"Mmm, belumlah," jawab Bima. "Kamu nggak pacaran, kan?" Fariz menepuk-nepuk pundak putranya. "Aman, sesuai wasiat Daddy, hehe. Jodohin ajalah, Baim ngikut ummah sama Daddy!" "Hahaha … baiklah, nikah sama anak pesantren aja, yang kayak ummah gitu. Entar dimusyawarahkan dengan ummah. Memangnya, udah kebelet?" Fariz terkekeh dengan obrolan bersama Baim. "Lumayan, tapi tetap ditahan, hahaha …." jawab Baim dengan tawa. *** "Ummah, ikatin dua dong punya Cimes!" pinta Cimes Mika. "Sebentar, Nak. Ummah ikat dulu yang ini ... punya Ummah," jawabnya. Cimes Mika memukul-mukulkan tangannya ke kasur. Tidak sengaja ia memencet sosial media dan Salma mendengar pembicaraan yang mengejutkan. Orang itu menyebut nama Baim dan juga Nuura. "Sayang, Ummah ke Daddy dulu!" Salma terkejut dan segera mengantarkan ponsel. Cimes Mika juga sedang peka keadaannya. Dia mengangguk dan tetap tiduran di kamar orang tuanya. Fariz berada di teras rumah bersama Baim. Salma merasa lumayan aneh, dari tadi malam,
"Astaghfirullah! Ini mah bukan dandan, baju dilepas begitu, dandan dari dunia mana?" Salma shock melihatnya. "Hahaha ...! Kayak sama siapa dan baru pertama liat aja. Ini dunia bercinta." Fariz mulai membuka kancing baju istrinya. ***"Lemas … fix hamil!" Fariz memeluk perut istrinya. "Positif thinking, boleh, tapi ya gak gitu juga dong!" rengek Salma. "Apa yang salah?" Fariz malah mencium perut Salma. "Kalau ternyata belum fix, gimana?" Salma mengusap rambut suaminya. Kehamilan anak yang kedua itu juga sudah ditunggu. Alangkah bahagianya, jika ia benar-benar hamil. Salma cuma tidak ingin ucapan suaminya menjadi hal yang tidak nyata dan memberikan kekecewaan. "Kamu takut?" tanya Fariz. "Yaaa … uhuk …." Salma menutup mulutnya yang sedang merasa mual. "Tuh, kan … ini mah, fix! Alhamdulillah, Cioy hadir!" Fariz menatap istrinya dengan mata berbinar-binar. "Capa … buruan kita pulang! Jarak haid memungkinkan, mau segera tes!" gertak Salma. Hari itu Salma malas berbuat apapun. Kala
"Mau minum," jawab Mika. "Hahaha … gak boleh, Nak! Gantian untuk persiapan Adik Cioy yang minum," ucap Fariz dengan tawa. "Huaaaaaaaa! Semua Adik Cioy!" Cimes Mika jadi jeles karena dikaitkan terus dengan adiknya dari kemarin. "Loh, kok nangis? Duuh, Sayang … sini!" Salma memangku Mika dan memeluknya. Mereka tidak bermaksud semua untuk anak keduanya. Hanya saja, memang apa yang diucapkan sesuai dengan keadaan. Fariz malah punya ide yang membuatnya menahan tawa. Hal tersebut untuk meredakan tangis putri tersayangnya, yang kini sedang patah hati. "Sayang, buat main aja, boleh kok. Hahaha ...." Fariz tertawa lepas. "Capa!" Salma melotot keras ke arah Fariz. "Boleh, Ummah?" tanya Cimes Mika. Fariz terus tertawa menyaksikan mereka. Salma mengiyakan saja, toh, dia juga masih kecil, daripada terus menangis. Cimes Mika memang paling susah untuk bisa move on dari kedua minuman yang berjejer dengan cantik itu. "Iya, Kak Cim. Ketawa dulu!" Salma menggelitik perut putrinya. Paling tidak
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F