"Ada apa, Cam?" Fariz mendekap tubuh istrinya yang ketakutan. Salma masih terdiam dan memejamkan matanya. Fariz mengamati seluruh ruangan, tidak ada yang mencurigakan. Beruntungnya, Cimes Mika ditaruh kamar satunya, kalau tidak pasti sudah terbangun lagi. "Hehe, iseng doang, hahaha!" Salma puas mengerjai suaminya, ia tertawa lepas. Sekali-kali juga bercanda. Setelah sekian lama mereka dibungkam dengan sandiwara dan keseriusan. Ada saatnya pula, tubuh itu diajak tertawa tanpa mangsa. "Hmm, mau gelut Tom and Jerry?" Fariz mengangkat tubuh istrinya itu secara tiba-tiba. Fariz juga membalas dengan perkara yang menegangkan. Bahagia bersamanya adalah judul episode malam mereka. Seperti sebuah tipuan tentang rumah tangganya yang sedang runyam, seperti sebuah candaan, seorang Salma bisa bermasalah dengan mertuanya. Hanya seperti drama yang hanya kasat mata dan tidak nyata. 'Hanya kamu dan kamu serta kamu!' batin Salma. "Cam, izinin Capa poligami, ya?" pinta Fariz. "Poligami? Nggak!" ge
"Ada apa, Nil?" tanya Fariz tanpa basa-basi. "Ini dari istrinya Pak Fariz." Nila menyerahkan bingkisan kepadanya. Kesempatan juga ini untuk Fariz pergi. Fariz membawa bungkusan tersebut dan segera masuk mobil. Urusan yang ingin Nuura ucapkan itu belum tuntas. Ia terus mengejar Fariz dengan taxi yang sedari tadi ia naiki. "Hhhh, perempuan itu!" seru Fariz. Dia tidak menghentikan mobilnya, tapi malah melakukan dengan kecepatan penuh. Sampai-sampai, hampir saja hal tidak diinginkan terjadi. Fariz hampir menabrak mobil yang berlawanan arah, beruntungnya dia sigap untuk mengerem, tapi dia harus menyingkir dulu sehingga bertemu dengan perempuan licik itu. "Hahaha, gak usah sok kabur! Sudah ingin mati?" tanya Nuura. "Diam!" bentak Fariz. Fariz masih menekankan dirinya setelah duduk di bawah pohon dan meminum air putih yang dikasih istrinya. Hatinya terus beristighfar, berusaha menahan amarah, mengingat apa yang diucapkan istrinya sehingga amarah itu bisa perlahan reda. Barulah setelah
"Sanggup," jawab Salma. "Maaf, Capa nggak bermaksud bikin kamu dan Cimes sakit hati. Ada teman lama yang membuat jengkel, entar deh Capa cerita lengkapnya," ungkap Fariz dengan kebohongan. "Ya sudah, istirahat aja dulu! Cama udah siapin baju gantinya. Nak, kita ke ruang lain, yuk!" Salma menarik tangan putrinya. Sudah pasti, Fariz punya hal lain yang belum diungkapkan. Salma membiarkan saja, tidak mendesak suaminya supaya mau bercerita. Mertuanya sudah mendingan dan lumayan pulih, itu sudah cukup untuknya saat itu. Perasaan Salma baru saja sedikit terobati, setelah terhempas dalam lautan api yang tidak hanya satu hari. "Cimes jangan cemberut dong!" pinta Fariz. "Cimes Mika gak boleh begitu, ya! Nanti main sama Daddy." Salma menatap putrinya. "Sini, peluk dulu!" Fariz menadahkan tangannya. "Nggak-nggak! Maunya main sekarang!" gertak Mika. Salma hampir saja terjatuh karena Cimes Mika geraknya tidak beraturan. Fariz segera menepis rasa penatnya dan mengambil putrinya itu dari gend
"Kangen hamil! Imut kan, kalau Cama lagi hamil?" racau Salma. "Hahaha … dalam keadaan apapun juga tetap imut. Ngomong aja langsung daripada pakai kode-kode." Fariz tertawa mendengar rengekan Salma. "Hmm, ya udah ayo!" ajak Salma. "Ke mana?" tanya Fariz. "Iiih, aku mau move on dulu dari ngerjain yang namanya sakit itu! Sudah tahulah malam jum'at gini enaknya ngapain!" Salma masih memanyunkan bibirnya. Salma itu menuruti apa yang dianjurkan suaminya. Berusaha tenang dengan dirinya sendiri. Ia ingin nanti saja mendengar penjelasan yang selanjutnya. Salma ingin saat itu, kebahagiaan kedua belah pihak dapat terasa dengan puas. "Kamu nyaman disentuh seperti ini?" tanya Fariz. "Ya pastinya dong. Apalagi kalau sentuhannya ke bawah sedikit," jawab Salma. Setiap sentuhan nyata dengan cinta sang suami, tentu menjadi kepuasan untuk sang istri. Kepuasaan yang dilandasi dengan perkara yang benar, itu juga jauh lebih terasa nikmat. Dibanding dengan kepuasaan yang malah dilandasi dengan perkar
"Mmm, belumlah," jawab Bima. "Kamu nggak pacaran, kan?" Fariz menepuk-nepuk pundak putranya. "Aman, sesuai wasiat Daddy, hehe. Jodohin ajalah, Baim ngikut ummah sama Daddy!" "Hahaha … baiklah, nikah sama anak pesantren aja, yang kayak ummah gitu. Entar dimusyawarahkan dengan ummah. Memangnya, udah kebelet?" Fariz terkekeh dengan obrolan bersama Baim. "Lumayan, tapi tetap ditahan, hahaha …." jawab Baim dengan tawa. *** "Ummah, ikatin dua dong punya Cimes!" pinta Cimes Mika. "Sebentar, Nak. Ummah ikat dulu yang ini ... punya Ummah," jawabnya. Cimes Mika memukul-mukulkan tangannya ke kasur. Tidak sengaja ia memencet sosial media dan Salma mendengar pembicaraan yang mengejutkan. Orang itu menyebut nama Baim dan juga Nuura. "Sayang, Ummah ke Daddy dulu!" Salma terkejut dan segera mengantarkan ponsel. Cimes Mika juga sedang peka keadaannya. Dia mengangguk dan tetap tiduran di kamar orang tuanya. Fariz berada di teras rumah bersama Baim. Salma merasa lumayan aneh, dari tadi malam,
"Astaghfirullah! Ini mah bukan dandan, baju dilepas begitu, dandan dari dunia mana?" Salma shock melihatnya. "Hahaha ...! Kayak sama siapa dan baru pertama liat aja. Ini dunia bercinta." Fariz mulai membuka kancing baju istrinya. ***"Lemas … fix hamil!" Fariz memeluk perut istrinya. "Positif thinking, boleh, tapi ya gak gitu juga dong!" rengek Salma. "Apa yang salah?" Fariz malah mencium perut Salma. "Kalau ternyata belum fix, gimana?" Salma mengusap rambut suaminya. Kehamilan anak yang kedua itu juga sudah ditunggu. Alangkah bahagianya, jika ia benar-benar hamil. Salma cuma tidak ingin ucapan suaminya menjadi hal yang tidak nyata dan memberikan kekecewaan. "Kamu takut?" tanya Fariz. "Yaaa … uhuk …." Salma menutup mulutnya yang sedang merasa mual. "Tuh, kan … ini mah, fix! Alhamdulillah, Cioy hadir!" Fariz menatap istrinya dengan mata berbinar-binar. "Capa … buruan kita pulang! Jarak haid memungkinkan, mau segera tes!" gertak Salma. Hari itu Salma malas berbuat apapun. Kala
"Mau minum," jawab Mika. "Hahaha … gak boleh, Nak! Gantian untuk persiapan Adik Cioy yang minum," ucap Fariz dengan tawa. "Huaaaaaaaa! Semua Adik Cioy!" Cimes Mika jadi jeles karena dikaitkan terus dengan adiknya dari kemarin. "Loh, kok nangis? Duuh, Sayang … sini!" Salma memangku Mika dan memeluknya. Mereka tidak bermaksud semua untuk anak keduanya. Hanya saja, memang apa yang diucapkan sesuai dengan keadaan. Fariz malah punya ide yang membuatnya menahan tawa. Hal tersebut untuk meredakan tangis putri tersayangnya, yang kini sedang patah hati. "Sayang, buat main aja, boleh kok. Hahaha ...." Fariz tertawa lepas. "Capa!" Salma melotot keras ke arah Fariz. "Boleh, Ummah?" tanya Cimes Mika. Fariz terus tertawa menyaksikan mereka. Salma mengiyakan saja, toh, dia juga masih kecil, daripada terus menangis. Cimes Mika memang paling susah untuk bisa move on dari kedua minuman yang berjejer dengan cantik itu. "Iya, Kak Cim. Ketawa dulu!" Salma menggelitik perut putrinya. Paling tidak
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka