Demi ketenangan hati, aku memutuskan untuk mengunjungi Pak Darmo sekali lagi. Kalaupun Mas Bayu marah, momen itu justru akan ku gunakan untuk menuntut kejujurannya. Pagi-pagi setelah mengantarkan anak-anak ke sekolah, aku memacu motor bututku menuju toko bangunan milik Pak Darmo. Aku yakin kalau Pak Darmo pasti ada di sekitar situ meskipun dalam hati aku merasa was-was kalau-kalau ketemu sama Mas Bayu, karena dekat dengan kantornya. Toko bangunan itu terasa lengang, hanya ada dua pegawai yang sedang membawa beberapa semen ke depan. Sontak ku utarakan maksud kedatanganku ke pegawai toko itu. "Mas, saya mau bertemu Pak Darmo apa ada?" tanyaku ke salah satu pegawai di sana. "Kurang tahu, Mbak. Mungkin agak siang ke sini. Ada perlu apa yah, Mbak?" ia balik bertanya. "Nggak apa-apa, Mas. Nanti saja saya ke sini lagi," jawabku dengan hati kecewa. Aduh bagaimana ini, sudah ke sini pagi-pagi malah Pak Darmo nggak ada. Akhirnya kupu
Beberapa panggilan teleponku pada Mas Bayu tak di angkat. Kalau yang kupikirkan benar, aku akan sangat marah pada Mas Bayu karena rumah ini adalah rumah orang tuaku. Dia sama sekali tak ada andil apapun dalam rumah ini. Apakah ini demi wanita sialan itu!? Aku sudah tidak peduli lagi kalau dia selingkuh, tapi kalau dia sampai menyakiti orang tuaku, atau anak-anakku, aku tak akan tinggal diam begitu saja. Dan aku sengaja tak mengirimkan pesan apapun karena aku ingin menanyakannya secara langsung. Aku ingin tahu bagaimana wajahnya ketika ku lempar pertanyaan ini ke mukanya. Sore itu, ku putuskan untuk pergi ke rumah Kakakku. Kalau Mas Bayu sampai benar-benar menggadai tanah kami, maka aku nggak bisa mengurus ini sendiri. "Masuk, Rum. Tumben nih sore-sore ke pesantren. Mau lihat-lihat buat Zeno?" tanya Mas Agil menyambut kami. Aku memang sudah mengabari Mas Agil kalau kami akan datang ke pesantren meskipun aku belum berani mengutarakan niatku yang sesu
"Mana surat tanah rumah ini, Mas!?" tanyaku pada Mas Bayu tanpa basa-basi. Ku lihat ia terperangah mendengar serangan mendadak dariku. "Kamu ngomong apa, Rum?" ia balik bertanya dengan gelagapan. Amarah yang tadinya nampak di wajahnya yang tampan kini menghilang berganti dengan takut dan cemas. Bola matanya memutar mencari pijakan. "Aku sudah tahu semuanya, Mas. Nggak usah mengelak. Aku sudah tahu sejak lama hubunganmu dengan Murti. Jangan dikira aku bodoh, Mas!! Ku pikir dengan diam saja kamu akan berubah, tapi kamu malah menjadi-jadi. Sekarang kamu pakai surat tanah rumah ini untuk pinjaman bank. Demi Allah aku nggak ridho, Mas!" Rentetan kalimat dariku membuatnya bungkam, ia tak bisa lagi berkilah tentang semua kebusukannya.Ku lempar semua barang-barang yang wanita itu selipkan di kantong baju suamiku ke hadapannya. "Ini celana dalam, lipstik, punya selingkuhanmu. Kamu sudah nggak bisa mengelak lagi!!" Ia terduduk di lan
Bayu melangkah gontai keluar dari rumahnya sendiri. Ia memacu motornya dengan kencang, berharap angin akan membawa semua masalahnya pergi. Ia tak tahu harus ke mana. Murti pasti sudah pulang, dan sekarang ia tak punya kantor, saudara pun tak punya. Baru ia sadari kalau selama ini Rumaysa memungutnya dari kesendirian dengan menghadiahkannya sebuah keluarga, yang dengan gegabah ia rusak sendiri. Motornya berhenti di sebuah warung bakso dekat lokasi kantor lamanya. Sepasang kekasih baru saja selesai makan bakso dan pergi. Kini tinggal dia seorang dengan semangkok bakso di depannya. Bakso itu seharusnya terlihat nikmat dengan bulatan daging, mie dan kuah yang akan menghangatkan perutnya. Tapi perut keroncongan yang sejak siang tak diisi seketika menghilang dengan peristiwa tadi. "Sejak kapan Rum tahu kalau aku selingkuh? Pantas saja sudah agak lama dia tak mau ku sentuh. Apa yang harus ku lakukan setelah ini? Menceraikan Rum? Harusnya Rum memaafkanku!
"Apa, Mas? Aku nggak salah denger? kamu mau minta pisah?" tanya Murti terbelalak. "Dengerin dulu, Mur. Aku minta maaf banget, tapi aku nggak mau pernikahanku berakhir. Hubungan kita me ..." "Diam, Mas!! Aku nggak mau denger kata-katamu lagi. Pernikahanmu udah hancur. Mau apa lagi? kamu mau balik sama istrimu? kamu pikir istrimu mau nerima kamu? Aku nggak mau lagi denger kata pisah dari kamu, Mas. Kalau kamu berani ninggalin aku, akan aku sebarkan ke orang-orang kalau aku hamil biar semua proyek kamu gagal. Kita hancur bersama, Mas!!"Bayu terperanjat mendapat ancaman yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mengenal Murti sudah cukup lama, jadi ia tahu kalau Murti bisa saja senekat itu untuk menghancurkan kami bersama. "Pergi kamu dari sini, Mas. Datang lagi kalau kamu sudah yakin mau menceraikan istrimu!!" Murti berbalik badan dan hendak pergi tapi seketika tangannya ditarik oleh Bayu. "Kamu nggak bisa ngancam aku kaya
Aku mengunjungi proyek pertamaku yang hampir rampung. Warung ini berdiri cukup elegan. Warna hitam, putih, dan krem mendominasi. Pak Arif yang ku amanahi untuk menyelesaikan warung ini segera menghampiriku begitu melihatku berhenti tak jauh dari lokasi. "Gimana, Rif? Sudah beres ini?" tanyaku padanya. "Sudah, Pak. Sudah siap pakai," ia tersenyum lebar melaporkan hasil kerjanya. Tak ku ragukan hasil kerja Pak Arif karena dulu saat bekerja dengan Pak Darmo dia termasuk orang yang dipercaya oleh Pak Darmo. Ia mau beralih bekerja denganku karena keluarganya benar-benar sedang membutuhkan uang, dan aku bisa memberikan itu untuknya. "Nanti saya transfer sisa upahnya ya, Rif. Tolong dibagikan juga sama yang lain." Ia mengangguk dan pamit pergi.Aku duduk tak jauh dari warung yang sudah kami dirikan. Ku pandangi warung makan kecil yang terlihat mewah ini. Paling nggak tampilannya tidak kampungan seperti warung dekat pantai pada umumnya. Warung ini
"Bun, kok melamun terus?" tanya Zaki pada Ibunya. Meski terlihat tegar, tapi Rum begitu hancur. Ia kehilangan tempat berpijak yang selama ini jadi tumpuan. Lelaki itu, sudah bukan cuma suami, tapi sahabat juga dalam keluh kesah, dalam senang maupun susah. Rum pikir bercerai adalah hal yang mudah, ternyata kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sosok pencari nafkah, tapi juga sahabat, teman dalam menghabiskan waktu, teman dalam mendidik anak-anak, teman dalam mengarungi bahtera kehidupan yang seringkali berat untuk dijalani. "Maaf, ya sayang. Bunda malah melamun. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah ayo kita berangkat," ajak Rum sambil merapikan peralatan sekolah milik anaknya. "Sudah selesai dari tadi, Bun. Bunda kangen yah sama Ayah?" tanya Zaki. Wajahnya menyiratkan rasa iba. "Tidak, sayang. Bunda cuma capek. Bunda sedang memikirkan bagaimana caranya Bunda dapat pekerjaan.
"Hah bercerai? Kamu tidak salah, Rum? Meskipun Mas kasihan dengan keadaanmu, tapi perceraian tetap dibenci Allah!" seru Mas Agil tajam. Ia sebenarnya tak tega dengan keadaan adiknya, tapi ia sendiri tidak menyarankan perceraian. Perceraian dibenci Allah!Sedangkan adik bungsunya berniat mengajukan perceraian. Rum tak bisa menjawab. Ia masih menangis sampai tersedu-sedu. "Yasudah, Mas panggilkan Mbak Nara dulu." Agil berlari menuju rumahnya. Ia bingung bagaimana menghadapi adiknya yang sedang menangis seperti itu. Ini kali pertama Rum menangis dihadapan kakak lelakinya. "Ya Allah. Rum, istighfar, Rum!" kata Nara setelah melihat keadaan adik iparnya yang masih terus menangis. Rum yang melihat kakak iparnya langsung menghamburkan diri dalam pelukan pada wanita itu. "Sudah, Rum, sudah. Kamu tenang dulu. Minum dulu, ya." Nara mengangkat dagunya ke arah suaminya agar ia mengambilkan minum untuk Rum. Setelah meneguk segelas air, keadaan Rum mulai