"Oh, ini Cap." Salma mengulurkan ponselnya.
"Mmm, ada acara di pesantren. Kamu diundang untuk juri perlombaannya, ya sudah kamu utamakan pesantren ya. Ikhlas gak jadi nonton?""Baiklah, Insyaallah Cama ikhlas. Bagaimana dengan Capa? Mau temani Cama atau tetep nonton?""Ya jelas temani Cama, dong. Untuk apa nonton kalau gak duduk di samping kamu? Siapa yang aku genggam tangannya? Memangnya boleh kalau orang lain?" goda Fariz."Hiiih! Ya nggak dong, tak suruh mandi sembilan puluh sembilan kali kalau sengaja,""Kirain langsung dilepasin!""Nggak bisa, aku nggak mau kita berdua sama-sama tersakiti. Aku sudah menanamkan dalam diriku, bahasannya dirimu dan diriku itu sudah serempak denyut malamnya, gak bisa diganggu gugat!"Walaupun ingin nonton film, tapi karena ada utusan dari pesantren, Fariz juga tetap memilihkan istrinya untuk tetap memenu"Oh, iya. Ini Mbak Salma, kan? Aaa, ini Mbak Salma! Bagaimana kabarnya, Mbak?" Tsaani senang bertemu dengan orang yang saat di pesantren selalu ada buat dirinya. "Hehe, benar. Alhamdulillah, heboh banget, kebiasaan! Kamu ikut lomba, nggak?" tanya Salma dengan "Oh, iya. Ini Mbak Salma, kan? Aaa, ini Mbak Salma! Bagaimana kabarnya, Mbak?" Tsaani senang bertemu dengan orang yang saat di pesantren selalu ada buat dirinya. "Hehe, benar. Alhamdulillah, heboh banget, kebiasaan! Kamu ikut lomba, nggak?" tanya Salma dengan melepaskan pelukan kangen dengan sahabatnya. "Tentu, dong. Dudukan Mbak Salma gitu, loh. BTW, aku ikut yang baca kitab, duuh! Rasanya udah panas dingin dari sekarang, gimana dong, Mbak?" Salma terrawa lepas. Dari MTs sampai sekarang sudah mau lulus MA, dia itu memang paling rempong kalau melakukan sesuatu. Karena saking hebohnya, itu terkadang bisa membuat dirinya fatal saat tampil.
"Bolehlah, mau curhat tentang apa?" tanya Salma. Salma itu tidak pelit untuk kebaikan. Apapun yang dua mampu, akan berusaha ia oleh juga untuk memberi ketenangan sesamanya. Termasuk, jika santri di situ ingin curhat dengannya, dia sangat bersedia untuk menjadi pendengarnya. "Ini loh, aku ngerasa boros banget, sampai nggak tega mau minta ke orang tuaku kalau sedang habis. Tapi gimana? Akhir-akhir ini, banyak iuran. Apa lagi aku udah kelas 6, mau haflah, Mbak." "Ya, berarti kamu harus belajar memenejemen sendiri tentang keuangan kamu. Kamu keluarin untuk yang pokok dulu, baru kalau sudah yang pokok, itu untuk kesenangan, tapi tetap dibatasi. Setiap kali habis kiriman, kamu tulis tuh berapa kiramanmu, apa kebutuhan pokokmu. Terus, setelah itu kamu lihat, a masih berapa sisanya? Nah, kamu juga harus sadar, menahan hawa nafsu untuk banyak jajan, itu perlu juga diatur. Sebisa mungkin, setiap
"Mmm." Gus Bafre hanya bergumam."Kenapa, Sayang?" Salma mengusap air mata putrinya."Dicubit, huwaaa ...""Bafre nyubit Kak Nais?" Gus Barra memegang kedua pundak pundaknya dan menatapnya."Af ... ...""Wan." Gus Bafre memeluk Nais begitu saja.'Masyaallah, Afwan. Adik Bafre minta maaf, Sayang. Udah ya nangisnya,""Nggak mauuuuuu," rengek Hunaisa dengan merangkul Salma, masih ngambekFreya menggendong Bafre, mengambil dirinya dari memeluk Naisa. Bafre terlihat sekali seperti cowok yang lagi patah hati, yang sedang dicuekin kekasihnya."Duuh, sadis amat, Mbak? Nggak kadigan sama cowoknya?" goda Fariz dengan tawa.Semua jadi menahan tawa. Lirikan Hunaisa sangat tajam untuk Bafre. Hunaisa jadi terlihat seperti cewek g
"Sudahlah, kamu nggak ada salah, Nak. Papa kangen, ya kangen aja. Kangen ngobrol sama kamu, meskipun setiap detik kamu bertemu Papa, Papa itu tetap kangen sama kamu."Hanya ingin ngobrol sebenarnya. Dan bukan berarti Salma tidak pernah ngobrol juga. Cinta papanya ke putrinya itu juga besar. Meskipun sudah menikah, Rohman selalu menyayangi Salma."Papa … Salma juga, kok. Kita mau ngobrol apa, enaknya?" tanya Salma."Ngobrolin cucu Papa," ucap Rohman.Antara sesak dan jerit. Antara pura-pura kuat dan terus menguatkan. Antara bisa berbicara dan mengusahakan bisa bicara.Kalau sudah membahas tentang anak, Salma itu lemah. Apakah dia bisa kyar di depan papanya? Di depan orang yang telah merawat menafkahi dan menyayanginya dari belum lahir sampai sekarang telah dewasa.Kalau ia mau lemah, rasanya sangat tidak tega.
"Hallo, Cama. Kenapa?"Kok kenapa, sih? Gak boleh VC?""Loh-loh, bukan begitu maksudnya. Capa selalu bahagia bisa bicara dengan kamu, Sayang. Jangan merajuk gitu, dong!""Eh, Papa. Cama gak ngribetin kan, Pa?" tanya Fariz setelah Salma mengarahkan ponselnya ke Rohman."Oh, nggak sama sekali. Papa seneng bisa banyak ngobrol sama istri kamu.""Alhamdulillaah, Pa. Maaf, Fariz melanggar peejanjian, pasti buat papa sedih.""Hahaha ... yang penting sudah, jangan diulangi! Sekarang ini, hanya kamu yang paling paham dengan istrimu, Nak! Jaga terus anak papa yang cantik ini, biar hatinya juga tetap tersenyum cantik, bukan tersenyum sakit,""Siap Pa, dia itu perhiasanku. Aku tentu akan rusak, mual dipandang, jika tidak ada istriku. Belum lagi kalau dia sedang merasa sakit, Fariz benar-benar kehilangan arah. Bagi
"Adik? Belum sekarang ya, masih beberapa bulan lagi," jawab Salma dengan tersenyum. "Kalau yang dari Onty?" tanyanya lagi. "Hehe, Asma doakan aja, semoga bisa cepet ada adik bayinya." Salma lebih mendekat dengan Asma dan memeluknya. Ia terharu melihat Asma yang sudah cepat sekali sebesar itu. Perasaan, baru kemarin sore Salma melihat Asma masih bayi yang masih merah. Bicara tentang anak lagi, ketegaran mencoba terus untuk Salma ungkapkan. "Siap, Onty. Kenapa Onty menangis?" tanya Asma dengan heran. "Hmm, maaf. Onty cengeng, ya. Onty tuh nangis bahagia, Sayang. Seneng banget bisa lihat Asma sekarang sudah sebesar ini," ucap Salma. "Yang bener?" tanya Asma. "Ya bener dong, ngapain juga berbohong. Sekarang, Onty mau tanya nih. Asma di sekolah suka main apa suka belajar?" tanya Salma. Asma berpikir ala-ala anak kecil. Dengan gaya centilnya dia menggerakkan jarinya ke wahai seperti mau berfoto. Salma tertawa melihat tingkah centil satu-satunya keponakan dia ini.Kalau melihat Asma y
Mereka menjelaskan apa yang baru saja dibincangkan. Tadi malam juga hal tersebut sudah dibahas dengan mamanya Salma. Mereka melanjutkan obrolannya dengan berganti topik. "Dah dong nangisnya. Kita ngobrol cenil aja, katanya kamu bikin cenil sama Fariz?" ungkap Risa. "Hehe, pasti ini yang kasih tahu Mami." "Iya, tega benget kamu gak bikinin Mama." Rupanya, Rusak juga ingin merasakan cenil buatan anaknya. "Hahaha, ya udah Salma buatin, tapi maaf kalau nggak sesuai yang untuk mami. Soalnya yang jago itu Capa, sekarang kan Capa gak bersama Cama," jelas Salma. Mamanya tersenyum manis untuk anaknya. Ia senang dengan kerukunan Salma dan Fariz. Meskipun, yang nama nya manusia yang tidak luput dari pernah berbuat salah. "Ya caranya, to," ucap Risa membuat Salma mengerutkan dahinya."Maksudnya apa, Ma?" Salma belum paham. "Masaknya bareng sama suami," jawab Risa. "Berarti belum sekarang ya, Ma. Kan sekarang masih belum bisa bersama," ungkap Salma. Mamanya tetap bilang sekarang. Karena pu
"Waaah, wah nggak enak banget gak ada kamu di samping aku.""Haha, makanya jangan diulangin ngebentaknya!"***"Abidzar, kali sudah dari tadi?" tanya Clarissa."Ya sudah, kan habis meeting." Fariz, terus memegangi kepalanya karena lumayan pusing, pembahasan meeting nya menguras energi."Kamu pernah diginiin istri kamu, nggak sih? Soalnya, aku sering lihat kamu pening begini saat masuk kantor." Clarissa menutup mata Fariz dari belakang.Memang itu sengaja tidak Fariz beritahu ke istrinya tentang kebiasaannya itu. Dan Fariz tidak mau Salma melakukan hal tersebut, karena sangat menyentuh ke masa lalunya. Dan kini, Clarissa mengungkitnya, mengingatkan akan kejadian beberapa tahun yang lalu.Saat pusing, Fariz itu suka ditutup matanya dengan telapak tangan kekasihnya. Awalnya Fariz masih tenang,ia tidak tert
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka