"Maaf, aku hanya cemas."
Aku menjadi gugup. Bukan berarti aku tidak pernah melihat tubuh polos suamiku, tetapi saat ini situasinya berbeda. Mas Hamish mengira aku hanyalah orang luar sehingga tidak mungkin secara terang-terangan membantu membenarkan celananya."Sebentar, jangan lihat ke belakang! Aku mau memakai celanaku."Aku mengangguk tanpa menjawab dengan suara. Sekitar dua menit lamanya, akhirnya Mas Hamish mengatakan, "Sudah!"Setelah mendengar hal itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Mas Hamish masih berada di lantai kamar mandi dengan posisi kursi roda terjatuh. Berniat membantunya, aku membenarkan posisi kursi roda terlebih dulu, baru kemudian membantu Mas Hamish kembali duduk di sana."Bajumu basah. Sebaiknya ganti baju dulu sebeklum beristirahat," kataku saat melihat pakaian Mas Hamish yang basah."Kau cerewet sekali. Terserah aku mau tidur pakai pakain basah atau tidak. Apa urusanmu?""Saat ini menjadi urusanku." Tak peduli tanggapannya, aku mendorong kursi rodanya keluar dari kamar mandi."Hei, aku tidak menyuruhmu mebawaku ke sini."Aku tidak menghiraukan apa yang diucapkan olehnya. Menghentikan gerakan kursi roda di dekat lemari pakaian, aku mengambil satu stel baju santai milik Mas Hamish, lantas meletakkannya di atas ranjang."Sekarang lepas pakaianmu!""Jangan mengaturku! Ingat, kau hanya pelayan.""Ganti pakaian, atau aku akan berada di sini mengawasimu dua puluh empat jam." Aku mengancamnya."Ckk, wanita gila! Aku akan menyuruh Ibu untuk memecatmu.""Silakan! Aku tidak takut.""Kau!""Mau sampai kapan memberontak seperti anak kecil?""Aku bukan anak kecil. Jaga ucapanmu!""Lalu apa?" Aku sengaja menginterupsi setiap kata yang diucapkan Mas Hamish. "Kamu nggak malu sama Ibu, merepotkan beliau terus?" Okey, jika cara halus tidak bisa. Mungkin aku akan menggunakan cara yang sedikit keras. "Kamu udah dewasa, Mas! Bukan remaja lagi. Jangan bersikap kekanak-kanakan dengan selalu bertindak semaunya. Apa yang kamu lakukan sangat tidak sesuai dengan usiamu yang sudah kepala tiga."Terlihat tak terima, Mas Hamish seperti ingin menyergah kalimatku. "Kepala ... tiga?" Namun, hanya itu yang akhirnya keluar dari bibirnya."Saat kamu tak sadarkan diri selama tujuh hari, Ibu terus-menerus menangisimu. Ibu tidak pernah lelah menjagamu, mendoakanmu, melakukan banyak hal agar kamu bisa sembuh. Termasuk ... memintaku mengurusmu.""Tapi aku tidak menyukaimu!" Kalimat itu akhirnya terucap begitu ringan dari bibir suamiku. Kalimat yang tentunya sangat menyakiti perasaanku. Andai dia hanya melupakanku, aku masih bisa menolerirnya. Namun, dia sampai tega mengatakan tidak menyukaiku, padahal sebelum ini selalu menyanjungku cukup menurunkan kepercayaan diriku."Aku tahu," kataku lirih. Tak ingin mendebatkan masalah perasaan yang nantinya hanya akan menambah rasa sakit di hatiku.Strata sosial kami cukup senjang. Mas Hamish memiliki orang tua berada, dan dia juga memiliki usaha Coffe shop yang tersebar diberbagai kota. Sementara aku hanyalah seorang mantan tour guide yang tidak memiliki apa-apa.Aku memang tidak menemani Mas Hamsh merintis usahanya dari nol, tetapi selama ini aku ikut andil dalam menjalankan usaha itu sehingnga setelah tahun kedua pernikahan kami, coffe shop Mas Hamish berkembang pesat dan memiliki cabang di berbagai kota, dan semuanya ramai."Siapa sebenarnya kau, Aira? Mengapa Ibu percaya sekali padamu?"Hampir saja aku mengaku andai aku tak memikirkan kesehatan suamiku. "Aku sudah dianggap Ibu anak sendiri.""Menganggapmu sebagai anak?" Mas Hamish tertawa mengejek. "Pasti kau sengaja mendekati ibuku, kan? Apa orang tuamu mengajarimu begitu?"Aku tak percaya Mas Hamish mengatakan hal seperti itu."Aku yatim piatu," kataku menegaskan. "Aku ... berasal dari panti asuhan."Mas Hamish terdiam. Saat dia menatapku, aku memalingkan muka, menyembunyikan mata yang sudah berembun, tak tahan untuk mengalirkan buliran jernih yang sudah nyaris memenuhi kelopak mata."Ganti pakaianmu!" Tanpa melihatnya aku bicara. "Dan di sana--" Aku menunjuk tablet dan air minum yang sempat kubawa. "--setelah selesai ganti baju, minum obatnya. Aku tidak mengganggu lagi."Tak lagi menunggu jawaban dari Mas Hamish, aku langsung pergi meningalkannya. Di saat kaki menapak lantai di luar kamar, air mataku menetes tanpa bisa dicegah.Sebelumnya hatiku cukup terluka dengan Mas Hamish yang tidak mengenaliku, tetapi justru menginginkan Sofi. Dan sekarang dia mempertanyakan attitude orang tuaku padahal aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka. Aku memang tidak mengenal ibu yang telah melahirkanku. Beliau meninggal setelah melahirkanku. Sementara Ayah menghadap Yang Kuasa saat aku masih berada dalam kandungan.Apa salah jika aku terlahir tanpa orang tua? Itu semua bukan kesalahan dan keinginanku, bukan?***Pagi itu, rasanya perutku mendadak mual tak bisa menahan gejolak aneh yang berada di dalam lambung. Memang secara umum, wanita yang tengah hamil muda sering mengalami morning sickness, dan hal itu adalah wajar. Selama ini, aku belum pernah mengalaminya. Namun, berbeda dengan pagi ini, hal itu terjadi padaku."Non, Biar Bibi saja yang mengurus Tuan. Non pucat sekali hari ini. Lebih baik istirahat saja dulu."Aku memillih duduk dengan menggeret barstool, meminta Bi Rumi untuk membuatkan minuman hangat untukku. "Istirahat sebentar, ya, Bi! Nanti kalau sudah mendingan Mas Hamish biar Aira yang ngurus."Segelas wedang jahe diletakkan di atas meja bar, tepat di depanku. "Istirahat yang lama juga nggak papa kok, Non. Tuan nanti biar Bibi yang ngatasi."Senyuman tipis tersungging di bibirku demi menghargai bantuan Bi Rumi. "Makasih, Bi!"Aku membawa wedang jahe itu ke kamar tamu, yang mana saat ini menjadi kamar pribadiku. Aku merebahkan tubuh sebentar untuk melepaskan rasa pusing serta menenangkan lambung yang sejak tadi bergejolak setelah mengeluarkan semua isinya. Baru saja mataku hendak memejam, ponselku berbunyi. Aku segera menjawab panggilan usai melihat siapa yang sedang menghubungiku."Assalamualaikum, Ibu."Terdengar jawaban salam dari seberang sana. Ibu mertua yang menghubungiku. "Aira, Ibu sudah mencarikan suster untuk membantumu merawat Hamish. Nanti Ibu kirimkan data dirinya biar kamu yang pilih.""Tapi, Bu. Aira masih bisa mengurus Mas Hamish sendiri. Hanya ini yang bisa Aira lakukan agar Mas Hamish tetep dekat dengan saya dan calon ananya." Sejak awal aku bertekad mengurus Mas Hamish sendiri. Aku tidak ada pilihan lain, bagaimana cara agar Mas Hamish bisa mengenalku lebih jauh, mau berinteraksi denganku. Aku masih sangat yakin jika cintanya yang dulu untukku masih ada. Tidak mungkin semudah itu hilang berganti kebencian yang tidak mendasar."Aira, tadi Ibu sempat menghubungi Bi Rumi. Bi Rumi bilang kamu sedang sakit. Kamu habis muntah-muntah sejak pagi. Ibu hanya tidak ingin kamu terlalu lelah mengurus Hamish, lalu melupakan kondisi kandunganmu saat ini."Aku mengeusap perutku yang belum kentara. Bukan aku tidak menyayangi anakku. Tentu saja dia adalah hartaku yang paling berharga. Namun, usahaku ini juga untuk masa depan anak yang berada dalam kandunganku, agar papanya mengingat dan menyayanginya."Nggak papa, kok, Bu. Aira baik-baik saja. Hanya mual sedikit. Masih ada Bi Rumi yang membantu mengurus Mas Hamish saat Aira sakit. Jadi, suster itu menurut Aira tidak perlu."Mungkin aku memang terlihat keras kepala. Tenagaku memang tidak sekuat saat aku belum hamil. Sekarang rasanya untuk berdiri saja pusing sekali, tetapi aku tidak boleh membuang kesempatan untuk menjaga Mas Hamish."Kamu yakin?"Aku mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih sudah mau mengerti."Aku dengan jelas mendengar embusan napas Ibu dari seberang sana. "Baiklah, Ibu tidak memaksa. Tapi jika kamu butuh bantuan, segera hubungi Ibu. Ibu nggak mau terjadi sesuatu terhadap kalian."Panggilan berakhir. Aku menghela napas sekali. Seharusnya masalahnya tidak akan serumit ini andai aku bisa langsung berterus terang kepada Mas Hamish mengenai hubungan kami. Akan tetapi, melihat bagaimana dia begitu tidak menyukaiku, dan bahkan tidak segan melukai perasaanku, aku yakin dia akan semakin membenciku, juga anak yang berada dalam kandunganku jika mengetahui semuanya."Bi, siapa sih yang masak? Apa Aira? Mengapa rasanya begini?"Entah sudah berapa lama aku tertidur, sayup-sayup mendengar suara teriakan Mas Hamish. Tidak biasanya suamiku itu marah-marah soal makanan. Apalagi aku rasa masakan Bi Rumi juga tidak buruk, sangat layak dimakan. Aku memang sempat mencicipinya tadi sebelum beristirahat. Pagi ini aku benar-benar tidak bisa melakukan tugasku dengan baik seperti hari biasanya."Maaf, Tuan. Ini tadi Bibi yang masak. Non Aira sedang sakit.""Sakit gimana? Semalam dia baik-baik saja. Kalau dia sudah nggak mau kerja di sini, mending pergi sekalian."Kalimat itu rasanya langsung menerjang di ulu hati. Tega sekali Mas Hamish bicara seperti itu. Aku sampai tidak bisa mengenali suamiku yang sekarang. Perangainya sangat jauh berbeda saat kami pertama kali bertemu dulu. Apa sebelumnya Mas Hamish memang memiliki sifat yang buruk sebelum kecelakaan lima tahun lalu, sehingga Ibu mengatakan Mas Hamish menjadi pribadi yang baru setelah mengalami kecelakaan itu?Rasa pusing di kepalaku sedikit lebih baik. Mengambil kerudung instan, aku keluar dari kamar untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi.Mereka sedang berada di meja makan. Padahal jarak meja makan dengan kamarku cukup jauh, tetapi suara Mas Hamish terdengar menggelegar sampai ke dalam. Aku yakin jika lelaki itu sengaja melakukannya agar aku mendengar semua pembicarannya."Ada apa, Bi? Apa Mas Hamish tidak mau makan?"Bi Rumi yang melihatku langsung mengangguk. Aku melangkah mendekatinya, melihat piring Mas Hamish yang seperti sengaja dijauhkan dari hadapan lelaki itu."Mengapa tidak makan?" Tanpa basa-basi aku menanyai suamiku langsung."Tidak enak masakannya."Aku menghela napas, berusaha bersabar. Lalu mencoba mencicipi masakan itu sekali lagi. Tidak ada masalah, Semuanya baik. "Baunya tidak enak. Bikin mual." Mas Hamish melanjutkan kalimatnya."Apa?"Aku semakin bingung dengan perkataannya. "Coba rasakan sekali lagi! Kalian berdua bisa masak yang benar nggak, sih? Masakannya masih mentah. Masih bau bawang putih. Bikin mual saja!"Aku dan Bi Rumi saling pandang. Sejak kapan Mas Hamish tidak menyukai bau bawang putih dalam masakan?***"Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha
"Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu
Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S
Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m
Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak
"Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent
Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu
Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj
Siang ini Mas Hamish seharusnya pulang dari rumah sakit. Aku sengaja tidak menjemputnya karena Ibu dan Ayah sudah memintaku menunggu di rumah. Lagi pun, aku masih mogok bicara padanya.Sejak hari itu, aku tak lagi menemui Mas Hamish di rumah sakit. Aku memilih menitipkan suamiku pada Reno. Makanan kesukaannya sudah aku masakkan. Dan semua hidangan sudah kutata dengan dibantu Bi Rumi. Kedua mertuaku juga akan makan siang di sini sehingga aku harus menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Bel terdengar dari pintu depan bersamaan semua pekerjaan selesai."Biar saya saja, Bi!" ucapku saat Bi Rumi hendak membukakan pintu.Aku tahu jika itu Mas Hamish yang datang. Menyerahkan apron pada Bi Rumi, aku segera berjalan menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar, sesuai dugaan jika di sana ada Mas Hamish yang duduk pada kursi roda bersama kedu mertuaku."Assalamualaikum." Aku mencium punggung kedua mertuaku bergantian. Dari ekor mata, aku sempat melihat Mas Hamish memperhatikan interaksiku bersa
Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj
Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu
"Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent
Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak
Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m
Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S
"Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu
"Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha