"Ayo kita kembali ke kediaman Hadiwijaya!" ajak Denita sambil duduk manis di kursi penumpang mobil Rolls-Royce milik Dominic. Kotak kado berisi bangkai tikus itu Denita letakkan dengan sangat hati-hati di atas pangkuannya. Hal ini tak urung membuat Dominic mengernyit jijik hingga ke akar-akar rambutnya. "Itu kotak kado berisi bangkai tikus itu?" tanya Dominic ragu-ragu sambil menunjuk kotak kado di atas pangkuan Denita. "Iya!" jawab Denita singkat. Tubuh Dominic bergetar mendengar jawaban ini. "Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?" tanyanya penasaran. Bukannya langsung menjawab, sudut bibir Denita malah membentuk seringai licik. "Kamu akan lihat nanti!" tukasnya dengan misterius. "Jaga baik-baik kotak itu, jangan sampai jatuh!" ujar Dominic memperingatkan. Dia pasti tidak akan bisa mentolerir kalau sampai benda menjijikkan itu jatuh di dalam mobil kesayangannya. "Udah jalan aja!" perintah Denita seraya mendelik tak senang karena kata-kata Dominic. Ini adalah barang penting y
"Salsa!""Salsa!""Salsa!"Kecuali Denita dan Dominic, semua orang yang ada di ruang makan itu menjeritkan nama Salsa secara serentak. Melihat Salsa yang pingsan di tangannya, Denita bahkan lebih acuh tak acuh. Setelah mendecakkan lidah dengan kesal, Denita melepas begitu saja cengkeraman tangannya dari rambut Salsa. Hal ini membuat tubuh Salsa seketika limbung ke kanan, dan hampir saja jatuh dari kursinya. "Salsa!""Salsa!" pekik para penghuni keluarga Hadiwijaya dengan panik. Dengan sigap Arkan langsung merengkuh tubuh Salsa dan membawanya ke dalam dekapan. "Apa yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan!" desis Arkan dengan sangat marah. Kilat kejam yang terpancar dari sepasang mata kakak kandungnya itu membuat Denita tanpa sadar meneguk ludah takut. Akan tetapi, dalam kondisi sekarang, dia menolak untuk menunjukkan emosi lain selain keberanian. "Huh! Kamu bilang aku keterlaluan?" tanya Denita sambil menunjuk dirinya sendiri. Dia kemudian mengambil kotak kado berisi tikus ma
Pasca kejadian di kediaman Hadiwijaya itu, Denita akhirnya bisa menjalani hari dengan normal tanpa adanya gangguan dari Salsa. Adapun kabar terakhir yang dia ketahui tentang musuh bebuyutannya itu adalah, bahwa Salsa memiliki trauma pada tikus. Terutama tikus mati! "Huh! Biar tau rasa!" gumam Denita bahagia setiap kali mengingat informasi yang disampaikan Angga secara tidak langsung. Ngomong-ngomong, informasi itu tidak disampaikan Angga karena pria itu mulai ada di pihaknya. Tapi informasi itu disampaikan sebagai sarana untuk menyalahkan Denita! Barangkali pria itu berpikir bahwa Denita akan merasa bersalah karena telah membuat Salsa berada dalam kondisi yang demikian itu. Sayang sekali, untuk seseorang yang bernama Salsabila Hadiwijaya, hati Denita telah lama mati. Sembari mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di pojok kamar, Denita bersenandung kecil. Malam ini dia harus tampil cantik penuh totalitas untuk bertemu dengan Tuan dan Nyonya Sagara. "Nit, kamu sudah siap?
Tidak ada yang mengenal putranya lebih baik daripada Ibu Evelyn sendiri. Melihat betapa santainya sang putra bungsu memuntahkan kata pernikahan dari bibirnya membuat pelipis Ibu Evelyn berdenyut pusing. Dia lantas mengalihkan perhatiannya pada Denita. "Nak, Denita. Apa kamu serius mau menikah dengan anak Tante?" tanya Ibu Evelyn seraya meremas lembut tangan Denita. Melihat ekspresi meragukan di wajah Ibu Evelyn, Denita sontak tersenyum. "Ide ini justru datang dari dia!" ungkap Dominic sebelum Denita sempat berbicara. " ... "Lirikan maut segera Denita arahkan pada Dominic yang terlihat acuh tak acuh. Bahkan bosnya ini menyempatkan diri untuk menggoda dia dengan cara alis dinaikkan tinggi-tinggi, dan bibir menyeringai. Benar-benar menyebalkan! "Ekhm!" Denita berdehem pelan. "Ini memang rencana Denita, Tante!" ucap Denita mengaku dengan sedikit malu. Pak Edward terlihat menghela nafas pelan. "Jadi coba jelaskan alasan pernikahan kalian?" tanyanya. Dominic, dan Denita saling pand
Dari sejak pertemuan dengan kedua orang tua Dominic, senyum di wajah Denita belum juga surut hingga kini. "Sebahagia itu?" tanya Dominic. Dia turut tersenyum kecil sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya. "Hm, sebahagia itu!" jawab Denita. Dia tidak mengalihkan pandangannya pada Dominic yang sedang bertanya. Matanya terus menatap lamat-lamat pada layar ponsel yang sedang menampilkan foto berempat yang mereka ambil tadi. "Aku boleh upload foto ini, nggak?" tanya Denita seraya menunjukkan foto bersama Pak Edward dan Ibu Evelyn kepada Dominic. "Boleh!" jawab Dominic setelah melirik sekilas. "Aku boleh pamer dengan bilang gini, nggak?" tanya Denita sekali lagi seraya menunjukkan caption yang telah dia ketik dengan cepat. Dominic sekali lagi melirik pada layar ponsel Denita. "Boleh!" timpalnya dengan anggukan kepala pelan. "Thank you! Kamu emang cowok paling ganteng yang pernah aku kenal!" seloroh Denita sambil menjawil dagu Dominic. "Kamu buta sih selama ini," gurau Dominic. Di
"Hari ini benar-benar melelahkan!" keluh Denita seraya mengambil tempat duduk di hadapan Widia yang telah tiba lebih dulu. Sore ini, mereka berdua memutuskan untuk nongkrong sebentar di salah satu cafe yang tak jauh dari perusahaan Sagara Group. Adapun tujuannya, tentu tidak lebih dari bertukar gosip setelah beberapa hari tak berkomunikasi. "Aku belum pesan makanan buat kamu," beritahu Widia sambil menyeruput lemon tea-nya dengan santai. Menanggapi pemberitahuan Widia ini, Denita segera melambaikan tangannya ke arah seorang pelayan yang tak jauh. Pemesanan lantas dilakukan dengan cepat. "Aku gak nyangka ternyata progres kamu sama Pak Bos baru itu benar-benar cepat juga ya," celetuk Widia untuk membuka topik obrolan setelah Denita selesai memesan makanannya sendiri. Denita hanya mengendikkan bahu masa bodoh sebagai tanggapan. "Bahkan udah kumpul kebo pula!" lanjut Widia dengan seringai menggoda di wajahnya. "Kayaknya aku gak pernah bilang sama kamu kalau aku tinggal bareng Domin
Dominic duduk di belakang meja kerjanya dengan sebuah telepon genggam menempel di sisi telinga kanannya. Hari ini, jatah waktu 2 minggu yang telah dia berikan pada ketiga bandit tua itu akhirnya tiba juga. "Masih tidak ada tanda-tanda kalau ketiga bandit tua itu akan mengganti uang perusahaan yang mereka ambil?" tanya Dominic pada seseorang di seberang telepon dengan santai. "Jadi begitu!" ujar Dominic seraya menganggukkan kepala acuh tak acuh.Dari awal dia telah memprediksi kalau peringatan lembut pasti tidak akan memiliki pengaruh apapun. Cara kasar selalu menjadi cara terbaik untuk menghadapi orang-orang keras kepala seperti mereka. "Lalu, lakukan rencana berikutnya!" perintah Dominic pada orang di seberang telepon. "Sudah ku duga ini akan membuang-buang waktu!" dumel Dominic sambil memijat pangkal hidungnya. Dia lalu melirik jam mahal yang melingkar pada pergelangan tangannya. Hampir menunjukkan pukul 6 sore yang menandakan sudah waktunya untuk pulang kantor. "Bos, waktunya
"Hmphhh!""Hmphhh!""Hmphhh!"Ketiga orang tua itu memberontak semakin keras ketika anak buah Dominic mulai menutup mulut mereka dengan menggunakan lakban hitam. Tapi Dominic tentu tidak menghiraukan protesan mereka. Apalagi Denita, dia tidak bersimpati sama sekali. Dia bahkan hanya melirik sekilas pada katrol yang berderit terdengar mengkhawatirkan dari atas atap gudang. "Ayo mulai sekarang!" ujar Dominic seraya mengambil tempat duduk di pojok ruangan dengan Denita yang terus mengikuti dalam diam. "Baik, Bos!" ujar ketiga pria itu sembari mulai mengenakan topeng di wajah masing-masing. "Hmph!" "Hmph!""Hmph!"Bisa dilihat dengan jelas sepasang mata keriput dari mereka bertiga membelalak lebar. Ada ketakutan serta kemarahan yang terungkap dari sorot-sorot mata tua itu. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar terlihat mulai mengutak-atik telepon genggam di tangannya. Setelah itu, dia menghadapkan layar telepon itu di depan wajah Pak Wirawan yang masih digantung secara terbalik. "A