Share

Bab 6 Haruskah Aku Membohongi Istriku

"Hah, nggak boleh sama istrimu? ya pasti lah, wong istrimu kan pelit" kata Murti.

Hmmm, aku menarik nafas panjang.

"Kalau nggak nekad ya miskin aja terus, dan kapan kamu mau nikahin aku mas?" tambahnya seraya merajuk. Aduh keder sekali aku kalau ditanyain topik ini, apalagi ini pagi-pagi, bisa rusak mood seharian.

"Nggak tahu sayang " aku menunduk. Sebisa mungkin aku menghindari pertengkaran dengan Murti. Kalau topik ini diangkat, pasti ujung-ujungnya berantem.

"Yaelah, kamu emang nggak beneran cinta kan sama aku?" lagi-lagi ke sini, bingung. Sebenernya aku sayang sama Murti, walaupun sebenarnya Murti tak secantik Rumaysa, tapi Murti wanita yang mandiri, penghasilannya besar, lebih besar dari aku.

Sedangkan istriku hanya menggantungkan diri dari nafkah pemberianku. Pertimbanganku selama ini adalah Rumaysa istri yang shalihah, keluarga dari keluarga pesantren. Dia bisa mengurus rumah, keuangan, dan anak-anak. Aku tidak bisa melepasnya begitu saja. Pasti nanti banyak yang mengejarnya kalau dia jadi janda. Aku nggak terima kalau itu terjadi.

"Nanti sayang, ada waktunya aku nikahin kamu" janjiku pada Murti. Bahkan aku sendiri tak tahu bisa menepatinya atau tidak.

"Beneran mas?" ia mulai mendekat dan bergelayut manja padaku.

"Iya, sayang." Syukurlah. Aku tak harus mengurus dua wanita yang ngambek padaku.

***

"Pak ini kopinya." Wawan masuk dengan membawa nampan berisi kopi hitam yang panas.

"Taruh aja Wan. Terima kasih. Pak Aji sama Pak Gino ke sini nggak Wan?" tanyaku.

Ia meletakkan kopi di atas mejaku dan duduk di kursi depan.

"Enggak, Pak. Kayaknya langsung ke proyek." Aku pun sebenernya harus ke proyek membetulkan dinding yang dikomplain. Tapi rasanya malas sekali. Lebih baik aku bersantai dulu di kantor.

"Pak Bayu kok terlihat lesu banget nih?" tanya Wawan.

"Lagi pusing Wan" jawabku asal. Ia malah terkekeh.

"Makannya punya istri satu aja pak. Dua cewek emang enak, tapi pusingnya dobel hehehe"

Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Wawan. Tak bisa memungkiri hal itu memang benar.

"Ah kamu bisa aja, Wan. Enak tau, yang nyervis dobel." Aku jadi teringat sama Rumaysa. Sudah berhari-hari ia tak pernah ku sentuh. Beberapa hari ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di hotel sama Murti. Tumben yah Rum nggak pernah merayuku lagi, padahal kalau aku sibuk dia yang biasanya ngajakin aku duluan.

"Bapak abis ini mau ngerjain proyek di mana?" tanya Wawan.

"Belum tahu, Wan. Kata pak Darmo aku mau dikasih proyek gedung dinas."

"Lho memangnya Pak Bayu belum tahu? Proyek gedung dinas kan dikasih ke Pak Gino. Kalau proyek masjid dikasih ke pak aji. Sudah 3 harian ini, Pak." Kata Wawan ragu-ragu, takut ia salah ngomong.

"Apa? kamu nggak salah ngomong Wan? Masjid sama gedung dinas jadi dipegang sama mereka?"

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutan ku. Aku tak menyangka Pak Darmo ngasih proyek itu ke mereka, pasalnya dulu Pak Darmo bilang mau ngasih proyek dinas ke aku. Wah ini mulai nggak adil nih Pak Darmo. Bukannya ngasih aku proyek malah disuruh benerin gedung gratisan, walaupun memang itu salahku sendiri memakai cat oplosan.

Tanganku mengepal, gigiku mengatup, ku gebrak meja di depanku. Aku diremehkan disini. Sialan!

***

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Masuk Bayu."

Aku menemui Pak Darmo di toko bangunan. Ia sedang mengarahkan pegawai untuk mengantar beberapa bahan bangunan dengan mobil pick up.

"Begini pak, saya mau bicara sebentar." Aku mengawali pembicaraan dengan wajah yang serius. Ia langsung fokus padaku.

"Saya denger kalau proyek dinas dipegang Pak Gino. Apa betul? Bapak kan dulu sudah berjanji mau memberikan proyek itu ke saya."

Ia menarik nafas panjang. Sepertinya ada yang perlu dipertimbangkan. "Bayu, sebenarnya proyek itu memang mau bapak kasih ke kamu. Tapi pihak dinas memajukan tanggal proyeknya, sedangkan kamu itu sedang memperbaiki proyek kamu yang sebelumnya."

"Tapi, pak." Pak Darmo terlihat belum selesai dengan penjelasannya tapi segera aku sela, janji adalah janji. "Kenapa bapak malah nyuruh saya ngerjain pekerjaan lain pak bukannya ngasih gedung dinas itu?" Tanyaku dengan nada tinggi. Aku sudah menahan emosi sejak tadi.

Kini ia malah menarik nafas dengan kasar. "Bayu, begini, saya sebenarnya nggak mau mengatakan ini. Tapi karena kamu yang datang ke saya sekarang, saya harus ngomong ini biar kamu belajar.

Banyak sekali klien kita yang komplain kalau gedung yang kamu pegang itu selalu bermasalah. Cuma selama ini saya nggak pernah ngomong sama kamu, selama ini Aji yang benerin. Tapi kesalahan terus-terusan ada. Sepertinya kamu memang nggak belajar. Dan proyek terakhir itu memang harusnya kamu yang bertanggung jawab."

Aku terdiam, aku tak terima disalah-salahkan begini. "Tetap saja pak, bapak tuh sudah janji."

"Begini saja Bayu, kamu selesaikan dulu proyek yang sebelumnya, nanti kalau ada proyek baru langsung saya kasih ke kamu. Tapi dengan perjanjian kalau ada proyek kamu harus konsultasikan dulu ke Aji."

Aji? mentang-mentang dia itu anaknya aku juga harus tunduk ke Aji? Cih! aku tak Sudi.

Aji itu anak kemarin sore. Harusnya dia yang konsultasi ke aku. Amarahku memuncak sampai ke ubun-ubun, rasanya seluruh tubuhku jadi panas.

"Yasudah pak kalau begitu. Saya mau coba berjalan sendiri, mencari proyek sendiri. Yasudah pak, saya pulang dulu." Dengan kesal aku berbalik badan dan meninggalkan Pak Darmo yang mungkin kaget dengan keputusanku.

****

"Rum anak-anak mana? Ku lihat istriku sedang menonton televisi sendiri di depan. Tak ku dengar suara anak-anak. Rumaysa tak tahu kalau aku sudah keluar kerja, aku berencana tak memberitahunya.

Tapi aku memang butuh surat tanah itu, tak ada jalan lain aku harus bisa berdiri sendiri, mencari proyek sendiri.

"Sudah tidur, mas. Mereka capek tadi abis main di rumah Fadil."

Aku langsung menuju kamar. Biasanya istriku menyimpan barang berharganya di lemari kamar. Beberapa baju terlihat rapi. Aku angkat tumpukan baju itu tapi nihil, tak ada apapun. Semua bersih.

Mataku langsung tertuju pada laci di bagian bawah.

Krieeet, suara laci dibuka. Aku melihat beberapa surat penting di sana. Surat nikah, akta lahir anak-anak, dan oh iya ini ada surat tanah. Mataku berbinar.

"Pak?"

Aku terjengkang ke belakang. Istriku sudah berdiri di belakangku dengan pandangan curiga.

"Nyari apa, Pak?"

"Eh, anu kita punya foto kopian KTP nggak yah Bu?" kataku terbata-bata. Sungguh aku tak menyiapkan jawaban apapun.

"Ada, mau buat apa? nanti aku cariin."

"Eee.. nggak tahu Pak Darmo yang minta. Yasudah cariin ya, Bu."

Ku ayunkan kaki segera keluar dari kamar. Entah kenapa istriku seperti selalu tahu apa niatku. Yasudah lebih baik ku ambil besok, menunggu kalau Rum sedang ke pasar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status