Beranda / Pernikahan / Ingat Aku, Suamiku! / Bab 01- Berita Baik dan Buruk

Share

Bab 01- Berita Baik dan Buruk

Penulis: Aleena
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-30 00:49:00

"Selamat, ya, Bunda. Kehamilannya sudah memasuki usia empat minggu."

"Sungguh, Dok?"

Dokter wanita itu mengangguk. "Sekali lagi selamat, ya?"

Aku menutup mulut yang terbuka lantaran begitu terkejut dengan hasil yang ada. Bagiku itu bukan lagi berita baik, melainkan sangat membahagiakan. Sudah lima tahun lamanya aku dan Mas Hamish menunggu kabar ini. Tak pernah menyerah Mas Hamish memberiku dukungan untuk menjalani program kehamilan walaupun Ibu mertua mulai ragu akan kesuburanku. Dan setelah lima tahun menanti dengan sabar, semua ini bukan lagi mimpi.

"Masya Allah." Aku menyeka air mata yang tiba-tiba menitik karena haru. Tak henti-henti bibir ini mengucap syukur atas anugerah yang Tuhan limpahkan kepadaku dan keluarga. "Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, Bunda. Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap satu bulan sekali. Jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahat yang cukup karena kandungan masih terlalu lemah. Sekali lagi, selamat, ya? Sampaikan salam saya kepada Pak Hamish."

dr. Ami, usianya sudah mencapai lima puluh tahun. Aku menghormati beliau layaknya ibu sendiri. Beliau begitu ramah. Kami sudah seperti keluarga. Mungkin karena aku termasuk pasien yang menjalani program hamil tanpa kenal lelah sehingga hubungan kami menjadi teramat dekat.

"Iya, Dok. Mas Hamish pasti sangat senang mendengarnya." Aku mengusap perutku yang masih rata. Rasa haru itu belum sepenuhnya lenyap. Tak ada frasa yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Bagaimanapun, aku adalah seorang wanita yang telah lama menanti kehidupan lain bersemayam dalam rahimku, dan kini Tuhan telah mengabulkan doa-doaku.

Baru kali ini Mas Hamish tidak bisa mengantarku periksa. Biasanya dia paling bersemangat. Harapannya tak pernah putus untuk mendapatkan keturunan dariku. Namun hari ini, dia ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Aku memakluminya. Dia pekerja keras dan merupakan suami penyayang serta bertanggung jawab. Aku begitu bersyukur menjadi istrinya.

Usai melakukan konseling terkait masalah kehamilan dengan dr. Ami, aku pamit undur diri. Beliau mengantarku sampai ke ambang pintu. Baru saja beberapa langkah kaki ini terayun, sebuah panggilan dari Reno--asisten Mas Hamish--menghentikan jalanku.

Merogoh smartphone yang berada di dalam tas bahu, aku segera menjawab telepon tersebut. "Assalamualaikum?"

Entah terlalu panik atau lupa, tanpa menjawab salamku Reno langsung mengutarakan maksudnya.

"Mbak Aira, Pak Hamish kecelakaan."

"A-pa? Kecelakaan?" Detak jantungku seketika berdegup lebih cepat. Keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi kening. "Kamu jangan bercanda, Reno!"

"Mbak Aira kemari saja. Aku kirimkan alamat rumah sakitnya--"

Kepalaku tiba-tiba pusing. Mataku berkunang-kunang. Telinga berdengung, tak sanggup mendengar kalimat selanjutnya yang Reno ucapkan. Semuanya gelap. Aku ... tak mengingat apa-apa.

***

Kelopak mataku mengerjap setelah mencium bau minyak kayu putih. Sepertinya ada yang sengaja mengusapkan dekat rongga hidungku. Rasa pening membuat keningku mengernyit. Pandangan pertama tertuju pada langit-langit ... rumah sakit.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Hingga ingatanku tertuju pada telepon dari Reno yang mengabarkan kecelakaan itu, mataku melebar. Bibirku tak kuasa menahan teriakan. "Mas Hamish!"

Napasku tiba-tiba tersengal. Aku harus segera pergi menemui suamiku.

"Sykurlah Bu Aira sudah siuman?"

Aku baru menyadari ada orang lain di ruangan itu. Suster wanita menghampiriku dengan memasang wajah ramah.

"Suster, maaf sudah merepotkan. Tapi saya harus segera pergi."

Perawat wanita itu tersenyum, membantuku turun dari brankar. "Kondisi Ibu masih sangat lemah. Apakah ibu kemari sendiri?"

"Iya. Tapi saya sudah lebih baik, Sus. Terima kasih atas bantuannya."

"Jika masih pusing, sebaiknya Bu Aira beristirahat dulu. Akan sangat bahaya jika dipaksa pulang."

"Sudah lebih baik, Sus. Terima kasih atas perhatiannya."

Aku pamit undur diri setelah meyakinkan suster perawat akan kondisiku. Aku sudah tidak bisa menunggu lama karena ingin segera mengetahui kondisi Mas Hamish.

Menuju ke rumah sakit sesuai dengan pesan yang dikirimkan Reno pada ponselku, aku berharap kecelakaan yang dialami Mas Hamish tidak terlalu parah. Aku memiliki kabar baik untuknya. Pasti dia sangat senang mendengar berita ini.

Mas Hamish, tunggu kedatanganku!

Sekitar dua puluh menit perjalanan, aku membelokkan mobil memasuki parkiran rumah sakit. Perasaan gugup jelas melanda. Harapan dan doa-doa tak henti-hentinya aku panjatkan. Semoga suamiku baik-baik saja.

Langkahku percepat sembari menghubungi Reno. Dia mengatakan jika Mas Hamish berada di ruang operasi. Hatiku semakin kalut. Separah apa sampai-sampai melakukan operasi secepat ini.

Aku melihat di depan ruang tindakan sudah berdiri kedua mertuaku. Mereka menatapku yang baru datang dengan pandangan sayu. Gurat kekhawatiran tampak jelas terlihat pada wajah tua mereka.

"Assalamualaikum, Ayah, Ibu." Aku menyalami keduanya. "Bagaimana kondisi Mas Hamish?"

Aku tak sabar mengetahui keadaan suamiku. Kemelut di hati sejak tadi menginginkan sebuah kejelasan akan kondisi lelaki yang lima tahun hidup bersamaku.

"Dokter belum keluar sejak tadi." Ibu berkata lirih. Matanya berembun. Pun dengan Ayah. Pria tua yang masih tampak gagah itu terlihat khawatir dengan kondisi putranya.

Pandanganku mengarah pada lampu emergency yang terlihat menyala merah. Belum ada tanda-tanda operasi selesai. Kami menunggu dengan perasaan cemas.

Mas Hamish, semoga Tuhan melindungimu.

Detik demi detik, menit ke menit terasa berjalan lebih lama. Atmosfer rumah sakit yang senyap membuat kami larut dengan pikiran masing-masing. Aku usap kembali perutku. Aku berharap anakku tidak sampai kehilangan seorang ayah saat terlahir ke dunia nanti.

Hingga pintu ruang operasi terbuka, kami beranjak dari posisi duduk. Ayah maju lebih dulu kemudian disusul aku dan Ibu.

"Dokter, bagaimana kondisi putraku?"

Dokter menatap kami bertiga secara bergantian. Terdengar helaan napas berat dari bibir yang masih tertutup masker medis. "Operasi berjalan dengan baik. Kita tunggu perkembangannya setelah pasien sadar. Untuk saat ini hanya itu yang bisa saya sampaikan. Saya permisi dulu."

Kami mengangguk lemah hampir bersamaan, lantas membiarkan dokter menjauh dari tempat kami berdiri.

***

Seperti apa yang dokter katakan, kami akan mendapatkan informasi tentang perkembangan Mas Hamish setelah lelaki itu sadar. Kami tetap sabar menunggu, meskipun sampai hari ketujuh, Mas Hamish belum juga membuka mata.

"Aira, makan dulu. Biar Ibu yang menjaga Hamish." Ibu menepuk bahuku.

Aku mengalihkan pandangan dari mata yang tertutup itu. Entah kapan Mas Hamish akan sadar. Kami semua menantikan itu. Rasanya sudah tidak sabar aku ingin memberitahu kehamilanku kepadanya, lalu mengabarkan berita ini bersama kepada kedua mertuaku. Benar sekali, sampai detik ini tiada yang mengetahui bahwa aku sedang mengandung. Aku hanya ingin Mas Hamish menjadi orang pertama yang mengetahuinya.

"Iya, Bu. Aira makan dulu."

Aku beranjak kemudian, dan posisiku langsung digantikan oleh Ibu. Aku memang enggan menjauh dari Mas Hamish sejak pertama kali dia dinyatakan koma. Aku ingin menjadi orang pertama yang dilihatnya saat mata itu terbuka. Namun, sampai detik ini keinginanku nyatanya tak kunjung terlaksana.

"Bubur ayamnya satu ya, Pak."

"Oh, iya, Neng. Sekalian minumnya?"

"Air mineral saja."

Aku duduk pada salah satu bangku stan penjual makanan di kantin rumah sakit. Terdapat meja persegi panjang berlapis formika dengan beberapa lemari-lemari otomat yang berisi makanan dan minuman dalam kemasan hampa udara di sepanjang dinding. Sembari menunggu pesanan selesai disiapkan, aku membaca pesan dari Reno terkait laporan penjualan minguan Coffe Shop milik Mas Hamish.

Lima menit berlalu, semangkuk bubur ayam dengan toping lengkap sudah tersaji di meja. Tak lupa juga air mineral sebagai pelega dahaga. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai bubur ayam. Namun, semenjak Mas Hamish sering memintaku membuatkan bubur ayam untuk sarapan, aku jadi mulai terbiasa memakannya. Kuaduk topingnya agar bumbu bercampur, lalu menyuapkan dalam mulut. Bubur ini rasanya lebih hambar meskipun sempat aku tambah dengan kecap. Bukan ada yang salah dengan cita rasanya, melainkan lidahku yang akhir-akhir ini tak bisa menikmati semua masakan yang ada. Kondisi Mas Hamish yang tidak ada kemajuan membuat gairah hidupku memburuk.

Aku tidak sanggup menghabiskan bubur itu sehingga hanya memakannya separuh. Lambungku tidak bisa dipaksa menelan semuanya. Kondisi ini sudah berlanjut seminggu terakhir sejak kecelakaan yang menimpa suamiku.

Aku beranjak dari duduk, lantas membayar tagihan ke kasir.

"Maaf, saya tidak menghabiskan makanannya," ucapku  sambil menyerahkan kartu flash untuk membayar. "Rasanya enak, hanya perut saya yang bermasalah."

Mbak kasir tersenyum, mengembalikan kartu tersebut kepadaku. "Nggak papa, Bu. Terima kasih sudah pesan di sini."

“Sama-sama.” Aku mengangguk setelah menyimpan kembali kartu pembayaranku.

Melangkah menjauh meninggalkan area kantin, aku melewati koridor untuk kembali ke ruang perawatan Mas Hamish. Tidak mungkin meminta mertuaku yang sudah sepuh berlama-lama menggantikan tugasku menjaga putranya. Hingga sampailah tepat di depan pintu di mana ruangan yang menjadi tujuanku, langkahku terhenti.

Pintu dibiarkan dalam kondisi terbuka. Ada dokter dan seorang perawat berdiri di sana. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang tanpa peringatan. Ibu mertua pun berdiri menghalangi pandanganku dari apa yang terjadi. Semua orang sedang berdiri mengelilingi Mas Hamish.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menguatkan diri untuk masuk.

"Assalamualaikum," ucapku memberi salam yang langsung mengalihkan perhatian semua orang sehingga menoleh padaku. Tampak di sana ibu mertuaku tersenyum, lantas memanggilku untuk ikut bergabung.

"Aira, kemari! Sini!"

Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Kupaksa diri ini untuk mendekat, mengikuti instruksi Ibu. "Apa yang terjadi--" Kalimatku terputus saat mataku melihat ke arah Mas Hamish. Lelaki itu sudah sadarkan diri. Aku segera menutup mulutku yang terbuka karena syok. Mataku berkaca-kaca. "Mas Hamish--"

"Dia sudah sadar. Dokter masih memeriksanya."

Aku menganguk. Tanganku digandeng oleh Ibu mertua. Rasanya hari ini seperti mimpi. Mata yang sejak seminggu lalu menutup, kini mau membuka untuk melihat dunia kembali.

"Syukurlah! Sepertinya penglihatan Pak Hamish tidak bermasalah. Semuanya baik," ucap Dokter yang semakin membuatku tak henti-henti mengucap syukur. Aku tidak sabar menunjukkan kepada suamiku tentang berita kehamilanku yang selama lima tahun ini kami nanti-nantikan.

Kini pandangan mata Mas Hamish tertuju ke arah kami. Oh, tidak. Bukan ke arah kami, melainkan ke arah Ibu.

"Ibu!" Dia memanggil Ibu dengan suara lirih juga sedikit serak. Ibu melepas tanganku lalu mendekat ke sisi kanan ranjang Mas Hamish. Aku melihat mata Ibu berkaca-kaca. Sama sepertiku, begitu terharu dengan keajaiban yang baru saja dipertunjukkan Tuhan di depan mata kami.

"Hamish, kamu sudah sadar, Nak!" Telapak tangan tua itu mengusap kepala Mas Hamish penuh sayang. "Kamu tahu, Aira tidak pernah letih menungguimu setiap hari."

"Aira?" Kening Mas Hamish mengernyit. Perasaanku mendadak tidak enak. "Aira siapa?"

Ibu menatap ke arahku, lalu beralih kepada dokter seakan meminta jawaban. "Aira itu istrimu. Bagaimana kamu bisa bertanya begitu?"

Aku hanya diam. Tubuhku membeku di tempat. Suaraku pun mendadak tak bisa dikeluarkan. Kupandang wajah lelaki yang begitu kurindukan. Namun, apa yang kudengar dari mulutnya sungguh di luar dugaan. “Ibu, jangan membuatku semakin bingung. Aku harus segera keluar dari sini. Sofie menungguku!"

"So-fie?" kataku lirih. Air mataku tiba-tiba menetes di pipi.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Hamish, mengapa kamu menanyakan Sofie?" tanya Ibu mertua. Beliau tampak ikut bingung dengan perkataan Mas Hamish.

"Mengapa Ibu bertanya lagi. Tentu saja karena Hamish mau menahan Sofie pergi. Hamish mau nikahin Sofie sebelum dia melanjutkan studinya ke luar negeri."

“A-pa?”

Mas Hamish sedang bercanda, bukan?

Sofie siapa?

Sungguh, duniaku terasa hancur saat itu juga. Perasaanku kacau-balau. Mas Hamish yang kukenal begitu mencintaiku justru mengatakan ingin menikahi perempuan lain di depan mataku sendiri.

Bab terkait

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 02- Kejutan Kedua

    "Pasien mengalami amnesia sebagian."Aku mendengar penjelasan tersebut dengan menguatkan hati. Aku dan Ibu mertua berada di ruangan dokter untuk membicarakan perkembangan kesehatan Mas Hamish."Maksud Dokter?" tanyaku meminta kejelasan."Ada beberapa jenis kehilangan memori ingatan pasca kecelakaan. Untuk kasus Pak Hamish, pasien hanya kehilangan sebagian memori pada otaknya. Mohon maaf, apakah Pak Hamish pernah mengalami kecelakaan cukup parah sebelum ini?"Aku menggeleng. Selama hidup dengannya, Mas Hamish tidak pernah mengalami kecelakaan parah. Apalagi yang berhubungan dengan kepala. Namun, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibu mertua."Iya, Dok. Hamish pernah kecelakaan sekitar lima tahun lalu. Sebelum dia menikah."Aku langsung mengalihkan tatapan ke arah Ibu. Aku tidak tahu semua itu. Dokter mengangguk-anggukkan kepala."Masuk akal. Pak Hamish mengingat kejadian lima tahun lalu sebelum kecelakaan itu terjadi. Bu Aira, saya harap Anda bisa bersabar menjalani ujian ini."Mat

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-30
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 03- Bertemu Sofie

    Istanbul, Turki.Tepat pada pertengahan bulan Oktober di saat kelompok tour religi baru saja menjejakkan kaki pada Bandar Udara Internasional Atatürk, Turki, aku disibukkan memberi arahan setiap anggota jemaah selama safar berlangsung. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel untuk beristirahat sebelum keesokan harinya menjelajahi beberapa tempat wisata yang berada di negara ini.Ya, aku adalah salah satu tour guide yang bekerja di bawah Azalea travel untuk memandu wisata religi di kunjungan Istanbul, Turki.Saat matahari sedang cerah-cerahnya, aku dan rombongan menyusuri jalan menuju Selat Bosphorus. Blue Mosque atau biasa disebut dengan Masjid besar Sultan Mahmed menjadi tujuan pertama tour religi kali ini. Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, tim mengajak jemaah menaiki kapal sembari menikmati lanscape Laut Golden Horn dan Selat Bosphorus.Aku memilih berada di luar kapal bersama para wisatawan lainnya, sangat menyayangkan jika t

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-30
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 04. Pernyataan Mengejutkan

    "Mas Hamish, makan dulu, ya?"Aku sudah menyendokkan bubur untuknya. Ini adalah hari pertama aku menggantikan Ibu untuk menjaga Mas Hamish. Bukan lagi mengaku sebagai seorang istri, hanya seseorang yang disuruh menggantikan tugas untuk merawatnya."Ibu mana?""Ibu--""Kau memanggil ibuku siapa?" Mas Hamish langsung menyela begitu saja saat aku menyebut mertuaku dengan sebutan Ibu."Maaf, Ibu yang menyuruhku memanggilnya Ibu." Aku memberanikan diri menatap matanya yang begitu dingin saat bicara padaku. Begitu berbeda dengan tatapannya dulu, selalu dipenuhi cinta dan kasih sayang."Ibuku memang sangat baik dengan semua orang."Aku mengangguk."Kalau begitu kamu makanlah, Mas! Kasihan Ibu selalu mencemaskanmu, ingin segera melihatmu sembuh seperti dulu."Terdengar dengusan kecil dari bibirnya. "Bawa sini! Aku bisa memakannya sendiri!"Mas Hamish sama sekali tak mau memakan suapan bubur dariku. Aku mengangguk mengerti. Walaupun hati ini begitu sakit menerima penolakannya, tetapi aku tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-22
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 05. Kembali Pulang

    "Lepaskan yang di sana juga!"Hari ini, tepat hari kelima setelah Mas Hamish terbangun dari koma, dokter mengatakan jika suamiku sudah boleh pulang. Perkembangan kesehatan Mas Hamish begitu pesat, apalagi sejak Sofie sering datang menjenguknya.Sofie. Aku tidak tahu ini adalah berita baik, atau justru memperburuk keadaan. Saat Sofie mengatakan perasaannya terhadap Mas Hamish kepadaku, sampai detik ini membuatku tidak bisa mengerti apa tujuan perempuan itu membantuku.Yang aku tahu, Sofie adalah wanita berpendidikan dengan karier cemerlang. Tidak mungkin wanita seperti itu memiliki keinginan untuk merebut suami orang. Walaupun sebelumnya mereka pernah begitu dekat dan nyaris menikah, tetapi kenyataannya aku adalah istri sah Mas Hamish.Melihat perekembangan Mas Hamish yang sangat bagus, aku pun tidak tega memberitahu semuanya secepat ini, yang mungkin bisa membuat suamiku celaka."Mbak Aira, apa foto ini juga dilepaskan?" Pak Priyo, suami Bi Rumi menegurku, menunggu kejelasan perintah d

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-26
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 06. Sifat yang Berbeda

    "Maaf, aku hanya cemas."Aku menjadi gugup. Bukan berarti aku tidak pernah melihat tubuh polos suamiku, tetapi saat ini situasinya berbeda. Mas Hamish mengira aku hanyalah orang luar sehingga tidak mungkin secara terang-terangan membantu membenarkan celananya."Sebentar, jangan lihat ke belakang! Aku mau memakai celanaku."Aku mengangguk tanpa menjawab dengan suara. Sekitar dua menit lamanya, akhirnya Mas Hamish mengatakan, "Sudah!"Setelah mendengar hal itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Mas Hamish masih berada di lantai kamar mandi dengan posisi kursi roda terjatuh. Berniat membantunya, aku membenarkan posisi kursi roda terlebih dulu, baru kemudian membantu Mas Hamish kembali duduk di sana."Bajumu basah. Sebaiknya ganti baju dulu sebeklum beristirahat," kataku saat melihat pakaian Mas Hamish yang basah."Kau cerewet sekali. Terserah aku mau tidur pakai pakain basah atau tidak. Apa urusanmu?""Saat ini menjadi urusanku." Tak peduli tanggapannya, aku mendorong kursi rodanya ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-27
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 07. Semakin Cerewet

    "Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-28
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 08. Tatapan yang Berbeda

    "Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 09. Satu Kemajuan

    Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29

Bab terbaru

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 15. Album Kenangan

    Siang ini Mas Hamish seharusnya pulang dari rumah sakit. Aku sengaja tidak menjemputnya karena Ibu dan Ayah sudah memintaku menunggu di rumah. Lagi pun, aku masih mogok bicara padanya.Sejak hari itu, aku tak lagi menemui Mas Hamish di rumah sakit. Aku memilih menitipkan suamiku pada Reno. Makanan kesukaannya sudah aku masakkan. Dan semua hidangan sudah kutata dengan dibantu Bi Rumi. Kedua mertuaku juga akan makan siang di sini sehingga aku harus menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Bel terdengar dari pintu depan bersamaan semua pekerjaan selesai."Biar saya saja, Bi!" ucapku saat Bi Rumi hendak membukakan pintu.Aku tahu jika itu Mas Hamish yang datang. Menyerahkan apron pada Bi Rumi, aku segera berjalan menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar, sesuai dugaan jika di sana ada Mas Hamish yang duduk pada kursi roda bersama kedu mertuaku."Assalamualaikum." Aku mencium punggung kedua mertuaku bergantian. Dari ekor mata, aku sempat melihat Mas Hamish memperhatikan interaksiku bersa

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 14. Masa Lalu yang belum Usai

    Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 13. Apa Kamu Menyukaiku?

    Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 12. Mengajaknya Pergi

    "Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 11. Dejavu

    Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 10. Belum Siap

    Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 09. Satu Kemajuan

    Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 08. Tatapan yang Berbeda

    "Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 07. Semakin Cerewet

    "Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha

DMCA.com Protection Status