"Rutinitasnya," jawab Salma. "Masyaallah, istriku ini. Dengan senang hati Capai akan lakuin," jawab Fariz dengan sangat bahagia. Sikap excited Salma tetap saja berpihak. Mereka sudah clear dan kembali untuk mengukir masa romantis lagi. Begitu beruntungnya Fariz, istrinya selalu memberi dukungan dan tidak memojokkan. *** "Hunaisa, Asma, Humaira, Salma, Fariz, Ning Freya, Gus Barra, Gus Bafre, mami Reva, papi Vero, mama Risa, papa Rohman, kak Rifki, kak Royya, Reca, William, Dorsin, Clarissa, Wildan," ucap Fariz. "Kenapa Capa absen nama orang-orang ini?" tanya Salma. "Kita undang mereka," jawab Fariz. Mereka sudah berseragam untuk ke kampus dan ke kantor. Tiba-tiba Fariz membicarakan tentang mengundang. Salma tidak tahu apa yang akan dilakukan suaminya itu. "Undang apa? Memangnya mau ulang tahun?" tanya Salma. "Hahaha, bukan. Aku mau ajak kamu ke Singapura, sebagai hadiah ketulusan kamu, ketabahan kamu, dan sebelumnya kita makan bersama di restoranku." "Aaaaa, sayang banget!" S
"Iya, belum boleh kalau minyak dianterin Wildan, hahaha," tawa Salma. "Iihhh! Kak Salma kok gitu," rajuk Humaira. "Bulan depan deh, kita bisa bareng, Insyaallah." Ucapan Wildan membuat Humaira semakin salah tingkah, sampai ditertawakan dua bocil, Hunaisa dan Gus Bafre. *** "Singapura, kita sedang di sini Sayangku, pokoknya selama pikiran kamu belum benar-benar fresh, Capa gak akan ajak kamu pulang," ucap Fariz. "Hehe, memangnya kalau Cama ingin satu tahun bagaimana? Kerja Capa juga bagaimana?" "Itu nggak mungkin, nggak mungkin kalau kamu minta disuruh tahun. Pasti kamu sudah kangen sama anak-anak panti, keluarga, sahabat, semuanya. Jalur jen orangnya gampang rindu, apalagi dengan orang yang di samping kamu ini. Kalau urusan pekerjaan, aku tidak akan mengulangi hal yang sama yang membuat kita jadi terluka. Lagian, selama Capa di sini, sudah aku serahin ke Arju, kok." "Hadeh, tahu aja suami aku. Serasa kayak honeymoon di Turki," ungkap Salma. "Capa sengaja tidak ajak kamu pilih y
"Capa! Momennya ini sedang romantis, malah mengejek," rajuk Salma. Sekalian menggoda istrinya. Ia menyelipkan kepura-puraannya mengejek istrinya. Fariz segera menempelkan jari telunjuknya ke bibir manis istrinya setelah omelan rajukan pertamanya itu keluar. "Suud! Udah satu aja kalimat merajuknya. Lanjutkan ke momen romantis, Sayang," ungkap Fariz. "Aku bingung membalasmu kata, tapi aku sudah cukup kan dengan membalasmu senyuman?" "Asal senyuman itu dari hati, itu sudah mewakili aksara yang teruntai," jawab Fariz. Salma juga kehausan di malam tersebut. Suaminya ini tanpa dia manja juga sudah memanjakan. Fariz bergegas mengambilkan air minum, tidak lupa dengan gelas lovenya. "Ini apa, Cap?" *** Malam kedua mereka di Singapura, Salma masih tetap di hotel saja. Dia tidak bosan dengan hal tersebut. Baginya, mengobtol dengan suaminya, bisa melihat suaminya, bermanja dengannya, itu sudah mewakili jelajahnya ke tempat-tempat wisata. Begitu pula dengan Fariz. Kebersamaan mere
"Minta apa? Boleh, Sayang," jawab Fariz. "Minta kamu nyanyi, lagi pengen denger kamu nyanyi. Terserah deh lagunya apa, yang penting jangan lagu anak-anak," ungkap Salma. "Hahaha, baiklah, dengan senang hati." Mereka berdua jadinya duet. Setelah bernyanyi, melanjutkan membaca memori kata-kata tersebut. Karena tadi baru saja menginjak di pertemuan. "Waktunya kamu yang balas" ucap Fariz. "Iya, sebentar masih mikir." Salma masih merangkai ide dalam bayangan. Dua hari di sana, Salma masih tetap ingin di hotel dulu. Melanjutkan sambung kata-kata tersebut juga hal yang sangat seru. Salma juga tidak terpaksa melakukan hal tersebut, dia tulus dari hati. "RIDHO ORANG TUA, INILAH YANG MENDORONGKU SUPAYA IKHLAS MENERIMAMU. BELUM ADA CINTA BERTAHTA. BAHKAN, KEKHAWATIRAN TERUS BERSANDIWARA. NAMUN, BERSAMAMU TERNYATA SANGAT MEMBERI KESAN, BETAPA BERUNTUNGNYA AKU DIPANGKUAN DIRIMU." (Salma) "TERUS BERI AKU SENYUM MANISMU!" "SENYUM MANISKU AKAN TETAP TERPANCAR UNTUKMU, DI KALA KAU JUGA MEMANCA
"Ya kalau ditutup, udah pergi aku. Kamu siap aku tinggal sekarang?" "Astaghfirullahaladzim, kamu ngomong apa, sih? Maksud Capa tuh bukan tutup mata yang itu. Kita tutup mata, TIDUR!" Fariz tidak suka istrinya menjawab seperti itu. "Cap, denyut malamku ingin berkata, rasanya malam ini beda banget. Kenapa ya?" Salma merasa aneh. "Gara-gara bercanda kamu yang nggak lucu, kan jadi aneh!" Fariz membenahi selimutnya, sebenarnya dia itu panik karena Salma baru berkata begitu dan sekarang malah bilang aneh. Salma tertawa lepas melihat wajahnya Fariz tanggal super panik. Padahal, Salma salah sekali tidak berpijak ke aneh tentang kematian. Justru dia itu merasa malam itu sangat bahagia, bahagia yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dia merasa malam itu seperti mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, tapi dia tidak tahu apa. "Hahaha, puas banget aku tertawa …." Salma tertawa sembari menjelaskan maksudnya. "Semoga saja CIMES datang ya." Fariz turut bahagia, lega dengan penjelasan tersebut.
"Kamu lagi hamil muda, kita di sini saja dulu," ucap Fariz. "Mmm," "Nggak usah sedih, kita pasti pulang, kok. Tapi nanti ya, kasihan kamu sama CIMES." "Hehe, iya-iya. Kerjaan Capa terbengkalai lama, kasihan Arju," ucap Salma. "Tidak masalah, lebih kasihan lagi kalau kamu sama Cimes kecapekan. Arju juga juga sudah banyak yang bantu." Fariz kembali melajukan mobil menuju ke hotel. Perjalanan berangkat dan pulang yang sungguh berbeda. Meskipun rasa mual dan sebagainya masih Salma rasakan, tapi kabar dari dokter itu serasa memusnahkan semua rasa sakit. Sangat bersyukur, berangkat masih dengan kepanikan, sekarang pulang dengan ketenangan, kebahagiaan. "Udah berkurang belum mualnya, pusingnya?" tanya Fariz. "Alhamdulillah, udah kok. Udah ketutup sama Cimes," jawab Salma. "Mmm, Singapura. Ternyata, kita diizinkan muncul Cimes di sini," ucap Fariz. "Di mana saja, hadirnya dia tetap istimewa," ucap Salma. Salma itu meskipun sedang mual dan pusing, dia tidak bisa menjadi pendiam. Dia b
"Beda, kalau udah ada CIMES lupa nih sama mata yang di atas!" rajuk Salma. "Ini, Capa udah di dekat mata kamu. Merajuk Cama tingkatnya juga lebih tinggi. Nggak bisa melupakan kamu, Cam, entah udah ada Cimes atau belum, kamu itu tetap wanita yang berhasil memikatku terus menerus." Fariz menatap halus mata istrinya. "Emm, yang bener?" "Ya iyalah, masa cuma cosplay, gak lucu," jawab Fariz. "Tapi aku tiba-tiba jadi bosan gini lihat Capa," ucap Salma membuat Fariz membelakakkan matanya. "Apa sih? Bagaimana bisa melihat orang seganteng ini dibilang bosan?" "Huuuk! Tuh, kan mual, suwer deh Capa bikin bosen plus bikin enek plus bikin lapar tapi tidak mood makan," Fariz menggeleng dengan ucapan istrinya. Wajar juga saat muda kalau tingkahnya ada yang membuatnya berputar pada porosnya. Namun, ini bukan aneh bagi Fariz, melainkan hal yang memang lain, sulit diungkapkan dengan kata-kata saking mirisnya. "Terus, Capa harus ngapain? Baru juga kamu rindukan, sekarang malah dicampakkan. Mau Ca
"Keluar, yuk!" ajak Salma. "Mau ngapain? Mau masukin angin?" Heran dengan istrinya, apalagi yang ia mau. "Hehe, nyatain mimpi," jawab Salma. "Memangnya mimpi apa? Bukannya kamu tadi seperti ketakutan waktu bangun?" tanya Fariz. "Makanya ayo keluar!" ajak Salma. "Kalau mimpi buruk mah, gak usah diraih kenyataannya dong, buat apa coba? Mau cari bahaya?" "Penasaran, Cap. Cuma keluar kamar sebentar aja, terus lurus ke kamar samping, siapa sih di dalam situ?" "Memangnya mimpi kamu apa, kok kekeh banget ingin ke sana?" tanya Sofyan, masih dengan keheranan yang melanda. Salma itu tidak mimpi buruk. Dia malah mimpi diusilin suaminya. Mungkin ini kebawa dia yang paginya berbuat usil kepada Fariz. Bangunnya dia seperti orang ketakutan, itu sebenarnya bukan ketakutan, tapi seolah-olah dia ingin menghindari dari perbuatan usul suaminya. "Hehe, Cama itu bukan mimpi buruk," "Duh, Capa ngantuk nih, cerita yang jelas." Fariz memejamkan matanya lagi. "Ih, gak seru! Malah ditinggal tidur lagi