"Kamu lagi hamil muda, kita di sini saja dulu," ucap Fariz. "Mmm," "Nggak usah sedih, kita pasti pulang, kok. Tapi nanti ya, kasihan kamu sama CIMES." "Hehe, iya-iya. Kerjaan Capa terbengkalai lama, kasihan Arju," ucap Salma. "Tidak masalah, lebih kasihan lagi kalau kamu sama Cimes kecapekan. Arju juga juga sudah banyak yang bantu." Fariz kembali melajukan mobil menuju ke hotel. Perjalanan berangkat dan pulang yang sungguh berbeda. Meskipun rasa mual dan sebagainya masih Salma rasakan, tapi kabar dari dokter itu serasa memusnahkan semua rasa sakit. Sangat bersyukur, berangkat masih dengan kepanikan, sekarang pulang dengan ketenangan, kebahagiaan. "Udah berkurang belum mualnya, pusingnya?" tanya Fariz. "Alhamdulillah, udah kok. Udah ketutup sama Cimes," jawab Salma. "Mmm, Singapura. Ternyata, kita diizinkan muncul Cimes di sini," ucap Fariz. "Di mana saja, hadirnya dia tetap istimewa," ucap Salma. Salma itu meskipun sedang mual dan pusing, dia tidak bisa menjadi pendiam. Dia b
"Beda, kalau udah ada CIMES lupa nih sama mata yang di atas!" rajuk Salma. "Ini, Capa udah di dekat mata kamu. Merajuk Cama tingkatnya juga lebih tinggi. Nggak bisa melupakan kamu, Cam, entah udah ada Cimes atau belum, kamu itu tetap wanita yang berhasil memikatku terus menerus." Fariz menatap halus mata istrinya. "Emm, yang bener?" "Ya iyalah, masa cuma cosplay, gak lucu," jawab Fariz. "Tapi aku tiba-tiba jadi bosan gini lihat Capa," ucap Salma membuat Fariz membelakakkan matanya. "Apa sih? Bagaimana bisa melihat orang seganteng ini dibilang bosan?" "Huuuk! Tuh, kan mual, suwer deh Capa bikin bosen plus bikin enek plus bikin lapar tapi tidak mood makan," Fariz menggeleng dengan ucapan istrinya. Wajar juga saat muda kalau tingkahnya ada yang membuatnya berputar pada porosnya. Namun, ini bukan aneh bagi Fariz, melainkan hal yang memang lain, sulit diungkapkan dengan kata-kata saking mirisnya. "Terus, Capa harus ngapain? Baru juga kamu rindukan, sekarang malah dicampakkan. Mau Ca
"Keluar, yuk!" ajak Salma. "Mau ngapain? Mau masukin angin?" Heran dengan istrinya, apalagi yang ia mau. "Hehe, nyatain mimpi," jawab Salma. "Memangnya mimpi apa? Bukannya kamu tadi seperti ketakutan waktu bangun?" tanya Fariz. "Makanya ayo keluar!" ajak Salma. "Kalau mimpi buruk mah, gak usah diraih kenyataannya dong, buat apa coba? Mau cari bahaya?" "Penasaran, Cap. Cuma keluar kamar sebentar aja, terus lurus ke kamar samping, siapa sih di dalam situ?" "Memangnya mimpi kamu apa, kok kekeh banget ingin ke sana?" tanya Sofyan, masih dengan keheranan yang melanda. Salma itu tidak mimpi buruk. Dia malah mimpi diusilin suaminya. Mungkin ini kebawa dia yang paginya berbuat usil kepada Fariz. Bangunnya dia seperti orang ketakutan, itu sebenarnya bukan ketakutan, tapi seolah-olah dia ingin menghindari dari perbuatan usul suaminya. "Hehe, Cama itu bukan mimpi buruk," "Duh, Capa ngantuk nih, cerita yang jelas." Fariz memejamkan matanya lagi. "Ih, gak seru! Malah ditinggal tidur lagi
"Yaa, namanya surprise gak bisa bilang di muka dong," jawab Fariz. "Uhmmm, ya udah tidur lagi," ungkap Salma. *** "Naisa!" Salma menghampiri Hunaisa di ruang tunggu hotel. "Ummah!" seru Hunaisa dengan terus tersenyum dalam hangatnya pelukan Salma. "Aaaauuuh, Ummah kangen banget, Sayang. Aman naik pesawatnya?" tanya Salma. "Huuh, Nais suka," jawab Hunaisa. Mereka datang ke Singapura saat usia kandungan Salma sudah satu setengah bulan. Itu sengaja mereka datang dibikin tersebut, supaya diambil lumayan tengahnya saja dengan pulangnya mereka ke Indonesia. Bukan hanya mertuanya dan Hunaisa yang datang, orang tua Salma juga ikut. "Ya Allah, malu gak bisa hentiin air mata, Sayang. Muaaah, cucu Oma, baik-baik ya, kita semua menunggu kamu datang." Tak henti-hentinya Reva memeluk dan mencium perut Salma. "Mari kita istirahat di ruang yang Fariz pesankan! Pasti pada capek," ajak Fariz. "Laper, makan di luar, no no di sini," ungkap Hunaisa. Hunaisa itu suka berjelajah. Dia paling senang
"Eh, Cap! Suud!" Salma tidak mau kedengaran keluarganya.Fariz tersenyum, dia paham dengan istrinya. Disuruh diam, ya dia ikuti saja. Supaya para keluarganya juga tidak bertanya yang macam-macam.***"Uhhh, hari ini kok lelah banget, Terima kasih surprise Capa waktu itu bikin mood Cama selalu muncul," ucap Salma.Fariz memberikan surprise kepada istrinya yang telah ia janjikan.Ia memberikan perhiasan dan juga lagu untuknya. Tidak hanya Freya yang mendapatkan hadiah lagu.Bukan hanya istri musisi terkenal yang mendapatkan hadiah lagu. Namun, istri CEO terkenal pun juga mendapatkan hadiah tersebut. Salma sangat suka mendengarkan lagunya."Hmm, apa lagu itu bisa sedikit merespon lelah kamu?" tanya Fariz."Iyalah, bisa. Suamiku bisa juga jadi musisi aku," ucap Salma sembari memutar lagu dari suaminya.
"Hehe, aku," jawab Fariz. "Terus? Kenapa masih ngeles?" "Ya kan, cuma satu persen dari seratus, Sayang," jawab Fariz. *** "Perut kamu," ucap Fariz sembari mencium perut istrinya. "Kenapa? Udah kelihatan banget, ya? Jadi gak suka dengan Cama?" "Kalau gak suka, ngapain Capa peluk cium manja begini? Uuuuh gemes banget malahan." Fariz malah mencium tangan Salma. "Hehe, dia udah mulai anteng nih akrab di dalam perut Cama. Kerasa kan?" Salma mengeratkan kepala Fariz ke perutnya untuk mendengarkan detak jantungnya. "Masyaallah Tabarokallah, Sayang, Capa nggak tahu harus bicara apa. Capa sangat bahagia," ungkap Fariz. Kebahagiaan yang sangat utuh. Mereka bersiap untuk kembali ke Indonesia. Jalan berdua menyusuri tempat menuju pesawat, mereka tampak sekali sebagai pasangan yang romantis. Tangan Fariz tidak lepas dari genggaman istrinya. Salma merasa sangat pegal, Fariz tidak lelah-lelahnya mengusap pinggang Salma. Mereka semakin tahu, akan bagaimana perjuangan orang tua. "Sabar ya, S
"Nggak," jawab Gus Bafre. Fariz tertawa lebar mendengar jawaban Bafre. Freya yang baru datang dan sempat mendengar juga tetapi. Entah kenapa putranya usa bicara begitu, padahal aslinya dia kangen banget. "Nggak salah, hihihi." "Hahaha, anak kamu ini, Frey! Masyaallah, kamu mewarisi sikap konyol Ummah ya, Nak," ungkap Salma yang disertai senyum dan tawa dari semuanya. "Ummah!" teriak Hunaisa. Hunaisa itu lagi posesif banget. Tidak ingin Gus Bafre dipangku oleh Salma. Inginnya hanya dia untuk sekarang ini. Mungkin karena saking rindunya anak tersebut. "No! Adek Bafre nggak boleh dipangku Ummah, Hunaisa mau dipangku," rengek Hunaisa. "Lapar," ucap Gus, Bafre tiba-tiba. Dia sok cuek saja dengan rengekan Hunaisa. Anak itu malah bicara kalau dirinya sedang lapar. Mereka ingin ketawa lagi, tapi Hunaisa malah menangis. "Nak Bafre sama Ummah dulu, kita cari makan," ucap Freya. "Nais juga mau makan, Ummah," manja Hunaisa dengan memeluk Salma. Salma tidak marah dengan sikap putrinya. I
"Kamu ngomong apa, nggak boleh!" sahut Fariz."Ya, siapa yang bisa melawan takdir, Cap?""Siapa juga yang bisa menebak takdir?""Huum, maksud Cama tuh, kan hanya misal. Orang melahirkan itu taruhannya nyawa, bukannya begitu?""Sayang, kamu pasti kuat untuk terus bersama Capa dan juga Cimes, apa kamu tidak berangan-angan ingin melihat lucunya baby kita? Kenapa yang kamu ingat malah kematian?""Ya kita harus ingat dengan kematian, dengan begitu akan lebih semangat lagi dalam melakukan hal baik. Aku tuh cuma mau nanya, misal Cama meninggal dulu, apa Capa mau menikah lagi?" tanya Salma.
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka