"Hari ini benar-benar melelahkan!" keluh Denita ketika dia dan Dominic keluar dari gedung perusahaan. Denita seraya meregangkan anggota tubuhnya yang telah kaku. Sesekali, dia juga memijat pangkal hidungnya untuk merilekskan sudut matanya yang tegang. "Aku mau beli nomor baru!" ujar Denita ketika mengingat ponselnya yang sudah dinonaktifkan sejak kemarin. "Nanti sekalian pulang. Ngomong-ngomong mau makan malam dimana kita?" tanya Dominic. Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Perut mereka sudah lama keroncongan. "Hm~" Denita berdengung panjang. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan paling susah untuk dia jawab. "Bagaimana kalau terserah kamu?" pungkas Denita kemudian sambil meringis pelan. Dominic tanpa sadar memutar bola matanya. "Wanita dan jawaban pamungkasnya!" sindir Dominic sembari terus mengayun langkah menuju mobil yang terparkir tidak jauh. "Hehehe! Aku tidak bermaksud untuk membela diri. Tapi pertanyaan soal mau makan apa itu memang susah untuk dijawab!"
"Masih gak bisa move on?" tanya Dominic lirih begitu mereka tiba di restauran The Mammoth. Denita mengendikkan bahu tanpa daya. "Hanya belum terbiasa!" jawabnya. "Biasakan secepatnya. Aku tidak ingin hatimu terbagi untuk pria lain!" pinta Dominic dengan nada yang entah mengapa terdengar posesif. Tidak ada lagi nada bercanda seperti yang biasa Denita dengar. Sepasang mata cemerlang Denita kemudian manatap lurus ke arah Dominic yang sedang memasang wajah serius itu. "Aku juga sedang mengusahakannya!" jawab Denita. "Hm," balas Dominic. Namun, baru selesai kalimat itu terlempar dari bibir Denita, sebuah adegan yang dipentaskan di depan mata membuatnya kembali terlempar pada ingatan akan masa lalu. Dimana seorang pria sedang melamar kekasihnya dengan sebelah kaki bertekuk lutut di atas lantai. Lalu, sebuah kotak beludru berwarna merah disodorkan di hadapan wanitanya. * * *4 tahun lalu, "Denita Widiatami, maukah kamu menikah denganku?" Angga menekuk satu lututnya di atas lant
Dominic menjentikkan jarinya di depan wajah Denita untuk menyadarkan Denita dari lamunan panjangnya. "Ah?" Denita merespon dengan gelagapan. "Masih ngelamunin dia?" tanya Dominic dengan nada tidak suka yang terdengar jelas. "Sorry, mereka mengingatkanku pada kenangan usang itu!" ucap Denita. Dia seraya menunjuk dua insan yang saat ini sedang berdansa diiringi alunan musik lembut dengan menggunakan dagunya. Dominic tanpa sadar mengikuti arah pandang Denita. "Cih, jadi dulu dia pernah melamar kamu dengan cara ini?" tanya Dominic meremehkan. Denita mengendikkan bahu tidak peduli. "Tertawa saja jika mau," ujarnya acuh tak acuh. Hal yang tidak Denita sangka kemudian adalah, Dominic justru membentangkan tangannya yang lebar di depan wajah Denita. "Bagaimana kalau kita juga berdansa," ajak Dominic tiba-tiba. "Hah?""Daripada bengong nunggu makanan," sambung Dominic. Kerlingan jail yang sangat khas Dominic sekali itu lantas kembali muncul di wajah pria itu."Dasar!" seru Denita seray
"Ayo kita kembali ke kediaman Hadiwijaya!" ajak Denita sambil duduk manis di kursi penumpang mobil Rolls-Royce milik Dominic. Kotak kado berisi bangkai tikus itu Denita letakkan dengan sangat hati-hati di atas pangkuannya. Hal ini tak urung membuat Dominic mengernyit jijik hingga ke akar-akar rambutnya. "Itu kotak kado berisi bangkai tikus itu?" tanya Dominic ragu-ragu sambil menunjuk kotak kado di atas pangkuan Denita. "Iya!" jawab Denita singkat. Tubuh Dominic bergetar mendengar jawaban ini. "Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?" tanyanya penasaran. Bukannya langsung menjawab, sudut bibir Denita malah membentuk seringai licik. "Kamu akan lihat nanti!" tukasnya dengan misterius. "Jaga baik-baik kotak itu, jangan sampai jatuh!" ujar Dominic memperingatkan. Dia pasti tidak akan bisa mentolerir kalau sampai benda menjijikkan itu jatuh di dalam mobil kesayangannya. "Udah jalan aja!" perintah Denita seraya mendelik tak senang karena kata-kata Dominic. Ini adalah barang penting y
"Salsa!""Salsa!""Salsa!"Kecuali Denita dan Dominic, semua orang yang ada di ruang makan itu menjeritkan nama Salsa secara serentak. Melihat Salsa yang pingsan di tangannya, Denita bahkan lebih acuh tak acuh. Setelah mendecakkan lidah dengan kesal, Denita melepas begitu saja cengkeraman tangannya dari rambut Salsa. Hal ini membuat tubuh Salsa seketika limbung ke kanan, dan hampir saja jatuh dari kursinya. "Salsa!""Salsa!" pekik para penghuni keluarga Hadiwijaya dengan panik. Dengan sigap Arkan langsung merengkuh tubuh Salsa dan membawanya ke dalam dekapan. "Apa yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan!" desis Arkan dengan sangat marah. Kilat kejam yang terpancar dari sepasang mata kakak kandungnya itu membuat Denita tanpa sadar meneguk ludah takut. Akan tetapi, dalam kondisi sekarang, dia menolak untuk menunjukkan emosi lain selain keberanian. "Huh! Kamu bilang aku keterlaluan?" tanya Denita sambil menunjuk dirinya sendiri. Dia kemudian mengambil kotak kado berisi tikus ma
Pasca kejadian di kediaman Hadiwijaya itu, Denita akhirnya bisa menjalani hari dengan normal tanpa adanya gangguan dari Salsa. Adapun kabar terakhir yang dia ketahui tentang musuh bebuyutannya itu adalah, bahwa Salsa memiliki trauma pada tikus. Terutama tikus mati! "Huh! Biar tau rasa!" gumam Denita bahagia setiap kali mengingat informasi yang disampaikan Angga secara tidak langsung. Ngomong-ngomong, informasi itu tidak disampaikan Angga karena pria itu mulai ada di pihaknya. Tapi informasi itu disampaikan sebagai sarana untuk menyalahkan Denita! Barangkali pria itu berpikir bahwa Denita akan merasa bersalah karena telah membuat Salsa berada dalam kondisi yang demikian itu. Sayang sekali, untuk seseorang yang bernama Salsabila Hadiwijaya, hati Denita telah lama mati. Sembari mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di pojok kamar, Denita bersenandung kecil. Malam ini dia harus tampil cantik penuh totalitas untuk bertemu dengan Tuan dan Nyonya Sagara. "Nit, kamu sudah siap?
Tidak ada yang mengenal putranya lebih baik daripada Ibu Evelyn sendiri. Melihat betapa santainya sang putra bungsu memuntahkan kata pernikahan dari bibirnya membuat pelipis Ibu Evelyn berdenyut pusing. Dia lantas mengalihkan perhatiannya pada Denita. "Nak, Denita. Apa kamu serius mau menikah dengan anak Tante?" tanya Ibu Evelyn seraya meremas lembut tangan Denita. Melihat ekspresi meragukan di wajah Ibu Evelyn, Denita sontak tersenyum. "Ide ini justru datang dari dia!" ungkap Dominic sebelum Denita sempat berbicara. " ... "Lirikan maut segera Denita arahkan pada Dominic yang terlihat acuh tak acuh. Bahkan bosnya ini menyempatkan diri untuk menggoda dia dengan cara alis dinaikkan tinggi-tinggi, dan bibir menyeringai. Benar-benar menyebalkan! "Ekhm!" Denita berdehem pelan. "Ini memang rencana Denita, Tante!" ucap Denita mengaku dengan sedikit malu. Pak Edward terlihat menghela nafas pelan. "Jadi coba jelaskan alasan pernikahan kalian?" tanyanya. Dominic, dan Denita saling pand
Dari sejak pertemuan dengan kedua orang tua Dominic, senyum di wajah Denita belum juga surut hingga kini. "Sebahagia itu?" tanya Dominic. Dia turut tersenyum kecil sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya. "Hm, sebahagia itu!" jawab Denita. Dia tidak mengalihkan pandangannya pada Dominic yang sedang bertanya. Matanya terus menatap lamat-lamat pada layar ponsel yang sedang menampilkan foto berempat yang mereka ambil tadi. "Aku boleh upload foto ini, nggak?" tanya Denita seraya menunjukkan foto bersama Pak Edward dan Ibu Evelyn kepada Dominic. "Boleh!" jawab Dominic setelah melirik sekilas. "Aku boleh pamer dengan bilang gini, nggak?" tanya Denita sekali lagi seraya menunjukkan caption yang telah dia ketik dengan cepat. Dominic sekali lagi melirik pada layar ponsel Denita. "Boleh!" timpalnya dengan anggukan kepala pelan. "Thank you! Kamu emang cowok paling ganteng yang pernah aku kenal!" seloroh Denita sambil menjawil dagu Dominic. "Kamu buta sih selama ini," gurau Dominic. Di