"Siapa, sih?" Salma kepo tapi jam masuk udah dekat.
Salma menahan rasa penasarannya. Kalau ia turuti saat itu, jawaban sudah pasti, TELAT. Namun, saat ini Salma tidak merasa kalau dirinya sedang tidak aman.
Dia juga bukan penakut. Dari dulu, Salma sudah menjadi wanita tangguh yang bisa menjaga diri. Terlepas dari sebelum pernikahannya dengan Fariz, hal tersebut sudah menetap dalam diri Salma.
***
"Wildan, Pak Dorsin, ada apa ya panggil saya?" tanya Salma di kantin kampus.
"Nyantai, kita ngobrol. Duduklah," ucap Dorsin.
"Maaf, kalau sekiranya cuma ngobrol biasa, saya,"
"Nggak biasa. Ini hal penting, Sal," cegah Wildan.
"Apa?" Salma kembali untuk duduk di kursi yang telah disediakan dengan wahai serius.
"Baiklah, saya akan katakan. Hal serius itu, DOSE
"Kita jalan-jalan dululah, bentar," ucap Freya. "Iiih! Turunin sini aja," ucap Clarissa tidak betah dengan Salma dan Fariz. "Bentar, kalau aku turunin kasihan… entar Kak Clarissa Sang Ratu, jadi malu. Masa, Ratu jalan kaki sendirian di pinggir jalan," ucap Salma. Mereka mulai bertanya-tanya. Memberikan camilan juga untuk Clarissa. Salma terus saja tidak menggubris rengekan Clarissa untuk minta diturunkan. "Kak Cla, menurut kamu, siapa sih dosen paling cakep?" tanya Freya. Freya duduk di kursi belakang dengan Clarissa. Salma menahan tawanya duduk di depan sambil menyetir mobilnya. Entah karena cemilan itu kesukaan Clarissa jadi dia nyaman, atau memang kenapa. Setelah makan cemilan bersama, ia tidak lagi merengek minta diturunkan. "Menurut aku ya, pak Dorsin," jawab Clarissa. "Waaawwww!" Sontak, Freya hampir saja membuat rencana dihancurkan sendiri. "Kenapa asyik banget gitu? Menurut kamu siapa?Jangan-jangan jalur naksir pak Dorsin, kan?" tanya Clarissa. "Ngawur! Aku udah nikah,
"Ada coklat, banyak kok, entar kamu lihat sendiri sampai rumah," ucap Fariz. Mami dan papinya Fariz juga terlihat sangat kangen. Setelah semua berkumpul, mereka semua bergegas untuk pulang. Fariz juga rindu dengan anak-anak panti, terlebih ke yang paling kecil, Hunaisa. "Papi, Mami, sehat kan?" tanya Fariz sembari memeluk mereka bergantian. "Alhamdulillah, Nak," jawab mereka. Sampai di depan rumah, Hunaisa dan yang lain masih makan siang. Fariz segera bersih-bersih dulu lalu menghampiri mereka. Salma menyisir rambut acak-acajan suaminya biar semakin ganteng. "Gini kan, tambah ganteng," ucap Salma seraya menyisir rambut Fariz. "Hahaha … sayangku," tawa Fariz. "Daddy … Daddy … Daddy … Daddy!" teriak Hunaisa, tanpa permisi nyelonong masuk kamar. "Naisa, Sayang … udah besar aha kamu, Nak. Daddy kangen banten sama Nais." Fariz langsung menggendong putri kecil itu dan memeluknya. Fariz jadi teringat kejadian di London. Bagaimanapun, Hunaisa juga harus diketahui sebenarnya dia ini a
"Menurut kamu siapa?" tanya Fariz. "Yang pasti, mami dan papi sangat hebat, bisa menjadikan Capa seperti ini." Salma selalu menjunjung tinggi mertuanya. Dia sangat bersyukur diberi mertua yang juga menyayanginya serta sangat memahaminya. Tidak hanya ketika Salma bersanding dengan Fariz. Bahkan, saat ia ke London, mertuanya itu juga selalu ada untuk Salma. "Hahaha … yaaa begitulah, kamu selalu menjujung tinggi mertuamu. Thanks, Sayang," ucap Fariz. "Setiap menantu yang sudah dibukakan hatinya, ya tidak akan pernah tega menghinakan mertua, Cap. Alhamdulillah, Allah membuka hati Cama, ini semua karena Allah, kehendak Allah," jawab Salma. "Udah saatnya, sekarang Capa makan kamu. Sudah nggak tahan, Cam." Fariz begitu menyeramkan, langsung menggendong istrinya ke tempat istimewa mereka. Salma pasrah saja. Batinnya juga sangat bahagia bisa menjalankan ibadah lagi bersama suaminya. Memang, keluarga yang diisi dengan penuh cinta itu tidaklah sia-sia. Pernyataan harta yang paling berharga
"Pagi, jam enaman dia datang, Cap," ucap Salma setelah chatnya dibalas. "Oke. Kamu sini dong, Capa kedinginan," manja Fariz. "Iya, Cama kan ini mau charger ponsel dulu. Sebentar aja kok udah manja sekali suami aku," omel Salma dengan senyum yang semanis tebu. Setelah chat masuk, Salma masih di tempat dekat charger ponsel. Fariz ingin beraksi lagi untuk istrinya. Berubah menjadi manja, itulah sikap Fariz ketika sakit. Fariz jadi mirip seperti bayi. Walaupun pada dasarnya ia tidak tega melihat istrinya kerepotan mengurusnya, dirinya tetap saja tidak lepas dari sikapnya yang seperti itu. Dari hatinya berkata, sikapnya yang menjadi manja itu, itu karena dia sangar sayang kepada istrinya. "Buruan!" Fariz terlihat sangat sangar. Membuat Salma yang mau menancapkan charger ponselnya tidak bisa masuk-masuk. "Jangan sangar-sangar! Cama tuh baperan, sudah ngerti juga," rajuk Salma Dia ingin lebih diperhatikan lagi. Dia ingin istrinya secara gamblang menunjukkan rasa cintanya. Meskipun nyat
"Capa nggak suka," ucap Fariz. "Berarti benci? Capa marah?" tanya Salma. "Tidak suka itu, tidak melulu diselimuti dengan benci atau marah. Capa hanya merasa terlalu mengacuhkan tamu saja." Fariz tahu keinginan baik istrinya, tapi dia tidak suka hal tersebut. Fariz benar dengan pernyataannya. Tidak suka itu juga tidak selalu membenci maupun marah. Kalau bisa mengontrol dan tetap sabar, akan semakin aman jiwa tidak meronta. Selain itu, Fariz juga tetap ingat apa kata suaminya. Kalau tidak suka, benci dengan sesuatu itu, jangan orangnya, tapi perilakunya. Sangat sering istrinya mengingatkan hal tersebut . Salma juga tidak sombong. Kalau dirinya, memang salah, dia juga meminta suaminya untuk tetap mengingatkan. Meskipun ilmu agamanya jauh lebih tinggi Salma, tidak pernah sekali pun, Salma meremehkan jika d ingatkan suaminya. Karena ia sadar, kalau dirinya itu manusia, yang melz'g kehidupan manusia itu harus saling mengingatkan supaya lebih nyaman, aman, bahagia dengan selamat. "Yaa,
"Yang aku nggak ikhlas itu, sikap Capa mengenai bilang aku cemen," rajuk Salma. "Kemarin itu? Hahaha ..." tawa Fariz. "Oooh, itu. Hahaha … canda doang, makanya kalau tugas itu segera dikerjain, jangan nunggu hari paling dekat dengan deadline." Fariz mengusap halus kepala istrinya. "Biasanya sih iya. Cuma akhir-akhir ini kan, gak ada yang nemenin sambil manjain aku, jadi males!" Ujungnya tetap Fariz yang kena. "Ehm, ya maaf, Sayang. Jadi gara-gara ini nih, ngambek dari bangun tidur sampai matahari udah bersiaplah muncul ini?" Fariz terus saja mengusap-usap punggung istrinya. Seakan memberi isyarat, "Sabar... sabar... sabar, udah ya merajuknya." "Hahaha ...." Salma melepaskan tawanya. Ia tidak tahan lagi untuk tidak membongkar pranknya.Fariz hanya melotot dengan senyum yang ditahan. Itu pasti kesabaran setipis tisu menghampiri, tapi tetap dijaga, demi istrinya supaya tidak baper terkena bentakannya. Salma terus tertawa dan menarik bibir suaminya itu supaya senyum. Fariz juga bisa u
"Mau apa, ya." Salma bingung, apa yang mau ia jawab."Mi, Cama tuh sungkan, hahaha …" tawa Fariz.Baru saja, yang merasakan ketar-ketir Fariz. Rupanya, sekarang suaminya itu sedang mengoperasi istrinya. Ganti Salma yang ketar-ketir di depan mertuanya."Gak usah malu, entar beliin cenil aja Mi." Fariz merangkul dan membelai istrinya itu di depan maminya."Nggak usah usah sungkan, Sal. Sudah dua tahun lebih loh kita bersama. Oke, nanti tak beliin cenil, uenak pol itu yang di pasar, kamu pasti suka. Mami itu, rasanya adel banget, seneng kalau lihat kalian romantis gini di depan mami." Mami Reva tersenyum, kemudian Salma dan Fariz beranjak memeluknya.
"Tidak," jawab Salma. "Kenapa, Sayang? Kok kamu cemberut gitu?" Fariz melihat istrinya itu seperti sedang badmood. "Males deh masuk kuliah, pengennya sama Capa terus," manja Salma. "Menjadi kamu semakin hari kok semakin parah, sih," racau Fariz. "Gak peduli! Cama males!" Entah kenapa, istrinya itu jadi malas kuliah. Tidak pernah sebelumnya ia seperti ini. Kalau urusan dengan pendidikan dia itu selalu semangat bahkan lebih semangat dibanding Fariz. Ini malah bermanja ketika mobil telah melaju dan hampir sampai kampus. Fariz memberhentikan mobilnya. Dia tidak saja istrinya, biar ekspresinya semakin lucu. "Istri aku lagi manja, inginnya sama Capa terus, apa Capa ikut ke kelas kamu? Begitu?" Fariz tersenyum dengan tatapan meledek yang sudah mulai beraksi. "Capa!" Salma bersandar ke suaminya sambil memejamkan matanya. "Capa, kamu tuh kalau ngasih solusi yang bener," celetuk Salma. "Hahaha … ya lagian, ini waktunya kita mengerjakan tugas kita, kenapa ada badmood sih? Jangan-jangan,