Solem 3
POV Bayu. "Aku berangkat dulu bun." Ku ambil tas kerjaku dengan kasar. Sebenarnya Pagi ini aku sudah seneng banget istriku masak ayam mentega kesukaanku. Segera aku santap dengan nasi mengepul yang nikmat. Tapi entah kenapa istriku agak bawel dari kemarin. Ia nanya-nanyain isi hp dan menuduhku selingkuh. Kurang ajar betul. Hpku tidak boleh dibuka sama istriku. Nanti dia bisa tahu semuanya. Nama Murti memang kuganti dengan nama lelaki. Tapi kalau dia sampai membuka isi chat nya, habislah sudah ketahuan semua. Sesampainya di tempat kerja aku berleha-leha dulu di kantor. Kali ini aku hanya menangani proyek kecil-kecilan. Entah kenapa Pak Darmo memberikan proyek besar ke Pak Gino terus. Sebenernya aku kepingin protes tapi Pak Darmo bukan orang yang bisa diprotes. Biasanya dia akan merepet memberi nasihat yang sangat banyak, atau aku takut kalau nanti aku malah dipecat. "Pagi sayang." Sesosok wanita masuk ke ruanganku. "Ini sarapannya, aku bikin sayur tauge." Aku kelimpungan, kalau ku tolak dia bisa marah, tapi kalau ku terima perutku sudah tak muat. "Sayang itu buat makan siang aja nggak papa, ya. Perutku agak kembung tadi minum kopi di rumah." kilahku. Wajahnya langsung berubah. Aduh! aku tahu dia pasti mau ngambek. "Jadi sekarang lebih seneng ngopi sama istri yah di rumah." Wajahnya ditekuk, tangannya terlipat di depan dada. "Aduh bukan begitu sayang. Tadi sudah terlanjur dibikinin jadi sayang kalau nggak di minum." "Yasudah" ia membereskan sarapan yang tadinya mau dimakan bersama, dimasukkan ke dalam tas lagi. " Aku makan sendiri aja." Ia bangkit berdiri dan pergi. Aku lihat ia berpapasan dengan Wawan yang mau masuk. Wajah Wawan langsung tersenyum meledekku. "Ngambek lagi yah bos?" "Ah, sok tahu kamu Wawan." jawabku senewen. "Jangan nambah rese deh, Wan." Ia meletakkan kopi dan pergi sambil bernyanyi. "Susahnya istri dua...., yang satu ngambek , satunya juga ngambek..." "Sialan kamu Wan." *** Hari ini proyek yang harus ku kerjakan tak jauh dari kantor. Tak lupa aku ke toko bangunan biasa kami menyetok bahan yang dibutuhkan di sana. Setelah mengecek semua persediaan, aku mengunjungi Murti dulu. Dia harus dibujuk dulu biar ngambeknya tak terlalu lama. mumpung kantornya Murti terlihat sepi. "Hai, Yen. Murti ada?" aku menyapa Yeni yang berjaga di depan. Ia juga cantik, tapi sayangnya dia sudah punya suami. "Ada mas, masuk aja." jawabnya sambil tersenyum. Ruangan Murti ini kecil sebenarnya, hanya muat dua orang dengan dua meja . Satunya kutahu itu meja Murti, yang satunya lagi meja Sandra temannya, tapi Sandra lebih banyak kerja di pelatihan bahasa. "Sayang?" Murti menoleh, wajahnya masih terlihat kesal karena sarapan yang tadi ku tolak. Ku peluk dia dari samping dan kucium pipinya. Ia malah langsung memegang kepalaku dan melumat bibirku. Kami hanyut dalam ciuman mesra. Ah, gampang sekali ku bujuk wanita ini. Murti memang belum menikah. Tapi usianya tak jauh beda denganku. Sudah berkali-kali ia memintaku menikahinya karena keluarganya sudah menuntutnya untuk menikah. Belum lagi cap perawan tua begitu menakutkan baginya. tapi apa daya aku belum bisa menyanggupinya. "Aku mau ke proyek dulu ya?" kataku. "Jadi ke sini mau cium doang?" ia merajuk manja. "Iya, kan kangen. Tapi aku juga butuh bantuanmu. Boleh, ya?" "Apa?" "Uangku habis. Aku nggak bisa ngerokok. Gajian masih lama." "Oh jadi ke sini mau minta uang doang?" "Enggak sayang, nanti abis kerja kita cek in, ya. Kamu nggak kangen dibelai?" kucium lagi wajahnya. Ia memejamkan mata. "Iya, nanti ku transfer ya. Nanti sore ketemu di tempat biasa." Yes. Uang untuk susu Zaki udah ada. Aku lebih tenang. Yang aku suka dari Murti adalah penghasilannya yang jauh lebih banyak dariku. Selama aku bisa menekan titik lemahnya, ia akan selalu memberikan apa yang ku mau. Aku tak takut sebenernya untuk berpisah dengan Rumaysa dan menikahi Murti, tapi aku belum sanggup menghadapi keluarganya. Aku bergegas keluar dari kantor Murti, waktu sudah menunjukkan pukul 9, semoga saja Pak Darmo nggak ngecek lokasi proyek, kalau ketahuan aku nggak di sana aku bisa diceramahi panjang lebar. "Bayu!" Tak ku sangka pak Darmo malah ada di depan kantor Murti. Sial banget aku. Kebetulan banget sih. "Ngapain kamu disitu?" "Eh, enggak Pak tadi ada perlu sama Yeni sebentar." aku tersenyum gugup. Sepertinya lelaki tua ini tahu saja yang aku pikirkan. "Yeni apa Murti? tanya dia memastikan. Aku cuma bisa garuk garuk kepala. "Jangan main-main kalau kerja, Bayu. Kamu masih muda. Kerja yang betul, yang lurus, biar berkah harta untuk keluargamu, berkah juga usaha saya. Saya sih nggak mau ikut campur urusanmu Bayu, tapi bangkai nggak akan bisa ditutup-tutupi selamanya. Wanita baik kayak Rumaysa nanti nguwalati, alias kamu bisa kualat kalau main-main sama orang lurus dan baik." Aku hanya diam mendengarkan, semua orang memang sepertinya sudah tahu hubunganku dengan Murti, tapi entah kenapa Rumaysa tak pernah curiga kepadaku. "Tadi saya ketemu sama istrimu." "Hah, apa pak?" aku kaget bukan main. Kok bisa pak Darmo ketemu Rumaysa. "Tapi dia nggak nyariin kamu. Katanya ada temannya yang mau bangun rumah, dia nanyain harga. Kami cuma kebetulan ketemu di pasar dekat rumahmu " "Ah masa sih pak, kok istriku nggak pernah ngomong apa-apa sama aku kalau temennya mau bangun rumah." Aku bertambah heran. "Makannya jangan ngurusin anak orang lain mulu, anak sama istri sendiri aja yang di urusin." Aku tersenyum miring, Pak Darmo memang suka menyindir.POV Rumaysa "Yu Rum, bukannya itu pak Darmo yah bosnya suamimu? Yuk samperin aja, tanyain tentang suamimu. Pasti dia tahu deh." Hari ini aku ke pasar Kemis tak jauh dari rumahku bersama Ranti dan anak bungsuku. Zaki sedang bersekolah. Dari jauh aku melihat pak Darmo dengan seseorang di pasar. Ajakan Ranti itu ide yang bagus tapi aku nggak mau kalau nanti pak Darmo cerita ke Mas Bayu dan Mas Bayu jadi curiga. Aku ingin membiarkan ini berjalan dulu, aku ingin tahu apa yang dia lakukan. Aku memang selama ini diam. Tapi kalau aku dibohongi, aku ingin tahu sampai ke akarnya. Aku ingin menunjukkan kalau aku diam karena aku baik, bukan karena aku bodoh. "Jangan, Ran! Aku nggak mau bikin ribut. Biar nanti ku selesaikan sendiri masalahku. Aku nggak mau jadi heboh karena bawa-bawa orang lain." Kami berbalik arah sambil ku gandeng tangan Zeno karena ada beberapa sayuran yang ingin aku beli. "Rumaysa!" Aku menoleh, ternyata Pak Darmo
"Kenapa bisa ada celana dalam warna merah di jaket suamiku? Aku terheran-heran. Pantas saja suamiku pulang larut malam. Ternyata dia sudah menghabiskan waktu dengan wanita itu. Nafasku seketika memburu mengetahui fakta itu. Ku tarik nafas perlahan beberapa kali sampai hatiku terasa lebih tenang. Celana dalam itu seketika ku lempar jauh.Jijik! Aku benar-benar merasa seperti badut. Menunggu seorang lelaki dengan riasan yang tebal, tapi malah ia sedang bergumul dengan wanita lain. Hoek. Rasa mual tiba-tiba datang mengingat hal itu. Kepalaku harus tenang kalau aku mau menang dalam pertempuran dengan wanita ini. Menang bukan berarti mendapatkan suamiku seutuhnya atau kehilangan dia, tapi menang adalah mendapat ketenangan hidup, apapun keputusanku nanti. ***POV Bayu Aku bangun kesiangan, jam 7 baru bangun, padahal biasanya jam 5 istriku sudah cerewet membangunkanku untuk sholat subuh. Kemana dia? Aku duduk di tepi ranja
"Hah, nggak boleh sama istrimu? ya pasti lah, wong istrimu kan pelit" kata Murti. Hmmm, aku menarik nafas panjang. "Kalau nggak nekad ya miskin aja terus, dan kapan kamu mau nikahin aku mas?" tambahnya seraya merajuk. Aduh keder sekali aku kalau ditanyain topik ini, apalagi ini pagi-pagi, bisa rusak mood seharian."Nggak tahu sayang " aku menunduk. Sebisa mungkin aku menghindari pertengkaran dengan Murti. Kalau topik ini diangkat, pasti ujung-ujungnya berantem. "Yaelah, kamu emang nggak beneran cinta kan sama aku?" lagi-lagi ke sini, bingung. Sebenernya aku sayang sama Murti, walaupun sebenarnya Murti tak secantik Rumaysa, tapi Murti wanita yang mandiri, penghasilannya besar, lebih besar dari aku. Sedangkan istriku hanya menggantungkan diri dari nafkah pemberianku. Pertimbanganku selama ini adalah Rumaysa istri yang shalihah, keluarga dari keluarga pesantren. Dia bisa mengurus rumah, keuangan, dan anak-anak. Aku tidak bisa melepasnya begit
"Mas Bayu tumben ke sini siang-singa begini? nggak ke proyek?" tanya Murti. Keesokan harinya, aku tetap berpura-pura pergi pamit kantor seperti biasa ke Rum. Aku tak mau Rum tahu kalau aku sudah tak bekerja lagi. Kantornya Murti lah tujuanku hari ini karena di sana bos Murti jarang ke berkunjung. Ku lihat Murti sedang memegang map besar. Akhir-akhir ini kantornya ramai sekali, banyak emak-emak yang berencana kerja di luar negeri. "Iya, Mur. Aku sudah nggak kerja sama Pak Darmo. Aku ingin mendirikan proyek sendiri," aku berkata dengan lemas. Semua keinginan dan rencana ini masih mentah, belum matang sama sekali jadi aku merasa sangat ragu-ragu sebenarnya. "Yang bener mas?" matanya berbinar. "Bagus lah mas. Mas kan sudah banyak kenalannya, pasti banyak proyek yang bisa mas tangani nanti," kata Murti dengan yakin. "Iya, Mur doakan saja." "Jadi Mas Bayu sudah hutang ke bank?" Entah kenapa dia sangat antusias. "Belum, Mur. Aku nggak
POV Rumaysa Akhir-akhir ini Mas Bayu agak aneh. Beberapa hari yang lalu aku melihat Mas Bayu sedang mencari sesuatu di kamar. Setelah itu ku lihat wajahnya berubah lesu, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat."Mas Bayu kenapa? Kok akhir-akhir ini kayak pusing banget," tanyaku padanya sore itu saat ia baru pulang kerja. Agak aneh rasanya ia di rumah sore-sore soalnya biasanya jam 10 baru ada di rumah. Aku sudah nggak pernah lagi sibuk bertanya dia dari mana. Males, ah! Akan ku bunuh rasa ini perlahan, agar nanti saatnya kita harus berpisah, aku tinggal bilang, "Silahkan kalau mau pergi." "Nggak apa-apa, Dek. Ada kerjaan yang bikin pusing," jawabnya sambil memijit kening beberapa kali. "Ada masalah sama Pak Darmo?" lama-lama aku penasaran juga. Tumben amat dia ada masalah di proyek. Sejak menikah dengan Mas Bayu belum pernah dia pulang-pulang sampai kusut begitu wajahnya. Masalah sih ada, tapi biasanya dia selesaikan sendiri, nggak sampai
Solem 9 POV Murti Hari ini aku menemani Mas Bayu mengajukan pinjaman ke bank. Seneng sekali rasanya karena hubungan kami bisa selangkah lebih maju. Setelah pengecekan dokumen selesai, kami masih harus menunggu selama satu atau dua minggu sampai uang benar-benar cair, dan itu lumayan lama. Mas Bayu harus ku carikan proyek segera biar dia bisa melanjutkan usahanya, kalau tidak lelaki itu pasti akan pusing memikirkan masalah ini. Aku tak mau istrinya tahu tentang surat rumah itu, nanti dulu sampai usaha Mas Bayu bisa jalan dulu."Tenang saja, Mas. Aku akan carikan proyek yang besar buat kamu biar cuannya banyak, bisa buat liburan nanti," hiburku padanya. Ia masih terlihat lesu dengan keputusannya, meski uang ratusan juta sebentar lagi ada di tangan. Mas Bayu hanya tersenyum dan mengangguk. Kesel juga dapat respons kayak gitu, kayaknya Mas Bayu meremehkan ku. Akan ku buktikan aku bisa berguna buat Mas Bayu, biar dia tambah sayang sama aku. ***"Hallo, Pa
POV Murti [Besok mau ngambil uang di bank kan, Mas? Ketemu besok di kantor Murti ya] Pesan singkat ku kirim ke Mas Bayu biar dia nggak nelpon aku terus pasalnya bahkan sejak tadi ponselku tak berhenti berdering. "Siapa sih, Mur?" Nelpon kok kayak orang lagi neror, untung nggak ku angkat tuh," tanya Mas Janto. Iya untung banget nggak diangkat, kalau di angkat bisa berabe kalau Mas Janto tahu. "Orang, Mas. Kepingin ke luar negri dia. Nggak sabaran. Mbak Kinan kapan pulangnya Mas? Si Aldi nangis terus tuh." "Besok kayaknya. Ngantuk sebenernya dia. Yasudah Mas mau suapin Aldi dulu." Mas Janto mengambil nasi dan telur goreng untuk Aldi aku memilih bergelung di kamar, udara sangat dingin. Selama ini keluargaku tak ada yang tahu hubunganku dengan Mas Bayu, tapi entah kalau ada mulut comberan yang ngadu-ngadu ke mereka. Tapi mereka belum pernah membicarakan apapun padaku pasalnya aku juga ikut andil dalam keuangan keluarga mereka sehing
POV Rumaysa "Ini ambil saja! Lihat sendiri!" seru Mas Bayu. Aku beringsut mundur ketika Mas Bayu menyodorkan sebuah bungkusan kecil di atas tangannya. Setelah ku buka, ada perhiasan emas berupa kalung yang sedikit banyak membuatku terhenyak. "Apa ini, Mas?" tanyaku masih tak percaya dengan penglihatan ku sendiri."Aku dapat proyek gede," kata Mas Bayu tanpa beban. Nggak biasanya Mas Bayu ngasih aku hadiah, bahkan semenjak kami menikah, belum pernah sekalipun ia memberiku sesuatu yang berharga. Jadi kalau Mas Bayu bilang dia dapet proyek gede aku sih nggak akan percaya. Tapi aku belum tahu apa motif dia dengan ngasih ini, ya sekalian saja aku minta uang lebih padanya, biar bisa ditabung. Buat nambahin uang yang sudah ku kantongi kalau-kalau Mas Bayu menceraikan aku. "Yasudah besok aku kasih, Rum," kata Mas Bayu menjanjikan ku uang 2 juta.Beberapa hari ini kelakuan suamiku semakin aneh, aku sadar itu tapi aku tak pernah mempertanyakan ke sua