"Menurut kamu siapa?" tanya Fariz. "Yang pasti, mami dan papi sangat hebat, bisa menjadikan Capa seperti ini." Salma selalu menjunjung tinggi mertuanya. Dia sangat bersyukur diberi mertua yang juga menyayanginya serta sangat memahaminya. Tidak hanya ketika Salma bersanding dengan Fariz. Bahkan, saat ia ke London, mertuanya itu juga selalu ada untuk Salma. "Hahaha … yaaa begitulah, kamu selalu menjujung tinggi mertuamu. Thanks, Sayang," ucap Fariz. "Setiap menantu yang sudah dibukakan hatinya, ya tidak akan pernah tega menghinakan mertua, Cap. Alhamdulillah, Allah membuka hati Cama, ini semua karena Allah, kehendak Allah," jawab Salma. "Udah saatnya, sekarang Capa makan kamu. Sudah nggak tahan, Cam." Fariz begitu menyeramkan, langsung menggendong istrinya ke tempat istimewa mereka. Salma pasrah saja. Batinnya juga sangat bahagia bisa menjalankan ibadah lagi bersama suaminya. Memang, keluarga yang diisi dengan penuh cinta itu tidaklah sia-sia. Pernyataan harta yang paling berharga
"Pagi, jam enaman dia datang, Cap," ucap Salma setelah chatnya dibalas. "Oke. Kamu sini dong, Capa kedinginan," manja Fariz. "Iya, Cama kan ini mau charger ponsel dulu. Sebentar aja kok udah manja sekali suami aku," omel Salma dengan senyum yang semanis tebu. Setelah chat masuk, Salma masih di tempat dekat charger ponsel. Fariz ingin beraksi lagi untuk istrinya. Berubah menjadi manja, itulah sikap Fariz ketika sakit. Fariz jadi mirip seperti bayi. Walaupun pada dasarnya ia tidak tega melihat istrinya kerepotan mengurusnya, dirinya tetap saja tidak lepas dari sikapnya yang seperti itu. Dari hatinya berkata, sikapnya yang menjadi manja itu, itu karena dia sangar sayang kepada istrinya. "Buruan!" Fariz terlihat sangat sangar. Membuat Salma yang mau menancapkan charger ponselnya tidak bisa masuk-masuk. "Jangan sangar-sangar! Cama tuh baperan, sudah ngerti juga," rajuk Salma Dia ingin lebih diperhatikan lagi. Dia ingin istrinya secara gamblang menunjukkan rasa cintanya. Meskipun nyat
"Capa nggak suka," ucap Fariz. "Berarti benci? Capa marah?" tanya Salma. "Tidak suka itu, tidak melulu diselimuti dengan benci atau marah. Capa hanya merasa terlalu mengacuhkan tamu saja." Fariz tahu keinginan baik istrinya, tapi dia tidak suka hal tersebut. Fariz benar dengan pernyataannya. Tidak suka itu juga tidak selalu membenci maupun marah. Kalau bisa mengontrol dan tetap sabar, akan semakin aman jiwa tidak meronta. Selain itu, Fariz juga tetap ingat apa kata suaminya. Kalau tidak suka, benci dengan sesuatu itu, jangan orangnya, tapi perilakunya. Sangat sering istrinya mengingatkan hal tersebut . Salma juga tidak sombong. Kalau dirinya, memang salah, dia juga meminta suaminya untuk tetap mengingatkan. Meskipun ilmu agamanya jauh lebih tinggi Salma, tidak pernah sekali pun, Salma meremehkan jika d ingatkan suaminya. Karena ia sadar, kalau dirinya itu manusia, yang melz'g kehidupan manusia itu harus saling mengingatkan supaya lebih nyaman, aman, bahagia dengan selamat. "Yaa,
"Yang aku nggak ikhlas itu, sikap Capa mengenai bilang aku cemen," rajuk Salma. "Kemarin itu? Hahaha ..." tawa Fariz. "Oooh, itu. Hahaha … canda doang, makanya kalau tugas itu segera dikerjain, jangan nunggu hari paling dekat dengan deadline." Fariz mengusap halus kepala istrinya. "Biasanya sih iya. Cuma akhir-akhir ini kan, gak ada yang nemenin sambil manjain aku, jadi males!" Ujungnya tetap Fariz yang kena. "Ehm, ya maaf, Sayang. Jadi gara-gara ini nih, ngambek dari bangun tidur sampai matahari udah bersiaplah muncul ini?" Fariz terus saja mengusap-usap punggung istrinya. Seakan memberi isyarat, "Sabar... sabar... sabar, udah ya merajuknya." "Hahaha ...." Salma melepaskan tawanya. Ia tidak tahan lagi untuk tidak membongkar pranknya.Fariz hanya melotot dengan senyum yang ditahan. Itu pasti kesabaran setipis tisu menghampiri, tapi tetap dijaga, demi istrinya supaya tidak baper terkena bentakannya. Salma terus tertawa dan menarik bibir suaminya itu supaya senyum. Fariz juga bisa u
"Mau apa, ya." Salma bingung, apa yang mau ia jawab."Mi, Cama tuh sungkan, hahaha …" tawa Fariz.Baru saja, yang merasakan ketar-ketir Fariz. Rupanya, sekarang suaminya itu sedang mengoperasi istrinya. Ganti Salma yang ketar-ketir di depan mertuanya."Gak usah malu, entar beliin cenil aja Mi." Fariz merangkul dan membelai istrinya itu di depan maminya."Nggak usah usah sungkan, Sal. Sudah dua tahun lebih loh kita bersama. Oke, nanti tak beliin cenil, uenak pol itu yang di pasar, kamu pasti suka. Mami itu, rasanya adel banget, seneng kalau lihat kalian romantis gini di depan mami." Mami Reva tersenyum, kemudian Salma dan Fariz beranjak memeluknya.
"Tidak," jawab Salma. "Kenapa, Sayang? Kok kamu cemberut gitu?" Fariz melihat istrinya itu seperti sedang badmood. "Males deh masuk kuliah, pengennya sama Capa terus," manja Salma. "Menjadi kamu semakin hari kok semakin parah, sih," racau Fariz. "Gak peduli! Cama males!" Entah kenapa, istrinya itu jadi malas kuliah. Tidak pernah sebelumnya ia seperti ini. Kalau urusan dengan pendidikan dia itu selalu semangat bahkan lebih semangat dibanding Fariz. Ini malah bermanja ketika mobil telah melaju dan hampir sampai kampus. Fariz memberhentikan mobilnya. Dia tidak saja istrinya, biar ekspresinya semakin lucu. "Istri aku lagi manja, inginnya sama Capa terus, apa Capa ikut ke kelas kamu? Begitu?" Fariz tersenyum dengan tatapan meledek yang sudah mulai beraksi. "Capa!" Salma bersandar ke suaminya sambil memejamkan matanya. "Capa, kamu tuh kalau ngasih solusi yang bener," celetuk Salma. "Hahaha … ya lagian, ini waktunya kita mengerjakan tugas kita, kenapa ada badmood sih? Jangan-jangan,
"Lipstik?" Fariz kaget, ia baru ingat kalau karyawannya tadi tidak sengaja menabraknya karena sedang buru buru. Namun, Fariz tidak tahu kalau lipstiknya membekas di bajunya. Kebetulan, jasnya juga sedang dilepas. Salma semakin mendekat, sorot matanya sangat tidak suka melihat benar-benar lipstik di baju suaminya. "Ini lipstik siapa? Kamu habis dipeluk siapa?" gertak Salma. "Cama, ini Capa nggak tahu ada lipstik di sini. Gak ada yang meluk Capa kecuali kamu," ucap Fariz. "Hehh, tidur apa pingsan tadi di kantor?" "Oh, Capa gak tidur gak pingsan. Begini ceritanya." Fariz menceritakan kejadian aslinya. "Oh, begitu. Tetep dong, dipeluk orang lain jadinya," rajuk Salma. Salma merebahkan tubuhnya, menjauh dari suaminya yang masih berdiri di depan ranjang mereka. Fariz pun juga duduk di kursi untuk menyeduh kopi buatan istrinya. Sal
"Oh, ini Cap." Salma mengulurkan ponselnya. "Mmm, ada acara di pesantren. Kamu diundang untuk juri perlombaannya, ya sudah kamu utamakan pesantren ya. Ikhlas gak jadi nonton?" "Baiklah, Insyaallah Cama ikhlas. Bagaimana dengan Capa? Mau temani Cama atau tetep nonton?" "Ya jelas temani Cama, dong. Untuk apa nonton kalau gak duduk di samping kamu? Siapa yang aku genggam tangannya? Memangnya boleh kalau orang lain?" goda Fariz. "Hiiih! Ya nggak dong, tak suruh mandi sembilan puluh sembilan kali kalau sengaja," "Kirain langsung dilepasin!" "Nggak bisa, aku nggak mau kita berdua sama-sama tersakiti. Aku sudah menanamkan dalam diriku, bahasannya dirimu dan diriku itu sudah serempak denyut malamnya, gak bisa diganggu gugat!" Walaupun ingin nonton film, tapi karena ada utusan dari pesantren, Fariz juga tetap memilihkan istrinya untuk tetap memenu
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka