"Aduuuh!"Denita memijit pelipisnya yang berdenyut menyakitkan. Kepalanya dalam kondisi sedikit linglung. Untuk sementara waktu, dia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi padanya. Akibat dari rasa menyakitkan yang menyerang, Denita sedikit enggan untuk membuka matanya. Namun, alam bawah sadarnya berdering menyalakan sinyal bahaya. Memaksa Denita untuk segera membuka matanya. Dengan hanya mengandalkan cahaya temaram dari lampu di samping nakas, Denita berusaha untuk membiasakan matanya dalam kegelapan. "Ini dimana?" Denita menggumamkan tanya pada diri sendiri tatkala melihat sekeliling kamar yang tampak asing. Jelas ini bukan kamarnya yang ada di Penthouse Dominic maupun yang ada di kediaman Hadiwijaya. Seonggok tubuh tak dikenal yang terbaring di sampingnya membuat alis Denita terjalin semakin erat. Dia memaksa kepalanya yang masih berdenyut untuk mengingat apa yang terjadi. "Sialan!" maki Denita dengan geram ketika dia akhirnya ingat bahwa dia baru saja diculik oleh orang
Setelah mereka semua mencapai kesepakatan, mereka langsung bergegas menuju ruang kontrol tempat yang ternyata adalah hotel berbintang ini. Di sepanjang jalan, Denita terus menggertakkan gigi dengan marah. Apa yang dilakukan Salsa ini sudah berada di luar batas toleransinya. "Siapa yang akan bicara?" tanya Denita pada ketiga orang itu. Nadanya terdengar terburu-buru karena dia ingin masalah ini cepat diselesaikan. Dominic hanya menggerakkan ujung dagu menunjuk ke arahnya. Pun dengan kedua pasang mata lainnya. "Permisi, Pak. Saya mau minta tolong agar diizinkan melihat CCTV di lantai 6 hari ini," pinta Denita dengan nada suara penuh kerendahan hati. "Maaf, tidak bisa!" Orang yang menjaga ruang kontrol ini menolak permintaan yang baru saja diajukan Denita tanpa basa-basi. "Ini penting, Pak. Kerabat saya baru saja diculik orang tidak dikenal. Dan saya melihat orang itu membawanya ke lantai 6. Saya hanya ingin memastikan," punya Denita dengan memelas. "Tidak bisa. Kami harus melind
Keesokan harinya Denita masih menjalani hari seperti biasa. Bahkan setelah semua masalah yang terjadi semalam, dia masih bisa bersikap profesional sebagai sekretaris Dominic. "Tidak ada meeting penting untuk hari ini," ujar Denita melaporkan jadwal Dominic untuk hari ini. "Hm," gumam Dominic acuh tak acuh tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen yang ada di atas meja. "Lalu, aku mau meminta izin untuk kembali terlambat setelah makan siang!" pinta Denita. Perlahan kepala Dominic terangkat. Alisnya saling terjalin dan keningnya berkerut tidak suka. "Kamu terlalu sering meminta izin akhir-akhir ini," keluh Dominic. Denita mendengus di dalam hati. "Kalau begitu, aku akan menyiapkan surat resign!" tukasnya seraya langsung berbalik hendak pergi. Kening Dominic berkerut semakin dalam ketika mendengar ucapan santai dari Denita. Dia tiba-tiba merasa tidak suka melihat sosok dingin sang istri yang seperti ini. "Tunggu!" cegah Dominic. Panggilannya itu langsung menghentikan langkah De
Setelah menerima telepon dari Salsa, Arkan bergegas menuju rumah sakit. Dia memacu kendaraannya dengan gila-gilaan. Di sepanjang jalan, hatinya berdegup khawatir memikirkan apa yang terjadi pada ibunya. Kali ini dia salah langkah, seharusnya dia menjadikan ibunya sebagai pilihan utama dibandingkan Salsa. Apalagi setelah melihat video perselingkuhan ayahnya dengan seorang pembantu yang mereka jaga selama puluhan tahun lamanya. Harusnya dia bisa membaca taktik yang dibuat Denita. "Sa, bagaimana keadaan Mama?" tanya Arkan begitu dia tiba di dalam kamar VVIP yang ditempati oleh wanita yang telah melahirkannya itu. Salsa menggeleng pelan. "Aku gak tahu, Kak. Mama tiba-tiba saja pingsan," jawab Salsa. "Kakak jangan terlalu khawatir, Mama baru aja bangun. Tapi Mama gak mau ngomong sama aku," bisik Salsa dengan nada merajuk samar. Arkan yang bisa menebak alasannya hanya mengangguk acak. Tanpa banyak kata, dia kemudian bergegas menghampiri sisi ranjang dimana ibunya berbaring. "Ma, kenap
"Arkan, kamu masih mau terus berdiri di pihak wanita itu?" tanya ibu Herlina. Nadanya santai. Tetapi penuh dengan ancaman. " ... ""Kalau kamu lebih memilih dia, kamu tidak perlu lagi berbakti sama Mama. Kamu bisa mengikuti jejak Ayah kamu itu!" lanjut ibu Herlina dengan dingin saat melihat sang putra sulung terdiam bimbang. Setelah terungkapnya fakta yang begitu mengejutkan ini, ibu Herlina sebenarnya malu untuk berhadapan dengan Denita. Jika mengingat perjalanan hidup sang putri kandung yang penuh penderitaan, terlebih karena ada andilnya dalam penderitaan itu membuat ibu Herlina ingin menampar dirinya sendiri. Bayi yang dia rawat dengan sepenuh hati selama dalam kandungan berakhir dengan menyedihkan. Bahkan kata maaf pun sepertinya tidak cukup. Dia harus memberikan pelajaran untuk semua orang yang telah menjadikannya lelucon selama puluhan tahun. Termasuk suaminya sendiri yang telah begitu dia cintai dan hormati. "Nit, Mama mau pulang," pinta ibu Herlina pada sang putri yang pul
"Mama kok sudah pulang?" tanya Salsa begitu melihat rombongan ibu Herlina tiba di rumah. "Kenapa?" tanya ibu Herlina dengan ketus. Sama seperti reaksi yang ditunjukkan pak Hendra di rumah sakit, Salsa juga tidak kalah terkejutnya. Ini pertama kalinya dia mendapat respon ketus seperti ini. "Mama udah baik-baik aja? Salsa baru aja mau ke rumah sakit," ujar Salsa menjelaskan alasan kenapa dia terkejut melihat ibu Herlina sudah pulang padahal belum sehari berlalu. " ... ""Nit, Mama capek berdiri, ayo masuk!" ajak ibu Herlina mengabaikan Salsa yang baru saja berbicara dengannya. "Yuk, Ma!" balas Denita.Dia lalu memapah ibu Herlina untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah-langkah telaten. Tidak lupa dia juga melemparkan tatapan mencibir samar pada Salsa yang masih berdiri terpana di tempatnya. "Tolong minggir. Jangan berdiri di depan pintu!" tegur Denita yang segera menyadarkan Salsa dari lamunannya. Walau enggan, Salsa tetap menggeser tubuhnya ke samping untuk memberi jalan bagi
Keheningan yang tidak menyenangkan kembali menyelimuti ruang keluarga itu. Hanya suara nafas beserta detak jarum jam yang terdengar bersahutan membentuk harmoni. " ... "Semua orang yang ada di dalam ruangan itu tampak enggan untuk mulai berbicara. Bahkan Bik Ayu yang rambutnya masih dijambak tidak berani mengeluarkan rintih kesakitan. Ibu Herlina yang baru saja membuat tebakan secara acak membulatkan matanya tidak menyangka atas pengakuan langsung sang suami. Walau dia tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan orang lain, tapi ibu Herlina tidak bisa lagi menahan air mata yang perlahan menitik membanjiri pipi. Hatinya mengencangkan semakin menyakitkan. "Sungguh sangat disesalkan bahwa eksistensiku ada di dunia ini karena seorang pria brengsek seperti ini," celetuk Denita dengan sinis. "Hanya karena tidak bisa sebaik wanita, dia berani bertindak begitu kejam!" sindir Denita. "Pengecut!" lanjutnya. Mendengar kalimat cibiran yang dilontarkan Denita membuat pak Hendra langsung men
"Mas Hendra!""Mama! Kak Arkan!"Dua orang ibu dan anak itu masih berteriak memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah. Namun, bagaimana orang yang dipanggil bisa mendengar jika jarak pintu gerbang dan pintu utama terbilang cukup jauh? Pun jika pihak yang dipanggil mendengar, mereka juga tidak akan menghampiri mereka. "Mama! Kak Arkan! Kalian tidak bisa memperlakukan aku seperti ini. Aku sama sekali tidak bersalah!" teriak Salsa hingga suaranya serak. " ... "Akan tetapi, berapa kalipun Salsa memanggil, orang-orang yang ada di dalam rumah itu tidak akan pernah peduli. "Arrgghhhh!" teriak Salsa dengan keras. Dia mengacak-acak rambutnya hingga kusut sembari menendang pintu gerbang yang ada di depannya dengan keras. "Sa, apa yang akan kita lakukan?" tanya Bik Ayu dengan gamang. Dia tidak pernah menduga bahwa hari ketika perselingkuhannya terbongkar akan menjadi hari ini. "Kenapa kamu bertanya padaku? Ini semua gara-gara kamu!" seru Salsa dengan berang. Dia sudah sangat membenci