"Waktu di rumah sakit, yang kamu tidur di sofa, Capa jadi badut. Capa nanya ke Cimes Mika, pengen punya Adik? Dia sangat senang, Cam, malah mengira udah ada," ucap Fariz.
"Hehe, Alhamdulillah. Capa jawabnya?"
"Tak suruh doain semoga aja dengan doa putri kecil kita, bisa lebih dilancarkan lagi," ujar Fariz.
"Aaaaaaa, Capa! Sayang banget." Salma mulai manja dengan suaminya.
Do'a anak kecil, mereka berharap, dengan Cimes Mika yang berdoa, Allah lebih memudahkan apa yang menjadi hajatnya. Tidak ada sebuah rasa lalu hanya sekedar untuk meminta doa dari anak kecil. Mata mereka yang baru saja terpejam, en jadi terbuka lagi karena ada suara mertuanya Salma sedang marah dan mencari Salma.
"Salma! Salma, keluar! Apa maksudnya kamu seperti ini!" teriak Reva dari balik pintu kamar mereka.
"Mami, ada apa ini?" Fariz terkejut selama ini mami n
"Cama tidak tahu, Cap. Tapi Capa percaya kan, gak mungkin aku kasih papi obat yang begitu," jawab Salma."Sangat percaya. Sabar, yaa … tangan Capa tidak mungkin berhenti mengusik kasus ini. Capa akan terus mencari siapa pelakunya!" Fariz sangat tidak tega, di sini istrinya itu sebagai korban juga.Fariz pasti tidak akan tinggal diam. Bukan hanya papinya yang tersungkur akibzt obat itu, tapi mami dan istrinya. Bahkan, ke anaknya juga. Namun, untuk saat ini Fariz masih belum bisa bergerak sendiri, karena masih harus di tulah sakit."Thanks, Cap" Salma bersyukur, meskipun mertuanya sedang tidak baik-baik saja dengannya, masih ada suami yang selalu mendukung dan memberinya semangat."Iya, jangan pernah takut! Kamu salah pun, Capa tidak akan pernah membencimu. Cama tetap cintanya Capa, apalagi kalau sikapmu memang baik seperti ini? Cinta aku terlalu kuat untuk dirimu, Sayang
"Lima? Mau bola, boneka, masak donat, pop it," jawab Cimes Mika. "Itu masih empat, Sayang. Apa satu lagi?" Fariz bahagia melihat putrinya mau tersenyum. "Aslinya, mau … mobil balap yang mainnya sama Daddy," jawab Cimes Mika. Anak kecil pun, tentu lebih bahagia, kalau orang tuanya tinggal bersama. Tega tidak tega, sementara mereka pisah rumah. Fariz bisa juga ikut istrinya, tapi ia selalu diingatkan oleh Salma, supaya tetap di rumah menjaga orang tuanya, yang kini sedang tidak baik-baik saja. "Ya, kan bisa main sama Ummah, Nak!" "Ummah bisa?" tanya Cimes Mika, karena selama ini, kalau masalah mobil, dia selalu minta sama Fariz. "Bisa," jawab Salma dengan memasang senyumannya. "Yeee!" sorak Cimes Mika. Mereka tidak menunggu lagi. Berhubung juga dengan mood anak kecil yang suka berubah-ubah. Mumpung putrinya bersemangat, mereka berdua juga harus mendukung perasaan tersebut. "Kemarin itu sama Kakak Asma belinya," celoteh Cimes Mika. "Kapan, Sayang?" tanya Fariz. Fariz tidak tahu
"Sebenarnya ada," jawab Baim. Baim rasa, saat itu sudah tepat untuk membicarakan tentang siapa ayah kandungnya. Bukan itu saja, tapi mengenai kejadian yang sebenarnya juga tentang kehadiran Syifa. Harapan Baim tidak lepas untuk mengharap kewarasan sebagai seorang manusia itu kembali. "Apa? Katakan, Nak! Biar kita bisa cari langkah," desak Fariz. "Iya, Baim akan katakan yang sesungguhnya. Sebenarnya, ayahnya Baim itu hilang. Semenjak itu, ibu sering merenung, sangat kehilangan ayah." Baim menunduk, dua mengingat momen kebersamaan dengan ayahnya. Ayah Baim hilang ketika akan bekerja di luar negeri, tapi masih menaiki kapal untuk menuju bandara pemberangkatan. Namun, ada kecelakaan dalam kendaraan tersebut, dan memakan banyak korban jiwa. Sayangnya, ayah Baim belum ditemukan sampai saat ini. Karena perekonomian yang juga kurang, dengan keadaan terpuruk pun, Nuura tetap berangkat ke luar negeri untuk bekerja menggantikan suaminya. "Baim, Daddy juga ayah kamu. Jangan sedih!" Fariz mena
"Capa udah tidur belum ya, Capa kasih hadiah nggak ya. Semoga aja aku mimpi Capa." Cimes tertawa dalam berkata. "Hahahaha …." Keduanya tertawa lepas, mereka terlihat lupa dengan masalah yang sedang dihadapi. Fariz izin dengan baik ke orang tuanya. Sebenarnya, Reva dan Vero itu kangen dengan Salma maupun Cimes Mika. Namun, hatinya masih bergejolak kalau ingat masalah obat. Reca tahu masalah tersebut, dia tidak mendukung sana mendukung sini, tapi berusaha ikut kakaknya memberi pengertian kalau itu bukan ulah Salma. "Lepas banget ketawanya. Oh iya, oma dan opa rindu kalian," ucap Fariz. "Cimes pasti dirindukanlah," sahut Salma. "Kamu juga, Sayang," jawab Fariz. "Cimes kangen pulang …." Keinginan untuk pulang pun teringat kembali, ia mengigit jarinya. Fariz mengalihkan untuk unboxing mainan yang baru saja ia bawakan. Bersamaan dengan unboxing banyak pakaiannya juga. Malam itu, ia menginap dan memuaskan diri untuk tinggal bersama keluarga kecilnya. Bukannya tidak suka tinggal bersama
"Eh, hehe ... ngomongin gelangnya Cimes. Banyak kan ya?" ucap Salma. "Banyak! Daddy gak beliin lagi, kalau beli dimarah." Cimes Mika menunjukkan pernyataan yang pernah dikatakan daddynya. Gelangnya sudah sangat banyak. Cimes Mika memang pecinta gelang. Bukan hobi dipakai, tapi dikumpulkan dan dibuat gelangnya para boneka. Sampai-sampai Fariz bilang ke anaknya itu untuk stop dulu beli gelangnya, kalau masih beli akan kena marahnya. "Daddy cuma tidak mau gelangnya tidak berguna, Sayang!" Salma mencubit pelan pipi chubby anaknya. "Kan tetap guna, buat jualan boneka," sahut Cimes Mika. "Yang buat jualan juga sudah ada, udah banyak," jawab Fariz. "Daddy tahu toko mainan?" Entah apa yang akan diucapkan. Namun, wajah-wajah dan model ucapan putrinya sangat menggemaskan. Dia berlagak seperti orang dewasa yang akan menang dalam sebuah perdebatan. "Tahu, kenapa?" tanya Fariz. "Tentang ... mainan. Di toko banyak kan yang dijual? Penuh terus itu tempatnya. Tokonya Cimes Mika juga laris, S
"Ada apa, Cam?" Fariz mendekap tubuh istrinya yang ketakutan. Salma masih terdiam dan memejamkan matanya. Fariz mengamati seluruh ruangan, tidak ada yang mencurigakan. Beruntungnya, Cimes Mika ditaruh kamar satunya, kalau tidak pasti sudah terbangun lagi. "Hehe, iseng doang, hahaha!" Salma puas mengerjai suaminya, ia tertawa lepas. Sekali-kali juga bercanda. Setelah sekian lama mereka dibungkam dengan sandiwara dan keseriusan. Ada saatnya pula, tubuh itu diajak tertawa tanpa mangsa. "Hmm, mau gelut Tom and Jerry?" Fariz mengangkat tubuh istrinya itu secara tiba-tiba. Fariz juga membalas dengan perkara yang menegangkan. Bahagia bersamanya adalah judul episode malam mereka. Seperti sebuah tipuan tentang rumah tangganya yang sedang runyam, seperti sebuah candaan, seorang Salma bisa bermasalah dengan mertuanya. Hanya seperti drama yang hanya kasat mata dan tidak nyata. 'Hanya kamu dan kamu serta kamu!' batin Salma. "Cam, izinin Capa poligami, ya?" pinta Fariz. "Poligami? Nggak!" ge
"Ada apa, Nil?" tanya Fariz tanpa basa-basi. "Ini dari istrinya Pak Fariz." Nila menyerahkan bingkisan kepadanya. Kesempatan juga ini untuk Fariz pergi. Fariz membawa bungkusan tersebut dan segera masuk mobil. Urusan yang ingin Nuura ucapkan itu belum tuntas. Ia terus mengejar Fariz dengan taxi yang sedari tadi ia naiki. "Hhhh, perempuan itu!" seru Fariz. Dia tidak menghentikan mobilnya, tapi malah melakukan dengan kecepatan penuh. Sampai-sampai, hampir saja hal tidak diinginkan terjadi. Fariz hampir menabrak mobil yang berlawanan arah, beruntungnya dia sigap untuk mengerem, tapi dia harus menyingkir dulu sehingga bertemu dengan perempuan licik itu. "Hahaha, gak usah sok kabur! Sudah ingin mati?" tanya Nuura. "Diam!" bentak Fariz. Fariz masih menekankan dirinya setelah duduk di bawah pohon dan meminum air putih yang dikasih istrinya. Hatinya terus beristighfar, berusaha menahan amarah, mengingat apa yang diucapkan istrinya sehingga amarah itu bisa perlahan reda. Barulah setelah
"Sanggup," jawab Salma. "Maaf, Capa nggak bermaksud bikin kamu dan Cimes sakit hati. Ada teman lama yang membuat jengkel, entar deh Capa cerita lengkapnya," ungkap Fariz dengan kebohongan. "Ya sudah, istirahat aja dulu! Cama udah siapin baju gantinya. Nak, kita ke ruang lain, yuk!" Salma menarik tangan putrinya. Sudah pasti, Fariz punya hal lain yang belum diungkapkan. Salma membiarkan saja, tidak mendesak suaminya supaya mau bercerita. Mertuanya sudah mendingan dan lumayan pulih, itu sudah cukup untuknya saat itu. Perasaan Salma baru saja sedikit terobati, setelah terhempas dalam lautan api yang tidak hanya satu hari. "Cimes jangan cemberut dong!" pinta Fariz. "Cimes Mika gak boleh begitu, ya! Nanti main sama Daddy." Salma menatap putrinya. "Sini, peluk dulu!" Fariz menadahkan tangannya. "Nggak-nggak! Maunya main sekarang!" gertak Mika. Salma hampir saja terjatuh karena Cimes Mika geraknya tidak beraturan. Fariz segera menepis rasa penatnya dan mengambil putrinya itu dari gend
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka