Jika tidak mengingat kalau mereka harus berangkat ke Bali pada pukul 10 pagi, Denita terlalu malas untuk beranjak dari ranjang empuk hotel hari ini. Dia rasanya ingin menebus bulan-bulan sibuk belakangan ini dengan cara tidur nyenyak. "Ayo bangun, nanti kita terlambat!" ujar Dominic menggoyangkan bahu Denita dengan pelan. "En," Denita menggeliat sebentar sebelum kembali memperbaiki posisi tidurnya. "Kamu bisa melanjutkan tidur saat kita sampai di sana," ujar Dominic. "Ngomong-ngomong, orang tuaku juga sudah sampai di bandara. Kita akan berpisah dengan mereka di sana," lanjut Dominic memberitahu. Denita yang seperti kucing malas mau tidak mau membuka matanya. "Apakah Tante Evelyn akan segera pergi?" tanya Denita dengan suara parau khas baru bangunnya. "Hm," jawab Dominic dalam gumaman pelan. Mau tak mau Denita harus segera beranjak dari tempat tidurnya. Hal pertama yang dia lakukan setelah itu adalah meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur untuk melirik j
Panasnya pulau Bali segera menyambut mereka begitu mereka turun dari pesawat. Awalnya Denita ingin berbulan madu di daerah-daerah Eropa sana. Sayang sekali, dia tidak bisa menjelajahi Negara yang jauh itu karena alasan pekerjaan. Sebagai seorang CEO baru di perusahaan, Dominic belum bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Posisinya masih rapuh dan rawan pemberontakan dari sisi para pemegang saham. Alhasil, mereka hanya bisa berbulan madu di pulau Dewata, Bali ini. "Kemana dulu kita?" tanya Dominic begitu mobil jemputan mereka sudah tiba. "Villa!" jawab Denita santai. "Begitu tidak sabar?" tanya Dominic menggoda. Kalimat ini tampak terdengar biasa saja. Tetapi jika Dominic yang mengatakannya, kalimat ini bisa jadi menghasilkan makna yang beragam. "Aku hanya ingin tidur lagi. Kamu jangan terlalu banyak berpikir!" dengus Denita sembari menjawil hidung Dominic dengan jail. "Tidak makan siang dulu?""Kamu lapar?" Denita balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Domini
Denita tidak terjerat terlalu lama dalam memori buruk bertahun-tahun belakangan. Begitu tidak mendengar tanggapan dari Dominic, dia langsung menepis pikiran buruk yang ada. Dia segera menunduk, meraup segenggam air, lalu memercikkannya ke wajah Dominic yang ikut melamun. "Jangan melamun aja!" tegur Denita dengan ceria. Dominic yang wajahnya terkena air asin segera tersadar. Dia langsung membalas tindakan Denita dengan lebih heboh. Layaknya pasangan suami istri, mereka terus saling goda. Tidak mereka hiraukan pakaian yang basah oleh air laut. Hanya tawa menggema mereka yang sesekali membuat orang lewat mengkerut iri. "Udah! Udah! Lengket nih!" seru Denita sambil berlari menjauhi tepi pantai. Namun, Dominic terus mengikutinya dengan memercikkan sisa air yang ada di tangannya. Seiring waktu, penampakan langit perlahan berubah menjadi jingga. Masih dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan, Denita dan Dominic mengambil tempat duduk di atas pasir putih di pinggir pantai. "Ini pertama kal
Denita menggelinjing geli ketika merasakan hembusan nafas hangat Dominic membelai bahunya yang terbuka. Ini bukan yang pertama kali mereka berada dalam jarak yang begitu intim. Akan tetapi, bagi Denita rasanya tetap seperti yang pertama kali. Dia tetap malu setiap kali sedang beradu kulit dengan lawan jenis! "Ini artinya, aku sudah mendapat lampu hijau?" tanya Dominic lirih tanpa melepaskan bibirnya dari bahu Denita. "Hm," jawab Denita dalam gumaman singkat. "Kamu yakin tidak akan menyesali malam ini?" tanya Dominic lagi. "Tidak akan!" jawab Denita dengan mantap. "Kalau begitu, lihat aku!" ujar Dominic sembari menarik pelan bahu Denita hingga berputar ke arahnya. Denita tidak bisa mencegah agar wajahnya tidak memanas. Untungnya kondisi kamar mereka hanya dilengkapi dengan cahaya temaram dari lilin. Jadi wajah merah karena malunya tidak bisa dilihat oleh Dominic. "Kamu sangat cantik!" puji Dominic. Jemari panjang pria itu bergerak pelan menyingkirkan helaian rambut Denita yang
"Natasya?!"Melihat sosok tidak asing ini membuat Denita menggertakkan gigi dengan penuh kebencian. Kenapa mereka harus bertemu dengan Natasya lagi, Natasya lagi. "Kalian berdua sedang bulan madu, ya?"Natasya menunjuk bolak-balik pada Dominic dan Denita. Nada suaranya terdengar dibuat-buat sok asyik. 'Kalau sudah tahu, kamu harusnya pura-pura tidak melihat saja agar tidak mengganggu!' dumel Denita di dalam hati. Dia tidak memiliki firasat baik di dalam hatinya mengenai wanita ini. "Sedang apa kamu disini?" tanya Dominic. Nada suara yang dikeluarkan Dominic terdengar tenang tanpa gejolak emosi yang mencurigakan. Tapi tetap saja itu membuat Denita cemburu. "Aku lagi ada pemotretan," jawab Natasya sambil menunjuk kerumunan yang ada di belakangnya. 'Jadi ternyata dia ini artis?' Denita bertanya-tanya di dalam hati. Dia tidak pernah mendengar nama Natasya ini bergema sebagai seorang artis tanah air. "Jadi kamu kembali karena ada pekerjaan?" tanya Dominic. Natasya mengendikkan bah
"Aku tidak suka dengan sikap kamu yang tidak masuk akal ini!" Kalimat terakhir Dominic itu membuat Denita terngiang-ngiang. Dia kembali disadarkan bahwa di mata playboy macam Dominic ini, sikap cemburunya memang tidak masuk akal.Bahkan jika Dominic memberikan kesempatan padanya untuk mendapat perhatian dari pria ini. Akan tetapi, tidak ada kewajiban bagi pria ini untuk membalas perasaannya. Hanya dia yang terlena karena perhatian Dominic, sampai dia lupa bahwa hubungan ini berjalan di atas selembar kertas tipis. Jika salah satu melanggar kesepakatan yang ada, hubungan mereka akan langsung kandas. "Sorry, sikapku memang terlalu berlebihan. Aku terlalu khawatir setelah melihat kedekatan wanita itu dengan Salsa," ujar Denita berkelit. Untuk menutupi suasana rumit hati yang sebenarnya, Denita kembali menyesap air dingin yang tadi diambilnya. Dibalik setiap tegukan air dingin yang mengalir ke dalam tenggorokannya, Denita berusaha sekuat tenaga menenangkan gejolak kacau di dalam dada.
Hari demi hari berlalu seperti biasa. Denita telah kembali pada kehidupan pekerjaan yang membosankan. Meski hubungannya dengan Dominic tidak kunjung menghangat seperti sebelumnya, Denita telah dengan mantap mengabaikannya. Dia tidak mau terus-terusan memgiba untuk cinta. Setelah jam pulang kerja, hari ini Denita akan bertemu dengan Franda. Sebelum dia benar-benar masuk ke medan perang, dia harus mencari tahu terlebih dulu segala hal tentang musuh beserta orang-orang di sekitar mereka. Denita bertemu dengan Franda di restauran yang dulu tempat mereka bertemu sebelumnya. Kali ini Denita datang lebih awal, dan langsung memesan makanan untuk dirinya sendiri. "Kamu sudah lama menunggu?" tanya Franda begitu dia tiba. "Tidak. Aku baru selesai memesan. Kamu mau makan apa?" tanya Denita berbasa-basi. "Jus jeruk aja!" jawab Franda."Makan?""Tidak usah!"Denita tidak berdebat lama perkara ini dengan Franda. Dia langsung saja menghentikan seorang pelayan untuk menambahkan pesanan. "Apa yan
"Aduuuh!"Denita memijit pelipisnya yang berdenyut menyakitkan. Kepalanya dalam kondisi sedikit linglung. Untuk sementara waktu, dia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi padanya. Akibat dari rasa menyakitkan yang menyerang, Denita sedikit enggan untuk membuka matanya. Namun, alam bawah sadarnya berdering menyalakan sinyal bahaya. Memaksa Denita untuk segera membuka matanya. Dengan hanya mengandalkan cahaya temaram dari lampu di samping nakas, Denita berusaha untuk membiasakan matanya dalam kegelapan. "Ini dimana?" Denita menggumamkan tanya pada diri sendiri tatkala melihat sekeliling kamar yang tampak asing. Jelas ini bukan kamarnya yang ada di Penthouse Dominic maupun yang ada di kediaman Hadiwijaya. Seonggok tubuh tak dikenal yang terbaring di sampingnya membuat alis Denita terjalin semakin erat. Dia memaksa kepalanya yang masih berdenyut untuk mengingat apa yang terjadi. "Sialan!" maki Denita dengan geram ketika dia akhirnya ingat bahwa dia baru saja diculik oleh orang