Setelah pintu apartemennya tertutup rapat dan langkah Aidan terdengar menghilang di lorong, Larissa terduduk di sofa. Jantungnya berdegup kencang dengan tangan gemetar menahan napas yang tak beraturan.
“Bodoh … aku bodoh banget …” desisnya sambil menepuk dahinya sendiri.Ia menggenggam foto Rania dengan tangan berkeringat, lalu bergantian menatap tulisan ancaman itu lagi. Tulisan yang bahkan ia tahu siapa penulisnya. Tidak semua orang bisa mengenalinya, tetapi ia kenal sangat baik. Tulisan tangan itu penuh tekanan, miring ke kiri, dan selalu sedikit berantakan.Larissa bangkit, ia melangkah ke kamar, dan tergesa mengganti. Disambarnya kunci mobil pemberian Aidan, ia harus menemui seseorang.Hampir menjelang pagi ketika Larissa menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe kecil yang sudah tutup. Namun, lampu di lantai dua masih menyala. Ia mengetuk pintu belakang dengan ritme ketukan yang ia dan orang tersebut yang tahu. Tidak lama pintu pun terbukaRania melirik sekilas. “Ini … kamu yang nyiapin?”Aidan berjalan ke arah dapur tanpa menoleh. “Nggak mungkin kucing, kan.”Tidak ada nada hangat, tetapi Rania kini tahu mungkin itu cara Aidan menunjukkan perhatiannya. Tidak lama kemudian, Aidan kembali membawa semangkuk bubur dan secangkir teh. Ia meletakkannya di atas meja depan Rania.“Makan dulu. Dokter bilang kamu belum boleh makan yang aneh-aneh.”Rania menatap bubur itu dengan dahi berkerut lalu bergantian menatap Aidan yang duduk di seberang sambil membuka laptopnya. “Kamu masak?”Aidan mengangkat bahu. “Daripada kamu pesan makanan aneh terus, mending aku yang masak.”Nada suaranya tetap tenang, dingin, dan tidak ada basa-basi. Setelah makan, Aidan berdiri dan mengambil bantal kecil dari sofa.“Tidur di kamar. Nggak usah banyak gerak. Aku pindahin kerjaan ke rumah sementara, biar kamu nggak repot ngapa-ngapain.”“Tumben perhatian,” ucap Rania setenga
Sudah tiga hari Aidan bekerja dari rumah. Setiap hari ada saja pegawainya yang datang membawa berkas, laptop meeting, atau bahkan laporan urgent yang butuh tanda tangan langsung Aidan. Ruang tamu berubah fungsi menjadi ruang kerja dadakan, membuat Rania yang seharusnya istirahat malah merasa terganggu.Siang itu, setelah salah satu staf Aidan datang lagi dengan setumpuk dokumen, Rania tak tahan. Ia menunggu sampai staf itu pergi sebelum akhirnya menghela napas berat."Dan … Eh Mas Aidan." Rania memanggil pelan.Aidan yang masih duduk sambil mengetik cepat di laptop hanya mengangkat kepalanya sedikit. "Hm?""Aku ngerasa nggak enak kalau kamu terus kerja di rumah. Kamu mendingan kerja di kantor aja."Aidan menghentikan ketikannya, ia memandang Rania penuh tanya."Kenapa?" tanyanya tenang.“Aku jadi merasa bersalah sama kamu dan pegawai kamu. Mereka repot-repot ke sini cuma untuk tanda tangan kamu. Padahal biasanya itu bisa dilakukan di kantor. Jadi buang-buang waktu enggak, sih?”Aida
Aidan memicingkan mata, mencoba mengingat lebih dalam. Postur tubuh itu terlihat sangat familiar, caranya berdiri, dan bahkan sedikit dari gaya berpakaiannya,bsemua terasa sangat pernah dilihatnya. "Beri saya rekaman videonya," perintah Aidan. Adi cepat-cepat memutar rekaman cctv yang didapat. Meski wajahnya tertutup, Aidan merasa yakin siapa wanita itu. "Kalina," gumamnya. Adi mengangkat alis. "Siapa Bos, Bos kenal?" Aidan mengangguk perlahan. "Pantau Kalina Hermawan, tapi jangan sampai dia tahu. Aku mau semua gerak-geriknya diawasi, apalagi kalau dia mendekati istriku." "Baik, Bos." Aidan memejamkan mata sejenak, pikirannya melayang pada Rania. Ada sesuatu yang tidak beres dengan istrinya. Ia harus mencari tahu masa lalu Rania. Selama ini dugaannya hanya sebatas lawan bisnis dan Larissa, tetapi ada satu lagi yang membuatnya tidak habis pikir. Kalina Hermawan orang yang seharusnya menjadi orang terdekat Rania. *** Sementara itu, di perumahan, Rania sedang duduk santai di tam
Bibir Rania terasa kering. Tangannya menggenggam erat kain gaun putih yang menjuntai di pangkuannya. Di ruangan itu, suara lantang penghulu menggema, diikuti dengan desiran pelan dari para tamu yang menahan napas.Di sampingnya, Aidan duduk tegak, mengenakan jas hitam dengan wajah tanpa ekspresi."Ijab qabul akan segera dilaksanakan," kata penghulu.Rania menunduk. Ini benar-benar terjadi.Ia mengeraskan hatinya. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada penyesalan."Aidan Ramadhani bin Fadhlurrahman," suara penghulu terdengar lagi, mantap dan jelas. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Rania Amara binti Firdaus dengan mahar seperangkat alat salat dan emas 500 gram, dibayar tunai."Hening sejenak.Lalu, suara berat itu terdengar."Saya terima nikahnya Rania Amara binti Firdaus dengan mahar tersebut, tunai."Gema sah dari para saksi menggetarkan ruangan. Rania mengangkat wajah, mencoba menangkap perubahan sekecil apa pun di raut wajah Aidan. Namun, pria itu tetap dingin, seolah ap
Pagi menjelang dengan cahaya matahari yang malu-malu menyusup melalui celah tirai di kamar mereka. Rania terbangun meski semalam tidurnya hanya sebatas memejamkan mata, tidak benar-benar bisa tidur. Bayang-bayang pernikahan yang tanpa cinta masih bergelayut di benaknya. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal baru bagi pasangan suami istri, justru diisi dengan kehampaan. Aidan pergi begitu saja, meninggalkannya sendirian dalam kamar yang terasa lebih dingin.Dengan langkah malas, Rania melangkah ke dapur. Kebiasaannya selama ini di rumah bibinya adalah menyiapkan sarapan, dan ia tetap melakukan meski tak yakin apakah Aidan akan menyentuh masakannya. Ia menata meja makan dengan rapi, menyajikan nasi goreng sederhana, telur dadar yang matang sempurna, serta dua cangkir kopi. Setidaknya, jika Aidan pulang, ada sesuatu yang bisa ia santap.Saat ia sibuk menata piring, suara pintu utama yang terbuka membuatnya menoleh. Aidan muncul di ambang pintu dengan wajah lesu. Rambutnya berantakan
Suara langkah Aidan terdengar beradu dengan lantai. Pintu kamar itu masih tertutup, tiba-tiba menyusup perasaan aneh ke dalam dirinya. Bukan kepedulian, bukan juga rasa khawatir, tetapi lebih kepada dorongan tak terjelaskan yang membuatnya ingin tahu apa yang terjadi dengan gadis yang kemarin ia nikahi.Saat tangannya menyentuh kenop pintu, Aidan sempat ragu. Namun, hanya sepersekian detik, ia pun mendorong pintu perlahan.Cahaya kamar temaram. Rania duduk di lantai, di dekat meja rias. Di sekelilingnya, beberapa benda berserakan. Aidan memperhatikan wajahnya yang pucat, matanya menatap lurus ke satu benda yang ada di tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Aidan yang penasaran dengan apa yang Rania lakukan.Gadis itu buru-buru menyembunyikan benda yang tadi dipegangnya, dan berdiri. Saat ia berdiri terdengar suara rintihan yang keluar dari mulut Rania. Ia memijat kakinya perlahan. “Ada apa?” tanya Aidan sekali lagi.“Ah, tidak apa-apa tadi aku mau menyimpan pakaianku di dalam lemari, tapi
Bab 4 Seseorang Dari Masa LaluSetelah insiden pagi itu, Rania baru keluar kamar menjelang sore. Itu pun terpaksa karena perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Rumah itu terasa sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aidan, apalagi Larissa. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara keduanya setelah ia berlari ke kamar karena mendengar ucapan Larissa yang sangat klise dan berhasil membuatnya cekikikan di kamar.Rania menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam. Ia berencana akan membuat steak ayam crispy kesukaannya. Makanan mudah dan simpel yang sering ia buat saat di rumah bibi. Saat membuka kulkas, ia mendesah kecewa. Tidak banyak bahan tersisa di kulkas itu. Hanya ada beberapa telur, seikat sayuran, dan kornet. Mau tak mau ia pun akhirnya memutuskan membuat nasi goreng lagi. “Besok harus belanja, biar aku ga mati kelaparan di rumah ini,” gumamnya dengan nada kesal.Saat hidangan sudah siap, terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah. Rania sudah bisa menebak, itu pasti Aidan.“Oh
Rania tersentak ketika merasakan sesuatu menimpanya. Belum sempat memahami situasi, ia mendapati dirinya terbaring di lantai dapur, dengan tubuh Aidan menindihnya. Dunia seperti melambat sejenak. Aroma khas parfum Woody oud yang digunakan Aidan tercium memenuhi indera penciumannya, napasnya masih sedikit terengah akibat jatuh mendadak. Wajah mereka begitu dekat hingga Rania bisa melihat dengan jelas bulu mata Aidan yang tebal, tatapan matanya yang membulat karena keterkejutan, serta garis rahangnya yang menegang. Lalu, ia mulai merasakan kehangatan di bibirnya.Rania membeku. Napasnya tertahan. Begitu juga Aidan. Detik itu juga, kesadaran menghantam mereka berdua. Mereka tidak sengaja berciuman.“Kalian?” teriak seseorang. “Oh my God! Aidaaaa!” Suara nyaring itu memecah keheningan. Kali ini baik Aidan maupun Rania bisa menebak siapa yang datang dan mengejutkan mereka.Rania dan Aidan spontan menoleh ke arah pintu dapur. Larissa berdiri di sana, matanya membelalak, ekspresinya campuran
Aidan memicingkan mata, mencoba mengingat lebih dalam. Postur tubuh itu terlihat sangat familiar, caranya berdiri, dan bahkan sedikit dari gaya berpakaiannya,bsemua terasa sangat pernah dilihatnya. "Beri saya rekaman videonya," perintah Aidan. Adi cepat-cepat memutar rekaman cctv yang didapat. Meski wajahnya tertutup, Aidan merasa yakin siapa wanita itu. "Kalina," gumamnya. Adi mengangkat alis. "Siapa Bos, Bos kenal?" Aidan mengangguk perlahan. "Pantau Kalina Hermawan, tapi jangan sampai dia tahu. Aku mau semua gerak-geriknya diawasi, apalagi kalau dia mendekati istriku." "Baik, Bos." Aidan memejamkan mata sejenak, pikirannya melayang pada Rania. Ada sesuatu yang tidak beres dengan istrinya. Ia harus mencari tahu masa lalu Rania. Selama ini dugaannya hanya sebatas lawan bisnis dan Larissa, tetapi ada satu lagi yang membuatnya tidak habis pikir. Kalina Hermawan orang yang seharusnya menjadi orang terdekat Rania. *** Sementara itu, di perumahan, Rania sedang duduk santai di tam
Sudah tiga hari Aidan bekerja dari rumah. Setiap hari ada saja pegawainya yang datang membawa berkas, laptop meeting, atau bahkan laporan urgent yang butuh tanda tangan langsung Aidan. Ruang tamu berubah fungsi menjadi ruang kerja dadakan, membuat Rania yang seharusnya istirahat malah merasa terganggu.Siang itu, setelah salah satu staf Aidan datang lagi dengan setumpuk dokumen, Rania tak tahan. Ia menunggu sampai staf itu pergi sebelum akhirnya menghela napas berat."Dan … Eh Mas Aidan." Rania memanggil pelan.Aidan yang masih duduk sambil mengetik cepat di laptop hanya mengangkat kepalanya sedikit. "Hm?""Aku ngerasa nggak enak kalau kamu terus kerja di rumah. Kamu mendingan kerja di kantor aja."Aidan menghentikan ketikannya, ia memandang Rania penuh tanya."Kenapa?" tanyanya tenang.“Aku jadi merasa bersalah sama kamu dan pegawai kamu. Mereka repot-repot ke sini cuma untuk tanda tangan kamu. Padahal biasanya itu bisa dilakukan di kantor. Jadi buang-buang waktu enggak, sih?”Aida
Rania melirik sekilas. “Ini … kamu yang nyiapin?”Aidan berjalan ke arah dapur tanpa menoleh. “Nggak mungkin kucing, kan.”Tidak ada nada hangat, tetapi Rania kini tahu mungkin itu cara Aidan menunjukkan perhatiannya. Tidak lama kemudian, Aidan kembali membawa semangkuk bubur dan secangkir teh. Ia meletakkannya di atas meja depan Rania.“Makan dulu. Dokter bilang kamu belum boleh makan yang aneh-aneh.”Rania menatap bubur itu dengan dahi berkerut lalu bergantian menatap Aidan yang duduk di seberang sambil membuka laptopnya. “Kamu masak?”Aidan mengangkat bahu. “Daripada kamu pesan makanan aneh terus, mending aku yang masak.”Nada suaranya tetap tenang, dingin, dan tidak ada basa-basi. Setelah makan, Aidan berdiri dan mengambil bantal kecil dari sofa.“Tidur di kamar. Nggak usah banyak gerak. Aku pindahin kerjaan ke rumah sementara, biar kamu nggak repot ngapa-ngapain.”“Tumben perhatian,” ucap Rania setenga
Setelah pintu apartemennya tertutup rapat dan langkah Aidan terdengar menghilang di lorong, Larissa terduduk di sofa. Jantungnya berdegup kencang dengan tangan gemetar menahan napas yang tak beraturan.“Bodoh … aku bodoh banget …” desisnya sambil menepuk dahinya sendiri.Ia menggenggam foto Rania dengan tangan berkeringat, lalu bergantian menatap tulisan ancaman itu lagi. Tulisan yang bahkan ia tahu siapa penulisnya. Tidak semua orang bisa mengenalinya, tetapi ia kenal sangat baik. Tulisan tangan itu penuh tekanan, miring ke kiri, dan selalu sedikit berantakan.Larissa bangkit, ia melangkah ke kamar, dan tergesa mengganti. Disambarnya kunci mobil pemberian Aidan, ia harus menemui seseorang.Hampir menjelang pagi ketika Larissa menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe kecil yang sudah tutup. Namun, lampu di lantai dua masih menyala. Ia mengetuk pintu belakang dengan ritme ketukan yang ia dan orang tersebut yang tahu. Tidak lama pintu pun terbuka
“Maaf, harusnya aku enggak biarin dia di sini,” gumam Rania.Aidan hanya menggeleng. “Bukan salah kamu! Dia aja yang kegatelan!”Ponsel Aidan tiba-tiba bergetar. Ia mengangkatnya dan menjauh sebentar. Tidak lama setelah menerima panggilan itua, ia kembali dengan tegang.“Aku baru dapet kabar dari orangku,” ucapnya sambil menatap Rania.Rania menatapnya bingung. “Kabar apa?”“Orang yang ngikutin kita malam itu, ternyata orang itu juga yang nabrak kamu.”Rania membelalak. “Serius?”Aidan mengangguk pelan. “Aku udah minta orangku urus semuanya. Kita akan tahu siapa yang nyuruh dia.”Rania menggenggam selimut erat. Ketakutan mulai mengalir ke dalam dirinya, hidupnya yang dulu aman-aman saja meski penuh derita, berubah dalam sekejap setelah menikah. Aidan menghampiri Rania dan mengecup keningnya.“Semua akan membaik,” ucapnya pelan.****Mobil hitam itu melaju cepat di lorong sempit pinggiran kota, melewati gang-gang kecil sebelum akhirnya berhenti di sebuah rumah tua yang tampak kosong. N
Pemandangan pagi Rania sudah beberapa hari ini adalah Aidan yang fokus dengan laptop dan tumpukan berkasnya. Ia menikmati dalam diam dan kepura-puraan. Aidan yang kacamatanya turun sedikit menoleh ke arah Rania yang curi-curi pandang. “Kenapa?”Belum sempat Rania menjawab, pintu ruang perawatan diketuk pelan.“Itu …” ucap Rania pelan sambil menunjuk ke arah pintu dengan dagu. Aidan menoleh sejenak dan tidak lama pintu pun terbuka menampilkan seorang wanita muda dengan blouse biru dan celana panjang hitam berdiri membeku di ambang pintu.“Permisi. Rania?” sapa perempuan itu hati-hati.“Tia?” Rania mendelik dan menatap Aidan bergantian dengan Tia. “Kamu ngapain?”Tia melirik sekeliling ruangan dengan takjub. “Astaga, ini kamar rumah sakit? Kirain kamar hotel bintang lima.”Ia berjalan cepat ke arah ranjang. “Kamu gimana kondisinya? Jujur aku tadi hampir enggak percaya kalau kamu dirawat di ruangan ini. Gila mewah banget,” cerocos Tia seperti kereta api.Rania hanya tersenyum canggung.
“Reza?” bentak Aidan. Seketika ia melangkah cepat, menarik bahu Reza dan mendorong pria itu menjauh dari Rania.Reza terpental sedikit ke belakang. “Aidan?!”“Lo ngapain cium-cium istri gue?” Suara Aidan tajam, penuh amarah.“Istri? Bukannya sepupu?” balas Reza pura-pura tidak tahu.“Dia istri gue. Nyonya Aidan!”Reza tertawa mencibir, berpura-pura tidak percaya.Rania menjerit kecil, “Stop! Tolong, kalian jangan berantem di sini. Aku pusing!”Aidan mendekat ke ranjang, merogoh saku untuk mengambil sapu tangan. Ia segera mengelap dahi istrinya yang tadi dicium Reza. “Kamu enggak apa-apa?”Rania mengangguk, masih tertegun dengan situasi ini.Aidan menatap Reza tajam. “Keluar dari sini. Sekarang!”Reza tidak bergeming. “Aku akan tetap di sini. Aku bosnya Rania.”Aidan hendak memukul Reza, tetapi mendengar Rania merintih, niat itu diurungkan. “Kamu ingat siapa yang nabrak?”
Suasana kantor pagi itu masih ramai oleh karyawan yang baru datang. Di ruangan lantai tiga, Reza duduk di ruangannya dengan mata terpaku ke layar laptop. Ia tengah menyiapkan materi presentasi untuk rapat penting siang nanti. Di luar ruangannya, Tia dan beberapa karyawan lain bergerombol dengan suasana sedikit panik. Wajah-wajah mereka terlihat serius. Reza mendongak saat samar-samar mendengar nama Rania disebut.“Iya tadi dari Mbak Ratna. Mbak Ratna ada di TKP, langsung dibawa ke RS,” ucap Tia ke temannya.Langkah Reza terhenti. Ia langsung bangkit dari kursinya dan membuka pintu.“Tia, ulangi. Siapa yang kecelakaan?” tanyanya cepat.Tia kaget melihat Reza berdiri di hadapannya. “R-Rania, Pak. Tadi katanya ojek yang ditumpanginya diserempet mobil di persimpangan. Saya dengar dari Mbak Ratna.”“Ratna HR kita? Dia kata siapa?”“Mbak Ratna ada di TKP, Pak.”Lalu tanpa pikir panjang Reza segera merogoh HP yan
Rania merebahkan diri di samping Aidan. Matanya masih menatap langit-langit kamar yang temaram.“Kamu takut?” tanya Aidan tiba-tiba.“Enggak. Kenapa aku harus takut?”Aidan menoleh, ia penasaran tentang sikap Rania yang lebih tenang dari terakhir kali mereka bertemu.“Kamu kenapa?” tanya Aidan lirih saat Rania hendak memejamkan mata.“Hah?” Reflek Rania segera membuka mata dan memiringkan tubuhnya menghadap Aidan.“Aku? kenapa?” tanya Rania cepat dan penuh rasa penasaran.“Ah, enggak. Aku hanya penasaran kamu malam ini kenapa?”“Iya, maksudnya aku kenapa apanya?”“Ah, sudahlah. Tidur sana!”“Ck …” decak Rania. “Aneh!” Ia menarik selimut dan menutupi hingga ujung kepala. Aidan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.Aidan duduk di ujung ranjang dengan tubuh yang lelah, tetapi otaknya terus bekerja mencoba menganalisis apa yang terjadi malam itu dan siapa dalangnya. Ponselnya terus menampilkan feed dari kamera pengawas. Sesekali ia menoleh ke arah Rania yang sudah tertidur dengan n