Aidan tergesa-gesa masuk ke rumah yang dari halaman depannya gelap. Ia membuka pintu yang sedikit terbuka dan memanggil nama Larissa. Namun, langkah kakinya terhenti saat tiba di ruang tamu. Ruangan itu remang, aroma manis tercium menyengat, wangi parfum khas Larissa.Di sudut sofa, Larissa duduk dengan wajah tersenyum samar. Tangannya memegang segelas air yang disesapnya perlahan. Aidan merasa janggal. Ruangan itu jauh dari perkiraannya, juga ekspresi Larissa.“Kamu enggak apa-apa, Sa?” tanya Aidan sangsi. Ia mulai menghampiri Larissa.Namun, Larissa berdiri dan tersenyum menggoda Aidan dengan pakaian yang transparan. “Akhirnya kamu datang juga.”“Kamu bohong?” tanya Aidan dengan nada sedikit meninggi. Beberapa kali ia terlihat menahan diri.Larissa tidak langsung menjawab. Ia malah berjalan mendekat dan menyentuh dada Aidan dengan kedua tangannya.“Aku cuma takut kehilangan kamu,” bisiknya. “Aku tahu ... kamu enggak a
Rania melangkah mundur ketika mendengar kalimat yang Aidan ucapkan."Aku pengen peluk kamu."Hatinya tercekat. Suara Aidan terdengar parau, wajahnya memerah, tubuhnya berkeringat. Pandangannya berkabut dengan tubuh gelisah seperti menahan sesuatu agar tidak meledak. Rania bukan anak kecil. Ia tahu ada yang salah. Sangat salah.“Manja! Kenapa, sih? Udahlah jangan main-main!” protes Rania yang berusaha untuk mengabaikan. Namun, saat diperhatikan Aidan makin terlihat berkeringat dan terlihat aneh.“Kamu kenapa, deh? Beneran enggak enak badan, ya? Jangan bikin aku takut, Dan?” Rania mendekati Aidan dan hendak mengulurkan tangannya, tetapi segera disambar tangannya oleh Aidan dan di tempelkan ke pipinya. Tangan itu dikecup pelan oleh Aidan dan berhasil mengalirkan efek seperti listrik di tubuh Rania.“Dan!” pekik Rania. Ia buru-buru menjauh. “Aku ambilin air dulu deh,” ucapnya sambil keluar kamar.Namun, saat baru membuka pintu, ia malah berpapasan dengan Kakek Bima di lorong. Sosok tua it
Pagi itu, aroma nasi goreng dari dapur membuat Rania tersenyum. Ia berdiri di depan cermin, mengeringkan rambut dan memastikan tak ada bekas sisa-sisa semalam di tubuhnya. setelah malam yang luar biasa intens itu kehidupan tidak akan lagi sama seperti beberapa bulan itu. Pagi itu ia akan memantapkan diri untuk sepenuhnya menjadi istri yang baik untuk Aidan.Di ruang makan, terdengar suara sendok beradu dengan piring dan celoteh ceria Mama dan Papa Aidan. Kakek Bima pun sudah duduk di meja makan, suara batuknya khas terdengar sama. Ia tahu para orang tua itu pasti sedang membicarakan dirinya dan Aidan karena tadi pagi kakek tergesa-gesa masuk ke kamar dan mendapati pemandangan yang membuat keduanya malu.“Ran, kamu udah rapi?” Aidan muncul dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Ia mengenakan kaus hitam dan celana bahan abu-abu berjalan ke arah lemari.Rania terdiam menatapnya sebentar, lalu buru-buru memalingkan wajah. “Iya. Kamu juga?”Pagi yang masih canggung untuk keduanya. Lalu A
Suasana kantor terasa lebih tenang ketika Rania melangkah masuk menjelang siang. Ia sudah izin sebelumnya pada HRD untuk masuk agak siang karena harus mengantar orang tua Aidan pulang ke rumah mereka. Meski perjalanan melelahkan, Rania merasa hatinya tenang. Tawa mama, lelucon papa, dan nasihat dari kakek masih terngiang di benaknya. Keluarga Aidan memang hangat. Terlebih lagi Aidan berubah sejak semalam, tetapi ada sedikit keraguan.“Apa perilaku seseorang bisa berubah dalam waktu semalam?” Kalimat itu yang terus berputar di kepalanya. Namun, ia berusaha untuk yakin pada suaminya karena tempatnya bersandar saat ini hanya Aidan dan keluarganya.“Siang, Mbak Rania,” sapa resepsionis sambil tersenyum.“Siang juga,” jawab Rania sambil menekan tombol lift. Begitu pintu terbuka, ia masuk dan menyandarkan tubuhnya di dinding kaca itu. Sejenak ia menatap pantulan wajahnya di dinding lift. Seulas senyum ia simpul.“Aku pasti bisa membuat Aidan jatuh cinta
Langit malam sudah menggantungkan gemintang ketika Rania turun dari ojek online di depan sebuah mini market. Pikirannya penat, dan yang terlintas hanya satu, ingin cepat-cepat pulang dan memasak untuk Aidan. Ia sempat membayangkan mereka akan duduk berdua di meja makan, berbincang tentang hari yang melelahkan sambil menyuapi suaminya dengan sup buatan sendiri.“Pak tunggu sebentar, ya, saya mau belanja dulu. Nanti saya kasih tip, kok,” pinta Rania pada driver ojek online yang tersenyum ramah padanya.Namun, sesaat setelah menyerahkan helm pada pengemudi yang sabar menunggu, langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada sebuah mobil hitam yang dikenal. Mobil Aidan. Jantungnya mendadak berdegup kencang, terlebih saat ia melihat mobil itu berbelok ke hotel seberang tempatnya berada. Dari balik pagar dedaunan yang pihak hotel itu buat agar terlihat estetik tampak samar-samar pria berbaju putih keluar dari mobil. Rania mengenal postur itu, saat ia mengamati cukup lama ia semakin yakin ji
Pagi itu, tubuh Rania terasa ringan, tetapi kepalanya berdenyut pelan seperti ada beban yang menimpanya. Sejak kepergian Aidan ke luar negeri, ia sulit tidur. Malam-malamnya dihabiskan dengan mengerjakan laporan atau menonton film, sambil ditemani bergelas-gelas kopi. Ia merasa seharusnya tidak perlu terluka jika malam itu menolak ajakan Aidan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aidan telah berbohong padanya. Di hati pria itu belum ada dirinya.Beberapa hari lalu, saat melintasi hotel tempat dimana ia memergoki Aidan dan Larissa, ia kembali melihat sosok yang mirip Aidan. Rasanya tidak mungkin ia salah lihat dia kali pria yang mirip Aidan. Ia yakin pria itu suaminya yang saat ini pamit ke luar negeri. Rania memandangi wajahnya di cermin. Wajah yang mulai terlihat tirus dengan mata sayu, dan bibirnya pucat. Ia menyibak rambutnya, mencoba merapikan diri sebelum berangkat kerja. Tidak ada kesegaran di wajahnya meski ia telah memulas dengan make up sekalipun. Namun, ia mencoba untuk tetap
Selama dua hari Rania dirawat, Reza hampir selalu ada. Ia tidak hanya memindahkan ruang kerjanya ke ruangan Rania, Ia merawat dengan telaten. Mulai dari membawakan bubur, mengganti air minum, bahkan membacakan novel yang sengaja ia beli untuk menemani Rania. Reza teringat kenangan mereka dulu saat masih sama-sama mengambil kelas memasak. Setiap akhir pekan ia selalu mengajak Rania ke perpustakaan atau ke taman untuk membaca. Mereka terbiasa membagi earphone dan saling menceritakan apa yang mereka baca. Rania tertawa kecil saat Reza dengan sengaja membacakan bagian konyol, suaranya berubah-ubah menirukan karakter tokoh. Mirip seorang ayah yang mendongeng untuk mengantar putrinya tidur. Setidaknya itu yang ia lihat di televisi, karena kasih sayang ayah pun ia tidak tahu rasanya seperti apa, selain kasih sayang ayah dan kakek mertuanya yang baru dirasakan.“Aku masih ingat kamu dulu paling semangat pas bikin pasta, tapi sausnya rasanya aneh,” goda Reza sambil menyeruput kopi kaleng dari
Bibir Rania terasa kering. Tangannya menggenggam erat kain gaun putih yang menjuntai di pangkuannya. Di ruangan itu, suara lantang penghulu menggema, diikuti dengan desiran pelan dari para tamu yang menahan napas.Di sampingnya, Aidan duduk tegak, mengenakan jas hitam dengan wajah tanpa ekspresi."Ijab qabul akan segera dilaksanakan," kata penghulu.Rania menunduk. Ini benar-benar terjadi.Ia mengeraskan hatinya. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada penyesalan."Aidan Ramadhani bin Fadhlurrahman," suara penghulu terdengar lagi, mantap dan jelas. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Rania Amara binti Firdaus dengan mahar seperangkat alat salat dan emas 500 gram, dibayar tunai."Hening sejenak.Lalu, suara berat itu terdengar."Saya terima nikahnya Rania Amara binti Firdaus dengan mahar tersebut, tunai."Gema sah dari para saksi menggetarkan ruangan. Rania mengangkat wajah, mencoba menangkap perubahan sekecil apa pun di raut wajah Aidan. Namun, pria itu tetap dingin, seolah ap
Selama dua hari Rania dirawat, Reza hampir selalu ada. Ia tidak hanya memindahkan ruang kerjanya ke ruangan Rania, Ia merawat dengan telaten. Mulai dari membawakan bubur, mengganti air minum, bahkan membacakan novel yang sengaja ia beli untuk menemani Rania. Reza teringat kenangan mereka dulu saat masih sama-sama mengambil kelas memasak. Setiap akhir pekan ia selalu mengajak Rania ke perpustakaan atau ke taman untuk membaca. Mereka terbiasa membagi earphone dan saling menceritakan apa yang mereka baca. Rania tertawa kecil saat Reza dengan sengaja membacakan bagian konyol, suaranya berubah-ubah menirukan karakter tokoh. Mirip seorang ayah yang mendongeng untuk mengantar putrinya tidur. Setidaknya itu yang ia lihat di televisi, karena kasih sayang ayah pun ia tidak tahu rasanya seperti apa, selain kasih sayang ayah dan kakek mertuanya yang baru dirasakan.“Aku masih ingat kamu dulu paling semangat pas bikin pasta, tapi sausnya rasanya aneh,” goda Reza sambil menyeruput kopi kaleng dari
Pagi itu, tubuh Rania terasa ringan, tetapi kepalanya berdenyut pelan seperti ada beban yang menimpanya. Sejak kepergian Aidan ke luar negeri, ia sulit tidur. Malam-malamnya dihabiskan dengan mengerjakan laporan atau menonton film, sambil ditemani bergelas-gelas kopi. Ia merasa seharusnya tidak perlu terluka jika malam itu menolak ajakan Aidan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aidan telah berbohong padanya. Di hati pria itu belum ada dirinya.Beberapa hari lalu, saat melintasi hotel tempat dimana ia memergoki Aidan dan Larissa, ia kembali melihat sosok yang mirip Aidan. Rasanya tidak mungkin ia salah lihat dia kali pria yang mirip Aidan. Ia yakin pria itu suaminya yang saat ini pamit ke luar negeri. Rania memandangi wajahnya di cermin. Wajah yang mulai terlihat tirus dengan mata sayu, dan bibirnya pucat. Ia menyibak rambutnya, mencoba merapikan diri sebelum berangkat kerja. Tidak ada kesegaran di wajahnya meski ia telah memulas dengan make up sekalipun. Namun, ia mencoba untuk tetap
Langit malam sudah menggantungkan gemintang ketika Rania turun dari ojek online di depan sebuah mini market. Pikirannya penat, dan yang terlintas hanya satu, ingin cepat-cepat pulang dan memasak untuk Aidan. Ia sempat membayangkan mereka akan duduk berdua di meja makan, berbincang tentang hari yang melelahkan sambil menyuapi suaminya dengan sup buatan sendiri.“Pak tunggu sebentar, ya, saya mau belanja dulu. Nanti saya kasih tip, kok,” pinta Rania pada driver ojek online yang tersenyum ramah padanya.Namun, sesaat setelah menyerahkan helm pada pengemudi yang sabar menunggu, langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada sebuah mobil hitam yang dikenal. Mobil Aidan. Jantungnya mendadak berdegup kencang, terlebih saat ia melihat mobil itu berbelok ke hotel seberang tempatnya berada. Dari balik pagar dedaunan yang pihak hotel itu buat agar terlihat estetik tampak samar-samar pria berbaju putih keluar dari mobil. Rania mengenal postur itu, saat ia mengamati cukup lama ia semakin yakin ji
Suasana kantor terasa lebih tenang ketika Rania melangkah masuk menjelang siang. Ia sudah izin sebelumnya pada HRD untuk masuk agak siang karena harus mengantar orang tua Aidan pulang ke rumah mereka. Meski perjalanan melelahkan, Rania merasa hatinya tenang. Tawa mama, lelucon papa, dan nasihat dari kakek masih terngiang di benaknya. Keluarga Aidan memang hangat. Terlebih lagi Aidan berubah sejak semalam, tetapi ada sedikit keraguan.“Apa perilaku seseorang bisa berubah dalam waktu semalam?” Kalimat itu yang terus berputar di kepalanya. Namun, ia berusaha untuk yakin pada suaminya karena tempatnya bersandar saat ini hanya Aidan dan keluarganya.“Siang, Mbak Rania,” sapa resepsionis sambil tersenyum.“Siang juga,” jawab Rania sambil menekan tombol lift. Begitu pintu terbuka, ia masuk dan menyandarkan tubuhnya di dinding kaca itu. Sejenak ia menatap pantulan wajahnya di dinding lift. Seulas senyum ia simpul.“Aku pasti bisa membuat Aidan jatuh cinta
Pagi itu, aroma nasi goreng dari dapur membuat Rania tersenyum. Ia berdiri di depan cermin, mengeringkan rambut dan memastikan tak ada bekas sisa-sisa semalam di tubuhnya. setelah malam yang luar biasa intens itu kehidupan tidak akan lagi sama seperti beberapa bulan itu. Pagi itu ia akan memantapkan diri untuk sepenuhnya menjadi istri yang baik untuk Aidan.Di ruang makan, terdengar suara sendok beradu dengan piring dan celoteh ceria Mama dan Papa Aidan. Kakek Bima pun sudah duduk di meja makan, suara batuknya khas terdengar sama. Ia tahu para orang tua itu pasti sedang membicarakan dirinya dan Aidan karena tadi pagi kakek tergesa-gesa masuk ke kamar dan mendapati pemandangan yang membuat keduanya malu.“Ran, kamu udah rapi?” Aidan muncul dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Ia mengenakan kaus hitam dan celana bahan abu-abu berjalan ke arah lemari.Rania terdiam menatapnya sebentar, lalu buru-buru memalingkan wajah. “Iya. Kamu juga?”Pagi yang masih canggung untuk keduanya. Lalu A
Rania melangkah mundur ketika mendengar kalimat yang Aidan ucapkan."Aku pengen peluk kamu."Hatinya tercekat. Suara Aidan terdengar parau, wajahnya memerah, tubuhnya berkeringat. Pandangannya berkabut dengan tubuh gelisah seperti menahan sesuatu agar tidak meledak. Rania bukan anak kecil. Ia tahu ada yang salah. Sangat salah.“Manja! Kenapa, sih? Udahlah jangan main-main!” protes Rania yang berusaha untuk mengabaikan. Namun, saat diperhatikan Aidan makin terlihat berkeringat dan terlihat aneh.“Kamu kenapa, deh? Beneran enggak enak badan, ya? Jangan bikin aku takut, Dan?” Rania mendekati Aidan dan hendak mengulurkan tangannya, tetapi segera disambar tangannya oleh Aidan dan di tempelkan ke pipinya. Tangan itu dikecup pelan oleh Aidan dan berhasil mengalirkan efek seperti listrik di tubuh Rania.“Dan!” pekik Rania. Ia buru-buru menjauh. “Aku ambilin air dulu deh,” ucapnya sambil keluar kamar.Namun, saat baru membuka pintu, ia malah berpapasan dengan Kakek Bima di lorong. Sosok tua it
Aidan tergesa-gesa masuk ke rumah yang dari halaman depannya gelap. Ia membuka pintu yang sedikit terbuka dan memanggil nama Larissa. Namun, langkah kakinya terhenti saat tiba di ruang tamu. Ruangan itu remang, aroma manis tercium menyengat, wangi parfum khas Larissa.Di sudut sofa, Larissa duduk dengan wajah tersenyum samar. Tangannya memegang segelas air yang disesapnya perlahan. Aidan merasa janggal. Ruangan itu jauh dari perkiraannya, juga ekspresi Larissa.“Kamu enggak apa-apa, Sa?” tanya Aidan sangsi. Ia mulai menghampiri Larissa.Namun, Larissa berdiri dan tersenyum menggoda Aidan dengan pakaian yang transparan. “Akhirnya kamu datang juga.”“Kamu bohong?” tanya Aidan dengan nada sedikit meninggi. Beberapa kali ia terlihat menahan diri.Larissa tidak langsung menjawab. Ia malah berjalan mendekat dan menyentuh dada Aidan dengan kedua tangannya.“Aku cuma takut kehilangan kamu,” bisiknya. “Aku tahu ... kamu enggak a
Aidan membuka pintu kamar dengan perlahan. Lampu temaram menyinari ruangan, menyorot sosok Rania yang tengah duduk di depan cermin, mengeringkan rambut dengan handuk. Rambutnya yang basah menjuntai di bahu, membasahi sedikit bagian belakang piyama yang dikenakannya. Aidan mendekat tanpa suara, lalu meraih handuk di tangan Rania."Biar aku saja," ucap Aidan pelan.Rania menoleh cepat, tampak kaget. Tatapan mereka bertemu dalam pantulan cermin. Mata Rania menatap ragu, tapi ia tak menolak. Aidan mulai mengusap pelan rambut Rania, gerakannya lembut dan penuh kehati-hatian."Kamu enggak perlu kayak gini, aku bisa sendiri, Aidan," gumam Rania."Aku tahu, tapi aku mau," jawab Aidan singkat.Hening menyelimuti mereka beberapa detik. Aidan fokus mengeringkan rambut Rania, dan perempuan itu membiarkannya, walau jantungnya berdegup tak karuan. Keheningan itu begitu aneh, tetapi juga membuat keduanya tenggelam dalam perasaan masing-masing. Tidak ada yang bicara, hanya suara tarikan napas dan det
Hujan masih mengguyur lebat saat Aidan memarkir mobilnya di depan sebuah kafe bergaya vintage di tengah kota, jauh dari kantornya. Tempat itu bukan favoritnya, tetapi Larissa sangat menyukainya dan hari ini, Larissa sedang dalam mode manja.“Udah tahu aku enggak bisa tidur semalam,” rengek Larissa saat menelepon pagi tadi, “kamu malah enggak datang. Pokoknya nanti malam kita dinner.”Aidan mengalah. Semalam adalah malam paling ganjil dalam hidupnya. Namun malam ini, ia mencoba melupakan semua itu dan kembali pada zona nyaman bersama Larissa.Begitu memasuki kafe, Larissa langsung melambai. Ia duduk di dekat jendela dengan secangkir cappuccino dan senyum manis. Wajahnya cerah seperti biasa, dengan rambut panjang tergerai dan riasan tipis yang membuatnya terlihat seperti aktris di drama Korea favoritnya.“Kamu telat lima menit,” ucap Larissa manja, meski senyumnya tak hilang. Ia mencium pipi kanan-kiri Aidan dengan mesra.Aidan duduk dan menghela napas mendapat perlakuan yang tidak beru