"Kamu ngomong apa, nggak boleh!" sahut Fariz."Ya, siapa yang bisa melawan takdir, Cap?""Siapa juga yang bisa menebak takdir?""Huum, maksud Cama tuh, kan hanya misal. Orang melahirkan itu taruhannya nyawa, bukannya begitu?""Sayang, kamu pasti kuat untuk terus bersama Capa dan juga Cimes, apa kamu tidak berangan-angan ingin melihat lucunya baby kita? Kenapa yang kamu ingat malah kematian?""Ya kita harus ingat dengan kematian, dengan begitu akan lebih semangat lagi dalam melakukan hal baik. Aku tuh cuma mau nanya, misal Cama meninggal dulu, apa Capa mau menikah lagi?" tanya Salma.
"Ikut Mami aja ke ruang tamu, nanti kalian juga pasti tahu," jawab Reva. Betapa senangnya mereka, ternyata ada dua bayi datang bersamaan. Satunya cantik, satunya tampan. Anak Royya dan kakaknya Salma itu laki-laki. Sedangkan anak William dengan adiknya itu perempuan. "Masyaallah, kalian nggak bilang-bilang mau ke sini?" ungkap Salma sembari menggendong Eshal, putrinya Reca. "Hehe, kita tadi mendadak," jawab William. "Mmm, gantengnya Kak Rifki punya, tapi kok mirip Mamanya banget, Kak Rifki gak kebagian," ungkap Fariz. "Bagian tahi lalatnya tuh, Mas Rifki," jawab Royya. Anak dari kakaknya Salma itu memang mirip banget dengan mamanya. Sangat putih, tampan, dan juga menggemaskan tentunya. Ternyata, ada yang terlihat jelas juga kesamaan Rifki dengan Eshal, yaitu tahi lalat di pelipisnya. "Oh iya, kebagian sedikit ya, Kak," jawab Salma yang diangguki kakaknya. "Ada Abang Belen sama Dedek Eshal, Sebentar lagi ada anak kalian, siapa namanya?" tanya Reva. "Insyaallah, namanya Shafa. B
"Apa?" Salma tidak merasa ada apa-apa. Dia itu lagi asyik saling mengingatkan tentang takwa. Entah kenapa suaminya ini tiba-tiba seperti melihat hal yang aneh. "Ini di wajah kamu," ucap Fariz sembari mengusap pelan pipi istrinya, seakan ada hal yang perlu dibersihkan. "Apa? Perasaan gak ada apa-apa," ucap Salma. "Ada wajah cantik kamu." Fariz tersenyum, menunjukkan senyum kasih sayang yang mungkin setiap istri menginginkan senyuman itu. "Dasar modus!" "Emang modus begini kan, yang menambah kehangatan rumah tangga?" Lemparan senyum pun mereka uraikan. Di tengah obrolan mereka, perutnya lumayan terasa tidak enak. Fariz itu wajahnya tenang, tapi hatinya tentu panik kalau melihat istrinya itu merintih kesakitan. Bukan sok-sokan, tapi itu tentu Fariz punya target, supaya istrinya juga tetap bisa tenang. "Aduh, perut Cama," "Loh, kenapa? Apa sakit sekali?" "Sakit, Cap!" rintih Salma tanpa hal lain, karena memang saat itu perutnya sangat sakit. Salma yang suka bercanda pun diam. Di
Bab 1. CAPA, CAMA, CIMES MIKA "Cimes waktunya ke posyandu, Cap," ungkap Salma. "Iya, Capa pasti temenin. Cepet ya, dia sudah satu setengah tahun. Udah banyak ngoceh kayak kamu," jawab Fariz. "Kayak Capa juga," sahut Salma. "Iya, tentu dong! Berapa kali hati kita mengucap, berapa kali tuturan indah menyapa. Semua kita lakukan untuk meminta kehadirannya. Tidak sedetik doang, semua berjalan dengan hari-hari yang beragam. Sampai titik lemahmu terlihat jelas, serpihan rasa perihmu terungkap, jeritan sakitmu terlepas, kamu wanita hebat! Hembusan nafasmu yang terasa halus ini adalah kekuatan terbesarku untuk mewujudkan harapan indah kita kepada Cimes, putri cantik kita. Sini, peluk dulu!" ungkap Fariz. Sekarang sudah ada Laila Shafa Milky Mikamikny. Awalnya, panggilannya adalah Cimes Shafa. Akan tetapi, akhirnya menjadi Cimes Mika yang diambil dari nama keluarga Mikamilny. Itu sebagai bentuk kebahagiaan terdalam mereka, karena Mika adalah bayi yang kehadirannya sudah ditunggu sejak lama.
"Mmm, tahun depan aja, gimana?" tanya Fariz. "Boleh," jawab Salma. "Aku kasihan sama kamu kalau sekarang, biar jaraknya lebih lama, kasihan Cimes juga." Fariz membelai rambut panjang istrinya. "Iya … Cama mengerti, tapi Cama tuh rindu hamil!" Salma menggigit bibirnya. Fariz melepas ikatan rambut istrinya. Dengan telatennya, Fariz menyisir rambut halus tersebut. Rindu hamil, pernyataan istrinya sangat membuat Fariz kagum. Bukan hanya Salma, Fariz pun sebenarnya juga kangen bisa meraba dari luar calon buah hati yang ada dalam perut istrinya. "Capa juga rindu," ungkap Fariz. "Kalau begitu, dipercepat saja!" pinta Salma. "Aku tidak hanya memperhatikan kesenanganmu, tapi aku juga peduli dengan kesehatanmu, serta kebaikan yang menyertai." Fariz berusaha memberi pengertian. "Sebenarnya sudah jauh jaraknya, satu setengah tahun, loh. Itu nanti jarak dengan lahir udah dua tahun lebih." Salma masih tetap mencoba menawar. Sama seperti dulu. Salma itu orangnya tetap saja ingin menang, tida
"Apanya, Sayang? Boneka … ya, tolong bilang ke ummah dulu dong!" pinta Fariz. "Apa?" tanya Mika. "Bilang ke ummah, Daddy rindu," ucap Fariz. Dengan rambutnya yang diikat dua itu, Mika tampak lebih cakep dan imut berjalan. Meskipun sedang risau bonekanya hilang, mendengar permintaan tolong dari Fariz, ia langsung bergegas dan semangat bilang ke Salma. Senyum manis Salma mendengarkan apa yang disampaikan Mika, membuat Mika juga mengikuti senyum tersebut, tapi langsung murung kembali. "Ummah, daddy … daddy … ndu," ucapnya. "Haaa? Daddy rindu?" Salma terbengong, kemudian tersenyum ke arah Mika. "Tapi kenapa Mika langsung sedih? Apa daddy marah? Kamu dibentak kah, Nak?" tanya Salma sembari memeluk putrinya. "Boneka, Cimes … ilang … huaaaaaaa!" Mika menangis dengan suara keras. Salma bergegas menggendong putrinya itu dan menghampiri Fariz ke kamar. Ia sudah menduga, pasti ini kejailan suaminya. Pagi-pagi sudah buat anaknya menangis, perasaan Salma jadi geram. "Capa! Mana boneka Cime
"Itu tadi kayaknya belum dikasih gula, deh," ucap Fariz."Jangan ngada-ngada, Cap!""Kalian ini, beginilah kalau Fariz terlalu nggak tahan. Cepat diurus, kasihan para tamu," ucap Reva dengan tertawa kecil."Siap, Mi. Hehe, padahal yang gak," jawab Fariz tersendat, karena dipotong istrinya."Mami, maaf ya, lama," ucap Salma.Salma tersenyum dengan bangga melihat suaminya gagal bilang kalau istrinya yang menggoda. Mereka segera membenahi teh tersebut dan membawanya ke depan. Dari tatapan ibunya Baim, Fariz merasa ada kejanggalan."Nuura, mari diminum tehnya!""Iya, Sal, terima kasih," ujar Nuura.Karena kamar di panti yang masih kosong belum dibersihkan, hari itu Nuura dan Syifa disuruh ke kamar tamu oleh Risa. Fariz menunjukkan kamar tersebut serta membantu membaw
"Itu suara Nuura, buruan!" Salma menyeru Fariz untuk segera melihat.Berbeda dengan Fariz yang sudah mencurigai gerak-gerik dari Nuura. Salma sangat tenang, baginya Nuura memang seorang korban yang harus ditolong. Dia juga ikut berdiri untuk melihat kejadian."Ummah, ikut!" rengek Cimes Mika."Ikut? Tak gendong ya, Nak!" Salma berharap putrinya mau."Huuh," jawabnya.Beruntungnya Mika mau digendong. Dia paham juga dengan keadaan. Di tempat kejadian, Fariz masih mematung, melihat baju wanita di depannya robek-robek tidak beraturan dan histeris. Syifa juga bengong dan takut dengan jeritan ibunya.
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka