"Sebenarnya ada," jawab Baim. Baim rasa, saat itu sudah tepat untuk membicarakan tentang siapa ayah kandungnya. Bukan itu saja, tapi mengenai kejadian yang sebenarnya juga tentang kehadiran Syifa. Harapan Baim tidak lepas untuk mengharap kewarasan sebagai seorang manusia itu kembali. "Apa? Katakan, Nak! Biar kita bisa cari langkah," desak Fariz. "Iya, Baim akan katakan yang sesungguhnya. Sebenarnya, ayahnya Baim itu hilang. Semenjak itu, ibu sering merenung, sangat kehilangan ayah." Baim menunduk, dua mengingat momen kebersamaan dengan ayahnya. Ayah Baim hilang ketika akan bekerja di luar negeri, tapi masih menaiki kapal untuk menuju bandara pemberangkatan. Namun, ada kecelakaan dalam kendaraan tersebut, dan memakan banyak korban jiwa. Sayangnya, ayah Baim belum ditemukan sampai saat ini. Karena perekonomian yang juga kurang, dengan keadaan terpuruk pun, Nuura tetap berangkat ke luar negeri untuk bekerja menggantikan suaminya. "Baim, Daddy juga ayah kamu. Jangan sedih!" Fariz mena
"Capa udah tidur belum ya, Capa kasih hadiah nggak ya. Semoga aja aku mimpi Capa." Cimes tertawa dalam berkata. "Hahahaha …." Keduanya tertawa lepas, mereka terlihat lupa dengan masalah yang sedang dihadapi. Fariz izin dengan baik ke orang tuanya. Sebenarnya, Reva dan Vero itu kangen dengan Salma maupun Cimes Mika. Namun, hatinya masih bergejolak kalau ingat masalah obat. Reca tahu masalah tersebut, dia tidak mendukung sana mendukung sini, tapi berusaha ikut kakaknya memberi pengertian kalau itu bukan ulah Salma. "Lepas banget ketawanya. Oh iya, oma dan opa rindu kalian," ucap Fariz. "Cimes pasti dirindukanlah," sahut Salma. "Kamu juga, Sayang," jawab Fariz. "Cimes kangen pulang …." Keinginan untuk pulang pun teringat kembali, ia mengigit jarinya. Fariz mengalihkan untuk unboxing mainan yang baru saja ia bawakan. Bersamaan dengan unboxing banyak pakaiannya juga. Malam itu, ia menginap dan memuaskan diri untuk tinggal bersama keluarga kecilnya. Bukannya tidak suka tinggal bersama
"Eh, hehe ... ngomongin gelangnya Cimes. Banyak kan ya?" ucap Salma. "Banyak! Daddy gak beliin lagi, kalau beli dimarah." Cimes Mika menunjukkan pernyataan yang pernah dikatakan daddynya. Gelangnya sudah sangat banyak. Cimes Mika memang pecinta gelang. Bukan hobi dipakai, tapi dikumpulkan dan dibuat gelangnya para boneka. Sampai-sampai Fariz bilang ke anaknya itu untuk stop dulu beli gelangnya, kalau masih beli akan kena marahnya. "Daddy cuma tidak mau gelangnya tidak berguna, Sayang!" Salma mencubit pelan pipi chubby anaknya. "Kan tetap guna, buat jualan boneka," sahut Cimes Mika. "Yang buat jualan juga sudah ada, udah banyak," jawab Fariz. "Daddy tahu toko mainan?" Entah apa yang akan diucapkan. Namun, wajah-wajah dan model ucapan putrinya sangat menggemaskan. Dia berlagak seperti orang dewasa yang akan menang dalam sebuah perdebatan. "Tahu, kenapa?" tanya Fariz. "Tentang ... mainan. Di toko banyak kan yang dijual? Penuh terus itu tempatnya. Tokonya Cimes Mika juga laris, S
"Ada apa, Cam?" Fariz mendekap tubuh istrinya yang ketakutan. Salma masih terdiam dan memejamkan matanya. Fariz mengamati seluruh ruangan, tidak ada yang mencurigakan. Beruntungnya, Cimes Mika ditaruh kamar satunya, kalau tidak pasti sudah terbangun lagi. "Hehe, iseng doang, hahaha!" Salma puas mengerjai suaminya, ia tertawa lepas. Sekali-kali juga bercanda. Setelah sekian lama mereka dibungkam dengan sandiwara dan keseriusan. Ada saatnya pula, tubuh itu diajak tertawa tanpa mangsa. "Hmm, mau gelut Tom and Jerry?" Fariz mengangkat tubuh istrinya itu secara tiba-tiba. Fariz juga membalas dengan perkara yang menegangkan. Bahagia bersamanya adalah judul episode malam mereka. Seperti sebuah tipuan tentang rumah tangganya yang sedang runyam, seperti sebuah candaan, seorang Salma bisa bermasalah dengan mertuanya. Hanya seperti drama yang hanya kasat mata dan tidak nyata. 'Hanya kamu dan kamu serta kamu!' batin Salma. "Cam, izinin Capa poligami, ya?" pinta Fariz. "Poligami? Nggak!" ge
"Ada apa, Nil?" tanya Fariz tanpa basa-basi. "Ini dari istrinya Pak Fariz." Nila menyerahkan bingkisan kepadanya. Kesempatan juga ini untuk Fariz pergi. Fariz membawa bungkusan tersebut dan segera masuk mobil. Urusan yang ingin Nuura ucapkan itu belum tuntas. Ia terus mengejar Fariz dengan taxi yang sedari tadi ia naiki. "Hhhh, perempuan itu!" seru Fariz. Dia tidak menghentikan mobilnya, tapi malah melakukan dengan kecepatan penuh. Sampai-sampai, hampir saja hal tidak diinginkan terjadi. Fariz hampir menabrak mobil yang berlawanan arah, beruntungnya dia sigap untuk mengerem, tapi dia harus menyingkir dulu sehingga bertemu dengan perempuan licik itu. "Hahaha, gak usah sok kabur! Sudah ingin mati?" tanya Nuura. "Diam!" bentak Fariz. Fariz masih menekankan dirinya setelah duduk di bawah pohon dan meminum air putih yang dikasih istrinya. Hatinya terus beristighfar, berusaha menahan amarah, mengingat apa yang diucapkan istrinya sehingga amarah itu bisa perlahan reda. Barulah setelah
"Sanggup," jawab Salma. "Maaf, Capa nggak bermaksud bikin kamu dan Cimes sakit hati. Ada teman lama yang membuat jengkel, entar deh Capa cerita lengkapnya," ungkap Fariz dengan kebohongan. "Ya sudah, istirahat aja dulu! Cama udah siapin baju gantinya. Nak, kita ke ruang lain, yuk!" Salma menarik tangan putrinya. Sudah pasti, Fariz punya hal lain yang belum diungkapkan. Salma membiarkan saja, tidak mendesak suaminya supaya mau bercerita. Mertuanya sudah mendingan dan lumayan pulih, itu sudah cukup untuknya saat itu. Perasaan Salma baru saja sedikit terobati, setelah terhempas dalam lautan api yang tidak hanya satu hari. "Cimes jangan cemberut dong!" pinta Fariz. "Cimes Mika gak boleh begitu, ya! Nanti main sama Daddy." Salma menatap putrinya. "Sini, peluk dulu!" Fariz menadahkan tangannya. "Nggak-nggak! Maunya main sekarang!" gertak Mika. Salma hampir saja terjatuh karena Cimes Mika geraknya tidak beraturan. Fariz segera menepis rasa penatnya dan mengambil putrinya itu dari gend
"Kangen hamil! Imut kan, kalau Cama lagi hamil?" racau Salma. "Hahaha … dalam keadaan apapun juga tetap imut. Ngomong aja langsung daripada pakai kode-kode." Fariz tertawa mendengar rengekan Salma. "Hmm, ya udah ayo!" ajak Salma. "Ke mana?" tanya Fariz. "Iiih, aku mau move on dulu dari ngerjain yang namanya sakit itu! Sudah tahulah malam jum'at gini enaknya ngapain!" Salma masih memanyunkan bibirnya. Salma itu menuruti apa yang dianjurkan suaminya. Berusaha tenang dengan dirinya sendiri. Ia ingin nanti saja mendengar penjelasan yang selanjutnya. Salma ingin saat itu, kebahagiaan kedua belah pihak dapat terasa dengan puas. "Kamu nyaman disentuh seperti ini?" tanya Fariz. "Ya pastinya dong. Apalagi kalau sentuhannya ke bawah sedikit," jawab Salma. Setiap sentuhan nyata dengan cinta sang suami, tentu menjadi kepuasan untuk sang istri. Kepuasaan yang dilandasi dengan perkara yang benar, itu juga jauh lebih terasa nikmat. Dibanding dengan kepuasaan yang malah dilandasi dengan perkar
"Mmm, belumlah," jawab Bima. "Kamu nggak pacaran, kan?" Fariz menepuk-nepuk pundak putranya. "Aman, sesuai wasiat Daddy, hehe. Jodohin ajalah, Baim ngikut ummah sama Daddy!" "Hahaha … baiklah, nikah sama anak pesantren aja, yang kayak ummah gitu. Entar dimusyawarahkan dengan ummah. Memangnya, udah kebelet?" Fariz terkekeh dengan obrolan bersama Baim. "Lumayan, tapi tetap ditahan, hahaha …." jawab Baim dengan tawa. *** "Ummah, ikatin dua dong punya Cimes!" pinta Cimes Mika. "Sebentar, Nak. Ummah ikat dulu yang ini ... punya Ummah," jawabnya. Cimes Mika memukul-mukulkan tangannya ke kasur. Tidak sengaja ia memencet sosial media dan Salma mendengar pembicaraan yang mengejutkan. Orang itu menyebut nama Baim dan juga Nuura. "Sayang, Ummah ke Daddy dulu!" Salma terkejut dan segera mengantarkan ponsel. Cimes Mika juga sedang peka keadaannya. Dia mengangguk dan tetap tiduran di kamar orang tuanya. Fariz berada di teras rumah bersama Baim. Salma merasa lumayan aneh, dari tadi malam,