"Sanggup," jawab Salma. "Maaf, Capa nggak bermaksud bikin kamu dan Cimes sakit hati. Ada teman lama yang membuat jengkel, entar deh Capa cerita lengkapnya," ungkap Fariz dengan kebohongan. "Ya sudah, istirahat aja dulu! Cama udah siapin baju gantinya. Nak, kita ke ruang lain, yuk!" Salma menarik tangan putrinya. Sudah pasti, Fariz punya hal lain yang belum diungkapkan. Salma membiarkan saja, tidak mendesak suaminya supaya mau bercerita. Mertuanya sudah mendingan dan lumayan pulih, itu sudah cukup untuknya saat itu. Perasaan Salma baru saja sedikit terobati, setelah terhempas dalam lautan api yang tidak hanya satu hari. "Cimes jangan cemberut dong!" pinta Fariz. "Cimes Mika gak boleh begitu, ya! Nanti main sama Daddy." Salma menatap putrinya. "Sini, peluk dulu!" Fariz menadahkan tangannya. "Nggak-nggak! Maunya main sekarang!" gertak Mika. Salma hampir saja terjatuh karena Cimes Mika geraknya tidak beraturan. Fariz segera menepis rasa penatnya dan mengambil putrinya itu dari gend
"Kangen hamil! Imut kan, kalau Cama lagi hamil?" racau Salma. "Hahaha … dalam keadaan apapun juga tetap imut. Ngomong aja langsung daripada pakai kode-kode." Fariz tertawa mendengar rengekan Salma. "Hmm, ya udah ayo!" ajak Salma. "Ke mana?" tanya Fariz. "Iiih, aku mau move on dulu dari ngerjain yang namanya sakit itu! Sudah tahulah malam jum'at gini enaknya ngapain!" Salma masih memanyunkan bibirnya. Salma itu menuruti apa yang dianjurkan suaminya. Berusaha tenang dengan dirinya sendiri. Ia ingin nanti saja mendengar penjelasan yang selanjutnya. Salma ingin saat itu, kebahagiaan kedua belah pihak dapat terasa dengan puas. "Kamu nyaman disentuh seperti ini?" tanya Fariz. "Ya pastinya dong. Apalagi kalau sentuhannya ke bawah sedikit," jawab Salma. Setiap sentuhan nyata dengan cinta sang suami, tentu menjadi kepuasan untuk sang istri. Kepuasaan yang dilandasi dengan perkara yang benar, itu juga jauh lebih terasa nikmat. Dibanding dengan kepuasaan yang malah dilandasi dengan perkar
"Mmm, belumlah," jawab Bima. "Kamu nggak pacaran, kan?" Fariz menepuk-nepuk pundak putranya. "Aman, sesuai wasiat Daddy, hehe. Jodohin ajalah, Baim ngikut ummah sama Daddy!" "Hahaha … baiklah, nikah sama anak pesantren aja, yang kayak ummah gitu. Entar dimusyawarahkan dengan ummah. Memangnya, udah kebelet?" Fariz terkekeh dengan obrolan bersama Baim. "Lumayan, tapi tetap ditahan, hahaha …." jawab Baim dengan tawa. *** "Ummah, ikatin dua dong punya Cimes!" pinta Cimes Mika. "Sebentar, Nak. Ummah ikat dulu yang ini ... punya Ummah," jawabnya. Cimes Mika memukul-mukulkan tangannya ke kasur. Tidak sengaja ia memencet sosial media dan Salma mendengar pembicaraan yang mengejutkan. Orang itu menyebut nama Baim dan juga Nuura. "Sayang, Ummah ke Daddy dulu!" Salma terkejut dan segera mengantarkan ponsel. Cimes Mika juga sedang peka keadaannya. Dia mengangguk dan tetap tiduran di kamar orang tuanya. Fariz berada di teras rumah bersama Baim. Salma merasa lumayan aneh, dari tadi malam,
"Astaghfirullah! Ini mah bukan dandan, baju dilepas begitu, dandan dari dunia mana?" Salma shock melihatnya. "Hahaha ...! Kayak sama siapa dan baru pertama liat aja. Ini dunia bercinta." Fariz mulai membuka kancing baju istrinya. ***"Lemas … fix hamil!" Fariz memeluk perut istrinya. "Positif thinking, boleh, tapi ya gak gitu juga dong!" rengek Salma. "Apa yang salah?" Fariz malah mencium perut Salma. "Kalau ternyata belum fix, gimana?" Salma mengusap rambut suaminya. Kehamilan anak yang kedua itu juga sudah ditunggu. Alangkah bahagianya, jika ia benar-benar hamil. Salma cuma tidak ingin ucapan suaminya menjadi hal yang tidak nyata dan memberikan kekecewaan. "Kamu takut?" tanya Fariz. "Yaaa … uhuk …." Salma menutup mulutnya yang sedang merasa mual. "Tuh, kan … ini mah, fix! Alhamdulillah, Cioy hadir!" Fariz menatap istrinya dengan mata berbinar-binar. "Capa … buruan kita pulang! Jarak haid memungkinkan, mau segera tes!" gertak Salma. Hari itu Salma malas berbuat apapun. Kala
"Mau minum," jawab Mika. "Hahaha … gak boleh, Nak! Gantian untuk persiapan Adik Cioy yang minum," ucap Fariz dengan tawa. "Huaaaaaaaa! Semua Adik Cioy!" Cimes Mika jadi jeles karena dikaitkan terus dengan adiknya dari kemarin. "Loh, kok nangis? Duuh, Sayang … sini!" Salma memangku Mika dan memeluknya. Mereka tidak bermaksud semua untuk anak keduanya. Hanya saja, memang apa yang diucapkan sesuai dengan keadaan. Fariz malah punya ide yang membuatnya menahan tawa. Hal tersebut untuk meredakan tangis putri tersayangnya, yang kini sedang patah hati. "Sayang, buat main aja, boleh kok. Hahaha ...." Fariz tertawa lepas. "Capa!" Salma melotot keras ke arah Fariz. "Boleh, Ummah?" tanya Cimes Mika. Fariz terus tertawa menyaksikan mereka. Salma mengiyakan saja, toh, dia juga masih kecil, daripada terus menangis. Cimes Mika memang paling susah untuk bisa move on dari kedua minuman yang berjejer dengan cantik itu. "Iya, Kak Cim. Ketawa dulu!" Salma menggelitik perut putrinya. Paling tidak
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du