SOLM 2.
"Dek, aku pulang. Masak apa hari ini? mas udah laper banget." Jam sudah menunjuk ke angka 6. Adzan Maghrib baru selesai dikumandangkan. Dulu sebelum tahu kalau suami selingkuh aku akan bertanya kenapa dia pulang telat padahal kerjaannya sudah selesai jam setengah 5, tapi setelah tahu kelakuannya di luar sana, aku sudah enggan bertanya. Sakit sekali rasanya membayangkan kalau dia pasti menghabiskan waktu bersama wanita itu dulu sebelum pulang ke rumah. "Aku nggak masak, Mas. Cuma ada sup buat anak-anak." Ia menatapku heran, aku tahu apa yang ada di pikirannya. Ia pasti merasa aneh kalau tidak ada makanan di dalam rumah sedangkan aku tak pernah sehari pun libur memasak. Apalagi aku selalu mendahulukan masakan kesukaannya. "Kamu sakit, Dek? Tumben nggak masak?" ia mendekat ke arahku, tangannya mencoba memegang lenganku tapi segera ku tepis. Bayangan kalau tangan itu sudah menyentuh tangan wanita lain membuatku bergidik. "Enggak, aku nggak sempet masak soalnya tadi pergi ke kota kabupaten beli obat buat bapak. Kamu cari makan aja sendiri di warung. Aku capek." Ku ayunkan kaki ke kamar. Aku masih belum tahu harus bersikap seperti apa. Apa harus melabrak langsung atau ku tahan saja dulu. Sebelum sampai ke kamar, langkahku terhenti oleh pertanyaannya. "Kamu ke kota kabupaten lihat aku nggak?" Cih! Malah itu yang ditanyakan. Saking takutnya kalau ketahuan. Padahal kamu bisa aja nanyain keadaan bapak, atau nanyain keadaanku. Bahkan perutku juga belum kemasukan nasi satu butir pun sejak pagi. Aku tak peduli, ku banting pintu dari dalam. Brak. *** Menjelang isya anak-anak membangunkanku, ternyata aku ketiduran dari tadi. Mereka meminta susu sebelum tidur. Aku baru ingat kalau persediaan susu di rumah sudah habis. "Sebentar ya nanti bunda bikinin, ayah kalian di mana?" tanyaku. "Ayah lagi nonton Tv Bun." Ku ayunkan kaki ke tempat suamiku berada, ternyata dia tidak ada. Tv masih menyala tapi pintu depan terbuka. Dinginnya angin dari luar terasa menusuk. Aku hendak menutup pintu depan ketika ku dengar seseorang sedang bercakap-cakap. "Kamu nggak bisa tidur?" katanya. "Aku nggak bisa nemenin, istriku sebentar lagi bangun." Deg. Mas Bayu pasti sedang menelpon pelakor itu. "Bundaaa!" Suara kencang Zaki mengagetkan kami berdua. Aku lari terbirit- birit ke depan tv, berpura-pura tak terjadi apapun. "Bunda dari mana sih? Zaki kan tadi minta susu." Suamiku pun langsung masuk ke dalam rumah. Sengaja ku keraskan suaraku. "Susu habis, Zak. Minta sama ayah tuh uangnya." "Loh, uang susu habis, Bun?" Mas Bayu ikut kaget mendengar teriakan ku. "Habis" jawabku ketus. Ia terlihat menggaruk-garuk kepala, bingung sepertinya. "Uangku juga habis Bun, gajiannya baru seminggu lagi. Kamu nggak punya simpenan, Bun? biasanya kan kamu ada simpenan?" Tanya suamiku memelas. Aku tahu kalau dia akan mengatakan itu. Padahal uang gajian yang ia kasih tak seberapa. Selalu aku yang menembel kekurangan bulanan kami. Bagaimanapun. aku memang selalu menyisihkan uang untuk ditabung. Aku berjaga-jaga jika suatu saat suamiku nggak bekerja, atau meninggal. Meskipun tak sekalipun aku berpikir kalau suamiku mungkin akan meninggalkanku karena berselingkuh. Perkara uang ini jadi mengingatkanku pada saat aku habis lahiran anak kedua. Aku lupa apa alasan suamiku memotong uang bulananku padahal kebutuhan kami bertambah. Itu berarti 3 tahun berlalu. Tunggu! apakah mereka melakukan itu sejak 3 tahun yang lalu? "Bu, maaf ya uang bulanan harus ayah potong soalnya ayah menggaji orang satu lagi. Ayah nggak sanggup kalau harus ngerjain proyek ber 3" katanya 3 tahun yang lalu. Sekarang setelah dipikir lagi kenapa Mas Bayu masih tetap memotong uang bulananku yah padahal proyeknya semakin besar. Waktu itu Zaki masih menyusu padaku, jadi uang yang aku pangkas adalah uang susu formula karena ku pikir Zaki hanya pakai asi saja sudah cukup. Uang 1,5 juta waktu itu harus ku putar untuk masak, bayar listrik, pampers dan susu kakaknya. Kami harus makan seadanya, asalkan anak-anak bisa makan lauk. Apakah uang yang dipotong itu ia kasih untuk simpanannya? "Bun! kok melamun?" dia menepuk pundakku. "Eh, iya, maksud bunda nggak ada simpenan, Pak. Sudah habis." Ia terlihat kesal dengan jawabanku. "Yasudah besok ayah usahakan bawa uang lebih" Untuk saat ini akan ku ikuti dulu alur permainan kamu, mas. Aku kepingin lihat sejauh mana kamu mempermainkan ku. Aku juga harus menyelamatkan sedikit harta untuk anak-anakku. Aku Tak ingin mereka terlantar karena perbuatanmu. *** Pagi-pagi sarapan sudah tersedia di meja makan. Aku sengaja memasak makanan kesukaannya. Satu mangkok ayam goreng mentega pasti akan membuatnya memilih sarapan di rumah. "Hmmm wangi banget, Bun. Masak apa?" "Ayam mentega, Mas." "Wah aku pasti nambah, nih". Ia duduk di kursi dan meletakkan hpnya di samping piring. "Mau bikin kopi apa teh, Mas?" tanyaku. "Teh aja, Bun. Jangan manis-manis ya, soalnya di luar suka minum manis." Ia mengambil satu piring penuh nasi dan mengambil beberapa potong ayam di atasnya. Tak lupa ia menyendok sambel tomat yang sengaja ku bikin pedes. "Emang mas kalau sarapan di luar minum manis juga? sama siapa biasanya?" Uhuk. Ia langsung tersedak pada suapan pertama. "Eh, em.. ya di kantor sebelum ke proyek. Biasanya dibikinin kopi sama Wawan. Sarapan sama dia. Iya bener sarapan sama Wawan." Seperti dugaanku, ia pasti sering sarapan bersama wanita itu. Sudah lama sekali ia tak sarapan di rumah. Ada saja alasannya, takut telat lah, takut begah perutnya kalau sarapan pagi, dan berbagai alasan lain. Aku memang jarang masak enak, pasalnya uang dari dia benar-benar harus aku irit biar bisa menabung. Seadanya saja, hanya sayur dan lauk untuk anak-anak. "Yasudah bunda bikin teh dulu." Segelas teh hangat segera siap. Aku sengaja meletakkan tehnya dekat dengan hpnya. Dengan cepat ia menyambar hpnya. Ia masukkan ke dalam saku. Sisa makanan di piring tinggal sedikit lagi. "Mas pinjem hpnya dong." Pintaku. Ia melirikku heran. "Buat apa?" "Buat cari jawaban PRnya Zeno. Kuota hpku habis." Ia tampak berpikir, mempertimbangkan sesuatu. "Pertanyaan apa emang?" "Aduh! bunda lupa. Bunda ya nggak ingat semuanya lah soalnya kan ada 5 yang belum ketemu. Pinjem sebentar mas." Sengaja ku pasang wajah memelas. "Hmm! Yasudah nanti aku aja yang nyariin." Ia mencari alasan lain. "Bunda aja mas, biar mas makan dulu, sama siap-siap. Nanti kalau mas udah siap kan PRnya sudah selesai." Kilahku. "Hmm jangan deh, nanti nggak papa telat dikit." Ia tetap bersikukuh. "Duh, emang kenapa sih mas bunda nggak boleh pinjem hpnya. Ada apa isinya?" "Eh, mm, anu, nggak ada apa-apanya lah. Nanti takut kalau Pak Darmo nelpon." "Ya nggak papa kan nanti bunda langsung ngasih tahu kalau ada telpon. Atau jangan-jangan mas selingkuh yah?" Langsung ku tembak dengan pertanyaan inti, aku ingin tahu bagaimana reaksinya. "Aduuuh! Ngomong apa sih. Jangan macem-macem yah, suami kerja bener-bener tuh didoain jangan dicurigai mulu." Ia meninggalkan ayam sisa di piring pergi begitu saja.Solem 3 POV Bayu. "Aku berangkat dulu bun." Ku ambil tas kerjaku dengan kasar. Sebenarnya Pagi ini aku sudah seneng banget istriku masak ayam mentega kesukaanku. Segera aku santap dengan nasi mengepul yang nikmat. Tapi entah kenapa istriku agak bawel dari kemarin. Ia nanya-nanyain isi hp dan menuduhku selingkuh. Kurang ajar betul. Hpku tidak boleh dibuka sama istriku. Nanti dia bisa tahu semuanya. Nama Murti memang kuganti dengan nama lelaki. Tapi kalau dia sampai membuka isi chat nya, habislah sudah ketahuan semua. Sesampainya di tempat kerja aku berleha-leha dulu di kantor. Kali ini aku hanya menangani proyek kecil-kecilan. Entah kenapa Pak Darmo memberikan proyek besar ke Pak Gino terus. Sebenernya aku kepingin protes tapi Pak Darmo bukan orang yang bisa diprotes. Biasanya dia akan merepet memberi nasihat yang sangat banyak, atau aku takut kalau nanti aku malah dipecat. "Pagi sayang." Sesosok wanita masuk ke ruanganku. "Ini sarap
POV Rumaysa "Yu Rum, bukannya itu pak Darmo yah bosnya suamimu? Yuk samperin aja, tanyain tentang suamimu. Pasti dia tahu deh." Hari ini aku ke pasar Kemis tak jauh dari rumahku bersama Ranti dan anak bungsuku. Zaki sedang bersekolah. Dari jauh aku melihat pak Darmo dengan seseorang di pasar. Ajakan Ranti itu ide yang bagus tapi aku nggak mau kalau nanti pak Darmo cerita ke Mas Bayu dan Mas Bayu jadi curiga. Aku ingin membiarkan ini berjalan dulu, aku ingin tahu apa yang dia lakukan. Aku memang selama ini diam. Tapi kalau aku dibohongi, aku ingin tahu sampai ke akarnya. Aku ingin menunjukkan kalau aku diam karena aku baik, bukan karena aku bodoh. "Jangan, Ran! Aku nggak mau bikin ribut. Biar nanti ku selesaikan sendiri masalahku. Aku nggak mau jadi heboh karena bawa-bawa orang lain." Kami berbalik arah sambil ku gandeng tangan Zeno karena ada beberapa sayuran yang ingin aku beli. "Rumaysa!" Aku menoleh, ternyata Pak Darmo
"Kenapa bisa ada celana dalam warna merah di jaket suamiku? Aku terheran-heran. Pantas saja suamiku pulang larut malam. Ternyata dia sudah menghabiskan waktu dengan wanita itu. Nafasku seketika memburu mengetahui fakta itu. Ku tarik nafas perlahan beberapa kali sampai hatiku terasa lebih tenang. Celana dalam itu seketika ku lempar jauh.Jijik! Aku benar-benar merasa seperti badut. Menunggu seorang lelaki dengan riasan yang tebal, tapi malah ia sedang bergumul dengan wanita lain. Hoek. Rasa mual tiba-tiba datang mengingat hal itu. Kepalaku harus tenang kalau aku mau menang dalam pertempuran dengan wanita ini. Menang bukan berarti mendapatkan suamiku seutuhnya atau kehilangan dia, tapi menang adalah mendapat ketenangan hidup, apapun keputusanku nanti. ***POV Bayu Aku bangun kesiangan, jam 7 baru bangun, padahal biasanya jam 5 istriku sudah cerewet membangunkanku untuk sholat subuh. Kemana dia? Aku duduk di tepi ranja
"Hah, nggak boleh sama istrimu? ya pasti lah, wong istrimu kan pelit" kata Murti. Hmmm, aku menarik nafas panjang. "Kalau nggak nekad ya miskin aja terus, dan kapan kamu mau nikahin aku mas?" tambahnya seraya merajuk. Aduh keder sekali aku kalau ditanyain topik ini, apalagi ini pagi-pagi, bisa rusak mood seharian."Nggak tahu sayang " aku menunduk. Sebisa mungkin aku menghindari pertengkaran dengan Murti. Kalau topik ini diangkat, pasti ujung-ujungnya berantem. "Yaelah, kamu emang nggak beneran cinta kan sama aku?" lagi-lagi ke sini, bingung. Sebenernya aku sayang sama Murti, walaupun sebenarnya Murti tak secantik Rumaysa, tapi Murti wanita yang mandiri, penghasilannya besar, lebih besar dari aku. Sedangkan istriku hanya menggantungkan diri dari nafkah pemberianku. Pertimbanganku selama ini adalah Rumaysa istri yang shalihah, keluarga dari keluarga pesantren. Dia bisa mengurus rumah, keuangan, dan anak-anak. Aku tidak bisa melepasnya begit
"Mas Bayu tumben ke sini siang-singa begini? nggak ke proyek?" tanya Murti. Keesokan harinya, aku tetap berpura-pura pergi pamit kantor seperti biasa ke Rum. Aku tak mau Rum tahu kalau aku sudah tak bekerja lagi. Kantornya Murti lah tujuanku hari ini karena di sana bos Murti jarang ke berkunjung. Ku lihat Murti sedang memegang map besar. Akhir-akhir ini kantornya ramai sekali, banyak emak-emak yang berencana kerja di luar negeri. "Iya, Mur. Aku sudah nggak kerja sama Pak Darmo. Aku ingin mendirikan proyek sendiri," aku berkata dengan lemas. Semua keinginan dan rencana ini masih mentah, belum matang sama sekali jadi aku merasa sangat ragu-ragu sebenarnya. "Yang bener mas?" matanya berbinar. "Bagus lah mas. Mas kan sudah banyak kenalannya, pasti banyak proyek yang bisa mas tangani nanti," kata Murti dengan yakin. "Iya, Mur doakan saja." "Jadi Mas Bayu sudah hutang ke bank?" Entah kenapa dia sangat antusias. "Belum, Mur. Aku nggak
POV Rumaysa Akhir-akhir ini Mas Bayu agak aneh. Beberapa hari yang lalu aku melihat Mas Bayu sedang mencari sesuatu di kamar. Setelah itu ku lihat wajahnya berubah lesu, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat."Mas Bayu kenapa? Kok akhir-akhir ini kayak pusing banget," tanyaku padanya sore itu saat ia baru pulang kerja. Agak aneh rasanya ia di rumah sore-sore soalnya biasanya jam 10 baru ada di rumah. Aku sudah nggak pernah lagi sibuk bertanya dia dari mana. Males, ah! Akan ku bunuh rasa ini perlahan, agar nanti saatnya kita harus berpisah, aku tinggal bilang, "Silahkan kalau mau pergi." "Nggak apa-apa, Dek. Ada kerjaan yang bikin pusing," jawabnya sambil memijit kening beberapa kali. "Ada masalah sama Pak Darmo?" lama-lama aku penasaran juga. Tumben amat dia ada masalah di proyek. Sejak menikah dengan Mas Bayu belum pernah dia pulang-pulang sampai kusut begitu wajahnya. Masalah sih ada, tapi biasanya dia selesaikan sendiri, nggak sampai
Solem 9 POV Murti Hari ini aku menemani Mas Bayu mengajukan pinjaman ke bank. Seneng sekali rasanya karena hubungan kami bisa selangkah lebih maju. Setelah pengecekan dokumen selesai, kami masih harus menunggu selama satu atau dua minggu sampai uang benar-benar cair, dan itu lumayan lama. Mas Bayu harus ku carikan proyek segera biar dia bisa melanjutkan usahanya, kalau tidak lelaki itu pasti akan pusing memikirkan masalah ini. Aku tak mau istrinya tahu tentang surat rumah itu, nanti dulu sampai usaha Mas Bayu bisa jalan dulu."Tenang saja, Mas. Aku akan carikan proyek yang besar buat kamu biar cuannya banyak, bisa buat liburan nanti," hiburku padanya. Ia masih terlihat lesu dengan keputusannya, meski uang ratusan juta sebentar lagi ada di tangan. Mas Bayu hanya tersenyum dan mengangguk. Kesel juga dapat respons kayak gitu, kayaknya Mas Bayu meremehkan ku. Akan ku buktikan aku bisa berguna buat Mas Bayu, biar dia tambah sayang sama aku. ***"Hallo, Pa
POV Murti [Besok mau ngambil uang di bank kan, Mas? Ketemu besok di kantor Murti ya] Pesan singkat ku kirim ke Mas Bayu biar dia nggak nelpon aku terus pasalnya bahkan sejak tadi ponselku tak berhenti berdering. "Siapa sih, Mur?" Nelpon kok kayak orang lagi neror, untung nggak ku angkat tuh," tanya Mas Janto. Iya untung banget nggak diangkat, kalau di angkat bisa berabe kalau Mas Janto tahu. "Orang, Mas. Kepingin ke luar negri dia. Nggak sabaran. Mbak Kinan kapan pulangnya Mas? Si Aldi nangis terus tuh." "Besok kayaknya. Ngantuk sebenernya dia. Yasudah Mas mau suapin Aldi dulu." Mas Janto mengambil nasi dan telur goreng untuk Aldi aku memilih bergelung di kamar, udara sangat dingin. Selama ini keluargaku tak ada yang tahu hubunganku dengan Mas Bayu, tapi entah kalau ada mulut comberan yang ngadu-ngadu ke mereka. Tapi mereka belum pernah membicarakan apapun padaku pasalnya aku juga ikut andil dalam keuangan keluarga mereka sehing