Share

Bab 5 Celana Dalam Warna Merah

"Kenapa bisa ada celana dalam warna merah di jaket suamiku? Aku terheran-heran.

Pantas saja suamiku pulang larut malam. Ternyata dia sudah menghabiskan waktu dengan wanita itu. Nafasku seketika memburu mengetahui fakta itu. Ku tarik nafas perlahan beberapa kali sampai hatiku terasa lebih tenang. Celana dalam itu seketika ku lempar jauh.

Jijik!

Aku benar-benar merasa seperti badut. Menunggu seorang lelaki dengan riasan yang tebal, tapi malah ia sedang bergumul dengan wanita lain. Hoek. Rasa mual tiba-tiba datang mengingat hal itu.

Kepalaku harus tenang kalau aku mau menang dalam pertempuran dengan wanita ini. Menang bukan berarti mendapatkan suamiku seutuhnya atau kehilangan dia, tapi menang adalah mendapat ketenangan hidup, apapun keputusanku nanti.

***

POV Bayu

Aku bangun kesiangan, jam 7 baru bangun, padahal biasanya jam 5 istriku sudah cerewet membangunkanku untuk sholat subuh. Kemana dia?

Aku duduk di tepi ranjang, ada pantulan diriku di cermin lemari, ternyata aku masih memakai baju kerja kemarin. Tapi dimana jaketku?

"Bun, lagi nyuci yah?" tanyaku. Wanita yang sedang menyampirkan baju di gantungan baju itu hanya menatapku dengan tatapan kosong. Ada apa lagi ini pagi-pagi? "Jaketku mana?"

Ia hanya menunjuk jaket yang sudah dijemur. Aku memutuskan untuk mandi saja.

Tak ada sarapan, tak ada nasi. Zaki sudah berangkat sekolah sedangkan anak bungsuku sedang mengikuti ibunya sejak tadi. Lebih baik aku ke kantor saja, siapa tau Murti bawa sarapan.

***

Malang sekali nasibku, entah sedang kenapa Rumaysa, bikin geram saja.

Sesampainya di kantor aku malah harus bertemu dengan Pak Darmo. Aku harus menunda sarapanku, perutku tambah keroncongan.

"Gini Bayu, proyek bangunan sekolahan yang kamu pegang dikomplain sama pihak sana. Katanya cat temboknya sudah mengelupas, dan tidak rata."

Aku paling sebal kalau dapat komplain. Sudah lelah berkerja eh ada aja yang ketahuan salah. Namanya juga kerjaan manusia ya pasti ada aja yang salah. Nggak akan sempurna.

"Kamu pakai cat dinding yang saya rekomendasikan, kan?" tanya nya memastikan.

"Iya, Pak. Sesuai dengan perintah." Jawabku berbohong. Aku memang menggantinya dengan yang lebih murah. Aku butuh uang untuk merokok dan membelikan Murti barang yang dia mau.

"Kok bisa yah mengelupas." Ia berlalu meninggalkanku, kemudian berbalik lagi, "cat lagi saja Bayu, kita nggak mau kan pelanggan kita kabur ke tempat lain".

Huhhh, aku menarik nafas kesal.

***

Akhirnya aku bisa sarapan. Kekasih gelap ku membawa sayur capcay. Meskipun masakannya jauh dari masakan istriku, tapi mending dari pada aku kelaparan.

"Aku dikomplain sama Pak Darmo tadi" aduku pada Murti.

"Duh Pak Darmo cerewet banget yah." Ia menimpali. "Pindah aja sama juragan yang lain deh. Atau kamu berdiri aja sendiri, kan kamu udah punya banyak klien." Murti memberi saran. Aku kaget juga mendengar saran darinya.

"Tapi aku nggak ada modal sayang. Emang kamu mau modalin aku?" tanyaku iseng. Aku memang nggak ada uang sama sekali.

"Aku nggak bisa ngasih banyak mas. Pinjem aja ke bank. Nanti aku tambahin modalnya." Ia terlihat serius.

"Ke bank?"

"Iya."

"Jaminannya?

"Rumahmu lah."

"Murti, itu rumah pemberian bapak mertuaku. Ya nggak mungkin lah ku jadikan jaminan."

Kesal juga rasanya. Kirain dia mau beneran membantuku buat bikin usaha sendiri tapi malah bikin ide gila yang nggak masuk akal.

"Ya kalau nggak berani pinjam bank kapan mas mau maju. Gitu -gitu aja terus. Jalan di tempat."

Dalam sekali perkataan Murti. Walaupun ia benar tapi kalau mengambil keputusan yang gegabah seperti itu tuh kayak menggali kubur sendiri.

***

Sekolahan yang harus ku cat ulang ternyata lumayan banyak karena dindingnya menghadap ke matahari. Dengan enggan kulakukan tugas itu sendiri karena tidak dibayar, kasihan nanti kalau para pekerja tidak dapat uang lembur untuk kerja tambahan.

Sepanjang aku mengecat sekolahan, perkataan Murti terngiang- ngiang di telingaku. Memang sudah sejak lama aku ingin berdiri sendiri, tidak dibawah Bos Darmo. Andai saja aku punya modal aku bisa dapat untung lebih banyak, aku bakal cepet kaya.

Tapi rumah yang kami tempati adalah rumah ayahnya Rum. Kalau Rum tahu aku menggadaikan tanahnya, ia pasti akan marah besar padaku.

Sesampainya di rumah, aku mencoba membicarakan rencana ini ke Rumaysa. Tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu berhasil meyakinkan dia. Aku juga kepingin tahu pendapat wanita itu tentang masa depan kami.

"Kalau aku keluar dari juragan Darmo, terus mendirikan perusahaan sendiri gimana menurut kamu, De?" pertanyaan ini kutanyakan padanya malam harinya, ketika kami sama-sama menonton tv.

Ia tampak berpikir keras. tapi tidak langsung menjawab.

"Aku sih mendukung saja, tapi kan kita nggak punya modal. Jadi mending sama Pak Darmo saja. Pak Darmo sudah terlalu baik sama kita." Jawabnya.

Sudah ku duga jawabannya pasti akan seperti itu. Ia tetap sibuk menatap layar di depannya.

"Kata temenku kita bisa hutang di bank. Pakai kredit usaha rakyat, aku kan punya usaha yang jelas. Terus jaminannya sertifikat rumah ini" pelan-pelan aku menyebut kalimat terakhirnya.

"Apa?"

"Eh. Maksudnya gini." Aku jadi gugup, sepertinya ia mau marah. Harus dijelaskan pelan-pelan nih. "Misalkan nanti pinjaman 100 juta, kita bisa pakai cicilan yang 2,5 juta per bulan."

"2,5 juta?"

"Iya, Rum."

"Mas, kamu itu sadar nggak sih. Ini rumah peninggalan bapakku. Aku nggak mungkin jaminkan rumah ini ke bank. Nanti kalau nggak bisa bayar terus rumah kita diambil kita mau tinggal di mana?"

Huft, aku menarik nafas panjang. Selama ini gajiku 3 juta sama pak Darmo. Walaupun pemborong tapi gaji segitu termasuk besar nominalnya kalau di desa. Setengahnya aku kasih ke Rumaysa. Setengahnya lagi untuk beli bensin, rokok, dan makan di luar sama Murti, bahkan biasanya makan Murti yang bayar. Apa iya aku sanggup yah.

"Mas jangan gegabah, ayo dipikir dulu. Gaji kamu sama Pak Darmo itu sudah cukup, aku 1,5 juta buat makan, listrik, bayar sekolah anak. Sedangkan kamu 1 juta kalau buat bensin sama rokok doang bisa nabung banyak kan?"

Deg.

Aku jadi ingat kalau dulu aku bilang gajiku cuma 2,5 juta. Dan Rumaysa berharap aku punya tabungan? Aduh selama ini uangnya sudah aku pakai untuk Murti. Aku tak punya tabungan sama sekali.

"Mas? kok bengong sih? Kamu punya tabungan kan?"

"Eh, i..iya Rum, aku punya tabungan."

Aku kabur saja lah dari pada nanti dicecar di mana tabungannya sama Rumaysa.

"Aku tidur dulu ya, Rum. Badanku pegal-pegal." Aku beranjak dari ruang tv ke kamar tidur, lebih baik kurebahkan diriku dari pada nanti diinterogasi sama istriku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status