Denita menggelinjing geli ketika merasakan hembusan nafas hangat Dominic membelai bahunya yang terbuka. Ini bukan yang pertama kali mereka berada dalam jarak yang begitu intim. Akan tetapi, bagi Denita rasanya tetap seperti yang pertama kali. Dia tetap malu setiap kali sedang beradu kulit dengan lawan jenis! "Ini artinya, aku sudah mendapat lampu hijau?" tanya Dominic lirih tanpa melepaskan bibirnya dari bahu Denita. "Hm," jawab Denita dalam gumaman singkat. "Kamu yakin tidak akan menyesali malam ini?" tanya Dominic lagi. "Tidak akan!" jawab Denita dengan mantap. "Kalau begitu, lihat aku!" ujar Dominic sembari menarik pelan bahu Denita hingga berputar ke arahnya. Denita tidak bisa mencegah agar wajahnya tidak memanas. Untungnya kondisi kamar mereka hanya dilengkapi dengan cahaya temaram dari lilin. Jadi wajah merah karena malunya tidak bisa dilihat oleh Dominic. "Kamu sangat cantik!" puji Dominic. Jemari panjang pria itu bergerak pelan menyingkirkan helaian rambut Denita yang
"Natasya?!"Melihat sosok tidak asing ini membuat Denita menggertakkan gigi dengan penuh kebencian. Kenapa mereka harus bertemu dengan Natasya lagi, Natasya lagi. "Kalian berdua sedang bulan madu, ya?"Natasya menunjuk bolak-balik pada Dominic dan Denita. Nada suaranya terdengar dibuat-buat sok asyik. 'Kalau sudah tahu, kamu harusnya pura-pura tidak melihat saja agar tidak mengganggu!' dumel Denita di dalam hati. Dia tidak memiliki firasat baik di dalam hatinya mengenai wanita ini. "Sedang apa kamu disini?" tanya Dominic. Nada suara yang dikeluarkan Dominic terdengar tenang tanpa gejolak emosi yang mencurigakan. Tapi tetap saja itu membuat Denita cemburu. "Aku lagi ada pemotretan," jawab Natasya sambil menunjuk kerumunan yang ada di belakangnya. 'Jadi ternyata dia ini artis?' Denita bertanya-tanya di dalam hati. Dia tidak pernah mendengar nama Natasya ini bergema sebagai seorang artis tanah air. "Jadi kamu kembali karena ada pekerjaan?" tanya Dominic. Natasya mengendikkan bah
"Aku tidak suka dengan sikap kamu yang tidak masuk akal ini!" Kalimat terakhir Dominic itu membuat Denita terngiang-ngiang. Dia kembali disadarkan bahwa di mata playboy macam Dominic ini, sikap cemburunya memang tidak masuk akal.Bahkan jika Dominic memberikan kesempatan padanya untuk mendapat perhatian dari pria ini. Akan tetapi, tidak ada kewajiban bagi pria ini untuk membalas perasaannya. Hanya dia yang terlena karena perhatian Dominic, sampai dia lupa bahwa hubungan ini berjalan di atas selembar kertas tipis. Jika salah satu melanggar kesepakatan yang ada, hubungan mereka akan langsung kandas. "Sorry, sikapku memang terlalu berlebihan. Aku terlalu khawatir setelah melihat kedekatan wanita itu dengan Salsa," ujar Denita berkelit. Untuk menutupi suasana rumit hati yang sebenarnya, Denita kembali menyesap air dingin yang tadi diambilnya. Dibalik setiap tegukan air dingin yang mengalir ke dalam tenggorokannya, Denita berusaha sekuat tenaga menenangkan gejolak kacau di dalam dada.
Hari demi hari berlalu seperti biasa. Denita telah kembali pada kehidupan pekerjaan yang membosankan. Meski hubungannya dengan Dominic tidak kunjung menghangat seperti sebelumnya, Denita telah dengan mantap mengabaikannya. Dia tidak mau terus-terusan memgiba untuk cinta. Setelah jam pulang kerja, hari ini Denita akan bertemu dengan Franda. Sebelum dia benar-benar masuk ke medan perang, dia harus mencari tahu terlebih dulu segala hal tentang musuh beserta orang-orang di sekitar mereka. Denita bertemu dengan Franda di restauran yang dulu tempat mereka bertemu sebelumnya. Kali ini Denita datang lebih awal, dan langsung memesan makanan untuk dirinya sendiri. "Kamu sudah lama menunggu?" tanya Franda begitu dia tiba. "Tidak. Aku baru selesai memesan. Kamu mau makan apa?" tanya Denita berbasa-basi. "Jus jeruk aja!" jawab Franda."Makan?""Tidak usah!"Denita tidak berdebat lama perkara ini dengan Franda. Dia langsung saja menghentikan seorang pelayan untuk menambahkan pesanan. "Apa yan
"Aduuuh!"Denita memijit pelipisnya yang berdenyut menyakitkan. Kepalanya dalam kondisi sedikit linglung. Untuk sementara waktu, dia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi padanya. Akibat dari rasa menyakitkan yang menyerang, Denita sedikit enggan untuk membuka matanya. Namun, alam bawah sadarnya berdering menyalakan sinyal bahaya. Memaksa Denita untuk segera membuka matanya. Dengan hanya mengandalkan cahaya temaram dari lampu di samping nakas, Denita berusaha untuk membiasakan matanya dalam kegelapan. "Ini dimana?" Denita menggumamkan tanya pada diri sendiri tatkala melihat sekeliling kamar yang tampak asing. Jelas ini bukan kamarnya yang ada di Penthouse Dominic maupun yang ada di kediaman Hadiwijaya. Seonggok tubuh tak dikenal yang terbaring di sampingnya membuat alis Denita terjalin semakin erat. Dia memaksa kepalanya yang masih berdenyut untuk mengingat apa yang terjadi. "Sialan!" maki Denita dengan geram ketika dia akhirnya ingat bahwa dia baru saja diculik oleh orang
Setelah mereka semua mencapai kesepakatan, mereka langsung bergegas menuju ruang kontrol tempat yang ternyata adalah hotel berbintang ini. Di sepanjang jalan, Denita terus menggertakkan gigi dengan marah. Apa yang dilakukan Salsa ini sudah berada di luar batas toleransinya. "Siapa yang akan bicara?" tanya Denita pada ketiga orang itu. Nadanya terdengar terburu-buru karena dia ingin masalah ini cepat diselesaikan. Dominic hanya menggerakkan ujung dagu menunjuk ke arahnya. Pun dengan kedua pasang mata lainnya. "Permisi, Pak. Saya mau minta tolong agar diizinkan melihat CCTV di lantai 6 hari ini," pinta Denita dengan nada suara penuh kerendahan hati. "Maaf, tidak bisa!" Orang yang menjaga ruang kontrol ini menolak permintaan yang baru saja diajukan Denita tanpa basa-basi. "Ini penting, Pak. Kerabat saya baru saja diculik orang tidak dikenal. Dan saya melihat orang itu membawanya ke lantai 6. Saya hanya ingin memastikan," punya Denita dengan memelas. "Tidak bisa. Kami harus melind
Keesokan harinya Denita masih menjalani hari seperti biasa. Bahkan setelah semua masalah yang terjadi semalam, dia masih bisa bersikap profesional sebagai sekretaris Dominic. "Tidak ada meeting penting untuk hari ini," ujar Denita melaporkan jadwal Dominic untuk hari ini. "Hm," gumam Dominic acuh tak acuh tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen yang ada di atas meja. "Lalu, aku mau meminta izin untuk kembali terlambat setelah makan siang!" pinta Denita. Perlahan kepala Dominic terangkat. Alisnya saling terjalin dan keningnya berkerut tidak suka. "Kamu terlalu sering meminta izin akhir-akhir ini," keluh Dominic. Denita mendengus di dalam hati. "Kalau begitu, aku akan menyiapkan surat resign!" tukasnya seraya langsung berbalik hendak pergi. Kening Dominic berkerut semakin dalam ketika mendengar ucapan santai dari Denita. Dia tiba-tiba merasa tidak suka melihat sosok dingin sang istri yang seperti ini. "Tunggu!" cegah Dominic. Panggilannya itu langsung menghentikan langkah De
Setelah menerima telepon dari Salsa, Arkan bergegas menuju rumah sakit. Dia memacu kendaraannya dengan gila-gilaan. Di sepanjang jalan, hatinya berdegup khawatir memikirkan apa yang terjadi pada ibunya. Kali ini dia salah langkah, seharusnya dia menjadikan ibunya sebagai pilihan utama dibandingkan Salsa. Apalagi setelah melihat video perselingkuhan ayahnya dengan seorang pembantu yang mereka jaga selama puluhan tahun lamanya. Harusnya dia bisa membaca taktik yang dibuat Denita. "Sa, bagaimana keadaan Mama?" tanya Arkan begitu dia tiba di dalam kamar VVIP yang ditempati oleh wanita yang telah melahirkannya itu. Salsa menggeleng pelan. "Aku gak tahu, Kak. Mama tiba-tiba saja pingsan," jawab Salsa. "Kakak jangan terlalu khawatir, Mama baru aja bangun. Tapi Mama gak mau ngomong sama aku," bisik Salsa dengan nada merajuk samar. Arkan yang bisa menebak alasannya hanya mengangguk acak. Tanpa banyak kata, dia kemudian bergegas menghampiri sisi ranjang dimana ibunya berbaring. "Ma, kenap