Aidan membeku di tempatnya. Tatapannya terkunci pada sepasang suami istri paruh baya yang baru saja memasuki kafe. Wajah mereka begitu familier, ayah dan ibunya.Larissa, yang duduk di depannya, menyadari perubahan ekspresi Aidan. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat pasangan tersebut berjalan mendekat. Detik itu juga, Larissa merapikan rambutnya dan memasang senyum terbaiknya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan tajam dari Nyonya Ratna, ibu Aidan.“Aidan.” Suara berat ayahnya, Pak Surya, terdengar tegas, nyaris tanpa emosi.Aidan berdiri, menelan ludah dengan susah payah. “Papa … Mama … kok bisa ada di sini?”“Mana Rania?” Nyonya Ratna melirik Larissa, lalu menatap putranya dengan dingin. “Mama mau ngomong sama kamu.”Larissa yang menyadari situasinya, mencoba bersikap ramah. “Tante, Om … apa kabar?” Ia mengulurkan tangan, tetapi tidak mendapat tanggapan dari orang tua Aidan. “Larissa, kamu pulang dulu,” bisik Aidan berusaha menyelamatkan wajah Larissa. Ia tahu, ini bukan saatn
Beberapa bulan menikahi Rania, Aidan tidak pernah menganggap wanita itu sebagai seseorang yang patut diperhatikan. Pernikahan mereka hanya sekadar formalitas dan ia tidak pernah merasa perlu memperhatikan kebiasaan atau tindak-tanduk istrinya itu. Namun, setelah ia kepergok jalan dengan Larissa oleh orang tuanya, mau tidak mau ia mulai menjalankan peran. Semua terjadi agar ia tidak dicoret dari kartu keluarga dan warisan sang kakek tetap jatuh ke tangannya. Pagi itu, ketika Rania tengah sarapan, Aidan duduk di seberang dengan secangkir kopi. Matanya tanpa sadar mengikuti setiap gerakan wanita itu. Rania tampak sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir, kemudian meniup pelan sebelum menyesapnya. Ekspresi menikmati setiap tegukan. Rambutnya diikat asal, beberapa helai jatuh di sisi wajah, memberikan kesan santai, tetapi tetap anggun. Aidan mengerutkan kening. Mengapa baru sekarang ia menyadari detail itu? Kenyataan wanita di hadapannya lebih cantik dari Larissa. “Kenapa dari tadi ngeli
Sore itu, Rania tiba lebih dulu di restoran yang telah disepakati bersama Reza. Rencana makan siang mereka gagal karena Reza harus meeting kembali dengan salah satu stafnya. Namun, pria itu tidak pernah ingkar janji, ia akhirnya mengajak Rania untuk makan malam.Reza memesan meja di dekat jendela. Dari sana Rania bisa menikmati pemandangan lampu kota yang mulai menyala. Ia merasa tenang karena bisa melepas penat setelah seharian bekerja, sekaligus Rania gunakan harus menyiapkan amunisi untuk mengahadapi Aidan ketika pulang nanti.Beberapa menit kemudian, Reza datang dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku seperti tadi pagi. Tidak ada yang berubah bahkan setelah seharian disibukan dengan pekerjaan. Penampilan Reza selalu rapi dan menawan. Ia tersenyum ramah seperti biasa ketika melihat Rania."Udah lama nunggu?" tanyanya sambil menarik kursi di hadapan Rania.Rania menggeleng. "Enggak, baru sampai juga."Reza membuka menu dan menatap Rania dengan santai. "Hari ini aku y
Setiba di rumah, Rania memilih berdiam diri di kamar, sedangkan Aidan masih di ruang tengah, mondar-mandir tak jelas. Setelah percakapan mereka di mobil, suasana menjadi canggung. Mereka tak lagi saling bicara, padahal biasanya pun seperti itu. Namun, kali ini suasana itu membuat Aidan tidak nyaman. “Aidan rese, nyebelin!” umpat Rania dari balik selimut saat mengingat kejadian di mobil tadi. “Eh, tapi aku jadi ada ide buat ngerjain dia.” Ekspresi yang semua kesal berubah dengan ditariknya sudut sebelah bibirnya.Subuh-subuh buta saat Rania masih bergelung di dalam selimut, pintu kamarnya diketuk Aidan keras. Rania terbangun karena suara tersebut dan berjalan gontai menghampiri suaminya yang terus mengetuk tidak sabaran.“Apa?” tanya Rania dengan wajah mengantuk."Aku lapar, bikinin aku sarapan."“What?” Mata yang masih setengah terpejam tadi, melotot seketika."Aku mau sarapan. Buatin telur dadar sama roti bakar, ya. Pake keju. Sama kopi."Rania menghela napas. “Kamu gak lihat sekara
Belum sempat Rania bertanya lebih lanjut, suara itu membuat rasa penasaran Rania pupus. Bahkan saat ia ingin tahu, pria itu sudah memutus panggilan tersebut.“Tamu spesial? Kok kamu jahat banget sama aku, Dan. Kan, aku bilang jangan bawa wanita itu ke rumah, sesulit itukah?” ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.Ia sama sekali tidak beranjak ke dapur untuk membuat makanan dan mengabaikan permintaan Aidan. Jika makanannya untuk wanita itu, sungguh ia tidak terima. Dengan perasaan jengkel Rania akhirnya tertidur. Di lain sisi, Aidan yang sedang bersama Larrisa tampak gelisah. Pria itu terus menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa kali ia menatap bilik tempat wanita yang sejak semalam merengkek minta dibelikan pakaian. “Gimana?” tanya wanita yang baru keluar dari fitting room dengan memakai dress merah potongan midi length dengan potongan leher berbentuk sweetheart dan belahan tinggi di bagian depan. Aidan terkesima, wanita di hadapannya tampak anggun berkali-k
“Apa?” Aidan dan Rania berseru bersamaan. Mata keduanya membulat saat mendengar keputusan Kakek Bima.“Aku bilang, aku mau tinggal di sini. Di rumah cucuku sendiri,” ulang Kakek Bima sambil melipat tangan di dada. Wajahnya menunjukkan keteguhan yang sulit digoyahkan.Aidan langsung berdiri dari sofa. “Tapi, Kek … kenapa harus di sini? Bukannya lebih nyaman di rumah Kakek yang luas dan penuh pelayanan itu? Di sini sempit, enggak nyaman. Kakek bisa bosan. Lagipula Rania masih belum terbiasa mengurus tamu yang tinggal lama.”“Tamu? Kakekmu kamu anggap tamu? Kamu pikir aku ke sini buat dimanjakan?” Kakek Bima menaikkan satu alis. “Aku ke sini karena ingin melihat langsung bagaimana kehidupan rumah tangga kalian. Jangan-jangan pernikahan ini cuma pura-pura, ya?”“Eh, enggak, Kek. Bukan gitu …” sangkal Aidan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.“Lagian, kalian suami istri. Harusnya enggak masalah tinggal satu atap dengan keluarga, kan?” sahut Mama Aidan dengan senyum mencurigakan.
Hujan masih mengguyur lebat saat Aidan memarkir mobilnya di depan sebuah kafe bergaya vintage di tengah kota, jauh dari kantornya. Tempat itu bukan favoritnya, tetapi Larissa sangat menyukainya dan hari ini, Larissa sedang dalam mode manja.“Udah tahu aku enggak bisa tidur semalam,” rengek Larissa saat menelepon pagi tadi, “kamu malah enggak datang. Pokoknya nanti malam kita dinner.”Aidan mengalah. Semalam adalah malam paling ganjil dalam hidupnya. Namun malam ini, ia mencoba melupakan semua itu dan kembali pada zona nyaman bersama Larissa.Begitu memasuki kafe, Larissa langsung melambai. Ia duduk di dekat jendela dengan secangkir cappuccino dan senyum manis. Wajahnya cerah seperti biasa, dengan rambut panjang tergerai dan riasan tipis yang membuatnya terlihat seperti aktris di drama Korea favoritnya.“Kamu telat lima menit,” ucap Larissa manja, meski senyumnya tak hilang. Ia mencium pipi kanan-kiri Aidan dengan mesra.Aidan duduk dan menghela napas mendapat perlakuan yang tidak beru
Aidan membuka pintu kamar dengan perlahan. Lampu temaram menyinari ruangan, menyorot sosok Rania yang tengah duduk di depan cermin, mengeringkan rambut dengan handuk. Rambutnya yang basah menjuntai di bahu, membasahi sedikit bagian belakang piyama yang dikenakannya. Aidan mendekat tanpa suara, lalu meraih handuk di tangan Rania."Biar aku saja," ucap Aidan pelan.Rania menoleh cepat, tampak kaget. Tatapan mereka bertemu dalam pantulan cermin. Mata Rania menatap ragu, tapi ia tak menolak. Aidan mulai mengusap pelan rambut Rania, gerakannya lembut dan penuh kehati-hatian."Kamu enggak perlu kayak gini, aku bisa sendiri, Aidan," gumam Rania."Aku tahu, tapi aku mau," jawab Aidan singkat.Hening menyelimuti mereka beberapa detik. Aidan fokus mengeringkan rambut Rania, dan perempuan itu membiarkannya, walau jantungnya berdegup tak karuan. Keheningan itu begitu aneh, tetapi juga membuat keduanya tenggelam dalam perasaan masing-masing. Tidak ada yang bicara, hanya suara tarikan napas dan det
Rania melirik sekilas. “Ini … kamu yang nyiapin?”Aidan berjalan ke arah dapur tanpa menoleh. “Nggak mungkin kucing, kan.”Tidak ada nada hangat, tetapi Rania kini tahu mungkin itu cara Aidan menunjukkan perhatiannya. Tidak lama kemudian, Aidan kembali membawa semangkuk bubur dan secangkir teh. Ia meletakkannya di atas meja depan Rania.“Makan dulu. Dokter bilang kamu belum boleh makan yang aneh-aneh.”Rania menatap bubur itu dengan dahi berkerut lalu bergantian menatap Aidan yang duduk di seberang sambil membuka laptopnya. “Kamu masak?”Aidan mengangkat bahu. “Daripada kamu pesan makanan aneh terus, mending aku yang masak.”Nada suaranya tetap tenang, dingin, dan tidak ada basa-basi. Setelah makan, Aidan berdiri dan mengambil bantal kecil dari sofa.“Tidur di kamar. Nggak usah banyak gerak. Aku pindahin kerjaan ke rumah sementara, biar kamu nggak repot ngapa-ngapain.”“Tumben perhatian,” ucap Rania setenga
Setelah pintu apartemennya tertutup rapat dan langkah Aidan terdengar menghilang di lorong, Larissa terduduk di sofa. Jantungnya berdegup kencang dengan tangan gemetar menahan napas yang tak beraturan.“Bodoh … aku bodoh banget …” desisnya sambil menepuk dahinya sendiri.Ia menggenggam foto Rania dengan tangan berkeringat, lalu bergantian menatap tulisan ancaman itu lagi. Tulisan yang bahkan ia tahu siapa penulisnya. Tidak semua orang bisa mengenalinya, tetapi ia kenal sangat baik. Tulisan tangan itu penuh tekanan, miring ke kiri, dan selalu sedikit berantakan.Larissa bangkit, ia melangkah ke kamar, dan tergesa mengganti. Disambarnya kunci mobil pemberian Aidan, ia harus menemui seseorang.Hampir menjelang pagi ketika Larissa menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe kecil yang sudah tutup. Namun, lampu di lantai dua masih menyala. Ia mengetuk pintu belakang dengan ritme ketukan yang ia dan orang tersebut yang tahu. Tidak lama pintu pun terbuka
“Maaf, harusnya aku enggak biarin dia di sini,” gumam Rania.Aidan hanya menggeleng. “Bukan salah kamu! Dia aja yang kegatelan!”Ponsel Aidan tiba-tiba bergetar. Ia mengangkatnya dan menjauh sebentar. Tidak lama setelah menerima panggilan itua, ia kembali dengan tegang.“Aku baru dapet kabar dari orangku,” ucapnya sambil menatap Rania.Rania menatapnya bingung. “Kabar apa?”“Orang yang ngikutin kita malam itu, ternyata orang itu juga yang nabrak kamu.”Rania membelalak. “Serius?”Aidan mengangguk pelan. “Aku udah minta orangku urus semuanya. Kita akan tahu siapa yang nyuruh dia.”Rania menggenggam selimut erat. Ketakutan mulai mengalir ke dalam dirinya, hidupnya yang dulu aman-aman saja meski penuh derita, berubah dalam sekejap setelah menikah. Aidan menghampiri Rania dan mengecup keningnya.“Semua akan membaik,” ucapnya pelan.****Mobil hitam itu melaju cepat di lorong sempit pinggiran kota, melewati gang-gang kecil sebelum akhirnya berhenti di sebuah rumah tua yang tampak kosong. N
Pemandangan pagi Rania sudah beberapa hari ini adalah Aidan yang fokus dengan laptop dan tumpukan berkasnya. Ia menikmati dalam diam dan kepura-puraan. Aidan yang kacamatanya turun sedikit menoleh ke arah Rania yang curi-curi pandang. “Kenapa?”Belum sempat Rania menjawab, pintu ruang perawatan diketuk pelan.“Itu …” ucap Rania pelan sambil menunjuk ke arah pintu dengan dagu. Aidan menoleh sejenak dan tidak lama pintu pun terbuka menampilkan seorang wanita muda dengan blouse biru dan celana panjang hitam berdiri membeku di ambang pintu.“Permisi. Rania?” sapa perempuan itu hati-hati.“Tia?” Rania mendelik dan menatap Aidan bergantian dengan Tia. “Kamu ngapain?”Tia melirik sekeliling ruangan dengan takjub. “Astaga, ini kamar rumah sakit? Kirain kamar hotel bintang lima.”Ia berjalan cepat ke arah ranjang. “Kamu gimana kondisinya? Jujur aku tadi hampir enggak percaya kalau kamu dirawat di ruangan ini. Gila mewah banget,” cerocos Tia seperti kereta api.Rania hanya tersenyum canggung.
“Reza?” bentak Aidan. Seketika ia melangkah cepat, menarik bahu Reza dan mendorong pria itu menjauh dari Rania.Reza terpental sedikit ke belakang. “Aidan?!”“Lo ngapain cium-cium istri gue?” Suara Aidan tajam, penuh amarah.“Istri? Bukannya sepupu?” balas Reza pura-pura tidak tahu.“Dia istri gue. Nyonya Aidan!”Reza tertawa mencibir, berpura-pura tidak percaya.Rania menjerit kecil, “Stop! Tolong, kalian jangan berantem di sini. Aku pusing!”Aidan mendekat ke ranjang, merogoh saku untuk mengambil sapu tangan. Ia segera mengelap dahi istrinya yang tadi dicium Reza. “Kamu enggak apa-apa?”Rania mengangguk, masih tertegun dengan situasi ini.Aidan menatap Reza tajam. “Keluar dari sini. Sekarang!”Reza tidak bergeming. “Aku akan tetap di sini. Aku bosnya Rania.”Aidan hendak memukul Reza, tetapi mendengar Rania merintih, niat itu diurungkan. “Kamu ingat siapa yang nabrak?”
Suasana kantor pagi itu masih ramai oleh karyawan yang baru datang. Di ruangan lantai tiga, Reza duduk di ruangannya dengan mata terpaku ke layar laptop. Ia tengah menyiapkan materi presentasi untuk rapat penting siang nanti. Di luar ruangannya, Tia dan beberapa karyawan lain bergerombol dengan suasana sedikit panik. Wajah-wajah mereka terlihat serius. Reza mendongak saat samar-samar mendengar nama Rania disebut.“Iya tadi dari Mbak Ratna. Mbak Ratna ada di TKP, langsung dibawa ke RS,” ucap Tia ke temannya.Langkah Reza terhenti. Ia langsung bangkit dari kursinya dan membuka pintu.“Tia, ulangi. Siapa yang kecelakaan?” tanyanya cepat.Tia kaget melihat Reza berdiri di hadapannya. “R-Rania, Pak. Tadi katanya ojek yang ditumpanginya diserempet mobil di persimpangan. Saya dengar dari Mbak Ratna.”“Ratna HR kita? Dia kata siapa?”“Mbak Ratna ada di TKP, Pak.”Lalu tanpa pikir panjang Reza segera merogoh HP yan
Rania merebahkan diri di samping Aidan. Matanya masih menatap langit-langit kamar yang temaram.“Kamu takut?” tanya Aidan tiba-tiba.“Enggak. Kenapa aku harus takut?”Aidan menoleh, ia penasaran tentang sikap Rania yang lebih tenang dari terakhir kali mereka bertemu.“Kamu kenapa?” tanya Aidan lirih saat Rania hendak memejamkan mata.“Hah?” Reflek Rania segera membuka mata dan memiringkan tubuhnya menghadap Aidan.“Aku? kenapa?” tanya Rania cepat dan penuh rasa penasaran.“Ah, enggak. Aku hanya penasaran kamu malam ini kenapa?”“Iya, maksudnya aku kenapa apanya?”“Ah, sudahlah. Tidur sana!”“Ck …” decak Rania. “Aneh!” Ia menarik selimut dan menutupi hingga ujung kepala. Aidan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.Aidan duduk di ujung ranjang dengan tubuh yang lelah, tetapi otaknya terus bekerja mencoba menganalisis apa yang terjadi malam itu dan siapa dalangnya. Ponselnya terus menampilkan feed dari kamera pengawas. Sesekali ia menoleh ke arah Rania yang sudah tertidur dengan n
Di dalam mobil, hujan masih turun rintik-rintik. Wiper bekerja konstan, membelah tetes-tetes air di kaca depan. Aidan menyetir tanpa suara. Di sebelahnya, Rania juga tidak membuka pembicaraan. Ia masih menatap ke luar jendela, seolah pemandangan malam dan jalanan basah lebih menarik daripada percakapan yang sulit ditebak arahnya.Sampai tiba-tiba, Aidan tersadar sesuatu. Ia melirik ke spion tengah. Dahinya berkerut, sebuah sedan hitam tampak melaju stabil di belakang mereka. Lampunya redup, jarak yang tercipta pun cukup jauh dan tidak mencolok, tetapi kecepatannya cukup konsisten untuk menimbulkan curiga. Ia bolak-balik melirik spion samping. Mobil itu masih mengikuti.“Rania,” ucapnya pelan.Rania menoleh. “Ya?”“Kamu bawa HP?”“Bawa.” Rania mengeluarkan ponselnya dari tas.“Matikan lokasinya. Tolong matikan juga lokasi di HP-ku.” Tangan Aidan terulur dan menyerahkan HP yang sejak tadi diletakkan di laci mobil.
Rania sedikit terperanjat. Di balik kaca pintu utama kantor, Aidan berdiri dengan payung hitam di tangan. Rambutnya masih basah oleh gerimis. Ia mengenakan kemeja merah marun dan celana hitam formal, seperti biasa. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Rania berdiri pelan dan menghampiri, tanpa berkata apa-apa."Ayo pulang," ucap Aidan singkat.Rania mengangguk. Ia mengikuti langkah Aidan keluar tanpa banyak bertanya. Aidan memayungi mereka berdua. Hujan makin deras, tetapi keduanya hanya diam menyusuri trotoar menuju parkiran.Dari balik lift yang baru terbuka, Reza melangkah keluar bersama sahabat-sahabatnya yang sedang datang berkunjung. Ia refleks menoleh saat melihat sosok Rania berjalan berdua dengan Aidan di luar gedung yang hanya dipisahkan dengan dinding kaca yang cukup tebal."Kayaknya itu tim kamu, kan?" tanya Reza sambil menunjuk ke arah Rania dan Aidan."Kayaknya gue kenal laki-laki yang pegang payung deh. Mirip kayak Aidan anak Pak Bima, pewaris Bima Grup," ujar pria di