Pasca kejadian di kediaman Hadiwijaya itu, Denita akhirnya bisa menjalani hari dengan normal tanpa adanya gangguan dari Salsa. Adapun kabar terakhir yang dia ketahui tentang musuh bebuyutannya itu adalah, bahwa Salsa memiliki trauma pada tikus. Terutama tikus mati! "Huh! Biar tau rasa!" gumam Denita bahagia setiap kali mengingat informasi yang disampaikan Angga secara tidak langsung. Ngomong-ngomong, informasi itu tidak disampaikan Angga karena pria itu mulai ada di pihaknya. Tapi informasi itu disampaikan sebagai sarana untuk menyalahkan Denita! Barangkali pria itu berpikir bahwa Denita akan merasa bersalah karena telah membuat Salsa berada dalam kondisi yang demikian itu. Sayang sekali, untuk seseorang yang bernama Salsabila Hadiwijaya, hati Denita telah lama mati. Sembari mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di pojok kamar, Denita bersenandung kecil. Malam ini dia harus tampil cantik penuh totalitas untuk bertemu dengan Tuan dan Nyonya Sagara. "Nit, kamu sudah siap?
Tidak ada yang mengenal putranya lebih baik daripada Ibu Evelyn sendiri. Melihat betapa santainya sang putra bungsu memuntahkan kata pernikahan dari bibirnya membuat pelipis Ibu Evelyn berdenyut pusing. Dia lantas mengalihkan perhatiannya pada Denita. "Nak, Denita. Apa kamu serius mau menikah dengan anak Tante?" tanya Ibu Evelyn seraya meremas lembut tangan Denita. Melihat ekspresi meragukan di wajah Ibu Evelyn, Denita sontak tersenyum. "Ide ini justru datang dari dia!" ungkap Dominic sebelum Denita sempat berbicara. " ... "Lirikan maut segera Denita arahkan pada Dominic yang terlihat acuh tak acuh. Bahkan bosnya ini menyempatkan diri untuk menggoda dia dengan cara alis dinaikkan tinggi-tinggi, dan bibir menyeringai. Benar-benar menyebalkan! "Ekhm!" Denita berdehem pelan. "Ini memang rencana Denita, Tante!" ucap Denita mengaku dengan sedikit malu. Pak Edward terlihat menghela nafas pelan. "Jadi coba jelaskan alasan pernikahan kalian?" tanyanya. Dominic, dan Denita saling pand
Dari sejak pertemuan dengan kedua orang tua Dominic, senyum di wajah Denita belum juga surut hingga kini. "Sebahagia itu?" tanya Dominic. Dia turut tersenyum kecil sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya. "Hm, sebahagia itu!" jawab Denita. Dia tidak mengalihkan pandangannya pada Dominic yang sedang bertanya. Matanya terus menatap lamat-lamat pada layar ponsel yang sedang menampilkan foto berempat yang mereka ambil tadi. "Aku boleh upload foto ini, nggak?" tanya Denita seraya menunjukkan foto bersama Pak Edward dan Ibu Evelyn kepada Dominic. "Boleh!" jawab Dominic setelah melirik sekilas. "Aku boleh pamer dengan bilang gini, nggak?" tanya Denita sekali lagi seraya menunjukkan caption yang telah dia ketik dengan cepat. Dominic sekali lagi melirik pada layar ponsel Denita. "Boleh!" timpalnya dengan anggukan kepala pelan. "Thank you! Kamu emang cowok paling ganteng yang pernah aku kenal!" seloroh Denita sambil menjawil dagu Dominic. "Kamu buta sih selama ini," gurau Dominic. Di
"Hari ini benar-benar melelahkan!" keluh Denita seraya mengambil tempat duduk di hadapan Widia yang telah tiba lebih dulu. Sore ini, mereka berdua memutuskan untuk nongkrong sebentar di salah satu cafe yang tak jauh dari perusahaan Sagara Group. Adapun tujuannya, tentu tidak lebih dari bertukar gosip setelah beberapa hari tak berkomunikasi. "Aku belum pesan makanan buat kamu," beritahu Widia sambil menyeruput lemon tea-nya dengan santai. Menanggapi pemberitahuan Widia ini, Denita segera melambaikan tangannya ke arah seorang pelayan yang tak jauh. Pemesanan lantas dilakukan dengan cepat. "Aku gak nyangka ternyata progres kamu sama Pak Bos baru itu benar-benar cepat juga ya," celetuk Widia untuk membuka topik obrolan setelah Denita selesai memesan makanannya sendiri. Denita hanya mengendikkan bahu masa bodoh sebagai tanggapan. "Bahkan udah kumpul kebo pula!" lanjut Widia dengan seringai menggoda di wajahnya. "Kayaknya aku gak pernah bilang sama kamu kalau aku tinggal bareng Domin
Dominic duduk di belakang meja kerjanya dengan sebuah telepon genggam menempel di sisi telinga kanannya. Hari ini, jatah waktu 2 minggu yang telah dia berikan pada ketiga bandit tua itu akhirnya tiba juga. "Masih tidak ada tanda-tanda kalau ketiga bandit tua itu akan mengganti uang perusahaan yang mereka ambil?" tanya Dominic pada seseorang di seberang telepon dengan santai. "Jadi begitu!" ujar Dominic seraya menganggukkan kepala acuh tak acuh.Dari awal dia telah memprediksi kalau peringatan lembut pasti tidak akan memiliki pengaruh apapun. Cara kasar selalu menjadi cara terbaik untuk menghadapi orang-orang keras kepala seperti mereka. "Lalu, lakukan rencana berikutnya!" perintah Dominic pada orang di seberang telepon. "Sudah ku duga ini akan membuang-buang waktu!" dumel Dominic sambil memijat pangkal hidungnya. Dia lalu melirik jam mahal yang melingkar pada pergelangan tangannya. Hampir menunjukkan pukul 6 sore yang menandakan sudah waktunya untuk pulang kantor. "Bos, waktunya
"Hmphhh!""Hmphhh!""Hmphhh!"Ketiga orang tua itu memberontak semakin keras ketika anak buah Dominic mulai menutup mulut mereka dengan menggunakan lakban hitam. Tapi Dominic tentu tidak menghiraukan protesan mereka. Apalagi Denita, dia tidak bersimpati sama sekali. Dia bahkan hanya melirik sekilas pada katrol yang berderit terdengar mengkhawatirkan dari atas atap gudang. "Ayo mulai sekarang!" ujar Dominic seraya mengambil tempat duduk di pojok ruangan dengan Denita yang terus mengikuti dalam diam. "Baik, Bos!" ujar ketiga pria itu sembari mulai mengenakan topeng di wajah masing-masing. "Hmph!" "Hmph!""Hmph!"Bisa dilihat dengan jelas sepasang mata keriput dari mereka bertiga membelalak lebar. Ada ketakutan serta kemarahan yang terungkap dari sorot-sorot mata tua itu. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar terlihat mulai mengutak-atik telepon genggam di tangannya. Setelah itu, dia menghadapkan layar telepon itu di depan wajah Pak Wirawan yang masih digantung secara terbalik. "A
Dominic yang gairahnya telah berhasil dipancing, menyeret lengan Denita untuk cepat-cepat masuk ke dalam Penthouse mewah miliknya. Diraupnya bibir ranum Denita dengan terburu-buru penuh akan tuntutan.Suara kecipak ciuman seketika memenuhi ruang tamu yang sunyi. Denita yang kewalahan, dan sedikit tidak siap dengan gairah menggebu Dominic, menggunakan kesempatan mengambil nafas untuk melengkungkan punggungnya sedikit ke belakang. Dia sengaja menciptakan sedikit jarak di antara mereka. "Sstt!"Denita meletakkan jari telunjuk kanannya di antar bibirnya dan bibir Dominic. "Kamu melupakan sesuatu," bisik Denita lirih. Dengan nafas memburu tak tertahan, Dominic menatap kesal pada Denita karena telah menginterupsi gairahnya yang sudah mencapai puncak ini. Dia bahkan memutar bola matanya dengan terang-terangan agar bisa dilihat oleh wanita dalam dekapannya ini. "Apa?" tanya Dominic dengan sedikit ketus. "Kita belum makan malam, aku lapar!" ujar Denita sembari terkikik pelan melihat wajah
Pagi ini senyum dikulum memghiasi wajah Dominic. Egonya yang pernah tersentil karena ditinggalkan oleh Denita setelah sesi percintaan panas mereka kapan hari itu, kini telah mengembalikan rasa bangga dirinya. Hal ini terjadi hanya karena alasan sederhana. Pagi tadi, saat dia membuka mata, Denita masih bergelung dalam pelukannya. Namun, pikiran Dominic yang sedang sibuk berkelana tiba-tiba diinterupsi oleh panggilan telepon dari anak buahnya. "Ya?" tanya Dominic dengan perasaan bahagia yang masih meliputi hatinya. "Keluarga mereka menolak untuk mentransfer sejumlah uang yang telah mereka ambil," Informasi dari orang di seberang membuat sudut mulut Dominic yang sempat tertekuk seperti bulan sabit, perlahan berubah bentuk menjadi garis datar. "Lanjutkan rencana berikutnya!" perintah Dominic dengan santai. "Baik, Bos!" sahut anak buahnya itu, kemudian langsung memutuskan sambungan telepon. Meskipun masalah ini sempat mengganggu suasana hati Dominic, tapi hal itu tidak berlangsung l
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya