"Bolehlah, mau curhat tentang apa?" tanya Salma.
Salma itu tidak pelit untuk kebaikan. Apapun yang dua mampu, akan berusaha ia oleh juga untuk memberi ketenangan sesamanya. Termasuk, jika santri di situ ingin curhat dengannya, dia sangat bersedia untuk menjadi pendengarnya."Ini loh, aku ngerasa boros banget, sampai nggak tega mau minta ke orang tuaku kalau sedang habis. Tapi gimana? Akhir-akhir ini, banyak iuran. Apa lagi aku udah kelas 6, mau haflah, Mbak.""Ya, berarti kamu harus belajar memenejemen sendiri tentang keuangan kamu. Kamu keluarin untuk yang pokok dulu, baru kalau sudah yang pokok, itu untuk kesenangan, tapi tetap dibatasi. Setiap kali habis kiriman, kamu tulis tuh berapa kiramanmu, apa kebutuhan pokokmu. Terus, setelah itu kamu lihat, a masih berapa sisanya? Nah, kamu juga harus sadar, menahan hawa nafsu untuk banyak jajan, itu perlu juga diatur. Sebisa mungkin, setiap"Mmm." Gus Bafre hanya bergumam."Kenapa, Sayang?" Salma mengusap air mata putrinya."Dicubit, huwaaa ...""Bafre nyubit Kak Nais?" Gus Barra memegang kedua pundak pundaknya dan menatapnya."Af ... ...""Wan." Gus Bafre memeluk Nais begitu saja.'Masyaallah, Afwan. Adik Bafre minta maaf, Sayang. Udah ya nangisnya,""Nggak mauuuuuu," rengek Hunaisa dengan merangkul Salma, masih ngambekFreya menggendong Bafre, mengambil dirinya dari memeluk Naisa. Bafre terlihat sekali seperti cowok yang lagi patah hati, yang sedang dicuekin kekasihnya."Duuh, sadis amat, Mbak? Nggak kadigan sama cowoknya?" goda Fariz dengan tawa.Semua jadi menahan tawa. Lirikan Hunaisa sangat tajam untuk Bafre. Hunaisa jadi terlihat seperti cewek g
"Sudahlah, kamu nggak ada salah, Nak. Papa kangen, ya kangen aja. Kangen ngobrol sama kamu, meskipun setiap detik kamu bertemu Papa, Papa itu tetap kangen sama kamu."Hanya ingin ngobrol sebenarnya. Dan bukan berarti Salma tidak pernah ngobrol juga. Cinta papanya ke putrinya itu juga besar. Meskipun sudah menikah, Rohman selalu menyayangi Salma."Papa … Salma juga, kok. Kita mau ngobrol apa, enaknya?" tanya Salma."Ngobrolin cucu Papa," ucap Rohman.Antara sesak dan jerit. Antara pura-pura kuat dan terus menguatkan. Antara bisa berbicara dan mengusahakan bisa bicara.Kalau sudah membahas tentang anak, Salma itu lemah. Apakah dia bisa kyar di depan papanya? Di depan orang yang telah merawat menafkahi dan menyayanginya dari belum lahir sampai sekarang telah dewasa.Kalau ia mau lemah, rasanya sangat tidak tega.
"Hallo, Cama. Kenapa?"Kok kenapa, sih? Gak boleh VC?""Loh-loh, bukan begitu maksudnya. Capa selalu bahagia bisa bicara dengan kamu, Sayang. Jangan merajuk gitu, dong!""Eh, Papa. Cama gak ngribetin kan, Pa?" tanya Fariz setelah Salma mengarahkan ponselnya ke Rohman."Oh, nggak sama sekali. Papa seneng bisa banyak ngobrol sama istri kamu.""Alhamdulillaah, Pa. Maaf, Fariz melanggar peejanjian, pasti buat papa sedih.""Hahaha ... yang penting sudah, jangan diulangi! Sekarang ini, hanya kamu yang paling paham dengan istrimu, Nak! Jaga terus anak papa yang cantik ini, biar hatinya juga tetap tersenyum cantik, bukan tersenyum sakit,""Siap Pa, dia itu perhiasanku. Aku tentu akan rusak, mual dipandang, jika tidak ada istriku. Belum lagi kalau dia sedang merasa sakit, Fariz benar-benar kehilangan arah. Bagi
"Adik? Belum sekarang ya, masih beberapa bulan lagi," jawab Salma dengan tersenyum. "Kalau yang dari Onty?" tanyanya lagi. "Hehe, Asma doakan aja, semoga bisa cepet ada adik bayinya." Salma lebih mendekat dengan Asma dan memeluknya. Ia terharu melihat Asma yang sudah cepat sekali sebesar itu. Perasaan, baru kemarin sore Salma melihat Asma masih bayi yang masih merah. Bicara tentang anak lagi, ketegaran mencoba terus untuk Salma ungkapkan. "Siap, Onty. Kenapa Onty menangis?" tanya Asma dengan heran. "Hmm, maaf. Onty cengeng, ya. Onty tuh nangis bahagia, Sayang. Seneng banget bisa lihat Asma sekarang sudah sebesar ini," ucap Salma. "Yang bener?" tanya Asma. "Ya bener dong, ngapain juga berbohong. Sekarang, Onty mau tanya nih. Asma di sekolah suka main apa suka belajar?" tanya Salma. Asma berpikir ala-ala anak kecil. Dengan gaya centilnya dia menggerakkan jarinya ke wahai seperti mau berfoto. Salma tertawa melihat tingkah centil satu-satunya keponakan dia ini.Kalau melihat Asma y
Mereka menjelaskan apa yang baru saja dibincangkan. Tadi malam juga hal tersebut sudah dibahas dengan mamanya Salma. Mereka melanjutkan obrolannya dengan berganti topik. "Dah dong nangisnya. Kita ngobrol cenil aja, katanya kamu bikin cenil sama Fariz?" ungkap Risa. "Hehe, pasti ini yang kasih tahu Mami." "Iya, tega benget kamu gak bikinin Mama." Rupanya, Rusak juga ingin merasakan cenil buatan anaknya. "Hahaha, ya udah Salma buatin, tapi maaf kalau nggak sesuai yang untuk mami. Soalnya yang jago itu Capa, sekarang kan Capa gak bersama Cama," jelas Salma. Mamanya tersenyum manis untuk anaknya. Ia senang dengan kerukunan Salma dan Fariz. Meskipun, yang nama nya manusia yang tidak luput dari pernah berbuat salah. "Ya caranya, to," ucap Risa membuat Salma mengerutkan dahinya."Maksudnya apa, Ma?" Salma belum paham. "Masaknya bareng sama suami," jawab Risa. "Berarti belum sekarang ya, Ma. Kan sekarang masih belum bisa bersama," ungkap Salma. Mamanya tetap bilang sekarang. Karena pu
"Waaah, wah nggak enak banget gak ada kamu di samping aku.""Haha, makanya jangan diulangin ngebentaknya!"***"Abidzar, kali sudah dari tadi?" tanya Clarissa."Ya sudah, kan habis meeting." Fariz, terus memegangi kepalanya karena lumayan pusing, pembahasan meeting nya menguras energi."Kamu pernah diginiin istri kamu, nggak sih? Soalnya, aku sering lihat kamu pening begini saat masuk kantor." Clarissa menutup mata Fariz dari belakang.Memang itu sengaja tidak Fariz beritahu ke istrinya tentang kebiasaannya itu. Dan Fariz tidak mau Salma melakukan hal tersebut, karena sangat menyentuh ke masa lalunya. Dan kini, Clarissa mengungkitnya, mengingatkan akan kejadian beberapa tahun yang lalu.Saat pusing, Fariz itu suka ditutup matanya dengan telapak tangan kekasihnya. Awalnya Fariz masih tenang,ia tidak tert
Niat Freya sebenarnya untuk mencairkan suasana. Sebenarnya jawabannya sudah pasti. Namun, keempat mata itu malah kompak melotot ke Freya. "Uhmm, iya-iya aku sudah paham. Kalian jangan putusin apa-apa dulu saat marah begini. Tenangin setenang-tenangnya marah kalian. Oh iya, jangan marah-marah, ya? Kalian cukup dengan marah saja satu kali di hari ini saat ini, TITIK. Jangan jadi pemarah, entar aku jadi ketakutan!" Freya masih berusaha mencairkan suasana di saat ketegangan keduanya sedang bergejolak. Mereka berdua lupa kalau masih menaruh sesuatunya di ruang Fariz. Mau diambilkan pun mereka menolak. Mereka berdua masuk ruang Fariz sekalian wudlu juga. Setelah cukup prosesi mereka di ruang Fariz, Salma dan Fariz menemui Freya lagi. "Frey, anterin pulang, kamu yang nyetir. Takutnya bahaya kalau aku atau dia yang nyetir," pinta Salma tidak menanggapi pernyataan Freya. "Terus, aku?" Fariz bingung. "Ya ampun, Fariz! Ya kamu duduk di samping Salma dong, Cama tersayangmu ini nyuruh aku nyet
"Kalau bukti Cama tidak sesuai harapan Capa juga bagaimana?" "Aku percaya kamu bisa membuktikan, Sayang." mereka memang tidak bisa lama-lama bertengkar, ia mendekati Salma. Sudah terang, semua tidak tahan untuk tidak seperti biasanya. Mereka sudah saling percaya meskipun nanti memang ada kenyataan menyakitkan. Salma lebih tenang dari Fariz karena memang Salma asli seratus persen tidak salah, sedangkan Fariz tujuh puluh persen salah. "Aku juga percaya Capa bisa membuktikan," jawab Salma. "Kalau Capa jujur tentang sesuatu yang membuat sakit hati, marah, apa Cama masih mau memaafkanku?" Fariz ingin memastikan dulu sebelum mengatakan yang sesungguhnya. Setidaknya, untuk persiapan istrinya ketika mulutnya berhasil melontarkan kejujuran. Dan harapannya tetap bisa aman untuk hubungan mereka. "Insyaallah, Cama akan menerimanya yang penting sekarang sudah tidak melakukan itu lagi. Capa, kita bukan malaikat, wajar kalau kita marah, sakit hati. Namun, yang tidak boleh itu kalau menjadi seor