"Apanya, Sayang? Boneka … ya, tolong bilang ke ummah dulu dong!" pinta Fariz. "Apa?" tanya Mika. "Bilang ke ummah, Daddy rindu," ucap Fariz. Dengan rambutnya yang diikat dua itu, Mika tampak lebih cakep dan imut berjalan. Meskipun sedang risau bonekanya hilang, mendengar permintaan tolong dari Fariz, ia langsung bergegas dan semangat bilang ke Salma. Senyum manis Salma mendengarkan apa yang disampaikan Mika, membuat Mika juga mengikuti senyum tersebut, tapi langsung murung kembali. "Ummah, daddy … daddy … ndu," ucapnya. "Haaa? Daddy rindu?" Salma terbengong, kemudian tersenyum ke arah Mika. "Tapi kenapa Mika langsung sedih? Apa daddy marah? Kamu dibentak kah, Nak?" tanya Salma sembari memeluk putrinya. "Boneka, Cimes … ilang … huaaaaaaa!" Mika menangis dengan suara keras. Salma bergegas menggendong putrinya itu dan menghampiri Fariz ke kamar. Ia sudah menduga, pasti ini kejailan suaminya. Pagi-pagi sudah buat anaknya menangis, perasaan Salma jadi geram. "Capa! Mana boneka Cime
"Itu tadi kayaknya belum dikasih gula, deh," ucap Fariz."Jangan ngada-ngada, Cap!""Kalian ini, beginilah kalau Fariz terlalu nggak tahan. Cepat diurus, kasihan para tamu," ucap Reva dengan tertawa kecil."Siap, Mi. Hehe, padahal yang gak," jawab Fariz tersendat, karena dipotong istrinya."Mami, maaf ya, lama," ucap Salma.Salma tersenyum dengan bangga melihat suaminya gagal bilang kalau istrinya yang menggoda. Mereka segera membenahi teh tersebut dan membawanya ke depan. Dari tatapan ibunya Baim, Fariz merasa ada kejanggalan."Nuura, mari diminum tehnya!""Iya, Sal, terima kasih," ujar Nuura.Karena kamar di panti yang masih kosong belum dibersihkan, hari itu Nuura dan Syifa disuruh ke kamar tamu oleh Risa. Fariz menunjukkan kamar tersebut serta membantu membaw
"Itu suara Nuura, buruan!" Salma menyeru Fariz untuk segera melihat.Berbeda dengan Fariz yang sudah mencurigai gerak-gerik dari Nuura. Salma sangat tenang, baginya Nuura memang seorang korban yang harus ditolong. Dia juga ikut berdiri untuk melihat kejadian."Ummah, ikut!" rengek Cimes Mika."Ikut? Tak gendong ya, Nak!" Salma berharap putrinya mau."Huuh," jawabnya.Beruntungnya Mika mau digendong. Dia paham juga dengan keadaan. Di tempat kejadian, Fariz masih mematung, melihat baju wanita di depannya robek-robek tidak beraturan dan histeris. Syifa juga bengong dan takut dengan jeritan ibunya.
"Haaah! Nggak waras! Kamu pikir, aku lelaki apaan?" Tidak segan-segan Fariz membentak wanita tersebut.Nuura menemani Fariz di tengah jalan. Dia sengaja menghadangkan sepeda motornya di depan mobil Fariz. Parahnya lagi, dia masuk mobil Fariz. Fariz sengaja juga untuk tidak turun, mau melihat permainan apa yang akan dimainkan."Aku wanita yang mencintai kamu. Anak aku butuh ayah," ucap Nuura."Kalau kamu paham perasaan anak kecil, bukan ini yang kamu lakukan! Anak aku juga masih kecil, lebih kecil dari anak kamu!" gertak Fariz dengan membanting aqua di samping setirnya."Mohon tenang! Ingat yaa … pokoknya nikahin! Aku harus sah jadi istri kamu! Kalau untuk memuaskan ranjang sebelum menikah, itu permintaan kecil aku sebenarnya, salah ngomong aku tadi. Kalau kamu tidak mau nikahin, istri sama anakmu akan celaka!" ancam Nuura.Tidak tahu manusia i
"Mika kenapa?" tanya Fariz. Mereka berdua langsung mendekati putrinya. Badan Mika begitu panas, tapi Salma heran, kenapa saat menemani tidur Fariz tidak tahu? Soalnya, tadi Salma masih keluar dengan mertuanya. "Nak, badan kamu panas sekali. Capa kok nggak bilang?" tanya Salma. "Tadi belum, Cam. Badannya masih adem-adem aja," jawab Fariz. "Masih adem, atau Capa memang tidak menyentuh Cimes?" Salma lumayan emosi, karena awal masuk kamar tadi sikapnya dingin, takutnya juga terlampiaskan untuk Cimes Mika. "Daddy, no!" Mika bilang sembari mempraktikan tangannya mengusap pelan hidung antara kedua matanya. Seperti kebiasaan tidur pada banyak anak, Cimes Mika juga begitu suka dan kebiasaan, ditidurkan dengan usapan halus bagian hidung ia di antara kedua matanya. Salma kecewa benar dengan suaminya, sampai ke anak juga ikut terseret. Apalagi sekarang Mika itu sedang sakit. Ia segera menyuruh suaminya itu untuk mengambilkan obat. "Capa … Capa! Parah nih sampai ke anak. Berarti fix, ada yan
"Mmm, tapi Daddy jadi badut lagi," pinta Cimes Mika."Upss! Hahaha … gimana?" tawa Salma."Hmmm, tidak masalah. Ummah segera tidur!" jawab Fariz.Ribet sebenarnya, Fariz harus mencolek-colek wajahnya sendiri dengan adonan banyak warna. Namun, ia tetap melakukannya untuk kebahagiaan putri kecilnya, dan juga kesehatan istrinya. Semua menjadi prioritasnya Fariz."Cimes, mau!" rengek Mika.Ia ingin dicolek-colek juga wajahnya. Fariz tidak mengizinkan hal tersebut. Karena tangannya masih diinfus, dan keadaannya belum benar-benar pulih. Hampir saja mau menangis, tapi untungnya tidak jadi. Tatapan Fariz beserta pelukannya, membawa Ci
"Waktu di rumah sakit, yang kamu tidur di sofa, Capa jadi badut. Capa nanya ke Cimes Mika, pengen punya Adik? Dia sangat senang, Cam, malah mengira udah ada," ucap Fariz."Hehe, Alhamdulillah. Capa jawabnya?""Tak suruh doain semoga aja dengan doa putri kecil kita, bisa lebih dilancarkan lagi," ujar Fariz."Aaaaaaa, Capa! Sayang banget." Salma mulai manja dengan suaminya.Do'a anak kecil, mereka berharap, dengan Cimes Mika yang berdoa, Allah lebih memudahkan apa yang menjadi hajatnya. Tidak ada sebuah rasa lalu hanya sekedar untuk meminta doa dari anak kecil. Mata mereka yang baru saja terpejam, en jadi terbuka lagi karena ada suara mertuanya Salma sedang marah dan mencari Salma."Salma! Salma, keluar! Apa maksudnya kamu seperti ini!" teriak Reva dari balik pintu kamar mereka."Mami, ada apa ini?" Fariz terkejut selama ini mami n
"Cama tidak tahu, Cap. Tapi Capa percaya kan, gak mungkin aku kasih papi obat yang begitu," jawab Salma."Sangat percaya. Sabar, yaa … tangan Capa tidak mungkin berhenti mengusik kasus ini. Capa akan terus mencari siapa pelakunya!" Fariz sangat tidak tega, di sini istrinya itu sebagai korban juga.Fariz pasti tidak akan tinggal diam. Bukan hanya papinya yang tersungkur akibzt obat itu, tapi mami dan istrinya. Bahkan, ke anaknya juga. Namun, untuk saat ini Fariz masih belum bisa bergerak sendiri, karena masih harus di tulah sakit."Thanks, Cap" Salma bersyukur, meskipun mertuanya sedang tidak baik-baik saja dengannya, masih ada suami yang selalu mendukung dan memberinya semangat."Iya, jangan pernah takut! Kamu salah pun, Capa tidak akan pernah membencimu. Cama tetap cintanya Capa, apalagi kalau sikapmu memang baik seperti ini? Cinta aku terlalu kuat untuk dirimu, Sayang
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka