"Waaah, wah nggak enak banget gak ada kamu di samping aku."
"Haha, makanya jangan diulangin ngebentaknya!"
***
"Abidzar, kali sudah dari tadi?" tanya Clarissa.
"Ya sudah, kan habis meeting." Fariz, terus memegangi kepalanya karena lumayan pusing, pembahasan meeting nya menguras energi.
"Kamu pernah diginiin istri kamu, nggak sih? Soalnya, aku sering lihat kamu pening begini saat masuk kantor." Clarissa menutup mata Fariz dari belakang.
Memang itu sengaja tidak Fariz beritahu ke istrinya tentang kebiasaannya itu. Dan Fariz tidak mau Salma melakukan hal tersebut, karena sangat menyentuh ke masa lalunya. Dan kini, Clarissa mengungkitnya, mengingatkan akan kejadian beberapa tahun yang lalu.
Saat pusing, Fariz itu suka ditutup matanya dengan telapak tangan kekasihnya. Awalnya Fariz masih tenang,ia tidak tert
Niat Freya sebenarnya untuk mencairkan suasana. Sebenarnya jawabannya sudah pasti. Namun, keempat mata itu malah kompak melotot ke Freya. "Uhmm, iya-iya aku sudah paham. Kalian jangan putusin apa-apa dulu saat marah begini. Tenangin setenang-tenangnya marah kalian. Oh iya, jangan marah-marah, ya? Kalian cukup dengan marah saja satu kali di hari ini saat ini, TITIK. Jangan jadi pemarah, entar aku jadi ketakutan!" Freya masih berusaha mencairkan suasana di saat ketegangan keduanya sedang bergejolak. Mereka berdua lupa kalau masih menaruh sesuatunya di ruang Fariz. Mau diambilkan pun mereka menolak. Mereka berdua masuk ruang Fariz sekalian wudlu juga. Setelah cukup prosesi mereka di ruang Fariz, Salma dan Fariz menemui Freya lagi. "Frey, anterin pulang, kamu yang nyetir. Takutnya bahaya kalau aku atau dia yang nyetir," pinta Salma tidak menanggapi pernyataan Freya. "Terus, aku?" Fariz bingung. "Ya ampun, Fariz! Ya kamu duduk di samping Salma dong, Cama tersayangmu ini nyuruh aku nyet
"Kalau bukti Cama tidak sesuai harapan Capa juga bagaimana?" "Aku percaya kamu bisa membuktikan, Sayang." mereka memang tidak bisa lama-lama bertengkar, ia mendekati Salma. Sudah terang, semua tidak tahan untuk tidak seperti biasanya. Mereka sudah saling percaya meskipun nanti memang ada kenyataan menyakitkan. Salma lebih tenang dari Fariz karena memang Salma asli seratus persen tidak salah, sedangkan Fariz tujuh puluh persen salah. "Aku juga percaya Capa bisa membuktikan," jawab Salma. "Kalau Capa jujur tentang sesuatu yang membuat sakit hati, marah, apa Cama masih mau memaafkanku?" Fariz ingin memastikan dulu sebelum mengatakan yang sesungguhnya. Setidaknya, untuk persiapan istrinya ketika mulutnya berhasil melontarkan kejujuran. Dan harapannya tetap bisa aman untuk hubungan mereka. "Insyaallah, Cama akan menerimanya yang penting sekarang sudah tidak melakukan itu lagi. Capa, kita bukan malaikat, wajar kalau kita marah, sakit hati. Namun, yang tidak boleh itu kalau menjadi seor
"Rutinitasnya," jawab Salma. "Masyaallah, istriku ini. Dengan senang hati Capai akan lakuin," jawab Fariz dengan sangat bahagia. Sikap excited Salma tetap saja berpihak. Mereka sudah clear dan kembali untuk mengukir masa romantis lagi. Begitu beruntungnya Fariz, istrinya selalu memberi dukungan dan tidak memojokkan. *** "Hunaisa, Asma, Humaira, Salma, Fariz, Ning Freya, Gus Barra, Gus Bafre, mami Reva, papi Vero, mama Risa, papa Rohman, kak Rifki, kak Royya, Reca, William, Dorsin, Clarissa, Wildan," ucap Fariz. "Kenapa Capa absen nama orang-orang ini?" tanya Salma. "Kita undang mereka," jawab Fariz. Mereka sudah berseragam untuk ke kampus dan ke kantor. Tiba-tiba Fariz membicarakan tentang mengundang. Salma tidak tahu apa yang akan dilakukan suaminya itu. "Undang apa? Memangnya mau ulang tahun?" tanya Salma. "Hahaha, bukan. Aku mau ajak kamu ke Singapura, sebagai hadiah ketulusan kamu, ketabahan kamu, dan sebelumnya kita makan bersama di restoranku." "Aaaaa, sayang banget!" S
"Iya, belum boleh kalau minyak dianterin Wildan, hahaha," tawa Salma. "Iihhh! Kak Salma kok gitu," rajuk Humaira. "Bulan depan deh, kita bisa bareng, Insyaallah." Ucapan Wildan membuat Humaira semakin salah tingkah, sampai ditertawakan dua bocil, Hunaisa dan Gus Bafre. *** "Singapura, kita sedang di sini Sayangku, pokoknya selama pikiran kamu belum benar-benar fresh, Capa gak akan ajak kamu pulang," ucap Fariz. "Hehe, memangnya kalau Cama ingin satu tahun bagaimana? Kerja Capa juga bagaimana?" "Itu nggak mungkin, nggak mungkin kalau kamu minta disuruh tahun. Pasti kamu sudah kangen sama anak-anak panti, keluarga, sahabat, semuanya. Jalur jen orangnya gampang rindu, apalagi dengan orang yang di samping kamu ini. Kalau urusan pekerjaan, aku tidak akan mengulangi hal yang sama yang membuat kita jadi terluka. Lagian, selama Capa di sini, sudah aku serahin ke Arju, kok." "Hadeh, tahu aja suami aku. Serasa kayak honeymoon di Turki," ungkap Salma. "Capa sengaja tidak ajak kamu pilih y
"Capa! Momennya ini sedang romantis, malah mengejek," rajuk Salma. Sekalian menggoda istrinya. Ia menyelipkan kepura-puraannya mengejek istrinya. Fariz segera menempelkan jari telunjuknya ke bibir manis istrinya setelah omelan rajukan pertamanya itu keluar. "Suud! Udah satu aja kalimat merajuknya. Lanjutkan ke momen romantis, Sayang," ungkap Fariz. "Aku bingung membalasmu kata, tapi aku sudah cukup kan dengan membalasmu senyuman?" "Asal senyuman itu dari hati, itu sudah mewakili aksara yang teruntai," jawab Fariz. Salma juga kehausan di malam tersebut. Suaminya ini tanpa dia manja juga sudah memanjakan. Fariz bergegas mengambilkan air minum, tidak lupa dengan gelas lovenya. "Ini apa, Cap?" *** Malam kedua mereka di Singapura, Salma masih tetap di hotel saja. Dia tidak bosan dengan hal tersebut. Baginya, mengobtol dengan suaminya, bisa melihat suaminya, bermanja dengannya, itu sudah mewakili jelajahnya ke tempat-tempat wisata. Begitu pula dengan Fariz. Kebersamaan mere
"Minta apa? Boleh, Sayang," jawab Fariz. "Minta kamu nyanyi, lagi pengen denger kamu nyanyi. Terserah deh lagunya apa, yang penting jangan lagu anak-anak," ungkap Salma. "Hahaha, baiklah, dengan senang hati." Mereka berdua jadinya duet. Setelah bernyanyi, melanjutkan membaca memori kata-kata tersebut. Karena tadi baru saja menginjak di pertemuan. "Waktunya kamu yang balas" ucap Fariz. "Iya, sebentar masih mikir." Salma masih merangkai ide dalam bayangan. Dua hari di sana, Salma masih tetap ingin di hotel dulu. Melanjutkan sambung kata-kata tersebut juga hal yang sangat seru. Salma juga tidak terpaksa melakukan hal tersebut, dia tulus dari hati. "RIDHO ORANG TUA, INILAH YANG MENDORONGKU SUPAYA IKHLAS MENERIMAMU. BELUM ADA CINTA BERTAHTA. BAHKAN, KEKHAWATIRAN TERUS BERSANDIWARA. NAMUN, BERSAMAMU TERNYATA SANGAT MEMBERI KESAN, BETAPA BERUNTUNGNYA AKU DIPANGKUAN DIRIMU." (Salma) "TERUS BERI AKU SENYUM MANISMU!" "SENYUM MANISKU AKAN TETAP TERPANCAR UNTUKMU, DI KALA KAU JUGA MEMANCA
"Ya kalau ditutup, udah pergi aku. Kamu siap aku tinggal sekarang?" "Astaghfirullahaladzim, kamu ngomong apa, sih? Maksud Capa tuh bukan tutup mata yang itu. Kita tutup mata, TIDUR!" Fariz tidak suka istrinya menjawab seperti itu. "Cap, denyut malamku ingin berkata, rasanya malam ini beda banget. Kenapa ya?" Salma merasa aneh. "Gara-gara bercanda kamu yang nggak lucu, kan jadi aneh!" Fariz membenahi selimutnya, sebenarnya dia itu panik karena Salma baru berkata begitu dan sekarang malah bilang aneh. Salma tertawa lepas melihat wajahnya Fariz tanggal super panik. Padahal, Salma salah sekali tidak berpijak ke aneh tentang kematian. Justru dia itu merasa malam itu sangat bahagia, bahagia yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dia merasa malam itu seperti mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, tapi dia tidak tahu apa. "Hahaha, puas banget aku tertawa …." Salma tertawa sembari menjelaskan maksudnya. "Semoga saja CIMES datang ya." Fariz turut bahagia, lega dengan penjelasan tersebut.
"Kamu lagi hamil muda, kita di sini saja dulu," ucap Fariz. "Mmm," "Nggak usah sedih, kita pasti pulang, kok. Tapi nanti ya, kasihan kamu sama CIMES." "Hehe, iya-iya. Kerjaan Capa terbengkalai lama, kasihan Arju," ucap Salma. "Tidak masalah, lebih kasihan lagi kalau kamu sama Cimes kecapekan. Arju juga juga sudah banyak yang bantu." Fariz kembali melajukan mobil menuju ke hotel. Perjalanan berangkat dan pulang yang sungguh berbeda. Meskipun rasa mual dan sebagainya masih Salma rasakan, tapi kabar dari dokter itu serasa memusnahkan semua rasa sakit. Sangat bersyukur, berangkat masih dengan kepanikan, sekarang pulang dengan ketenangan, kebahagiaan. "Udah berkurang belum mualnya, pusingnya?" tanya Fariz. "Alhamdulillah, udah kok. Udah ketutup sama Cimes," jawab Salma. "Mmm, Singapura. Ternyata, kita diizinkan muncul Cimes di sini," ucap Fariz. "Di mana saja, hadirnya dia tetap istimewa," ucap Salma. Salma itu meskipun sedang mual dan pusing, dia tidak bisa menjadi pendiam. Dia b