"Apa, Mas? Aku nggak salah denger? kamu mau minta pisah?" tanya Murti terbelalak. "Dengerin dulu, Mur. Aku minta maaf banget, tapi aku nggak mau pernikahanku berakhir. Hubungan kita me ..." "Diam, Mas!! Aku nggak mau denger kata-katamu lagi. Pernikahanmu udah hancur. Mau apa lagi? kamu mau balik sama istrimu? kamu pikir istrimu mau nerima kamu? Aku nggak mau lagi denger kata pisah dari kamu, Mas. Kalau kamu berani ninggalin aku, akan aku sebarkan ke orang-orang kalau aku hamil biar semua proyek kamu gagal. Kita hancur bersama, Mas!!"Bayu terperanjat mendapat ancaman yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mengenal Murti sudah cukup lama, jadi ia tahu kalau Murti bisa saja senekat itu untuk menghancurkan kami bersama. "Pergi kamu dari sini, Mas. Datang lagi kalau kamu sudah yakin mau menceraikan istrimu!!" Murti berbalik badan dan hendak pergi tapi seketika tangannya ditarik oleh Bayu. "Kamu nggak bisa ngancam aku kaya
Aku mengunjungi proyek pertamaku yang hampir rampung. Warung ini berdiri cukup elegan. Warna hitam, putih, dan krem mendominasi. Pak Arif yang ku amanahi untuk menyelesaikan warung ini segera menghampiriku begitu melihatku berhenti tak jauh dari lokasi. "Gimana, Rif? Sudah beres ini?" tanyaku padanya. "Sudah, Pak. Sudah siap pakai," ia tersenyum lebar melaporkan hasil kerjanya. Tak ku ragukan hasil kerja Pak Arif karena dulu saat bekerja dengan Pak Darmo dia termasuk orang yang dipercaya oleh Pak Darmo. Ia mau beralih bekerja denganku karena keluarganya benar-benar sedang membutuhkan uang, dan aku bisa memberikan itu untuknya. "Nanti saya transfer sisa upahnya ya, Rif. Tolong dibagikan juga sama yang lain." Ia mengangguk dan pamit pergi.Aku duduk tak jauh dari warung yang sudah kami dirikan. Ku pandangi warung makan kecil yang terlihat mewah ini. Paling nggak tampilannya tidak kampungan seperti warung dekat pantai pada umumnya. Warung ini
"Bun, kok melamun terus?" tanya Zaki pada Ibunya. Meski terlihat tegar, tapi Rum begitu hancur. Ia kehilangan tempat berpijak yang selama ini jadi tumpuan. Lelaki itu, sudah bukan cuma suami, tapi sahabat juga dalam keluh kesah, dalam senang maupun susah. Rum pikir bercerai adalah hal yang mudah, ternyata kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sosok pencari nafkah, tapi juga sahabat, teman dalam menghabiskan waktu, teman dalam mendidik anak-anak, teman dalam mengarungi bahtera kehidupan yang seringkali berat untuk dijalani. "Maaf, ya sayang. Bunda malah melamun. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah ayo kita berangkat," ajak Rum sambil merapikan peralatan sekolah milik anaknya. "Sudah selesai dari tadi, Bun. Bunda kangen yah sama Ayah?" tanya Zaki. Wajahnya menyiratkan rasa iba. "Tidak, sayang. Bunda cuma capek. Bunda sedang memikirkan bagaimana caranya Bunda dapat pekerjaan.
"Hah bercerai? Kamu tidak salah, Rum? Meskipun Mas kasihan dengan keadaanmu, tapi perceraian tetap dibenci Allah!" seru Mas Agil tajam. Ia sebenarnya tak tega dengan keadaan adiknya, tapi ia sendiri tidak menyarankan perceraian. Perceraian dibenci Allah!Sedangkan adik bungsunya berniat mengajukan perceraian. Rum tak bisa menjawab. Ia masih menangis sampai tersedu-sedu. "Yasudah, Mas panggilkan Mbak Nara dulu." Agil berlari menuju rumahnya. Ia bingung bagaimana menghadapi adiknya yang sedang menangis seperti itu. Ini kali pertama Rum menangis dihadapan kakak lelakinya. "Ya Allah. Rum, istighfar, Rum!" kata Nara setelah melihat keadaan adik iparnya yang masih terus menangis. Rum yang melihat kakak iparnya langsung menghamburkan diri dalam pelukan pada wanita itu. "Sudah, Rum, sudah. Kamu tenang dulu. Minum dulu, ya." Nara mengangkat dagunya ke arah suaminya agar ia mengambilkan minum untuk Rum. Setelah meneguk segelas air, keadaan Rum mulai
Beberapa hari setelah kunjungannya ke pesantren kakaknya, ia mendapat kabar baik dari kakak iparnya. Ada seseorang yang membutuhkan jasa membersihkan rumah, dan Rum boleh membawa anaknya kalau mau bekerja. Rum memekik kegirangan, "Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya aku bisa bekerja." "Alhamdulillah, semoga bisa jadi jalan rezeki untuk kamu ya," sahut Mbak Nara. "Jauh nggak rumahnya, Mbak? Aku bisa pulang pergi naik motor, kan?" tanya Rumaysa. Ia sudah membayangkan kalau mungkin ia bekerja tidak akan setiap hari dan bisa dijangkau dengan motor bututnya. Membersihkan rumah tidak terlalu sulit, mudah-mudahan nanti majikannya juga baik. "Deket. Mbak sudah ngobrol ini sama Mas kamu. Kamu juga kenal. Katanya kamu sudah pernah ke rumahnya," jawabnya. Dahi Rum berkerut, rumahnya pernah ia kunjungi? "Rumah Pak Darmo, Rum." lanjut Nara. Rum memasang wajah bingung, tak bisa dijelaskan bagaimana perasaanya. Pak Darmo lagi? Kena
Rum jadi salah tingkah karena merasa diperhatikan. Ia malu dengan penampilannya yang mungkin terlihat sangat lusuh. Jadi Rum memutuskan untuk mulai mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa ada niatan mengajak bosnya mengobrol. Lalu ia melihat punggung lelaki itu memasuki kamarnya. Ketika ia sibuk mengangkat jemuran, Zaki mulai rewel lagi. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, sudah waktunya bagi lelaki kecil itu untuk menikmati waktu tidur siangnya. Rum celingukan ke sana ke sini, Aji tak keluar lagi dari kamarnya. Ia mungkin juga tertidur. "Sebentar ya sayang, Bunda nyelesain kerjaan Bunda dulu sebentar," rayu Rum. "Zaki mau bobo, Bun. Zaki ngantuk," rengek Zaki. Rum bingung harus bagaimana. Zaki memang sudah terbiasa tidur siang dengan ditemani dirinya. Kalau tidak ditidurkan nanti dia akan bertambah rewel. Tadinya ia berpikir bisa menidurkan Zaki di sofa kalau Mas Aji tidak pulang. Kalau ada Mas Aji begini, Rum tidak enak kalau mau m
"Ayolah, Mur. Aku cuma mau minta uang 1 juta. Ini bukan buat Rum, tapi buat Zaki dan Zeno. Aku kangen banget sama mereka. Aku pengin ketemu sama mereka, Mur, tapi aku nggak pegang uang sama sekali sekarang. Pak Hans bilangnya mau transfer bulan ini, tapi nyatanya dia belum bisa dihubungi. Terus temen kamu itu, mana sisa uang pembayarannya? jangan-jangan dia menghilang begitu saja?" tanya Bayu mulai kalut. Dua proyek yang dia pegang sekarang kenapa ada saja sih hambatannya. Padahal dulu waktu sama Pak Darmo hambatannya paling bangunan yang sedikit rusak, cat yang kurang rapi, atau bahan bangunan yang kurang. Dia tak pernah dengar Pak Darmo mengeluh soal masalah uang atau klien. Pak Darmo memang menutupinya atau Pak Darmo beruntung nggak pernah dapat klien seperti itu? Ah tidak mungkin sih, Pak Darmo kan sudah puluhan tahun di dunia proyek begini, pasti ada saja yang nggak beres kliennya. Sial sekali! "Mas mau ketemu anak-anak? Ketemu anak-anak apa ketemu
Murti merasa sakit hati Bayu berteriak padanya. Padahal, selama ini Bayu selalu baik, tak pernah membentaknya. Beberapa pekerja dan orang-orang di warung memberinya tatapan sinis. Matanya mulai berkaca-kaca dan ia pergi begitu saja. Bayu tak khawatir dengan Murti yang marah. Ia sama sekali tak berniat mengejar wanita itu. Namun, ia justru khawatir dengan Rum dan anak-anak yang mendengar suara Murti tadi. "Apa yang ada di pikiran mereka tentang aku sekarang? Aku harus segera mengunjungi anak-anak. Aku masih berharap bisa kembali bersama Rum," gumam Bayu. Di rumah Rum, Zeno masih saja berwajah muram. Ia masih memikirkan tentang ayahnya. Rum sampai bingung bagaimana cara menghibur Zeno karena Zeno memang sudah mengerti tentang keadaan orang tuanya yang berpisah. "Zeno, ayo kita belajar sayang. Ada PR nggak?" tanya Rum di kamar Zeno. Lelaki kecil itu sedang tidur menghadap tembok. "Ada PR tapi udah dikerjain tadi, Bun. Waktu Bunda sama Zaki ke rumah P
Murti merasa sakit hati Bayu berteriak padanya. Padahal, selama ini Bayu selalu baik, tak pernah membentaknya. Beberapa pekerja dan orang-orang di warung memberinya tatapan sinis. Matanya mulai berkaca-kaca dan ia pergi begitu saja. Bayu tak khawatir dengan Murti yang marah. Ia sama sekali tak berniat mengejar wanita itu. Namun, ia justru khawatir dengan Rum dan anak-anak yang mendengar suara Murti tadi. "Apa yang ada di pikiran mereka tentang aku sekarang? Aku harus segera mengunjungi anak-anak. Aku masih berharap bisa kembali bersama Rum," gumam Bayu. Di rumah Rum, Zeno masih saja berwajah muram. Ia masih memikirkan tentang ayahnya. Rum sampai bingung bagaimana cara menghibur Zeno karena Zeno memang sudah mengerti tentang keadaan orang tuanya yang berpisah. "Zeno, ayo kita belajar sayang. Ada PR nggak?" tanya Rum di kamar Zeno. Lelaki kecil itu sedang tidur menghadap tembok. "Ada PR tapi udah dikerjain tadi, Bun. Waktu Bunda sama Zaki ke rumah P
"Ayolah, Mur. Aku cuma mau minta uang 1 juta. Ini bukan buat Rum, tapi buat Zaki dan Zeno. Aku kangen banget sama mereka. Aku pengin ketemu sama mereka, Mur, tapi aku nggak pegang uang sama sekali sekarang. Pak Hans bilangnya mau transfer bulan ini, tapi nyatanya dia belum bisa dihubungi. Terus temen kamu itu, mana sisa uang pembayarannya? jangan-jangan dia menghilang begitu saja?" tanya Bayu mulai kalut. Dua proyek yang dia pegang sekarang kenapa ada saja sih hambatannya. Padahal dulu waktu sama Pak Darmo hambatannya paling bangunan yang sedikit rusak, cat yang kurang rapi, atau bahan bangunan yang kurang. Dia tak pernah dengar Pak Darmo mengeluh soal masalah uang atau klien. Pak Darmo memang menutupinya atau Pak Darmo beruntung nggak pernah dapat klien seperti itu? Ah tidak mungkin sih, Pak Darmo kan sudah puluhan tahun di dunia proyek begini, pasti ada saja yang nggak beres kliennya. Sial sekali! "Mas mau ketemu anak-anak? Ketemu anak-anak apa ketemu
Rum jadi salah tingkah karena merasa diperhatikan. Ia malu dengan penampilannya yang mungkin terlihat sangat lusuh. Jadi Rum memutuskan untuk mulai mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa ada niatan mengajak bosnya mengobrol. Lalu ia melihat punggung lelaki itu memasuki kamarnya. Ketika ia sibuk mengangkat jemuran, Zaki mulai rewel lagi. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, sudah waktunya bagi lelaki kecil itu untuk menikmati waktu tidur siangnya. Rum celingukan ke sana ke sini, Aji tak keluar lagi dari kamarnya. Ia mungkin juga tertidur. "Sebentar ya sayang, Bunda nyelesain kerjaan Bunda dulu sebentar," rayu Rum. "Zaki mau bobo, Bun. Zaki ngantuk," rengek Zaki. Rum bingung harus bagaimana. Zaki memang sudah terbiasa tidur siang dengan ditemani dirinya. Kalau tidak ditidurkan nanti dia akan bertambah rewel. Tadinya ia berpikir bisa menidurkan Zaki di sofa kalau Mas Aji tidak pulang. Kalau ada Mas Aji begini, Rum tidak enak kalau mau m
Beberapa hari setelah kunjungannya ke pesantren kakaknya, ia mendapat kabar baik dari kakak iparnya. Ada seseorang yang membutuhkan jasa membersihkan rumah, dan Rum boleh membawa anaknya kalau mau bekerja. Rum memekik kegirangan, "Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya aku bisa bekerja." "Alhamdulillah, semoga bisa jadi jalan rezeki untuk kamu ya," sahut Mbak Nara. "Jauh nggak rumahnya, Mbak? Aku bisa pulang pergi naik motor, kan?" tanya Rumaysa. Ia sudah membayangkan kalau mungkin ia bekerja tidak akan setiap hari dan bisa dijangkau dengan motor bututnya. Membersihkan rumah tidak terlalu sulit, mudah-mudahan nanti majikannya juga baik. "Deket. Mbak sudah ngobrol ini sama Mas kamu. Kamu juga kenal. Katanya kamu sudah pernah ke rumahnya," jawabnya. Dahi Rum berkerut, rumahnya pernah ia kunjungi? "Rumah Pak Darmo, Rum." lanjut Nara. Rum memasang wajah bingung, tak bisa dijelaskan bagaimana perasaanya. Pak Darmo lagi? Kena
"Hah bercerai? Kamu tidak salah, Rum? Meskipun Mas kasihan dengan keadaanmu, tapi perceraian tetap dibenci Allah!" seru Mas Agil tajam. Ia sebenarnya tak tega dengan keadaan adiknya, tapi ia sendiri tidak menyarankan perceraian. Perceraian dibenci Allah!Sedangkan adik bungsunya berniat mengajukan perceraian. Rum tak bisa menjawab. Ia masih menangis sampai tersedu-sedu. "Yasudah, Mas panggilkan Mbak Nara dulu." Agil berlari menuju rumahnya. Ia bingung bagaimana menghadapi adiknya yang sedang menangis seperti itu. Ini kali pertama Rum menangis dihadapan kakak lelakinya. "Ya Allah. Rum, istighfar, Rum!" kata Nara setelah melihat keadaan adik iparnya yang masih terus menangis. Rum yang melihat kakak iparnya langsung menghamburkan diri dalam pelukan pada wanita itu. "Sudah, Rum, sudah. Kamu tenang dulu. Minum dulu, ya." Nara mengangkat dagunya ke arah suaminya agar ia mengambilkan minum untuk Rum. Setelah meneguk segelas air, keadaan Rum mulai
"Bun, kok melamun terus?" tanya Zaki pada Ibunya. Meski terlihat tegar, tapi Rum begitu hancur. Ia kehilangan tempat berpijak yang selama ini jadi tumpuan. Lelaki itu, sudah bukan cuma suami, tapi sahabat juga dalam keluh kesah, dalam senang maupun susah. Rum pikir bercerai adalah hal yang mudah, ternyata kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sosok pencari nafkah, tapi juga sahabat, teman dalam menghabiskan waktu, teman dalam mendidik anak-anak, teman dalam mengarungi bahtera kehidupan yang seringkali berat untuk dijalani. "Maaf, ya sayang. Bunda malah melamun. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah ayo kita berangkat," ajak Rum sambil merapikan peralatan sekolah milik anaknya. "Sudah selesai dari tadi, Bun. Bunda kangen yah sama Ayah?" tanya Zaki. Wajahnya menyiratkan rasa iba. "Tidak, sayang. Bunda cuma capek. Bunda sedang memikirkan bagaimana caranya Bunda dapat pekerjaan.
Aku mengunjungi proyek pertamaku yang hampir rampung. Warung ini berdiri cukup elegan. Warna hitam, putih, dan krem mendominasi. Pak Arif yang ku amanahi untuk menyelesaikan warung ini segera menghampiriku begitu melihatku berhenti tak jauh dari lokasi. "Gimana, Rif? Sudah beres ini?" tanyaku padanya. "Sudah, Pak. Sudah siap pakai," ia tersenyum lebar melaporkan hasil kerjanya. Tak ku ragukan hasil kerja Pak Arif karena dulu saat bekerja dengan Pak Darmo dia termasuk orang yang dipercaya oleh Pak Darmo. Ia mau beralih bekerja denganku karena keluarganya benar-benar sedang membutuhkan uang, dan aku bisa memberikan itu untuknya. "Nanti saya transfer sisa upahnya ya, Rif. Tolong dibagikan juga sama yang lain." Ia mengangguk dan pamit pergi.Aku duduk tak jauh dari warung yang sudah kami dirikan. Ku pandangi warung makan kecil yang terlihat mewah ini. Paling nggak tampilannya tidak kampungan seperti warung dekat pantai pada umumnya. Warung ini
"Apa, Mas? Aku nggak salah denger? kamu mau minta pisah?" tanya Murti terbelalak. "Dengerin dulu, Mur. Aku minta maaf banget, tapi aku nggak mau pernikahanku berakhir. Hubungan kita me ..." "Diam, Mas!! Aku nggak mau denger kata-katamu lagi. Pernikahanmu udah hancur. Mau apa lagi? kamu mau balik sama istrimu? kamu pikir istrimu mau nerima kamu? Aku nggak mau lagi denger kata pisah dari kamu, Mas. Kalau kamu berani ninggalin aku, akan aku sebarkan ke orang-orang kalau aku hamil biar semua proyek kamu gagal. Kita hancur bersama, Mas!!"Bayu terperanjat mendapat ancaman yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mengenal Murti sudah cukup lama, jadi ia tahu kalau Murti bisa saja senekat itu untuk menghancurkan kami bersama. "Pergi kamu dari sini, Mas. Datang lagi kalau kamu sudah yakin mau menceraikan istrimu!!" Murti berbalik badan dan hendak pergi tapi seketika tangannya ditarik oleh Bayu. "Kamu nggak bisa ngancam aku kaya
Bayu melangkah gontai keluar dari rumahnya sendiri. Ia memacu motornya dengan kencang, berharap angin akan membawa semua masalahnya pergi. Ia tak tahu harus ke mana. Murti pasti sudah pulang, dan sekarang ia tak punya kantor, saudara pun tak punya. Baru ia sadari kalau selama ini Rumaysa memungutnya dari kesendirian dengan menghadiahkannya sebuah keluarga, yang dengan gegabah ia rusak sendiri. Motornya berhenti di sebuah warung bakso dekat lokasi kantor lamanya. Sepasang kekasih baru saja selesai makan bakso dan pergi. Kini tinggal dia seorang dengan semangkok bakso di depannya. Bakso itu seharusnya terlihat nikmat dengan bulatan daging, mie dan kuah yang akan menghangatkan perutnya. Tapi perut keroncongan yang sejak siang tak diisi seketika menghilang dengan peristiwa tadi. "Sejak kapan Rum tahu kalau aku selingkuh? Pantas saja sudah agak lama dia tak mau ku sentuh. Apa yang harus ku lakukan setelah ini? Menceraikan Rum? Harusnya Rum memaafkanku!