"Mau apa, ya." Salma bingung, apa yang mau ia jawab.
"Mi, Cama tuh sungkan, hahaha …" tawa Fariz.
Baru saja, yang merasakan ketar-ketir Fariz. Rupanya, sekarang suaminya itu sedang mengoperasi istrinya. Ganti Salma yang ketar-ketir di depan mertuanya.
"Gak usah malu, entar beliin cenil aja Mi." Fariz merangkul dan membelai istrinya itu di depan maminya.
"Nggak usah usah sungkan, Sal. Sudah dua tahun lebih loh kita bersama. Oke, nanti tak beliin cenil, uenak pol itu yang di pasar, kamu pasti suka. Mami itu, rasanya adel banget, seneng kalau lihat kalian romantis gini di depan mami." Mami Reva tersenyum, kemudian Salma dan Fariz beranjak memeluknya.
<"Tidak," jawab Salma. "Kenapa, Sayang? Kok kamu cemberut gitu?" Fariz melihat istrinya itu seperti sedang badmood. "Males deh masuk kuliah, pengennya sama Capa terus," manja Salma. "Menjadi kamu semakin hari kok semakin parah, sih," racau Fariz. "Gak peduli! Cama males!" Entah kenapa, istrinya itu jadi malas kuliah. Tidak pernah sebelumnya ia seperti ini. Kalau urusan dengan pendidikan dia itu selalu semangat bahkan lebih semangat dibanding Fariz. Ini malah bermanja ketika mobil telah melaju dan hampir sampai kampus. Fariz memberhentikan mobilnya. Dia tidak saja istrinya, biar ekspresinya semakin lucu. "Istri aku lagi manja, inginnya sama Capa terus, apa Capa ikut ke kelas kamu? Begitu?" Fariz tersenyum dengan tatapan meledek yang sudah mulai beraksi. "Capa!" Salma bersandar ke suaminya sambil memejamkan matanya. "Capa, kamu tuh kalau ngasih solusi yang bener," celetuk Salma. "Hahaha … ya lagian, ini waktunya kita mengerjakan tugas kita, kenapa ada badmood sih? Jangan-jangan,
"Lipstik?" Fariz kaget, ia baru ingat kalau karyawannya tadi tidak sengaja menabraknya karena sedang buru buru. Namun, Fariz tidak tahu kalau lipstiknya membekas di bajunya. Kebetulan, jasnya juga sedang dilepas. Salma semakin mendekat, sorot matanya sangat tidak suka melihat benar-benar lipstik di baju suaminya. "Ini lipstik siapa? Kamu habis dipeluk siapa?" gertak Salma. "Cama, ini Capa nggak tahu ada lipstik di sini. Gak ada yang meluk Capa kecuali kamu," ucap Fariz. "Hehh, tidur apa pingsan tadi di kantor?" "Oh, Capa gak tidur gak pingsan. Begini ceritanya." Fariz menceritakan kejadian aslinya. "Oh, begitu. Tetep dong, dipeluk orang lain jadinya," rajuk Salma. Salma merebahkan tubuhnya, menjauh dari suaminya yang masih berdiri di depan ranjang mereka. Fariz pun juga duduk di kursi untuk menyeduh kopi buatan istrinya. Sal
"Oh, ini Cap." Salma mengulurkan ponselnya. "Mmm, ada acara di pesantren. Kamu diundang untuk juri perlombaannya, ya sudah kamu utamakan pesantren ya. Ikhlas gak jadi nonton?" "Baiklah, Insyaallah Cama ikhlas. Bagaimana dengan Capa? Mau temani Cama atau tetep nonton?" "Ya jelas temani Cama, dong. Untuk apa nonton kalau gak duduk di samping kamu? Siapa yang aku genggam tangannya? Memangnya boleh kalau orang lain?" goda Fariz. "Hiiih! Ya nggak dong, tak suruh mandi sembilan puluh sembilan kali kalau sengaja," "Kirain langsung dilepasin!" "Nggak bisa, aku nggak mau kita berdua sama-sama tersakiti. Aku sudah menanamkan dalam diriku, bahasannya dirimu dan diriku itu sudah serempak denyut malamnya, gak bisa diganggu gugat!" Walaupun ingin nonton film, tapi karena ada utusan dari pesantren, Fariz juga tetap memilihkan istrinya untuk tetap memenu
"Oh, iya. Ini Mbak Salma, kan? Aaa, ini Mbak Salma! Bagaimana kabarnya, Mbak?" Tsaani senang bertemu dengan orang yang saat di pesantren selalu ada buat dirinya. "Hehe, benar. Alhamdulillah, heboh banget, kebiasaan! Kamu ikut lomba, nggak?" tanya Salma dengan "Oh, iya. Ini Mbak Salma, kan? Aaa, ini Mbak Salma! Bagaimana kabarnya, Mbak?" Tsaani senang bertemu dengan orang yang saat di pesantren selalu ada buat dirinya. "Hehe, benar. Alhamdulillah, heboh banget, kebiasaan! Kamu ikut lomba, nggak?" tanya Salma dengan melepaskan pelukan kangen dengan sahabatnya. "Tentu, dong. Dudukan Mbak Salma gitu, loh. BTW, aku ikut yang baca kitab, duuh! Rasanya udah panas dingin dari sekarang, gimana dong, Mbak?" Salma terrawa lepas. Dari MTs sampai sekarang sudah mau lulus MA, dia itu memang paling rempong kalau melakukan sesuatu. Karena saking hebohnya, itu terkadang bisa membuat dirinya fatal saat tampil.
"Bolehlah, mau curhat tentang apa?" tanya Salma. Salma itu tidak pelit untuk kebaikan. Apapun yang dua mampu, akan berusaha ia oleh juga untuk memberi ketenangan sesamanya. Termasuk, jika santri di situ ingin curhat dengannya, dia sangat bersedia untuk menjadi pendengarnya. "Ini loh, aku ngerasa boros banget, sampai nggak tega mau minta ke orang tuaku kalau sedang habis. Tapi gimana? Akhir-akhir ini, banyak iuran. Apa lagi aku udah kelas 6, mau haflah, Mbak." "Ya, berarti kamu harus belajar memenejemen sendiri tentang keuangan kamu. Kamu keluarin untuk yang pokok dulu, baru kalau sudah yang pokok, itu untuk kesenangan, tapi tetap dibatasi. Setiap kali habis kiriman, kamu tulis tuh berapa kiramanmu, apa kebutuhan pokokmu. Terus, setelah itu kamu lihat, a masih berapa sisanya? Nah, kamu juga harus sadar, menahan hawa nafsu untuk banyak jajan, itu perlu juga diatur. Sebisa mungkin, setiap
"Mmm." Gus Bafre hanya bergumam."Kenapa, Sayang?" Salma mengusap air mata putrinya."Dicubit, huwaaa ...""Bafre nyubit Kak Nais?" Gus Barra memegang kedua pundak pundaknya dan menatapnya."Af ... ...""Wan." Gus Bafre memeluk Nais begitu saja.'Masyaallah, Afwan. Adik Bafre minta maaf, Sayang. Udah ya nangisnya,""Nggak mauuuuuu," rengek Hunaisa dengan merangkul Salma, masih ngambekFreya menggendong Bafre, mengambil dirinya dari memeluk Naisa. Bafre terlihat sekali seperti cowok yang lagi patah hati, yang sedang dicuekin kekasihnya."Duuh, sadis amat, Mbak? Nggak kadigan sama cowoknya?" goda Fariz dengan tawa.Semua jadi menahan tawa. Lirikan Hunaisa sangat tajam untuk Bafre. Hunaisa jadi terlihat seperti cewek g
"Sudahlah, kamu nggak ada salah, Nak. Papa kangen, ya kangen aja. Kangen ngobrol sama kamu, meskipun setiap detik kamu bertemu Papa, Papa itu tetap kangen sama kamu."Hanya ingin ngobrol sebenarnya. Dan bukan berarti Salma tidak pernah ngobrol juga. Cinta papanya ke putrinya itu juga besar. Meskipun sudah menikah, Rohman selalu menyayangi Salma."Papa … Salma juga, kok. Kita mau ngobrol apa, enaknya?" tanya Salma."Ngobrolin cucu Papa," ucap Rohman.Antara sesak dan jerit. Antara pura-pura kuat dan terus menguatkan. Antara bisa berbicara dan mengusahakan bisa bicara.Kalau sudah membahas tentang anak, Salma itu lemah. Apakah dia bisa kyar di depan papanya? Di depan orang yang telah merawat menafkahi dan menyayanginya dari belum lahir sampai sekarang telah dewasa.Kalau ia mau lemah, rasanya sangat tidak tega.
"Hallo, Cama. Kenapa?"Kok kenapa, sih? Gak boleh VC?""Loh-loh, bukan begitu maksudnya. Capa selalu bahagia bisa bicara dengan kamu, Sayang. Jangan merajuk gitu, dong!""Eh, Papa. Cama gak ngribetin kan, Pa?" tanya Fariz setelah Salma mengarahkan ponselnya ke Rohman."Oh, nggak sama sekali. Papa seneng bisa banyak ngobrol sama istri kamu.""Alhamdulillaah, Pa. Maaf, Fariz melanggar peejanjian, pasti buat papa sedih.""Hahaha ... yang penting sudah, jangan diulangi! Sekarang ini, hanya kamu yang paling paham dengan istrimu, Nak! Jaga terus anak papa yang cantik ini, biar hatinya juga tetap tersenyum cantik, bukan tersenyum sakit,""Siap Pa, dia itu perhiasanku. Aku tentu akan rusak, mual dipandang, jika tidak ada istriku. Belum lagi kalau dia sedang merasa sakit, Fariz benar-benar kehilangan arah. Bagi