukan dengan pekerjaan. Penampilan Reza selalu rapi dan menawan. Ia tersenyum ramah seperti biasa ketika melihat Rania."Udah lama nunggu?" tanyanya sambil menarik kursi di hadapan Rania.Rania menggeleng. "Enggak, baru sampai juga."Reza membuka menu dan menatap Rania dengan santai. "Hari ini aku y
Beberapa bulan menikahi Rania, Aidan tidak pernah menganggap wanita itu sebagai seseorang yang patut diperhatikan. Pernikahan mereka hanya sekadar formalitas dan ia tidak pernah merasa perlu memperhatikan kebiasaan atau tindak-tanduk istrinya itu. Namun, setelah ia kepergok jalan dengan Larissa oleh orang tuanya, mau tidak mau ia mulai menjalankan peran. Semua terjadi agar ia tidak dicoret dari kartu keluarga dan warisan sang kakek tetap jatuh ke tangannya. Pagi itu, ketika Rania tengah sarapan, Aidan duduk di seberang dengan secangkir kopi. Matanya tanpa sadar mengikuti setiap gerakan wanita itu. Rania tampak sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir, kemudian meniup pelan sebelum menyesapnya. Ekspresi menikmati setiap tegukan. Rambutnya diikat asal, beberapa helai jatuh di sisi wajah, memberikan kesan santai, tetapi tetap anggun. Aidan mengerutkan kening. Mengapa baru sekarang ia menyadari detail itu? Kenyataan wanita di hadapannya lebih cantik dari Larissa. “Kenapa dari tadi ngeli
Aidan membeku di tempatnya. Tatapannya terkunci pada sepasang suami istri paruh baya yang baru saja memasuki kafe. Wajah mereka begitu familier, ayah dan ibunya.Larissa, yang duduk di depannya, menyadari perubahan ekspresi Aidan. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat pasangan tersebut berjalan mendekat. Detik itu juga, Larissa merapikan rambutnya dan memasang senyum terbaiknya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan tajam dari Nyonya Ratna, ibu Aidan.“Aidan.” Suara berat ayahnya, Pak Surya, terdengar tegas, nyaris tanpa emosi.Aidan berdiri, menelan ludah dengan susah payah. “Papa … Mama … kok bisa ada di sini?”“Mana Rania?” Nyonya Ratna melirik Larissa, lalu menatap putranya dengan dingin. “Mama mau ngomong sama kamu.”Larissa yang menyadari situasinya, mencoba bersikap ramah. “Tante, Om … apa kabar?” Ia mengulurkan tangan, tetapi tidak mendapat tanggapan dari orang tua Aidan. “Larissa, kamu pulang dulu,” bisik Aidan berusaha menyelamatkan wajah Larissa. Ia tahu, ini bukan saatn
Brukk!Suara keras dari kamar sebelah membuat Rania tersentak. Ia mengerutkan kening dan menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdebar tak menentu, antara kaget dan penasaran. Apa itu Aidan? Sedang apa dia? “Ada apa, Mas?” tanya Rania, masih memegang ponselnya.“Hm? Suara apa tadi?” Reza juga mendengar suara benturan itu dari telepon.Rania menggeleng pelan meski tahu Reza tidak bisa melihatnya. “Enggak tahu, Mas, mungkin dari kamar sebelah.”“Oh, sepupumu yang dulu sering kamu ceritakan?” tanya Reza.“Eh, iya, Mas, itu sepupuku.” Raina berusaha menyembunyikan kebenaran tentang pernikahannya.Reza tertawa kecil di seberang sana. “Jadi, kapan kita bisa bisa bahas proyek ini?”Rania melirik jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sebelas malam. Ia seharusnya menolak atau setidaknya meminta waktu lain, tetapi … pikirannya terasa buntu, ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Ia hanya ingin ditemani.“Besok mungkin pas jam kerja, kebetulan proyek yang kemarin sudah selesai,” jawabnya akhirnya.
Rania tersentak ketika merasakan sesuatu menimpanya. Belum sempat memahami situasi, ia mendapati dirinya terbaring di lantai dapur, dengan tubuh Aidan menindihnya. Dunia seperti melambat sejenak. Aroma khas parfum Woody oud yang digunakan Aidan tercium memenuhi indera penciumannya, napasnya masih sedikit terengah akibat jatuh mendadak. Wajah mereka begitu dekat hingga Rania bisa melihat dengan jelas bulu mata Aidan yang tebal, tatapan matanya yang membulat karena keterkejutan, serta garis rahangnya yang menegang. Lalu, ia mulai merasakan kehangatan di bibirnya.Rania membeku. Napasnya tertahan. Begitu juga Aidan. Detik itu juga, kesadaran menghantam mereka berdua. Mereka tidak sengaja berciuman.“Kalian?” teriak seseorang. “Oh my God! Aidaaaa!” Suara nyaring itu memecah keheningan. Kali ini baik Aidan maupun Rania bisa menebak siapa yang datang dan mengejutkan mereka.Rania dan Aidan spontan menoleh ke arah pintu dapur. Larissa berdiri di sana, matanya membelalak, ekspresinya campuran
Bab 4 Seseorang Dari Masa LaluSetelah insiden pagi itu, Rania baru keluar kamar menjelang sore. Itu pun terpaksa karena perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Rumah itu terasa sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aidan, apalagi Larissa. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara keduanya setelah ia berlari ke kamar karena mendengar ucapan Larissa yang sangat klise dan berhasil membuatnya cekikikan di kamar.Rania menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam. Ia berencana akan membuat steak ayam crispy kesukaannya. Makanan mudah dan simpel yang sering ia buat saat di rumah bibi. Saat membuka kulkas, ia mendesah kecewa. Tidak banyak bahan tersisa di kulkas itu. Hanya ada beberapa telur, seikat sayuran, dan kornet. Mau tak mau ia pun akhirnya memutuskan membuat nasi goreng lagi. “Besok harus belanja, biar aku ga mati kelaparan di rumah ini,” gumamnya dengan nada kesal.Saat hidangan sudah siap, terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah. Rania sudah bisa menebak, itu pasti Aidan.“Oh
Suara langkah Aidan terdengar beradu dengan lantai. Pintu kamar itu masih tertutup, tiba-tiba menyusup perasaan aneh ke dalam dirinya. Bukan kepedulian, bukan juga rasa khawatir, tetapi lebih kepada dorongan tak terjelaskan yang membuatnya ingin tahu apa yang terjadi dengan gadis yang kemarin ia nikahi.Saat tangannya menyentuh kenop pintu, Aidan sempat ragu. Namun, hanya sepersekian detik, ia pun mendorong pintu perlahan.Cahaya kamar temaram. Rania duduk di lantai, di dekat meja rias. Di sekelilingnya, beberapa benda berserakan. Aidan memperhatikan wajahnya yang pucat, matanya menatap lurus ke satu benda yang ada di tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Aidan yang penasaran dengan apa yang Rania lakukan.Gadis itu buru-buru menyembunyikan benda yang tadi dipegangnya, dan berdiri. Saat ia berdiri terdengar suara rintihan yang keluar dari mulut Rania. Ia memijat kakinya perlahan. “Ada apa?” tanya Aidan sekali lagi.“Ah, tidak apa-apa tadi aku mau menyimpan pakaianku di dalam lemari, tapi