"Ya kalau ditutup, udah pergi aku. Kamu siap aku tinggal sekarang?" "Astaghfirullahaladzim, kamu ngomong apa, sih? Maksud Capa tuh bukan tutup mata yang itu. Kita tutup mata, TIDUR!" Fariz tidak suka istrinya menjawab seperti itu. "Cap, denyut malamku ingin berkata, rasanya malam ini beda banget. Kenapa ya?" Salma merasa aneh. "Gara-gara bercanda kamu yang nggak lucu, kan jadi aneh!" Fariz membenahi selimutnya, sebenarnya dia itu panik karena Salma baru berkata begitu dan sekarang malah bilang aneh. Salma tertawa lepas melihat wajahnya Fariz tanggal super panik. Padahal, Salma salah sekali tidak berpijak ke aneh tentang kematian. Justru dia itu merasa malam itu sangat bahagia, bahagia yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dia merasa malam itu seperti mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, tapi dia tidak tahu apa. "Hahaha, puas banget aku tertawa …." Salma tertawa sembari menjelaskan maksudnya. "Semoga saja CIMES datang ya." Fariz turut bahagia, lega dengan penjelasan tersebut.
"Kamu lagi hamil muda, kita di sini saja dulu," ucap Fariz. "Mmm," "Nggak usah sedih, kita pasti pulang, kok. Tapi nanti ya, kasihan kamu sama CIMES." "Hehe, iya-iya. Kerjaan Capa terbengkalai lama, kasihan Arju," ucap Salma. "Tidak masalah, lebih kasihan lagi kalau kamu sama Cimes kecapekan. Arju juga juga sudah banyak yang bantu." Fariz kembali melajukan mobil menuju ke hotel. Perjalanan berangkat dan pulang yang sungguh berbeda. Meskipun rasa mual dan sebagainya masih Salma rasakan, tapi kabar dari dokter itu serasa memusnahkan semua rasa sakit. Sangat bersyukur, berangkat masih dengan kepanikan, sekarang pulang dengan ketenangan, kebahagiaan. "Udah berkurang belum mualnya, pusingnya?" tanya Fariz. "Alhamdulillah, udah kok. Udah ketutup sama Cimes," jawab Salma. "Mmm, Singapura. Ternyata, kita diizinkan muncul Cimes di sini," ucap Fariz. "Di mana saja, hadirnya dia tetap istimewa," ucap Salma. Salma itu meskipun sedang mual dan pusing, dia tidak bisa menjadi pendiam. Dia b
"Beda, kalau udah ada CIMES lupa nih sama mata yang di atas!" rajuk Salma. "Ini, Capa udah di dekat mata kamu. Merajuk Cama tingkatnya juga lebih tinggi. Nggak bisa melupakan kamu, Cam, entah udah ada Cimes atau belum, kamu itu tetap wanita yang berhasil memikatku terus menerus." Fariz menatap halus mata istrinya. "Emm, yang bener?" "Ya iyalah, masa cuma cosplay, gak lucu," jawab Fariz. "Tapi aku tiba-tiba jadi bosan gini lihat Capa," ucap Salma membuat Fariz membelakakkan matanya. "Apa sih? Bagaimana bisa melihat orang seganteng ini dibilang bosan?" "Huuuk! Tuh, kan mual, suwer deh Capa bikin bosen plus bikin enek plus bikin lapar tapi tidak mood makan," Fariz menggeleng dengan ucapan istrinya. Wajar juga saat muda kalau tingkahnya ada yang membuatnya berputar pada porosnya. Namun, ini bukan aneh bagi Fariz, melainkan hal yang memang lain, sulit diungkapkan dengan kata-kata saking mirisnya. "Terus, Capa harus ngapain? Baru juga kamu rindukan, sekarang malah dicampakkan. Mau Ca
"Keluar, yuk!" ajak Salma. "Mau ngapain? Mau masukin angin?" Heran dengan istrinya, apalagi yang ia mau. "Hehe, nyatain mimpi," jawab Salma. "Memangnya mimpi apa? Bukannya kamu tadi seperti ketakutan waktu bangun?" tanya Fariz. "Makanya ayo keluar!" ajak Salma. "Kalau mimpi buruk mah, gak usah diraih kenyataannya dong, buat apa coba? Mau cari bahaya?" "Penasaran, Cap. Cuma keluar kamar sebentar aja, terus lurus ke kamar samping, siapa sih di dalam situ?" "Memangnya mimpi kamu apa, kok kekeh banget ingin ke sana?" tanya Sofyan, masih dengan keheranan yang melanda. Salma itu tidak mimpi buruk. Dia malah mimpi diusilin suaminya. Mungkin ini kebawa dia yang paginya berbuat usil kepada Fariz. Bangunnya dia seperti orang ketakutan, itu sebenarnya bukan ketakutan, tapi seolah-olah dia ingin menghindari dari perbuatan usul suaminya. "Hehe, Cama itu bukan mimpi buruk," "Duh, Capa ngantuk nih, cerita yang jelas." Fariz memejamkan matanya lagi. "Ih, gak seru! Malah ditinggal tidur lagi
"Yaa, namanya surprise gak bisa bilang di muka dong," jawab Fariz. "Uhmmm, ya udah tidur lagi," ungkap Salma. *** "Naisa!" Salma menghampiri Hunaisa di ruang tunggu hotel. "Ummah!" seru Hunaisa dengan terus tersenyum dalam hangatnya pelukan Salma. "Aaaauuuh, Ummah kangen banget, Sayang. Aman naik pesawatnya?" tanya Salma. "Huuh, Nais suka," jawab Hunaisa. Mereka datang ke Singapura saat usia kandungan Salma sudah satu setengah bulan. Itu sengaja mereka datang dibikin tersebut, supaya diambil lumayan tengahnya saja dengan pulangnya mereka ke Indonesia. Bukan hanya mertuanya dan Hunaisa yang datang, orang tua Salma juga ikut. "Ya Allah, malu gak bisa hentiin air mata, Sayang. Muaaah, cucu Oma, baik-baik ya, kita semua menunggu kamu datang." Tak henti-hentinya Reva memeluk dan mencium perut Salma. "Mari kita istirahat di ruang yang Fariz pesankan! Pasti pada capek," ajak Fariz. "Laper, makan di luar, no no di sini," ungkap Hunaisa. Hunaisa itu suka berjelajah. Dia paling senang
"Eh, Cap! Suud!" Salma tidak mau kedengaran keluarganya.Fariz tersenyum, dia paham dengan istrinya. Disuruh diam, ya dia ikuti saja. Supaya para keluarganya juga tidak bertanya yang macam-macam.***"Uhhh, hari ini kok lelah banget, Terima kasih surprise Capa waktu itu bikin mood Cama selalu muncul," ucap Salma.Fariz memberikan surprise kepada istrinya yang telah ia janjikan.Ia memberikan perhiasan dan juga lagu untuknya. Tidak hanya Freya yang mendapatkan hadiah lagu.Bukan hanya istri musisi terkenal yang mendapatkan hadiah lagu. Namun, istri CEO terkenal pun juga mendapatkan hadiah tersebut. Salma sangat suka mendengarkan lagunya."Hmm, apa lagu itu bisa sedikit merespon lelah kamu?" tanya Fariz."Iyalah, bisa. Suamiku bisa juga jadi musisi aku," ucap Salma sembari memutar lagu dari suaminya.
"Hehe, aku," jawab Fariz. "Terus? Kenapa masih ngeles?" "Ya kan, cuma satu persen dari seratus, Sayang," jawab Fariz. *** "Perut kamu," ucap Fariz sembari mencium perut istrinya. "Kenapa? Udah kelihatan banget, ya? Jadi gak suka dengan Cama?" "Kalau gak suka, ngapain Capa peluk cium manja begini? Uuuuh gemes banget malahan." Fariz malah mencium tangan Salma. "Hehe, dia udah mulai anteng nih akrab di dalam perut Cama. Kerasa kan?" Salma mengeratkan kepala Fariz ke perutnya untuk mendengarkan detak jantungnya. "Masyaallah Tabarokallah, Sayang, Capa nggak tahu harus bicara apa. Capa sangat bahagia," ungkap Fariz. Kebahagiaan yang sangat utuh. Mereka bersiap untuk kembali ke Indonesia. Jalan berdua menyusuri tempat menuju pesawat, mereka tampak sekali sebagai pasangan yang romantis. Tangan Fariz tidak lepas dari genggaman istrinya. Salma merasa sangat pegal, Fariz tidak lelah-lelahnya mengusap pinggang Salma. Mereka semakin tahu, akan bagaimana perjuangan orang tua. "Sabar ya, S
"Nggak," jawab Gus Bafre. Fariz tertawa lebar mendengar jawaban Bafre. Freya yang baru datang dan sempat mendengar juga tetapi. Entah kenapa putranya usa bicara begitu, padahal aslinya dia kangen banget. "Nggak salah, hihihi." "Hahaha, anak kamu ini, Frey! Masyaallah, kamu mewarisi sikap konyol Ummah ya, Nak," ungkap Salma yang disertai senyum dan tawa dari semuanya. "Ummah!" teriak Hunaisa. Hunaisa itu lagi posesif banget. Tidak ingin Gus Bafre dipangku oleh Salma. Inginnya hanya dia untuk sekarang ini. Mungkin karena saking rindunya anak tersebut. "No! Adek Bafre nggak boleh dipangku Ummah, Hunaisa mau dipangku," rengek Hunaisa. "Lapar," ucap Gus, Bafre tiba-tiba. Dia sok cuek saja dengan rengekan Hunaisa. Anak itu malah bicara kalau dirinya sedang lapar. Mereka ingin ketawa lagi, tapi Hunaisa malah menangis. "Nak Bafre sama Ummah dulu, kita cari makan," ucap Freya. "Nais juga mau makan, Ummah," manja Hunaisa dengan memeluk Salma. Salma tidak marah dengan sikap putrinya. I